close

emisi

Perubahan Iklim

Tingkat Emisi Rujukan Indonesia Bagi Hutan Di Tingkat Provinsi

Jakarta – Forest Reference Emission Level (FREL) atau Tingkat Emisi Rujukan Indonesia untuk REDD+ adalah 0,568 GtCO2e per tahun. Angka ini dijadikan benchmark untuk mengevaluasi kinerja REDD+ pada periode 2013-2020. Pada Maret 2019, Dirjen PPI KLHK mengalokasikan FREL untuk tingkat subnasional (provinsi), yang berlaku hingga akhir tahun 2020. FREL ini hanya untuk deforestasi dan degradasi hutan dan tidak mencakup dekomposisi gambut. Alokasi ini telah memperhitungkan buffer untuk deforestasi sebesar 45,52 persen dan untuk degradasi sebesar 33,42 persen untuk memastikan emisi dari tingkat subnasional tidak lebih tinggi dari emisi yang telah ditetapkan secara nasional.

Berdasarkan alokasi FREL subnasional, lima provinsi mendapatkan alokasi FREL tertinggi untuk deforestasi dan degradasi hutan, yaitu Papua, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Pemerintah juga telah menyusun Indeks Risiko Emisi (1990-2012). Sebagian besar provinsi di Sumatera dan Jawa dikategorikan memiliki indeks risiko emisi yang sangat sangat tinggi, sangat tinggi, atau tinggi. Pulau Papua memiliki indeks risiko emisi yang rendah (biru) sementara beberapa wilayah di Kalimantan dikategorikan memiliki indeks risiko yang rendah meskipun Kalimantan adalah lokasi deforestasi tertinggi di beberapa tahun terakhir ini.

Dalam tahun-tahun terakhir, deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi di Kalimantan. Pada tahun 2016-2017, deforestasi di Kalimantan mencapai 229.800.000 hektare atau 48 persen dari total deforestasi nasional. Berdasarkan alokasi FREL subnasional, agar bisa mendapatkan insentif REDD+, deforestasi di Kalimantan harus dikurangi menjadi hanya 144.863 hektare hingga tahun 2020.

Untuk bisa mendapatkan insentif REDD+, hingga 2020 deforestasi yang boleh terjadi di Provinsi Papua adalah 52.948,82 hektare (jika hutan primer) atau 70.177,22 hektare (jika hutan sekunder) sementara degradasi hutan yang boleh terjadi adalah 104.100,86 hektare.

Untuk Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki tingkat deforestasi yang rendah secara historis namun memiliki tren cenderung meningkat. Untuk bisa mendapatkan insentif REDD+, pulau Papua digabung justru diperbolehkan untuk meningkatkan laju deforestasinya menjadi 75.880 hektare (jika hutan sekunder) atau 57.251 hektare (jika hutan primer) hingga tahun 2020, yang berarti lebih tinggi dibandingkan deforestasi saat ini (2016-2017) yang hanya mencapai 48.600 hektare.

Alokasi FREL subnasional bukanlah rencana untuk melakukan deforestasi, bukan pula untuk menghentikannya, melainkan benchmark untuk mendistribusikan insentif REDD+ dari pemerintah nasional ke pemerintah subnasional. Dengan mengasumsikan bahwa insentif REDD+ adalah sesuatu yang menarik bagi pemerintah provinsi, alokasi FREL subnasional yang lebih rendah dapat memberikan dorongan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melindungi hutan di wilayahnya. Namun, alokasi FREL yang sangat rendah atau lebih rendah juga bisa menjadikan REDD+ tidak menarik pada pemerintah daerah apabila tidak ada insentif di depan (ex-ante) yang diberikan kepada mereka untuk membantu mereka menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan di yurisdiksi mereka karena FREL yang lebih rendah berarti energi dan biaya lebih besar yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan janji insentif sebagai pembayaran atas kinerja.

Tanggapan pemerintah daerah terhadap alokasi FREL subnasional ini belum terlalu jelas. Pemerintah pusat harus memperjelas makna angka-angka ini untuk masyarakat dan juga untuk pemerintah daerah, khususnya implikasinya terhadap hutan yang diperbolehkan untuk digunduli atau dirusak. Selain itu, perlu ada tinjauan mengenai rencana pembangunan daerah mana yang harus disesuaikan untuk dapat menurunkan emisi sesuai dengan alokasi FREL subnasional ini. [rel]

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Kurangi Emisi, Berikan Indonesia Keuntungan Finansial

Kepala Badan Pengelola Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation atau yang disingkat REDD+ Heru Prasetyo mengatakan Norwegia sepakat dengan empat argument yang diajukan Indonesia mengenai REDD+.

