close
Perubahan Iklim

Indonesia Berharap COP-19 Warsawa Hasilkan Kesepakatan Tegas

Delegasi Republik Indonesia (Delri) akan mengikuti Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-19 dari Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Warsawa, Polandia, pada 11 – 22 November 2013. Pertemuan COP19 merupakan tonggak penting dalam pembahasan kesepakatan multilateral baru untuk aksi perubahan iklim pasca 2020 yang akan disepakati pada 2015 (selanjutnya disebut kesepakatan 2015), yang diharapkan mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara Pihak (applicable to all parties).

Negara-negara UNFCCC telah menyepakati bahwa pada akhir 2014 (pada COP20 di Peru) akan dihasilkan draft teks kesepakatan untuk dapat difinalkan di pertengahan 2015. Selanjutnya kesepakatan ini dapat diadopsi pada akhir 2015 dalam COP21 di Paris, Perancis.

“Indonesia mengharapkan kesepakatan 2015 akan mencerminkan komitmen yang lebih kuat dari semua pihak untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi yang kongkrit dan ambisius, dengan panduan aturan dari UNFCCC, dan berlandaskan pada prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama yang dilaksanakan secara berbeda-beda sesuai kontribusi emisi gas rumah kaca dan kemampuan masing-masing,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar, yang juga adalah Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim yang akan bertindak sebagai Ketua Delri.

Menurut Rachmat, prinsip keadilan tersebut sangat penting mengingat Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kebutuhan pembangunan yang tinggi, tapi telah berkomitmen untuk membantu dunia mencegah kenaikan suhu rata-rata global dengan menerapkan pembangunan rendah emisi karbon. Keadilan tersebut perlu diwujudkan antara lain dengan penyediaan pendanaan oleh negara maju untuk membantu negara-negara berkembang meningkatkan investasi dalam kegiatan-kegiatan pembangunan rendah karbon, di samping untuk membiayai upaya-upaya mengatasi berbagai dampak buruk akibat perubahan iklim.

“Kesepakatan 2015 menjadi kelanjutan logis penanganan perubahan iklim global sesuai Bali Action Plan. Sekarang waktunya bagi dunia untuk menunjukkan ambisinya dan bertindak lebih nyata,” lanjut Rachmat Witoelar dalam konferensi pers Delri di Kantor DNPI, pada Kamis (07/11/2013).

Selain membahas kesepakatan untuk aksi pasca 2020, Delri juga akan memperjuangkan pandangannya terkait aksi mitigasi dan adaptasi hingga tahun 2020. Delri akan menekankan pentingnya peningkatan komitmen dan aksi negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di bawah Protokol Kyoto periode komitmen kedua dan juga di bawah Konvensi UNFCCC, untuk memastikan pencapaian target global, yaitu kenaikan suhu rata-rata global tidak lebih dari 2 derajat Celcius pada tahun 2020 dibandingkan dari suhu global sebelum Revolusi Industri.

Salah satu tindakan nyata yang diperlukan adalah segera meratifikasi Doha Amendement untuk kekuatan hukum implementasi Protokol Kyoto periode komitmen kedua.

Sedangkan untuk isu pendanaan, Delri akan menekankan bahwa negara maju tidak dapat menunda lagi realisasi komitmen pendanaan sebesar USD100 miliar per tahun sampai 2020 seperti yang telah dijanjikan pada COP-15 tahun 2009 di Copenhagen, Denmark. Urgensi tersebut mengingat berakhirnya fast start finance—pendanaan untuk periode 2010-2012—dan kondisi kritis keuangan dana-dana multilateral untuk aksi perubahan iklim seperti Green Climate Fund dan Adaptation Fund.

Pendanaan USD100 miliar tersebut untuk membiayai berbagai aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang, termasuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+), pengembangan energi terbarukan, pengembangan dan alih teknologi untuk berbagai kebutuhan pembangunan rendah karbon, penyediaan ganti rugi akibat kejadian-kejadian slow onset (termasuk kenaikan tingkat permukaan air laut), peningkatan ketahanan fisik-sosial-ekonomi komunitas rentan menghadapi masalah-masalah perubahan iklim, dan masih banyak lagi, yang semuanya membutuhkan pendanaan yang cukup besar dan tidak dapat dipenuhi oleh anggaran pemerintah negara-negara berkembang.

Contohnya, anggaran pemerintah Indonesia saat ini hanya mampu memenuhi 16 persen dari seluruh kebutuhan pendanaan untuk target penurunan emisi GRK sebesar 26% hingga 2020.

Indonesia menyepakati perlunya diversifikasi sumber pendanaan, baik dana publik maupun swasta, melalui mekanisme pasar dan non-pasar serta dari sumber dalam negeri dan internasional baik dari jalur multilateral, bilateral maupun sumber-sumber alternatif lainnya.

Rachmat Witoelar juga menyampaikan bahwa selama ini Indonesia banyak mendapatkan apresiasi karena peran aktifnya dalam penanganan perubahan iklim. Dalam kesempatan COP-19, Indonesia diminta untuk berperan dalam beberapa pertemuan tingkat menteri, termasuk menjadi co-chair dalam High-Level Panel on the Land Sector and Forests dalam High-Level segment COP-19 yang akan diselenggarakan oleh Presiden COP19 dan Pemerintah Finlandia.[]

Tags : perubahan iklim

Leave a Response