close
Ragam

Ibrahim Si Pencari Jejak Badak dari Hutan Ketambe

Kerangka badak | Foto: Ratno Sugito

Hanya dengan melihat atau menciumnya, dia sudah mengetahui apa nama tanaman ataupun jejak binatang apa yang dilihatnya. Keahliannya ini diperoleh setelah menjalani pekerjaan sebagai peneliti biodiversity terutama mamalia selama puluhan tahun di hutan Leuser, terutama di daerah Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi
Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi

Namanya singkat saja, Ibrahim, lahir sekitar 47 tahun lalu, tinggal di Desa Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara. Ia menyebut dirinya sebagai asisten peneliti Mamal di daerah Ketambe dan sekitarnya. Ketambe sendiri merupakan sebuah stasiun riset di Taman Nasional Gunung Leuser yang banyak melahirkan para ahli biodiversity kelas dunia. Dan Ibrahim lewat tangan dinginnya dan pengetahuannya yang tinggi tentang hutan telah membantu puluhan sarjana dan profesor.

Ditemui di suatu pagi yang mendung di Banda Aceh, Ibrahim bercerita banyak hal ihwal dirinya dan pekerjaan yang dilakoni selama lebih kurang 20 tahun belakang. Ia saat itu baru saja pulang dari Kalimantan Timur untuk survey badak di kawasan hutan. Ya, keahliaannya di bidang ‘isi’ hutan telah membawanya melanglang buana ke berbagai pelosok rimba gelap di Indonesia.

Ibrahim telah banyak melakukan survey mamalia dan tumbuhan dalam hutan. Ia biasanya membantu para peneliti mencari jejak hewan liar dan mencatat berbagai tumbuhan langka. Ia hapal nama ratusan jenis tumbuhan, hanya dengan melihat sekilas saja.

Survey yang dirasakan paling berat selama hidupnya adalah survey badak karena medan yang ditempuh naik-turun pegunungan, areal yang dijelajah sangat luas dan mereka sering diguyur hujan lebat. Maklum saja, di hutan hujan (rainforest) hutan tak tentu-tentu turunnya. Ibrahim bersama tim sering harus berlama-lama di hutan, menghabiskan sekitar 2 minggu di belantara.

Ibrahim berbagi cara tentang mencari jejak badak. “Kita melihat jejak kakinya di tanah dan bekas pakannya (bekas rumput yang dimakannya), atau melihat kubangannya atau kotorannya,” kata Ibrahim yang juga dikenal dengan panggilan Ibrahim Ketambe.

Bekas tapak tersebut kemudian diukur lebar dan panjangnya dan ciri lainnya sehingga nantinya dapat dibedakan dengan jejak lain yang ditemukan. Sedangkan dari tumbuhan bekas makanannya dari diprediksi ukuran badak melalui tinggi gesekan pada tumbuhan tersebut. “ Dari beda-beda ukuran ini maka bisa dihitung berapa banyak badak yang ada di hutan tersebut,” katanya.

Biasanya mereka menemukan 2-3 jejak badak yang berbeda dalam area seluas 16 km persegi. Mereka memulai melacak jejak badak dengan mengikuti rute perjalanan badak itu sendiri. Biasanya mereka memulai survey badak dari daerah yang topografinya tidak terlalu curam dan tempat dimana banyak terdapat tumbuhan yang dimakan hewan berkulit tebal tersebut.

Badak mempunyai penciuman yang sangat sensitif, mampu mencium kehadiran manusia dari jarak sekitar 1 km dan suka berada dalam semak-semak. “ Saya belum pernah berjumpa langsung dengan badak karena hewan tersebut langsung tahu kehadiran manusia. Tapi kalau hewan lain saya sudah pernah ketemu langsung,” ujar Ibrahim.

Ada satu penelitian yang sangat berkesan ketika ia bersama peneliti dari Belanda, Carel Van Schak di tahun 1993 menemukan orangutan yang memakai alat bantu untuk mencari makanan. Mereka menemukan orangutan cerdas ini di hutan Suak Belimbing Aceh Selatan.

Ibrahim banyak membantu mahasiswa S1 hingga S3, dalam negeri hingga luar negeri melakukan penelitian hutan. Mahasiswa IPB, Unas, Unsyiah, Utrech Belanda dan sebagainya sering meminta bantuannya saat meneliti biodiversity hutan. Ia pun bangga dengan kondisi hutan Aceh yang masih bagus dibandingkan dengan hutan di daerah lain yang pernah dikunjunginya.

“ Kalau dibandingkan dengan hutan di Indonesia, kondisi hutan Aceh yang paling bagus. Kerapatannya dan curah hujannya masih tinggi,” demikian alasannya. Ibrahim telah melanglang buana ke hutan di Menado, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah lain.

Di hutan yang tandus atau minim vegetasi, hewan hanya lewat saja tetapi kalau di hutan yang lebat hewan akan singgah mencari makan.

Seorang anaknya kini meneruskan jejaknya sebagai ahli biodiversity. Ibrahim akan terus bekerja seperti sekarang sepanjang ada yang membutuhkan keahliannya. Tak ketinggalan perusahaan multinasional pun pernah melibatkannya dalam survey hutan.

Uniknya, Ibrahim sering memberikan nama tumbuhan dengan bahasa daerahnya yaitu bahasa Gayo  walaupun tumbuhan tersebut ditemukan di daerah lain di luar Aceh. Misalnya saja Medang Kulu atau Gerupee Rawan. Tumbuhan tersebut diberi nama lokal untuk kemudian diberi nama ilmiah.

Keahlian yang dimiliki Ibrahim memang sangat langka. Apalagi dimasa sekarang dimana anak muda berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota. Ibrahim dan hutan memang tidak bisa dipisahkan.[m.nizar abdurrani]

Tags : badakgajahsatwa

Leave a Response