close

COP

Kebijakan Lingkungan

Indonesia Tuan Rumah Pertemuan Audit Lingkungan Sedunia

Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan ke-13 Komite Pengarah Kelompok Kerja Audit Lingkungan Hidup Badan Pemeriksa Keuangan Sedunia (INTOSAI-WGEA) yang digelar di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat pada 3–5 April 2014.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Hadi Poernomo mengatakan tujuan pertemuan ke-13 itu adalah untuk membahas dan menyetujui kerangka kerja semua proyek dalam rencana kerja Pokja Audit Lingkungan Hidup (WGEA) tahun 2014-2016 serta tahapan penting untuk penyelesaian proyek-proyek tersebut.

“Dalam rencana kerja WGEA tahun 2014-2016 terdapat 11 proyek yang harus dilaksanakan. Proyek-proyek tersebut antara lain terkait dengan penelitian, pengembangan pedoman pemeriksaan dan peningkatan kapasitas auditor,” ujar Hadi saat jumpa pers di Lombok Barat, Kamis.

Hadi menuturkan keberhasilan pertemuan tersebut akan memberikan kontribusi strategis bagi peningkatan kemampuan dan kapasitas badan pemeriksa dan auditornya, khususnya di bidang pemeriksaan lingkungan.

“Ini akan bermuara pada tujuan utama yaitu menjadikan badan pemeriksa lebih strategis untuk mengawasi pemerintah dalam melestarikan lingkungan dan sumber daya alam,” kata Hadi.

Sementara itu Anggota IV BPK yang membidangi audit lingkungan, Ali Masykur Musa menambahkan pertemuan itu diharapkan dapat menjadi ajang terbuka bagi proses interaksi, diskusi dan kolaborasi antaranggota komite pengarah.

“Kami harapkan di sini antaranggota bisa saling bertukar pengalaman berharga tentang audit lingkungan untuk semua,” ujar Ali.

Pertemuan itu sendiri merupakan pertemuan pertama dimana BPK menempati posisi sebagai Ketua INTOSAI WGEA yang juga menangani kesekretariatan INTOSAI WGEA untuk periode 2013-2016.

Pertemuan tersebut diikuti oleh 16 anggota The International Organisation of Supreme Audit Institutions (INTOSAI) yang menjadi komite pengarah INTOSAI WGEA yaitu Amerika Serikat, Brazil, Tiongkok, Europeran Court of Auditors (ECA), Estonia, Filipina, India, Indonesia, Kamerun, Kanada, Lesotho, Maroko, Mesir, Norwegia, Ceko dan Selandia Baru.

Sumber: suarapembaruan.com

read more
Kebijakan Lingkungan

UKP4: Indonesia Masuki Babak Baru Pelaksanaan REDD+

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, hari Selasa (17/12/2013) di Jakarta meyakinkan kembali bahwa Indonesia siap melaksanakan komitmen Presiden untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pada 19 Desember 2013, UKP4 akan mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan REDD+ dan menyerahterimakan semua hasil pekerjaan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) termasuk pekerjaan yang sedang berjalan dan dalam perencanaan.

Pertemuan ini, yang digelar pada Kamis (19/12/2013), dirancang untuk memberikan informasi terkini dan peluang kepada semua pihak dari setiap elemen pemangku kepentingan REDD+ dan peminat isu ini, untuk bertemu dan bertukar informasi tentang kemajuan dan arahan kebijakan dan rencana aksi REDD+.

“Indonesia saat ini on track dalam usaha mencapai target penurunan emisi. Pertemuan ini bertujuan untuk melaporkan kemajuan dan tantangannya. Semua pihak harus berkoalisi untuk menghentikan perusakan hutan dan penurunan emisi.” ujar Kuntoro.

Komitmen Indonesia secara sukarela untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% atau sampai dengan 41% dengan bantuan internasional mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk dunia internasional. Langkah berani ini adalah bentuk kepemimpinan Indonesia dalam memerangi dampak buruk perubahan iklim dan menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama yang secara langsung kehidupannya bergantung pada sumber daya alam.

