close

aceh jaya

Flora Fauna

BKSDA Aceh Lepasliarkan Satwa di Hutan Sampoiniet Aceh Jaya

Calang – BKSDA Aceh melepasliarkan tiga satwa jenis kera dan seekor kucing hutan di kawasan konservasi hutan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya, Jumat (04/10/2019). Kegiatan pelepasan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Satwa se Dunia,

“Kita melepasliarkan dua ekor serudung (Hylobates lar), satu ekor siamang (Hylobates syndactilus), seekor kucing hutan yang sebelumnya sudah menjalani rehabilitasi,” tutur petugas BKSDA Aceh, drh.Taing Lubis, kepada awak media usai pelepasan.

“Saat perawatan kemarin, sempat juga ada yang sakit dan sudah kita berikan obat-obatan dan doping, sehingga kondisinya sehat dan kita lepasliarkan pada saat ini,” pungkasnya.

Sementara itu, tambah drh Taing, hutan di Sampoiniet telah menjadi salah satu lokasi konservasi. Lokasi ini dipilih karena memiliki koloni jenis satwa tersebut yang diharapkan mampu beradaptasi dengan mudah dalam lingkungannya dan pelepasliaran dapat dengan mudah dipantau oleh petugas Resort KSDA dan mitra.

“Sebelum menemukan habitat, tentunya sementara waktu hewan itu akan berada di kawasan yang dilepaskan karena itu proses adaptasi,” paparnya.

Pada tahun 2018 dalam rangka memperingati Hari Primata Indonesia, KSDA juga telah melepasliarkan empat satwa jenis kera tidak berekor yang semuanya berjenis kelamin jantan, yaitu dua ekor Ungko Lar (Hylobates lar) dan dua Siamang (Symphalangus Syndactylus) di kawasan hutan konservasi Sampoiniet.

“Hasil laporan petugas saat melakukan patroli masih mendengar suara yang menandakan hewan itu masih ada,” ungkapnya.

Taing berharap kepada masyarakat agar tidak memelihara apa pun jenis satwa yang dilindungi karena undang-undang tidak memperbolehkan hal tersebut.

Sumber: waspadaaceh.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pascasebaran Merkuri di Aceh Jaya, Korban Mulai Berjatuhan

Sepanjang 2013 lalu angka kematian bayi di Aceh Jaya yang sebagian sungai dan sumur warganya tercemar merkuri, mencapai 33 orang. Dari jumlah itu, beberapa meninggal dengan kelainan bawaan sejak lahir. Misalnya, ada bayi yang mengalami kelainan jantung bawaan (cardioseptal defect), lahir prematur, atau terlahir sumbing mulai dari bibir sampai ke langit-langitnya (kelainan kongenital).

Begitupun, belum dapat dipastikan apakah kelainan bawaan pada bayi yang baru lahir itu disebabkan ibu dan ayahnya merupakan orang yang selama ini terpapar merkuri (air raksa) yang banyak digunakan penambang emas ilegal di Aceh Jaya untuk memisahkan butiran emas dari batu dan gumpalan tanah.

“Memang belakangan ini mulai banyak ditemukan di Aceh Jaya bayi yang lahir tidak normal atau dengan kelainan bawaan dan akhirnya meninggal. Tapi untuk mengklaim bahwa itu ada kaitannya dengan sebaran limbah merkuri di sejumlah tempat di Aceh Jaya, saya tak berani. Tentulah diperlukan penelitian yang mendalam,” kata Kepala Dinas (Dinkes) Aceh Jaya, Cut Kasmawati MM melalui Sekretaris Dinas, Ernani Wijaya SKep yang dikonfirmasi Serambi, Selasa (18/2/2014) malam.

Menurut Ernani, dengan sudah terungkapnya data lapangan tentang peredaran dan persebaran merkuri di Aceh Jaya itu, maka sebaiknya ke depan penyebab bayi lahir dengan kelainan bawaan dan kemudian meninggal, haruslah segera ditelusuri dengan saksama.

Ia mengaku khawatir dengan maraknya penggunaan air raksa yang didorong oleh maraknya penambangan emas di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Karena, selain pekerja yang melakukan kontak langsung dengan bahan berbahaya itu, masyarakat yang mengonsumsi ikan/udang/kerang (lokan) dari laut dan sungai juga ikut teracuni. Bahkan anak-anak, bayi, hingga janin yang masih dalam kandungan pun berpotensi terkena bahaya merkuri.

Erna menilai, warganya tidak begitu peduli dengan bahaya merkuri karena dampaknya pada tubuh manusia tidak langsung terjadi dalam waktu singkat. Padahal, efek dari merkuri itu bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kerusakan sistem pencernaan, hingga berujung pada kematian.

Ia rincikan, sepuluh dari 33 bayi yang meninggal itu, disebabkan kondisi tidak normal saat masih dalam kandungan, sehingga bayi lahir prematur. Ke-13 bayi yang meninggal saat lahir itu, merupakan warga Kecamatan Panga, Teunom, Krueng Sabee, dan Sampoiniet. Kawasan ini merupakan kawasan yang banyak terdapat mesin pengolahan bijih emas menggunakan air raksa.

Sementara itu, mantan direktur eksekutif Walhi Aceh, Ir TM Zulfikar mendesak Pemerintah Aceh segera bertindak untuk membatasi peredaran cairan merkuri di Aceh. “Kami mempertanyakan mengapa air raksa ini bisa dengan gampang sekali diperoleh masyarakat. Padahal, untuk memperoleh merkuri, harus ada izin dengan prosedur yang ketat. Terkesan, peredaran merkuri di Aceh sama seperti peredaran narkoba. Cuma, pengedar narkoba sering tertangkap, sedangkan pengedar merkuri tidak pernah,” ujarnya. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Bayi-Bayi Cacat ini Korban Merkuri?

