close

emas

HutanKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Darurat Tambang Emas dalam Pekarangan

Picture3
Ilustrasi : Foto int

Tambang emas ilegal di Aceh kian meresahkan, telah mengancam terjadi bencana ekologi. Tidak hanya merambah hutan, tetapi sudah mulai bergeser ke pemukiman, hingga ke depan halaman rumah warga.

Pertambangan ilegal ini tidak lagi bisa disebut tambang tradisional. Pasalnya, alat berat sudah bertabur di areal pertambangan ilegal seluas 1.108,93 ha yang tersebar di empat gampong (desa) di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

Keempat gampong itu meliputi Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak dan Krueng Cut. Permukiman keempat gampong ini, hampir seluruhnya terdapat lubang di pinggir, depan dan samping rumah mereka.

Lubang itu merupakan galian untuk menambang emas. Semakin diperparah, lubang-lubang itu berisi air tanpa dipagar. Tentunya sangat rentan terjadi kecelakaan.

Selain permukiman yang dijadikan areal pertambangan, kegiatan ilegal itu juga dilakukan di kawasan sungai, baik aliran yang melintasi permukiman warga, maupun hulu sungai yang berada di kawasan hutan produksi dan lindung. Sungai yang memiliki aktivitas pertambangan emas yaitu Krueng Cut, serta Krueng Pelabuhan yang merupakan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Cut.

Pertambangan seperti itu memang bukan hal yang baru di Aceh. Di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie juga bernasib sama. Bedanya, tambang di sana jauh dari pemukiman warga, namun tetap merambah hutan lindung dan merusak aliran sungai mengancam bencana alam.

Berdasarkan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, menemukan fakta yang mencengangkan. Hasil dari hitungan cepat yang dilakukan tim Walhi Aceh, ada 65 alat berat berada di lokasi pertambangan ilegal tersebut.

Namun menurut pengakuan warga, justru semakin mengagetkan, warga memperkirakan ada 120 unit alat berat lebih sedang beroperasi setiap hari di empat gampong tersebut. Parahnya lagi, di kawasan itu sudah tersedia bengkel alat berat, tentunya ini sudah sangat sistemik.

“Berbeda pertambangan di Geumpang dan Beutong, di Geumpang ada lubang di sungai. Sedangkan di Beutong ada di belakang rumah warga,” kata Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh Muhammad Nasir di kantornya, Selasa (3/10).

Untuk masuk ke area pertambangan bukan perkara mudah. Meskipun sulit, tim investigasi Walhi Aceh berhasil mendapatkan banyak informasi dan data terkait pertambangan ilegal di kawasan itu.

Baik itu proses penambangan, pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga pemasaran. Memang penambangan emas di empat gampong itu belum menggunakan mercuri, tetapi proses tambang yang dilakukan melalui saring.

Secara ekonomi dan status sosial di empat gampong tersebut tak ditampik terjadi perubahan. Bahkan ada warga yang memiliki rumah kecil, bantuan, hanya dua kamar terdapat mobil mewah jenis Fortuner terparkir di depan.

Demikian juga, perhiasan yang digunakan oleh kaum hawa setempat, semua dari emas. Sehingga ini telah memantik warga setempat merelakan permukiman, lahan perkebunan dan persahawan dijadikan areal pertambangan emas.

“Secara status sosial memang meningkat. Tetapi ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan. Karena tambang itu habis pakai dan tak bisa diperbaiki,” jelasnya.

Bahkan mirisnya, berkembang anekdot bila memang memungkin rumah-rumah warga ikut dibongkar untuk mendapatkan emas. Saat ini, warga berpendapat sedang berjalan dan menginjak-injak emas yang ada di bawah telapak kaki mereka.

“Kalau diizinkan, rumah-rumah dibongkar, mereka yakin banyak emas di sana,” tukasnya.

Akibat permukiman warga sudah dijadikan areal pertambangan, semua tanaman produktif, seperti kelapa, pinang, sudah ditebang. Demikian juga areal persawahan tak dapat lagi ditanam padi, karena sudah berlubang dan dijadikan pertambangan emas.