Sebuah badan khusus yang bertugas mengelola kegiatan reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang bertanggung jawab kepada Presiden telah dibentuk akhir Agustus lalu. Persiapan beroperasinya Badan ini telah dilaksanakan oleh Satgas REDD+ termasuk sebuah strategi nasional; instrumen pendanaan; serta komponen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Peserta pertemuan tersebut mencakup pemangku kepentingan dari latar belakang yang beragam, sektor dan kepentingan, termasuk para pemimpin politik, anggota kabinet, DPR, DPRD Provinsi, para perwakilan negara sahabat dan pejabat diplomat senior serta pejabat kerja sama pembangunan. Pertemuan ini juga melibatkan masyarakat sipil, media massa, akademisi, dan sektor swasta termasuk asosiasi bisnis. Peserta juga termasuk pejabat dari tingkat pusat dan daerah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang terkait dengan berbagai bagian dari agenda kebijakan REDD+.

Dalam pertemuan ini juga akan diselenggarakan sesi interaktif dengan bentuk bazaar tematis. Sesi ini akan memberikan kesempatan diskusi tatap muka antara berbagai pihak dan kelompok kepentingan.[rel]

read more
Perubahan Iklim

Aksi Mitigasi Indonesia dapat Respon Positif Internasional

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia telah berakhir pada Sabtu (23/11/2013) dengan menghasilkan beberapa keputusan, termasuk kesepakatan tentang arsitektur kerangka kerja global untuk perubahan iklim pasca 2020.

Keputusan penting dalam COP19 antara lain mengenai penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, keputusan mengenai mekanisme pendanaan di bawah UNFCCC, dan panduan umum MRV untuk yang mendukung aksi mitigasi di negara-negara berkembang (National Appropriate Mitigation Actions / NAMAs)

Dalam rangkaian perundingan COP19 Warsawa, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan berhasil mendapatkan bantuan pendanaan internasional untuk sistem transportasi massal yang ramah lingkungan. Proposal Kemhub untuk pelaksanaan sistem transportasi kota yang berkelanjutan sebagai bentuk penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (Sustainable Urban Transport Initiative – Nationally Appropriate Mitigation Action / SUTRI NAMA) telah disetujui untuk mendapatkan pendanaan di bawah NAMAs Facility dari Pemerintah Inggris dan Pemerintah Jerman.

Proposal SUTRI NAMA ini disetujui untuk didanai bersama dengan tiga proposal NAMAs lainnya dari Chile, Kosta Rika dan Kolombia yang dipilih dari 43 proposal NAMAs yang diajukan. Dari sektor transportasi, Indonesia bersama dengan Kolombia menjadi negara pertama yang mendapat dukungan dari dunia internasional untuk kegiatan transportasi. Proyek SUTRI NAMA mendapatkan bantuan pendanaan sebesar 17 juta Euro dari total 70 juta Euro yang dikumpulkan NAMAs Facility untuk empat proposal yang terpilih tersebut.

Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim mengatakan diraihnya bantuan pendanaan untuk SUTRI NAMA menjadi bukti bahwa aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia mendapat apresiasi positif dari dunia internasional.

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa program aksi mitigasi seperti misalnya terangkum dalam Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) sudah dalam arah yang benar sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk ikut serta dalam penanganan dampak perubahan iklim dan penurunan emisi GRK global.

Komitmen Indonesia

Terdapat perkembangan mengejutkan pada perundingan COP19, yaitu melemahnya komitmen penanganan perubahan iklim dari negara maju, terutama dari Jepang dan Australia.

Seperti diketahui, Pemerintah Jepang secara resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan emisi dari semula 25% dari emisi tahun 1990 menjadi 3,8% dari emisi tahun 2005 atau setara 3,1% dari emisi tahun 1990. Sedangkan Pemerintah Australia telah menghapus berbagai kebijakan perubahan iklim mereka seperti Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company dan Domestic Carbon Pricing Scheme.

Melihat hal tersebut, Rachmat Witoelar yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menyatakan Indonesia tetap mempertahankan komitmen sukarela penurunan emisi GRK sebesar 26 % dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan pendanaan internasional. Apalagi upaya dari sektor kehutanan telah menunjukan pencegahan emisi GRK yang signifikan.

Rachmat Witoelar mengajak negara berkembang dan terutama negara maju untuk turut serta menangani perubahan iklim dengan berkomitmen menurunkan emisi GRK. “Sekarang waktunya bagi dunia untuk menunjukkan ambisinya dan bertindak lebih nyata,” katanya.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon sendiri mendorong seluruh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memberikan dan bahkan meningkatkan komitmen untuk penanganan perubahan iklim, mengingat urgensi akibat buruk dari berbagai dampak perubahan iklim, dengan menggelar UN Climate Summit yang dilaksanakan sehari sebelum Sidang Umum PBB, yaitu pada 23 September 2014.

