close

badak

Flora Fauna

Krisis Populasi Badak Indonesia

Kritis  adalah kata yang tepat untuk menggambarkan status populasi badak  di Indonesia, dua spesies badak di Indonesia yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diambang punah. Apa yang dikhawatirkan saat ini adalah struktur populasi badak yang ada sekarang lokasinya  terpencar dan terisolir.

Kantung habitat badak Jawa,  hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon Banten, populasi badak Jawa di kawasan ini diketahui sebagai populasi  yang  jumlahnya  tidak  lebih  dari  50  individu. Rata-rata perkembangan populasinya tidak  lebih dari 1%  setiap tahunnya (Hariyadi et al. 2011). Kondisi habitat  yang ada saat ini diduga  mengalami  perubahan  perlahan  akibat  suksesi  alami  yang  berakibat  pada berubahnya  struktur  vegetasi (tumbuhan)  yang  ada.

Sedangkan di pulau Sumatera, jumlah kantong habitat badak Sumatera hanya tersisa empat kantong utama yakni di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Gunung Leuser serta Kawasan ekosistem Leuser, jumlah badak Sumatera diperkirakan populasi kurang dari 200 ekor (Adhi Hariyadi. 2012), untuk sebaran dan jumlah populasi badak Sumateradi Kalimantan masih kekurangan data.

Dewasa ini, perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Diperparah lagi dengan adanya pembangunan jalan yang membelah Taman Nasional,akibatnya hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut dan menyebabkan hutan terfragmentasi. Hilangnya habitat memiliki konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies.

Seiring fragment hutan mengecil, populasi cenderung lebih rentan untuk punah, karena resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987).

Satwa  badak merupakan satwa herbivora dimana sangat tergantung terhadap pakan, komposisi pakan badak yang besar dengan terganggunya vegetasi (tanaman), maka badak akan kehilangan pakan, profil  pakan  badak  berkorelasi  dengan  ruang  jelajah yang  ditempuhnya  dan  habitat  tumbuhan  di sekitarnya.

Badak  Jawa dan badak   Sumatera   juga   merupakan   browser  yang  meragut  tumbuhan  pakan menggunakan  bibir  bagian  atas. Secara  anatomis, semua  spesies  badak  merupakan hewan  monogastrik  dengan  sistem  pencernaan  yang  mengandalkan  fermentasi  dan penguraian selulosa pada sekum (Pough 1989).

Secara prilaku,badak Sumatera merupakan satwa yang rentan terhadap perubahan habitat, seperti aktivitas pembalakan liar  dan pembukaan jalan di hutan, aktvitas para pencari getah gaharu, secara alami badak akan selalu mencari habitat terbaik yang terbebas dari aktivitas manusia (Wawancara dengan Mike Grifith, 2013).

Sebagai contoh terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kasus pembukaan jalan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 1993. Dulunya populasi badak Sumatera sering dijumpai, akan tetapi sejak dibangunnya jalan tembus Lampung -Bengkulu yang membelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, akibatnya dalam beberapa tahun terakhir,  badak Sumatera sangat susah ditemui di kawasan ini.

Begitu pula di Provinsi Aceh, pembangunan jalan Ladia Galaska dan pembangunan  jalan poros tengahAceh telah membelah Kawasan Ekosistem Leuser, badak Sumatera semakin sulit ditemui, belum lagi adanya ancaman perburuan cula yang marak di kawasan ini.

Aksi Cepat Penyelamatandi Indonesia
Contoh pengelolaan dapat diambil dari negara India dan Nepal. Kedua Negara ini telah sukses mengelola spesies badak (Rhinoceros unicornis ), total perkiraan populasi Mei 2007 diperkirakan 2.575 individu dengan perkiraan total dari 378 di Nepal dan 2.200 di India ( Asia Rhino Specialist Group 2007).

Secara keseluruhan jumlah badak Asia hanya tersisa 3,500 invidu, di India dan Nepal dulunya badak terus diburu hingga berada diambang kepunahan. Dengan perlindungan yang ketat dari otoritas satwa liar India dan Nepal selama lebih dari empat dekade, maka populasi badak India dapat di pulihkan (Dr. Christy Williams, WWF Internasional. 2013).