Areal sungai seluas 261,73 hektare juga sudah dijadikan wilayah pertambangan. Berdasarkan pengakuan warga setempat, dulunya sungai Krueng Cut lebar antara 20 sampai dengan 30 meter. usai ada pertambangan, lebar sungai sudah melebihi 100 meter.

“Kami tidak menemukan mercuri, karena mengambil serbuk emas, disaring dan ada karpet, emas lengket di karpet. Proses penggunakaan marcuri bisa terjadi tahap kedua pada pembeli,” tegasnya.

Adanya pertambangan emas itu memang ada multi efek ekonomi bagi warga setempat. Bagi yang tidak memiliki lahan, bisa menjadi kurir atau perantara yang mengantar BBM untuk kebutuhan 120 alat berat.

Karena untuk mengangkut BBM untuk alat berat yang berada di seberang sungai Krueng Cut juga bukan perkara mudah. Karena mobil jenis apapun tidak bisa dilalui, sehingga harus menyeberang menggunakan speed boat.

Ongkos yang diberikan pun bukan murah. Setiap satu jeriken dibandrol harga Rp 100 ribu. Sementara satu speed boat bisa mengangkut 20 jeriken berisi 20 liter BBM.

Agen penyuplai BBM itu pun, bisa mendapatkan keuntungan Rp 1,5 juta per hari. Bayangkan, berapa pendapatan mereka per bulan? Ya bisa mencapai Rp 45 juta.

“BBM itu diambil dari SPBU, itu BBM bersubsidi,” tegasnya.

Setiap gampong yang masuk dalam wilayah pertambangan emas ilegal itu ada portal. Jadi, alat berat masuk harus terlebih dahulu membayar pada penjaga pintu sebesar Rp 500 ribu. Ada empat gampong yang dilalui, maka mereka mengeluarkan uang Rp 4 juta.

Lain lagi ada kutipan yang katanya untuk gampong. Setiap bulannya, pemilik alat berat harus menyetor kepada panitia Rp 10 juta. Namun, Walhi Aceh tidak mengetahui aliran dana tersebut, baik uang masuk yang dikutip di pintu masuk, maupun iuran per bulan.

“Tapi kita menduga itu masuk ke panitia di gampong, ini berdasarkan pengalaman di tambang Geumpang,” tukasnya.

Memang tak bisa ditampik, perputaran roda perekonomian meningkat. Bahkan, ada warga yang hanya bekerja 15 hari, menghasilkan emas 15 kilogram dengan nilai Rp 20 miliar lebih.

Meskipun demikian, Walhi Aceh menilai dampak yang akan dirasakan dalam jangka panjang jauh lebih berbahaya dan kerugian materil juga lebih besar.

Hilangnya areal perkebunan dan pertanian, ancaman terhadap rumah warga dan fasilitas umum, hingga ancaman banjir bandang sewaktu-waktu akan terjadi di kawasan itu.

Termasuk maraknya illegal logging, hingga tidak ada lagi penahan air saat banjir tiba. Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga permukiman areal pertambangan, tetapi juga puluhan gampong di sekitar itu akan merasakan nantinya.

“Bencana banjir berpotensi. Bila terjadi banjir bandang, di Beutong berpotensi terjadi, karena sungai sudah rusak dan berpotensi rumah warga akan menimpa juga daerah lain,” tukasnya.

Temuan ini tentunya harus menjadi bahan pertimbangan pihak pemerintah. Baik itu pemerintah kabupaten setempat, maupun pemerintah Aceh harus bersikap, sebelum bencana ekologi terjadi.