Negara-negara Pihak UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP21, pada akhir tahun 2015 di Paris, Perancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara Pihak (applicable to all parties) sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca 2020. Draft kesepakatan pasca 2020 tersebut disepakati akan dirumuskan pada COP20 di Lima, Peru pada 2014, untuk selanjutnya diadopsi pada akhir 2015 dalam COP21 di Paris, Perancis.

Sedangkan dari COP19 Warsawa, telah diputuskan tahap-tahap persiapan menjelang COP21, antara lain upaya setiap negara di dalam negeri masing-masing untuk menyiapkan kontribusi mereka yang akan menjadi bagian dari komitmen global pasca 2020, yang ditetapkan sendiri (nationally determined contribution) dan tanpa pretensi atas sifat hukum dari kontribusi tersebut (without prejudging the legal nature of the contributions).

“Berbagai keputusan COP19 memberikan dasar yang kuat untuk pembahasan yang lebih mendalam di tahun mendatang dalam rangka merumuskan elemen-elemen kesepakatan 2015,” kata Rachmat Witoelar.

Indonesia mengharapkan semua keputusan COP19 tersebut akan ditindaklanjuti dengan peningkatan komitmen negara-negara dalam upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya komitmen penurunan emisi pra-2020 oleh negara-negara maju.

Indonesia Pavilion
Selain berjuang melalui proses perundingan, Indonesia juga mengadakan Indonesia Pavilion dengan tujuan untuk menampilkan kemajuan dan inovasi program perubahan iklim dan investasi hijau di lingkup nasional dan subnasional serta kerjasama internasional. Sekitar 1000 peserta dari berbagai pihak dan delegasi negara lain datang mengikuti 16 sesi seminar yang diselenggarakan oleh beberapa Kementerian dan Lembaga serta organisasi internasional dengan narasumber dari dalam dan luar negeri, baik dari pemerintah maupun sektor swasta. Delri juga menampilkan budaya Indonesia melalui cinderamata berupa tas dan dompet yang bermotif batik, yang sangat disukai oleh peserta seminar.

Kegiatan Indonesia Pavilion dan Booth Indonesia dilaksanakan untuk mendukung upaya perundingan formal, meningkatkan kekuatan soft diplomacy dan menunjukan komitmen Indonesia terhadap proses multilateral.[rel]

read more
Perubahan Iklim

Teknologi dan Informasi Berpotensi Kurangi Emisi

Penggunaan informasi dan teknologi komunikasi berpotensi memangkas emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global hingga 16,5% pada 2020. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “GeSI SMARTer2020: The Role of ICT in Driving a Sustainable Future” yang dirilis baru-baru ini.

Laporan SMARTer2020 menunjukkan, peningkatan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi (information and communication technology/ICT) seperti konferensi video jarak jauh dan teknologi bangunan pintar (smart building) bisa memangkas konsentrasi emisi gas rumah kaca sebesar 16,5% pada 2020 dari level yang diproyeksikan.

Nilai penghematan energi dan bahan bakar yang bisa diraih dari aksi hijau ini mencapai $1,9 triliun, dengan jumlah pengurangan emisi sebesar 9,1 Gigaton emisi setara CO2 (GtCO2e). Nilai manfaat peningkatan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi ini tujuh kali lipat lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan oleh sektor ICT pada periode yang sama.

Laporan terbaru ini menemukan nilai penghematan yang 16% lebih banyak dari laporan sebelumnya yang dirilis empat tahun yang lalu. Laporan SMARTer2020 mengevaluasi potensi pengurangan emisi di enam sektor ekonomi yaitu: energi, transportasi, proses manufaktur, pertanian, bangunan serta sektor jasa dan konsumen

Pengurangan emisi dari teknologi virtualisasi seperti komputasi awan (cloud computing) dan konferensi video, tata kelola ternak pintar yang mampu mengurangi emisi metana, hingga efisiensi yang diraih dari optimalisasi mesin dalam proses manufaktur diulas oleh laporan ini.

Secara keseluruhan ada 32 solusi berbasis informasi dan teknologi komunikasi yang bisa diterapkan guna membantu mengatasi krisis perubahan iklim. Kebijakan pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi dalam isu perubahan iklim masih dirasa sangat kurang.

Laporan ini menyeru dunia melakukan aksi konkret menerapkan solusi informasi dan teknologi komunikasi, guna mewujudkan pola pembangunan ekonomi rendah karbon. Laporan ini disusun dari penelitian di tujuh negara yaitu Brasil, Kanada, China, Jerman, India, Inggris dan Amerika Serikat.

Sumber: Hijauku.com

read more