Cerita sukses ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara Indonesia, bagaimana memulihkan dan meningkatkan jumlah populasi badak di alam liar,  baik itu badak  Jawa dan Sumatera. Periode stabilisasi populasi, manajemen pengelolaan kedua Negara ini gunakan juga dapat di modifikasidi Indonesia.

Kata kunci penyelamatan badak di Indonesia adalah meningkatnya jumlah individu di habitatnya, untuk pengelolaan badak Jawa titik tekan pada pengelolaan pengkayaan habitat  dan pengembangan habitat kedua (second habitat/ second population) di luar Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan untuk badak Sumatera titik tekan pengelolan pada sistem patroli konvensional mencegah perburuan. Aksi ini tentu harus diiringi dengan perbaikan habitat, upaya lainnya adalah memasukan habitat badak dalam Rencana Tata Ruang Nasional dan sangat dibutuhkan adanya Perpres yang menaungi khusus perlindungan badak ini untuk menjawab kondisi individu yang sangat kritis dan hampir punah.

Penyelamatan badak Indonesia baik Jawa dan Sumatera sudah harus menjadi prioritas utama, baik itu di Ujung Kulon Banten, Taman Nasional  Way Kambas, TN BBS di Lampung, di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh. Kawasan Ekosistem Leuser Aceh  dan Kutai barat di provinsi Kaltim harus menjadi skala prioritas konservasi di Indonesia.

Langkah ini merupakan hal  yang penting dalam menentukan secara jelas wilayah dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan negara untuk segera berindak nyata dalam usaha konservasi badak di Indonesia.

Aksi  ini  juga berfungsi untuk menjawab tindakan apa yang perlu diambil di masa mendatang di semua wilayah konservasi badak di empat provinsi ini,  badak dikawasan ini dapat ditingkatkan status hukumnya dan harus diteliti untuk kepentingan konservasi.

Disamping itu, disisi pengelolaan Badak untuk dapat dengan mudah diterjemahkan di level Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan yang terpenting lainnya adalah masyarakat lokal di sekitar habitat Badak yang diharapkan menjadi pelindung utama dalam menjaga populasi badak  di Indonesia. Pada dasarnya satwa badak membutuhkan hutan berkwalitas sangat baik. Badak  merupakan interior terbaik hutan Indonesia. maka sudah seharusnya  Negara memberikan habitat terbaik bagi satwa ini. Jika ini terjadi, maka  badak Jawa – Sumatera bisa diselamatkan.

Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan TGK Chik Pantee Kulu Banda Aceh

read more
Flora Fauna

Konservasionist Asal Aceh Raih Penghargaan Lingkungan Goldman

Usaha ahli biologi Rudi Putra menutup perkebunan kelapa sawit gelap penyebab kehancuran hutan besar-besaran menjadi dasar pemberian Penghargaan Lingkungan Goldman 2014.

Rudi Putra meneliti deforestasi di Ekosistem Leuser, Sumatra Utara yang menghancurkan tempat tinggal badak Sumatra yang terancam punah. Dia mulai tertarik dengan alam dan binatang saat di sekolah menengah di Aceh.

Rudi kemudian mempelajari biologi konservasi di Institut Pertanian Bogor dan “jatuh cinta” dengan Klik badak Sumatra.

Dia menjadi peneliti ahli dan memimpin tim perlindungan badak pada ekspedisi pencarian pemburu gelap di Ekosistem Leuser, hutan lindung di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara seluas lebih 24 ribu meter persegi.

Hutan tropis Indonesia adalah salah satu yang paling beragam di dunia, tempat tinggal 12% spesies mamalia yang dikenal di dunia.

Hanya setengahnya tersisa saat ini karena tingginya tingkat pengrusakan hutan, sekitar delapan ribu meter persegi setiap tahun.

Penyebab utama tingginya deforestasi di Indonesia karena tingginya permintaan minyak kelapa sawit dunia yang di antaranya digunakan untuk pembuatan kue, bubur, dan keripik kentang.