Karena sekarang masih ada waktu untuk dilakukan penanggulangan secara persuasif melindungi lingkungan untuk anak cucu masa yang akan datang. [merdeka/acl]

read more
Tajuk Lingkungan

Reformis…

Sebuah bangunan dingin tanpa kedaulatan. Bahkan di atas meja makan, kita dengan mudah menemukan produk label impor; yang sebenarnya bahan bakunya berasal dari belakang rumah kita. Ya, begitulah. Dan yang tampak oleh mata, mungkin kaum miskin di Jakarta hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari kaum miskin di Aceh. Tapi kaum kaya di Aceh hidup sama mewahnya dengan kaum kaya di Jakarta. Sementara daya beli dari upah minimum terus merosot dari tahun ke tahun.

Saya rasa, istilah “reformis” telah mengandung makna yang buruk. Sebab mereka yang kini menjabat di pemerintahan sebagian besar adalah reformis – “laku tak sesuai cakap”. Ada kondisi lain yang mendasar, yaitu soal agraria. Ada berjuta-juta hektar tanah yang dibiarkan menganggur dan tidak difungsikan untuk memberi makan rakyatnya sendiri. Sektor pertanian seharusnya menjadi jalan keluar bagi barisan penganggur agar mereka bisa memperbaiki kondisi hidup. Tetapi sebagian besar tanah-tanah itu dikuasai kaum feodal dan tirani yang korup.

Bagaimana kebijakan pemerintah Aceh dalam rangka melindungi hutan? Saya rasa mereka terlalu banyak bicara mengenai hutan ketimbang bagaimana sungguh-sungguh memecahkan masalah yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser saat ini. Begitu juga yang ada di hutan raya Seulawah.

Di sana terdapat fakta orang-orang yang bekerja dan hidup dari hasil hutan, tetapi kita tidak boleh sewenang-wenang memaksa mereka keluar dari sana. Sebab ada bentuk-bentuk kehidupan yang dapat menyangga lingkungan dalam jangka panjang bagi mereka yang sudah lama tinggal di hutan. Negara seharusnya bisa membantu mereka agar dapat mengelola material-material berharga secara rasional dan ramah  – sambil menghentikan arus jutaan orang lainnya yang mengalir menuju sungai-sungai “emas” di sana dengan cara memberi mereka pekerjaan lain.

Negara tidak perlu lagi mengulang “tragedi” demi sebuah undang-undang untuk membunuh mereka yang belum tentu bersalah. Namun tidak ada program ekonomi yang berkelanjutan tanpa tindakan-tindakan nyata untuk menghapus perusakan ekosistem.

Di sini, negara harus melakukan strategi peningkatan-peningkatan di dalam standar hidup mayoritas rakyat, yang dapat membantu mereka berpartisipasi lebih efektif di dalam pemulihan basis sumber daya alam di sekitarnya.

Dan saya rasa, Dewan Perwakilan Rakyat yang datang dari partai politik yang brengsek itu harus dipaksa untuk menyerahkan proposal pembangunan alternatif kepada rakyat, proses-proses dialog yang mewakili suatu langkah kritis dalam menentukan kebijakan pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

Bila negara memaksakan keinginannya sendiri, itu sebenarnya gejala bahwa kedaulatan rakyat sedang disingkirkan.

|Afrizal Akmal, 2014|

read more
Ragam

Bayi-Bayi Cacat ini Korban Merkuri?

Sejak pagi, Nidar (31), warga Keude Panga Kecamatan Panga, Aceh Jaya yang merupakan istri seorang penambang emas di Gunong Ujeun, Yusri (35) sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa mules pun semakin terasa sehingga ia segera dibawa oleh keluarganya menuju RSU Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Jumat tahun lalu (17 Mei 2013). Di tengah perjalanan, Nidar tak mampu lagi bertahan. Ia pun terpaksa bersalin di mobil saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak keduanya ini kemudian diberi nama Aulida Putri.

Belum hilang rasa sakit akibat persalinan tanpa bantuan petugas medis, ia malah harus merasakan sedih begitu melihat kondisi fisik anaknya yang cacat fisik. Di dahi bayi itu terdapat sebuah benjolan cukup besar di antara dua matanya. Jari telunjuk dan jari tengah pada tangan kiri bayi itu juga puntung, seperti juga jari manis di kaki kirinya. Sementara, dua jari kaki lainnya juga tumbuh tidak sempurna.