“Empat argument itu adalah Ekonomi dan Finansial, Pemerintah atau tata kelola, peningkatan kesejahteraan dan Keadilan dan hak masyarakat. Pihak Norwegia menyambut positif,” ujar Heru kepada wartawan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (22/4).

Empat argumen itu, pertama, kata Heru, bila Indonesia berhasil mengurangi emisi maka akan ada keuntungan ekonomi dan finansial yang diberikan. Problemnya, lanjut dia, didalam diskusi global saat ini hal itu masih lesu.

Heru mengatakan argument itu terjadi dikarenakan pada awal pengenalan REDD+ ada anggapan bahwa program itu akan membawa uang ke daerah. Hal itu perlu dikoreksi, sebab pasar belum terbentuk. Bila dipaksakan akan stress sendiri.

Lalu yang kedua, terkait efisiensi dari penerapan peraturan. Menurut Heru, kehadiran REDD+ adalah memperbaiki pemerintah soal efisiensi serta transparansi dan melihat apakah UU lingkungan hidup di Indonesia diimplementasikan dengan baik.

“Kemudian kekuasaan yang berbagi antara pusat dan daerah,” ujar dia.

Heru mengatakan argument ketiga merupakan suatu keputusan yang sangat fundamental dalam pelaksanaan Redd+. Jika itu terlaksana keadilan dan hak bisa didorong.

“Keempat argument itu setelah disepakati oleh Norwegia langsung di implementasikan di lapangan,” ucap dia.

Heru mengatakan pihaknya menerapkan 5 elemen dalam penerapan strategi nasional REDD+.

Pertama, Institusi harus ditingkatkan kapasitasnya. Lalu kedua regulasi dan Hukum harus ditegakkan. Kemudian keterlibatan dari seluruh stakeholder harus dilakukan.

“Keempat, kita harus berubah pikiran kita dari eksploitasi terhadap aset menjadi lebih menjaga untuk anak cucu kita,” ujar Heru.

Terakhir, perlunya dasar-dasar itu dibangun seperti peta yang baik, data yang jujur dan transparansi.

Di tempat yang sama, Seketaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan REDD+ harus menjadi jalan reformasi yang menjunjung hak-hak masyarakat adat.

“Karena mereka memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam. Serta kehidupan sosial budaya. Hal itu diatur oleh hukum adat dan lembaga adat dalam mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat,” ujar Abdon.

Ia mengatakan REDD+ bukanlah tujuan melainkan sebuah cara untuk membuka dialog terbuka antara pemerintah dengan masyarakat adat yang selama ini tertutup. “Kita ingin Norwegia lebih mempertajam prioritas dan pendanaan,” ujar Abdon.

Sebelumnya Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Tine Sundtoft, akan datang ke Jakarta sore ini, Selasa (22/4/2014), kunjungan ini dalam rangka memperkuat kemitraan Indonesia-Norwegia dalam pelestarian hutan dan penurunan emisi yang berkelanjutan. Serta, untuk memastikan ketersediaan karbon dunia dan memastikan lingkungan hidup yang sehat bagi generasi yang akan datang.

Kunjungan kerja Sundtoft ke Indonesia pada 22-25 April 2014 ini menjadi bentuk penguatan kerjasama dan koordinasi yang baik sejak kedua negara menandatangani Letter of Intent (LoL) pada Mei 2010.

Sumber: beritasatu.com

read more
Ragam

Peternakan Jerman Ini Meledak Karena Kentut Sapi

Gara-gara kentut dan sendawa sapi perah, sebuah peternakan di Hesse, Jerman meledak. Ledakan itu membuat atap kandang sapi rusak dan melukai 1 sapi lain.

Kentut dan sendawa sapi menghasilkan gas methane atau metana. “Gesekan listrik dengan gas tersebut memicu ledakan dan percikan api,” demikian pernyataan kepolisian setempat seperti dilansir dari Huffington Post dan dimuat Liputan6.com, Rabu (29/1/2014).

Atap peternakan itu rusak, lanjut polisi, sementara satu sapi menjalani perawatan akibat luka bakar. Namun tak ada orang yang terluka dalam insiden tersebut.

Menurut media tersebut, gas methane yang dihasilkan kentut dan sendawa 90 sapi diduga biang keladi penyebab peternakan sapi perah Jerman itu meledak. Meski belum diketahui berapa pasti kuantitasnya.

Hasil gas metana yang dihasilkan oleh sapi perah itu bervariasi. Beberapa ahli mengatakan sapi-sapi itu menghasilkan 100 hingga 200 liter gas methane per hari, sementara yang lain mengklaim sapi-sapi itu bisa menghasilkan 500 liter. Jumlah yang sebanding dengan polusi dari mobil dalam satu hari. Demikian dinyatakan oleh How Stuff Works.