Selain Rudi, terdapat lima pemenang lainnya dari Afrika Selatan, Rusia, India, Peru, dan Amerika Serikat. Penghargaan dijadwalkan diberikan di San Fransisco, Amerika Serikat pada Senin malam 28 April.[]

Sumber: BBC.co.uk

read more
Flora Fauna

Badak Indonesia Diambang Kepunahan

Ibaratnya menyelamatkan nyawa, maka pancaran SOS (save our souls) tengah diprioritaskan pemerintah, sebagaimana dinyatakan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan, Bambang W Novianto.

“Pemerintah menetapkan 13 spesies hewan yang dilindungi, termasuk badak jawa dan badak sumatera. Penyelamatan badak ini menjadi prioritas,” katanya di Pandeglang, Banten, Rabu.

Dia katakan, Indonesia beruntung memiliki dua dari lima spesies badak di dunia, yakni badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), satu-satunya species badak di Asia yang bercula dua namun tubuhnya paling kecil.

Jumlah pasti kedua species badak di Indonesia ini masih belum diketahui persis, kecuali taksiran berdasarkan jejak kaki, tinggalan faeces (kotoran), pola lintasan, dan rekaman kamera jebakan.

Para peneliti memperkirakan, cuma paling banyak 100 badak jawa dan 100 badak sumatera yang masih hidup di habitat asli, dengan tingkat penurunan paling drastis pada badak sumatera, yang semula diperkirakan 800 badak pada sewindu lalu.

Khusus badak bercula satu atau badak jawa, kata dia, setelah spesies ini punah di Vietnam, maka habitat alami merek kini cuma tinggal di Indonesia, yaitu di Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang.

Badak, kata dia, merupakan hewan yang dilindungi dan masuk dalam Apendix I IUCN. Penyelamatan badak jawa tidak hanya menjadi perhatian pemerintah Indonesia, tapi juga berbagai negara di dunia.

“Angin segar terjadi pada upaya peningkatan populasi badak sumatera, karena perkembangbiakan secara semi alami yang dilaksanakan di Way Kambas, Lampung telah membuahkan hasil.

“Belum lama ini lahir anak badak sumatera dari hasil perkawinan semi alami di Way Kambas, yakni melalui penangkaran,” katanya. Anak badak sumatera jantan itu diberi nama Andatu, dengan induk Ratu.

Menurut dia, perkawinan semi alami melalui penangkaran sudah lama dilakukan, tapi baru belakangan ini membuahkan hasil dengan kelahiran anak badak sumatera.

Melihat keberhasilan itu, kata dia, pihak pemerintah Malaysia sudah mengajukan permintaan badak sumatera untuk dikembangbiakkan di negara itu. Di Malaysia, populasi badak sumatera tinggal lima ekor lagi.

“Kita belum bisa memenuhi permintaan itu, karena perlu pertimbangan yang matang, dan tidak bisa gegabah untuk menyerahkan hewan langka tersebut,” katanya.

Terkait pelestarian badak oleh pemerintah di antaranya menetapkan 5 Juli sebagai Hari Badak.

Editor: Ade Marboen

read more
Green Style

Bertamu ke Rumah Batman Bahorok

Mereka bergantungan beramai-ramai di langit-langit selama berhari-hari. Seolah-olah tiada merasa capai. Sementara itu beberapa rekan lainnya sibuk mondar-mandir tak karuan, ntah apa yang dicarinya. Beberapa spesies lain ikut meramaikan lubang-lubang gelap di perut bumi. Kalong, kampret ataupun kelelawar, begitu masyarakat biasa menyebutnya. Hewan bertaring dan suka makan buah ini populer lewat film Batman yang dibuat berjilid-jilid.

Siang hari itu, di bulan Mei 2013, saya bersama seorang teman berkesempatan untuk melihat langsung Gua Kampret (Bat Cave) yang terletak di Desa Namu Samsah kecamatan Bahorok Sumatera Utara. Nama desa tersebut tidak begitu terkenal di jagad pariwisata tetapi jika kita menyebutnya Bukit Lawang maka ingatan akan kembali ke beberapa tahun lalu saat banjir bandang besar menyapu daerah ini. Lokasi gua kampret berada di seputaran Bukit Lawang. Kali ini kami bukan ingin melihat sisa-sisa banjir yang tentu saja sudah tak ada lagi.