Saat tiba di RSU Cut Nyak Dhien, Nidar dan bayinya langsung diberikan pertolongan pertama dan hari itu juga dirujuk ke RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. “Melihat kondisi anak saya, dokter di RS Cut Nyak Dhien menanyakan apa yang sering saya makan selama hamil. Saya katakan, suka makan kerang. Dokter itu pun menuding bahwa kerang yang saya makan tercemar merkuri,” cerita Nidar, Kamis (13/2/2014).

Kepada media lokal yang menanyakan lebih lanjut asal kerang (lokan) yang ia makan, Nidar menjawab, bahwa saat ia hamil, suaminya bekerja sebagai penambang emas di Gunong Ujeun Kecamatan Krueng Sabee. Setiap pulang bekerja, suaminya kerap membeli kerang yang dijual di Pasar Krueng Sabee.

Pasar dimaksud berlokasi tak jauh dari Kuala Kabong, muara sungai Krueng Sabee yang airnya berasal dari mata air Gunong Ujeun, tempat ratusan penambang tradisional mengambil batu mengandung emas. Aliran sungai itu melewati desa Panggong, Curek, Paya Seumantok, hingga Desa Kabong. Di desa-desa itu banyak terdapat tempat pengolahan emas menggunakan air raksa, karena penambang hanya mengambil batu emas untuk kemudian dibawa turun ke desa-desa sekitar, untuk dipisah unsur emasnya dari batu atau tanah.

Alat-alat pengolahan emas di sepanjang sungai tersebut tidak memiliki tempat pembuangan limbah yang baik. Sebagian hanya menggunakan kolam limbah dengan dinding tanah, sebagian lagi malah membuang  ke saluran pengairan untuk sawah, bahkan ada yang langsung membuangnya ke sungai.

Sebenarnya bukan penambang emas yang melakukan pencemaran merkuri–meskipun mereka tetap saja merusak lingkungan dengan melubangi lereng-lereng gunung hingga bisa menyebabkan longsor. Namun, aktivitas pengolahan emas dengan alat berat (warga setempat menyebutnya gelondong) yang menggunakan air raksa sebagai bahan pemisah emas lah yang berperan besar dalam pencemaran merkuri, karena pembuangan limbah yang tidak ramah lingkungan. Tanpa mereka sadari, perilaku ini telah menimbulkan masalah kesehatan yang serius, bahkan menyebabkan kematian.

Kisah tragis juga dialami seorang bayi di Desa Blang Baro pada tahun 2008 lalu yang ususnya terburai akibat tidak memiliki kulit perut. (Nama bayi dan keluarganya sengaja tak disebut atas pertimbangan kemanusiaan -red). Saat bayi ini masih dalam kandungan, banyak tetangganya yang bekerja sebagai pengolah batu emas yang dibawa dari Gunong Ujeun, termasuk kakek dari bayi malang itu. Lokasi mesin gelondong untuk memisahkan emas dari batu dan tanah gunung itu pun berada di sekitar rumahnya.

Saat itu, eksploitasi emas dari Gunong Ujeun sedang pada puncaknya. Tak heran, puluhan kilogram air raksa digunakan secara massal di sekitar tempat tinggalnya yang masuk dalam wilayah Kecamatan Panga. Hasil penelitian pada air sumur warga yang dilakukan Dinkes Aceh Jaya di kecamatan tersebut, menyebutkan tingkat pencemaran merkuri mencapai 83 persen, karen dari 12 sampel air yang diteliti, 10 sampel dinyatakan tercemar merkuri.

Ditambah lagi, perilaku pekerja yang jarang menggunakan sarung tangan dan penggunaan merkuri di tempat terbuka, menambah tingkat kerawanan paparan logam berat itu.