Sejak pagi, Nidar (31), warga Keude Panga Kecamatan Panga, Aceh Jaya yang merupakan istri seorang penambang emas di Gunong Ujeun, Yusri (35) sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa mules pun semakin terasa sehingga ia segera dibawa oleh keluarganya menuju RSU Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Jumat tahun lalu (17 Mei 2013). Di tengah perjalanan, Nidar tak mampu lagi bertahan. Ia pun terpaksa bersalin di mobil saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak keduanya ini kemudian diberi nama Aulida Putri.

Belum hilang rasa sakit akibat persalinan tanpa bantuan petugas medis, ia malah harus merasakan sedih begitu melihat kondisi fisik anaknya yang cacat fisik. Di dahi bayi itu terdapat sebuah benjolan cukup besar di antara dua matanya. Jari telunjuk dan jari tengah pada tangan kiri bayi itu juga puntung, seperti juga jari manis di kaki kirinya. Sementara, dua jari kaki lainnya juga tumbuh tidak sempurna.

Saat tiba di RSU Cut Nyak Dhien, Nidar dan bayinya langsung diberikan pertolongan pertama dan hari itu juga dirujuk ke RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. “Melihat kondisi anak saya, dokter di RS Cut Nyak Dhien menanyakan apa yang sering saya makan selama hamil. Saya katakan, suka makan kerang. Dokter itu pun menuding bahwa kerang yang saya makan tercemar merkuri,” cerita Nidar, Kamis (13/2/2014).

Kepada media lokal yang menanyakan lebih lanjut asal kerang (lokan) yang ia makan, Nidar menjawab, bahwa saat ia hamil, suaminya bekerja sebagai penambang emas di Gunong Ujeun Kecamatan Krueng Sabee. Setiap pulang bekerja, suaminya kerap membeli kerang yang dijual di Pasar Krueng Sabee.

Pasar dimaksud berlokasi tak jauh dari Kuala Kabong, muara sungai Krueng Sabee yang airnya berasal dari mata air Gunong Ujeun, tempat ratusan penambang tradisional mengambil batu mengandung emas. Aliran sungai itu melewati desa Panggong, Curek, Paya Seumantok, hingga Desa Kabong. Di desa-desa itu banyak terdapat tempat pengolahan emas menggunakan air raksa, karena penambang hanya mengambil batu emas untuk kemudian dibawa turun ke desa-desa sekitar, untuk dipisah unsur emasnya dari batu atau tanah.

Alat-alat pengolahan emas di sepanjang sungai tersebut tidak memiliki tempat pembuangan limbah yang baik. Sebagian hanya menggunakan kolam limbah dengan dinding tanah, sebagian lagi malah membuang  ke saluran pengairan untuk sawah, bahkan ada yang langsung membuangnya ke sungai.

Sebenarnya bukan penambang emas yang melakukan pencemaran merkuri–meskipun mereka tetap saja merusak lingkungan dengan melubangi lereng-lereng gunung hingga bisa menyebabkan longsor. Namun, aktivitas pengolahan emas dengan alat berat (warga setempat menyebutnya gelondong) yang menggunakan air raksa sebagai bahan pemisah emas lah yang berperan besar dalam pencemaran merkuri, karena pembuangan limbah yang tidak ramah lingkungan. Tanpa mereka sadari, perilaku ini telah menimbulkan masalah kesehatan yang serius, bahkan menyebabkan kematian.

Kisah tragis juga dialami seorang bayi di Desa Blang Baro pada tahun 2008 lalu yang ususnya terburai akibat tidak memiliki kulit perut. (Nama bayi dan keluarganya sengaja tak disebut atas pertimbangan kemanusiaan -red). Saat bayi ini masih dalam kandungan, banyak tetangganya yang bekerja sebagai pengolah batu emas yang dibawa dari Gunong Ujeun, termasuk kakek dari bayi malang itu. Lokasi mesin gelondong untuk memisahkan emas dari batu dan tanah gunung itu pun berada di sekitar rumahnya.

Saat itu, eksploitasi emas dari Gunong Ujeun sedang pada puncaknya. Tak heran, puluhan kilogram air raksa digunakan secara massal di sekitar tempat tinggalnya yang masuk dalam wilayah Kecamatan Panga. Hasil penelitian pada air sumur warga yang dilakukan Dinkes Aceh Jaya di kecamatan tersebut, menyebutkan tingkat pencemaran merkuri mencapai 83 persen, karen dari 12 sampel air yang diteliti, 10 sampel dinyatakan tercemar merkuri.

Ditambah lagi, perilaku pekerja yang jarang menggunakan sarung tangan dan penggunaan merkuri di tempat terbuka, menambah tingkat kerawanan paparan logam berat itu.

Bidan desa bernama Rosalina yang membantu proses persalinan di rumah pasien itu, tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan bayi terebut. Apalagi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat yang berjarak belasan kilometer dari rumah pasien.

“Bayi itu meninggal sesaat setelah lahir. Hampir semua bidan dan petugas Puskesmas di sini tahu kejadian itu yang kami yakini sebagai dampak dari pencemaran merkuri,” ujar Kepala Puskesmas Panga yang akrab dipanggil Mami, kepada Serambi, Kamis lalu. []

Sumber: serambinews.com

read more