Dari penginapan Ecolodge, sebuah resort wisata yang indah miliki Yayasan Ekosistem Lestari di Bukit Lawang, kami bergerak menuju gua kampret yang berjarak 2 km. Begitulah yang tertera di papan penunjuk jalan di halaman resort. Lumayan jauh juga bagi saya yang bukan seorang pejalan kaki tulen. Saya masih berharap jaraknya tidak sejauh itu, karenanya saya bertanya pada seorang petugas hotel.

“Cuma setengah jam saja menuju ke gua kampret,”kata bapak petugas sekuriti tersebut. Kalau cuma segitu kayaknya saya dan rekan pasti mampu menempuhnya. Cuaca pagi pun tidak terlalu panas dan tidak dingin alias sedang-sedang saja. Kami pun mulai melangkahkan kaki menuju gua dari halaman belakang resort.

Pemandangan pertama yang menyergap mata adalah sebuah kolam ikan seukuran lapangan bola kaki. Di atas kolam tersebut tampak sebuah pondok mungil dan sebuah kandang kambing. Ini tampaknya apa yang mereka sebut sebagai Fishfarming, sebagaimana yang saya baca di brosur resort. Fishfarming artinya lebih kurang mengusahakan ikan dengan memberi makan secara alami. Kalau disini berarti ikan-ikan tersebut makan dari kotoran kambing yang berjatuhan langsung ke dalam kolam.

Jalanan yang kami lalui adalah jalanan tanah selebar tiga meter namun telah dibeton dengan dua lajur. Jadi jalanan ini akan mudah kalau dilalui dengan kendaraan bermotor roda dua. Tapi sepertinya tak banyak roda dua yang melintasi jalan, setidaknya pada saat itu. Kami berjalan dengan penuh semangat. Di kiri-kanan jalan dipenuhi dengan berbagai pepohonan dan tanaman keras.

Pepohonan karet tampak berjejer, kemudian silih pemandangan berganti dengan tanaman sawit yang masih kecil. Selain itu tampak juga pohon durian dan beberapa pohon lain yang tidak begitu saya kenal. Treking ini cukup menyenangkan, terlebih ternyata kami melewati halaman beberapa bangunan, sebuah penginapan dan sebuah panti asuhan milik pribadi. Halaman penginapan yang kami lewati begitu asri, rumput-rumputnya rata tertata rapi. Saat melintasi panti asuhan, beberapa ornamen ceria warna-warni terhampar diseputaran panti tersebut. Ada tulisan unik “Panti asuhan ini milik pribadi, kalau mau masuk harap minta izin dulu,”.

Nyaris setengah jam berjalan, peluh pun mulai menetes membasahi baju-baju. Treking beton berakhir pada pada penunjuk arah “Cave Bat” yang menunjuk menyerong dari trek tersebut. Perasaan pun menjadi ragu, apakah terus mengikuti trek tersebut atau ikut-ikutan bermain “serong’ sebagaimana petunjuk jalan. Rasa ragu tersebut kami tuntaskan dengan bertanya pada seorang remaja yang kebetulan lewat dengan sepeda motor. Wow..ternyata banyak juga sepeda motor yang melintasi trek ini karena pepohonan di kiri-kanan jalan merupakan kebun masyarakat yang mereka kunjungi.

“Kalau mau ke gua lewat sini bang,”kata remaja tersebut yang sampai akhir kunjungan kami lupa menanyakan namanya tapi kami tak lupa mengucapkan terima kasih. Tangannya menunjuk ke arah serong, sesuai dengan penunjuk jalan di titik penghabisan jalan beton. Kami pun diminta mengikutinya, ternyata dia kebetulan hendak bermain-main juga ke gua kampret. Perjalanan ke gua masih butuh waktu sekitar 10 menit lagi rupanya. Sedikit lagi kami harus melewati tanjakan dan akhirnya sampailah kami di muka gua. Ada sebuah balai-balai kecil, dengan tiga pria duduk di atasnya.

Ketika saya mulai memperkenalkan diri, kekakuan pun mulai melumer. Kami tersenyum satu sama lain. Mereka pun memperkenalkan diri satu persatu. Seorang bapak yang berumur sekitar 54 tahun menyebutkan namanya,”Saya Sarakata Sembiring, orang Karo, udah hampir tiga tahun saya bekerja menjaga pintu masuk gua ini.”