Bidan desa bernama Rosalina yang membantu proses persalinan di rumah pasien itu, tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan bayi terebut. Apalagi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat yang berjarak belasan kilometer dari rumah pasien.

“Bayi itu meninggal sesaat setelah lahir. Hampir semua bidan dan petugas Puskesmas di sini tahu kejadian itu yang kami yakini sebagai dampak dari pencemaran merkuri,” ujar Kepala Puskesmas Panga yang akrab dipanggil Mami, kepada Serambi, Kamis lalu. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Tim Gabungan Hentikan Penambangan Emas Ilegal Nagan Raya

Tim gabungan bentukan Bupati Nagan Raya, Selasa (3/12) kemarin menghentikan aktivitas penambangan emas rakyat di sepanjang aliran Krueng Nagan, karena tidak berizin (ilegal) dan mencemari lingkungan hidup.

“Aktivitas penambangan rakyat itu selama ini dikelola oleh koperasi dan masyarakat. Tapi mereka tidak memiliki izin dari Pemkab Nagan Raya, sehingga aktivitasnya harus dihentikan karena melanggar perundang-undangan,” kata Kepala Satpol PP dan WH, Drs Muhajir Hasballah kepada media, Selasa (3/12/2013) siang.

Dia sebutkan bahwa tim yang melakukan penghentian aktivitas tambang emas itu terdiri atas personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Pertambangan dan Energi, polisi, TNI, unsur Kecamatan Seunagan Timur, serta petugas Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Nagan Raya.

Menurut Muhajir, salah satu lokasi penambangan emas yang dihentikan aktivitasnya kemarin berada di Gampong Tuwi
Meuleusong, Kecamatan Seunagan Timur, Nagan Raya. Di lokasi penambangan itu, kata Muhajir, terdapat sejumlah bukti yang mengindikasikan adanya aktivitas penambangan. Di antaranya satu unit beko dan dua buah tempat penyaringan emas.

Berdasarkan keterangan pemilik lokasi tambang kepada petugas, mereka belum menambang emas, karena masih dalam tahap membersihkan lahan lokasi penggalian.

Pihak koperasi tambang juga mengaku sudah memperoleh izin lahan untuk melakukan penambangan seluas 42 hektare. Namun, keterangan ini dibantah oleh petugas dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Nagan Raya, karena penambangan itu belum lengkap surat izin operasionalnya. Itu sebab, aktivitasnya harus dihentikan sementara waktu, sampai izin dari pemkab setempat dikeluarkan.

Sebelumnya, Bupati Nagan Raya, Drs HT Zulkarnaini menyatakan, meski sejumlah koperasi dan perusahaan pertambangan sudah mengajukan izin kepada pemkab setempat, tapi kini harus dievaluasi secara menyeluruh dan dilakukan audit lingkungan untuk mengetahui dampak penambangan itu terhadap kerusakan lingkungan hidup.

“Apalagi lokasi penambangan rakyat itu berada di sepanjang aliran Krueng Nagan dan dikhawatirkan sungai akan tercemar oleh limbah merkuri. Tentunya akan sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang sehari-hari mengonsumsi air sungai tersebut,” ujarnya. Semua usaha tambang itu ditutup, kata Bupati Nagan, supaya daerah dan masyarakat tidak dirugikan. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Perusahaan Tambang Hancurkan Lingkungan Aceh

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar menilai tak ada keuntungan apapun yang diperoleh daerah dari operasional perusahaan tambang emas yang disebut-sebut melakukan eksplorasi di kawasan hutan Geumpang, Kabupaten Pidie.

“Boleh dibilang, kita rugi. Dari sisi pendapatan atau ekonomi kita rugi dari sisi kerusakan lingkungan juga tinggi sekali. Muaranya ya, ke bencana,” kata Zulfikar sebagaimana dilansir Serambi Indonesia, Sabtu (16/11/2013) terkait penghentian eksplorasi 14 perusahaan tambang emas di kawasan hutan Geumpang karena belum turunnya izin pinjam pakai kawasan hutan dari Gubernur Aceh.