Seorang pemuda lainnya memperkenalkan diri sebagai Herman dan seorang lagi menyebut dirinya Tarsim Ginting. “Kami main-main saja kesini kalau sedang mengangon (mengembala-red) kambing,”kata Herman yang diiyakan oleh Tarsim. Ternyata cuma Pak Sarakata yang menjaga tempat tersebut. Lahan menuju pintu gua dimiliki oleh seseorang yang bernama Tencong Ginting yang juga merupakan majikan Pak Sarakata.

Saya dan teman melepaskan lelah sebentar sebelum “menenggelamkan” diri ke perut bumi rumah kalong tersebut. Sambil beristirahat, saya pun menggali sedikit informasi tentang keberadaan gua dan kalong-kalong hitam tersebut.

Menurut cerita Pak Sarakarta tempat tersebut sudah mulai dikunjungi sejak lebih kurang 25 tahun lalu. “Waktu itu ongkos masuknya cuma seratus perak,”kami semua tertawa mendengar kalimat terakhir, betapa murahnya dibandingkan dengan ongkos masuk sekarang yang Rp.5 ribu. Ia melanjutkan ceritanya mengenai jumlah pengunjung. Tak tentu-tentu jumlah turis yang datang katanya. Kadang delapan orang, kadang bisa lebih dan kadang-kadang tak ada satupun yang datang berkunjung.

Selain mengutip biaya masuk, Pak Sarakata  juga menyediakan peralatan senter untuk melihat-lihat di dalam gua. Juga tersedia air minum dalam kemasan dalam ukuran sedang, sebuah pilihan yang bagus mengingat kami pun membutuhkannya usai menelusuri gua.

Menurut beberapa literatur yang saya baca, kotoran kalong sangat bagus dibuat sebagai pupuk. Kotoran tersebut kaya dengan kandung Fospat. Kalong sendiri juga sering diburu oleh orang-orang tertentu untuk disantap.

“Kami tidak mengambil kotoran kalong karena sedikit dan sudah terbawa air. Didasar gua ada air yang mengalir yang merembes dari lubang atau rekahan di langit-langit. Kalong dilarang tangkap kecuali untuk orang-orang tertentu yang membutuhkan sebagai obat,”kata Pak Sarakata. Memang ada cerita yang beredar bahwa kalong dapat menyembuhkan penyakit Asma.

Daerah gua tersebut merupakan daerah perbukitan sehingga tidak terkena bencana banjir bandang besar yang terjadi tahun 2004 lalu. Sayangnya menurut Pak Sarakarta pemerintah masih sedikit perhatiannya terhadap objek wisata gua. Walaupun demikian, pemerintah telah membangun treking dan beberapa jembatan kecil di daerah tersebut.

Menelusuri gua bagi yang belum pernah melakukannya lebih baik didampingi oleh pemandu. Herman, bersedia menjadi pemandu kami walaupun sebenarnya dia tidak berprofesi sebagai pemandu. “Kalau ada yang butuh boleh, kalaua tidak juga tidak apa-apa. Kami tidak mau menawarkan diri takut dianggap nanti memaksa. Soal biaya, seberapa saja saya terima,”begitu katanya lebih kurang.

“Kelelawar itu pembawa rezeki bagi kami. Jadi kami merawatnya lah,”kata Pak Sarakata saat kami bersiap-siap memasuki gua. Dengan dilengkapi senter yang bisa diikatkan di kepala sebagaimana yang biasa dipakai penambang, kami pun perlahan berjalan turun, memasuki gua. Dari jauh sudah mulai tampak rongga-rongga gua yang siap menelan kami. Kegelapan perlahan menyelimuti, ada sedikit rasa was-was. Tapi saya berpikir, toh disini ada pemandu dan banyak sudah orang berkunjung, tentunya gua ini aman lah.

Keciprak air berbunyi dari kaki melangkah di dasar gua. Kami melangkah perlahan-lahan menyusuri dinding gua sambil mata menatap ke langit-langit. Tampak si Batman bergantungan, tidak terlalu banyak memang. Masih banyak ruang yang tersedia sehingga kalong tidak perlu berdesakan bergantungan. “Kalongnya tidak terlalu banyak namun mereka terus berkembang. Tapi kalong-kalong akan menghindar kalau mereka menciumi bau-bau aneh sehingga jumlahnya kadang berkurang,”Herman menjelaskan sambil berjalan.