Dari sisi pendapatan, menurut Zulfikar tidak ada yang menguntungkan dari karena disinyalir izin yangh dikantongi oleh perusahaan lebih banyak di bawah tangan sehingga tidak mengacu pada peraturan. “Kalau pun ada izin dari kabupaten, itu kan masih sepihak. Sementara kalau mengacu ke UUPA, harus juga ada koordinasi dengan provinsi. Itu satu hal dari sisi PAD yang menurut kita lebih banyak permainan antar-kekuasaan,” tandas Zulfikar.

Kemudian, lanjutnya, dari sisi kerusakan ekosistem, ketika dilakukan eksplorasi di wilayah-wilayah hutan lindung, dampaknya sangat tinggi apalagi mereka tidak mengantongi izin dari kementerian kehutanan. Padahal, seluruh aktivitas di hutan lindung harus ada izin dari menteri.

Dikatakan Zulfikar, telah terjadi kerusakan aliran sungai dan habitat di sana. Juga terjadi kerentanan pangan akibat terganggunya pasokan air dari berbagai daerah aliran sungai yang rusak dalam wilayah Geumpang dan sekitarnya.

“Bencana rutin lainnya adalah banjir bandang dan longsor. Konfkik satwa juga sangat tinggi di wilayah ini. Pemerintah Aceh harus segera turun tangan dengan tidak memperbolehkan penerbitan izin eksplorasi. Ini juga termasuk illegal mining. Ketika terjadi bencana seperti selama ini, harusnya Pusat ikut bertanggungjawab,” tegas Zulfikar.

Zulfikar menyerukan Gubernur Aceh segera menyurati kementerian terkait sekaligus menegur izin yang tidak sampai ke tingkat gubernur karena sebenarnya harus ada izin yang dikeluarkan di tingkat provinsi.

“Selama ini mereka mengantongi izin dari kabupaten tetapi pernah satu saat kita tanya ke kabupaten, mereka (pihak kabupaten) mengaku nggak tahu dan mengatakan kegiatan mereka (perusahaan) lebih banyak eksplorasi. Ini kan aneh, kok sudah lebih tiga tahun masih eksplorasi (mencari) terus, sementara beberapa hasil sudah ada yang dibawa, ini kan ilegal namanya,” demikian Zulfikar.()

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

14 Perusahaan Tambang di Pidie Tak Miliki Izin Pakai Hutan

Sebanyak 14 perusahaan tambang emas menghentikan kegiatan eksplorasi (penelitian) di kawasan hutan Geumpang, Pidie karena belum turun surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Gubernur Aceh. Para pengusaha memberhentikan operasi meski izin eksplorasi dari Pemkab Pidie berlaku hingga 2015.

Kepala Bidang (Kabid) Pertambangan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Energi Sumber Daya Mineral (Disperindagkop-ESDM) Pidie, Teuku Irwansyah MM, menjawab Serambi, Sabtu (16/11/2013) mengatakan, ke-14 perusahaan tersebut tetap menghentikan eksplorasi sebelum keluar surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari gubernur, menyusul surat izin sebelumnya telah berakhir.

Dijelaskan Irwansyah, izin yang diberikan Pemkab Pidie kepada perusahaan tersebut masih berstatus eksplorasi, belum dinaikkan menjadi eksploitasi. Masa berakhir izin eksplorasi yang diberikan Pemkab Pidie kepada 14 perusahaan tambang emas tersebut bervariasi. Ada yang 2014 dan ada juga tahun 2015. Kegiatan eksplorasi berlangsung sejak 2009 dan 2010. “Untuk dinaikkan status menjadi eksploitasi, ke-14 perusahaan tersebut harus melakukan eksplorasi selama delapan tahun. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral Batubara,” kata Irwansyah.

Ia mengatakan, dari 14 perusahaan tambang emas yang telah memperoleh izin melakukan eksplorasi juga dibebankan membayar iuran tetap (landrent) per tahun berdasarkan luas lahan yang dikeluarkan izin.