Bahkan pernah suatu kali, satu rombongan pengunjung dari etnis tertentu melakukan sebuah ritual di dalam gua. Mereka membakar semacam hio yang menimbulkan aroma khas sehingga membuat kelelawar berterbangan. “Kadang-kadang parfum-parfum yang dipakai bule-bule pun bisa bikin mereka menghindar,”ujar Herman kembali.

Ada beberapa spot mendatar di dalam gua tersebut. Sangat cocok bila pengunjung ingin beristirahat sejenak menikmati staklatit dan stalakmit. Ada beberapa rekahan dan lubang-lubang yang cukup besar di langit-langit sehingga sinar matahari pun dapat menancap ke dalam gua. Pada bagian tertentu ruang gua temaram, ada yang cukup terang sehingga bisa membaca. Tapi sebagian besar lubang tersebut hitam gelap pekat alias tanpa ada cahaya. Tapi kami karena sudah dibekali dengan senter bisa dengan mudah menelusuri gua.

Ada tiga spot utama dalam gua tersebut yang kira-kira menghabiskan waktu satu jam untuk menjelajahinya. Tiap-tiap spot ditandai oleh lubang besar di langitnya. Untuk menuju spot-spot tertentu sering kita harus merendahkan diri atau mengecilkan perut. Maksudnya harus menunduk dalam berjongkok karena celahnya cukup rendah dan sempit. Susah mungkin bagi orang yang berbadan besar.

Kelelawar tersebut berukuran sekitar genggaman tangan remaja. Tidak terlalu besar memang, hanya sedikit yang berukuran segenggam kepalan orang dewasa. Pada saat melangkah kami sering harus berhati-hati karena bebatuannya cukup tajam, mirip dengan bentuk pisau. Bebatuan diasah oleh tetesan air selama puluhan tahun, mungkin ratusan tahun. Pada dinding-dinding juga terdapat batuan yang berbentuk air menetes didinding namun sudah membeku, ntah sudah berapa lama.

Sayangnya kami melihat banyak grafiti di dinding gua. Menurut Herman, ini ulah anak-anak sekolah yang memang sering mengadakan kunjungan. Pahatan-pahatan pada dinding gua yang bertuliskan nama orang, nama tempat bahkan nama-nama sekolah. Tampaknya tempat-tempat wisata selalu saja tak lepas dari gangguan tangan jahil manusia. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Ibrahim Si Pencari Jejak Badak dari Hutan Ketambe

Hanya dengan melihat atau menciumnya, dia sudah mengetahui apa nama tanaman ataupun jejak binatang apa yang dilihatnya. Keahliannya ini diperoleh setelah menjalani pekerjaan sebagai peneliti biodiversity terutama mamalia selama puluhan tahun di hutan Leuser, terutama di daerah Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi
Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi

Namanya singkat saja, Ibrahim, lahir sekitar 47 tahun lalu, tinggal di Desa Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara. Ia menyebut dirinya sebagai asisten peneliti Mamal di daerah Ketambe dan sekitarnya. Ketambe sendiri merupakan sebuah stasiun riset di Taman Nasional Gunung Leuser yang banyak melahirkan para ahli biodiversity kelas dunia. Dan Ibrahim lewat tangan dinginnya dan pengetahuannya yang tinggi tentang hutan telah membantu puluhan sarjana dan profesor.

Ditemui di suatu pagi yang mendung di Banda Aceh, Ibrahim bercerita banyak hal ihwal dirinya dan pekerjaan yang dilakoni selama lebih kurang 20 tahun belakang. Ia saat itu baru saja pulang dari Kalimantan Timur untuk survey badak di kawasan hutan. Ya, keahliaannya di bidang ‘isi’ hutan telah membawanya melanglang buana ke berbagai pelosok rimba gelap di Indonesia.

Ibrahim telah banyak melakukan survey mamalia dan tumbuhan dalam hutan. Ia biasanya membantu para peneliti mencari jejak hewan liar dan mencatat berbagai tumbuhan langka. Ia hapal nama ratusan jenis tumbuhan, hanya dengan melihat sekilas saja.

Survey yang dirasakan paling berat selama hidupnya adalah survey badak karena medan yang ditempuh naik-turun pegunungan, areal yang dijelajah sangat luas dan mereka sering diguyur hujan lebat. Maklum saja, di hutan hujan (rainforest) hutan tak tentu-tentu turunnya. Ibrahim bersama tim sering harus berlama-lama di hutan, menghabiskan sekitar 2 minggu di belantara.

Ibrahim berbagi cara tentang mencari jejak badak. “Kita melihat jejak kakinya di tanah dan bekas pakannya (bekas rumput yang dimakannya), atau melihat kubangannya atau kotorannya,” kata Ibrahim yang juga dikenal dengan panggilan Ibrahim Ketambe.

Bekas tapak tersebut kemudian diukur lebar dan panjangnya dan ciri lainnya sehingga nantinya dapat dibedakan dengan jejak lain yang ditemukan. Sedangkan dari tumbuhan bekas makanannya dari diprediksi ukuran badak melalui tinggi gesekan pada tumbuhan tersebut. “ Dari beda-beda ukuran ini maka bisa dihitung berapa banyak badak yang ada di hutan tersebut,” katanya.

Biasanya mereka menemukan 2-3 jejak badak yang berbeda dalam area seluas 16 km persegi. Mereka memulai melacak jejak badak dengan mengikuti rute perjalanan badak itu sendiri. Biasanya mereka memulai survey badak dari daerah yang topografinya tidak terlalu curam dan tempat dimana banyak terdapat tumbuhan yang dimakan hewan berkulit tebal tersebut.

Badak mempunyai penciuman yang sangat sensitif, mampu mencium kehadiran manusia dari jarak sekitar 1 km dan suka berada dalam semak-semak. “ Saya belum pernah berjumpa langsung dengan badak karena hewan tersebut langsung tahu kehadiran manusia. Tapi kalau hewan lain saya sudah pernah ketemu langsung,” ujar Ibrahim.

Ada satu penelitian yang sangat berkesan ketika ia bersama peneliti dari Belanda, Carel Van Schak di tahun 1993 menemukan orangutan yang memakai alat bantu untuk mencari makanan. Mereka menemukan orangutan cerdas ini di hutan Suak Belimbing Aceh Selatan.

Ibrahim banyak membantu mahasiswa S1 hingga S3, dalam negeri hingga luar negeri melakukan penelitian hutan. Mahasiswa IPB, Unas, Unsyiah, Utrech Belanda dan sebagainya sering meminta bantuannya saat meneliti biodiversity hutan. Ia pun bangga dengan kondisi hutan Aceh yang masih bagus dibandingkan dengan hutan di daerah lain yang pernah dikunjunginya.

“ Kalau dibandingkan dengan hutan di Indonesia, kondisi hutan Aceh yang paling bagus. Kerapatannya dan curah hujannya masih tinggi,” demikian alasannya. Ibrahim telah melanglang buana ke hutan di Menado, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah lain.

Di hutan yang tandus atau minim vegetasi, hewan hanya lewat saja tetapi kalau di hutan yang lebat hewan akan singgah mencari makan.

Seorang anaknya kini meneruskan jejaknya sebagai ahli biodiversity. Ibrahim akan terus bekerja seperti sekarang sepanjang ada yang membutuhkan keahliannya. Tak ketinggalan perusahaan multinasional pun pernah melibatkannya dalam survey hutan.

Uniknya, Ibrahim sering memberikan nama tumbuhan dengan bahasa daerahnya yaitu bahasa Gayo  walaupun tumbuhan tersebut ditemukan di daerah lain di luar Aceh. Misalnya saja Medang Kulu atau Gerupee Rawan. Tumbuhan tersebut diberi nama lokal untuk kemudian diberi nama ilmiah.

Keahlian yang dimiliki Ibrahim memang sangat langka. Apalagi dimasa sekarang dimana anak muda berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota. Ibrahim dan hutan memang tidak bisa dipisahkan.[m.nizar abdurrani]

read more