Landrent tersebut, kata T Irwansyah, adalah penerimaan negara bukan pajak, yang disetor ke kas negara oleh perusahaan yang melakukan eksplorasi. Kemudian Pemkab Pidie menerima bagi hasil landrent yang dikirim dari pemerintah pusat. “Bagi hasil tersebut masuk ke dalam kas daerah yang kemudian menjadi pendapatan asli daerah (PAD),” katanya.

Ditanya berapa landrent yang telah masuk ke kas daerah, katanya, hingga kini pihak dinas sedang menghitung iuran tetap bersumber dari 14 perusahaan tambang tersebut. “Insya Allah, Senin (18/11) angka landrent sudah bisa kita berikan,” demikian Irwansyah.(naz)

Sumber: serambinews.com

read more
Sains

Peneliti Temukan Pohon Mengandung Emas

Uang mungkin tidak tumbuh di pohon, tapi para peneliti telah mengkonfirmasi adanya kandungan emas pada daun di beberapa jenis pohon.

Para peneliti dari Australia mengatakan bahwa partikel-partikel pada daun di pohon Eucalyptus mengindikasikan adanya deposit emas terkubur beberapa meter di bawahnya.

Mereka percaya penemuan tersebut menawarkan cara baru untuk mencari lokasi logam yang sulit ditemukan tersebut.

Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Journal Nature Communication.

Dr. Mei Lintern, seorang ahli geokimia dari Australia’s Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO), mengatakan “kami telah menemukan banyak deposit di Australia dan di tempat lain di dunia juga.”

“Sekarang kami mencoba menemukan yang lebih sulit lagi yang terkubur di bawah puluhan meter sendimen sungai dan bukit pasir.”

“Dan pohon-pohon lah yang menyediakan metode untuk kami agar bisa melakukan ini.”

Harta Terkubur

Partikel emas ditemukan pada tanah di sekitar pohon Eucalyptus, namun para peneliti mengkonfirmasi bahwa pohon tersebut juga menyerap elemennya.

Menggunakan synchrotron Australia – sebuah mesin besar menggunakan X-ray untuk memeriksa materi dengan detil – mereka menemukan jejak emas pada dedaunan, ranting, dan kulit beberapa pohon.

Jumlah logam berharga tersebut masih sangat sedikit.

Kami telah melakukan perhitungan, dan menemukan bahwa kita perlu 500 pohon yang tumbuh di atas deposit emas memiliki cukup emas di pohon itu sendiri untuk membuat sebuah cincin emas, sebut Dr Lintern.

Walaupun demikian, adanya partikel tersebut menunjukkan adanya deposit besar terkubur lebih dari 30M (100ft) di bawahnya.

Dr. Lintern mengatakan, percaya bahwa pohon-pohon itu seperti pompa hidrolik. Mereka menaikkan air dari akarnya, dan pada saat itu juga mereka menyerap partikel-partikel kecil emas dari jaringan pembuluh ke daun.

Saat ini, logam ditemukan dalam singkapan, dimana bijih muncul di permukaan, atau terdeteksi melalui pengeboran.

Tapi para peneliti mengatakan bahwa menganalisa tumbuhan dapat menjadi cara yang lebih baik untuk menemukan deposit emas yang belum tersentuh.

Dr. Lintern menyebutkan bukan hanya percaya bahwa, tapi ini adalah salah satu cara merenggangkan explorasi dollar kedepan, karena eksplorasi deposit ini bisa cukup mahal, tapi juga meminimalisir kerusakan pada lingkungan karena kita hanya mengambil sampel paling kecil dari pohon itu sendiri, selama dedaunan dan ranting-ranting tumbuh di sana.

Para peneliti mengatakan bahwa tehnik itu bisa diterapkan untuk menemukan jenis mineral lain juga seperti besi, tembaga dan timah di berbagai belahan dunia.

Sumber : bbc.co.uk

read more