Tahun lalu, ilmuwan Argentina mengumumkan bahwa mereka telah menemukan cara untuk mengubah gas yang diciptakan dari hasil gas pembuangan sapi menjadi bahan bakar. Mereka mengklaim inovasi itu bisa mengurangi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Namun hingga kini belum terdengar kabar kelanjutan penelitian tersebut.

Dilansir dari berbagai sumber, methane adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Gas yang murni tidak berbau, tapi jika digunakan untuk keperluan komersial, biasanya ditambahkan sedikit bau belerang untuk mendeteksi kebocoran yang mungkin terjadi.

Methane juga termasuk salah satu gas rumah kaca. Gas tersebut merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Methane dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi.

Methane juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. []

Sumber: liputan6

read more
Sains

Teknologi Sensor Kurangi Emisi & Hemat Energi

Gedung-gedung baik perumahan maupun perkantoran adalah salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

Gedung mengonsumsi energi untuk penerangan, alat-alat elektronik dan sistem pendingin di wilayah tropis atau pemanas ruangan di wilayah yang memiliki empat musim.

Bruce Nordman, peneliti dari  dan tim berhasil menemukan teknologi sederhana yang bisa mengurangi konsumsi (sekaligus biaya) energi dan emisi gas rumah kaca.

Teknologi ini adalah teknologi berbasis sensor, yang mampu mendeteksi keberadaan manusia di dalamnya. Caranya mudah. Alih-alih memasang sensor di semua ruangan, mereka memantau jaringan dan pemakaian data dari dan ke dalam ponsel pintar, komputer, laptop dan segala jenis peralatan yang dipakai oleh karyawan. Dengan begitu mereka bisa mendeteksi keberadaan penggunanya.

Dengan mendeteksi lokasi-lokasi pengguna tersebut, mereka bisa memonitor penggunaan ruangan, menaikkan atau mengurangi suhu dalam ruang untuk menghemat energi sekaligus mengurangi biaya dan emisi gas rumah kaca. Ruangan yang tidak atau jarang terpakai bisa disesuaikan suhu ruangannya agar tidak memboroskan energi, setidaknya sampai ruangan itu dipergunakan kembali.

Tim peneliti menyatakan, keutamaan dari pendekatan ini adalah: Pertama, mereka tidak memerlukan peralatan baru, sehingga tidak memerlukan biaya instalasi dan perawatan. Kedua mereka bisa menggunakan fasilitas sensor jaringan yang telah tersedia untuk mendeteksi semua peralatan karyawan yang terhubung dalam jaringan Internet. Yang terakhir dengan bantuan sensor jaringan mereka bisa mendeteksi secara detil jumlah penghuni, aktivitas dan identitas mereka.

Dengan masuk ke jaringan, mereka tidak perlu memasang sensor di setiap ruangan sehingga lebih praktis dan hemat biaya. Informasi hasil deteksi jaringan ini bisa diserahkan ke pengelola gedung agar menyesuaikan suhu ruangan sesuai dengan tingkat penggunaannya.

Sumber: Hijauku.com

read more
Tajuk Lingkungan

Penipu Emisi Karbon

Pemerintah Aceh telah melacurkan diri dengan menjual stok carbon hutan Ulu Masen seluas + 750.000 Ha yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Aceh Tengah ke pasar Internasional dengan memakai jasa perusahaan Carbon Conservation Pty Ltd yang berkedudukan di Lismore, New South Wales, 2480, Australia.

“Penjualan” ini dilakukan dimasa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang memberikan persetujuan kepada Carbon Conservation melakukan investasi dalam jumlah besar untuk membangun kepercayaan investor dan masyarakat  Internasional terhadap Ulu Masen Credit. Perjanjian penjualan dan pemasaran proyek ekosistem Ulu Masen untuk investasi ekonomi Hijau di Aceh dilakukan pada Tanggal 2 Juni 2008. Perjanjian ini membuat, mengatur dan menjalankan kampaye publisitas dan membangun hubungan baik dengan penanam modal, institusi keuangan dan perantara, menciptakan pasar  yang sehat dan menguntungkan bagi Ulu Masen Credit.

Setelah mendapat kepercayaan dari Irwandi Yusuf, Carbon Conservation menjual stok carbon Ulu Masen dengan melakukan joint dan bekerjasama dengan  Merril Lynch Commodities (Eropa) Limited (ML). Tujuannya  untuk masuk dan terikat dalam Verified Emissiens Reductions Purchase Agreement atau Perjanjian Pembelian Pengurangan Emisi yang Terverifikasi (VERPA) di tingkat Internasional.

Point-point yang disetujui oleh Carbon Conservation dan ML yang mengatur (a) untuk setiap periode verifikasi antara tahun 2008-2011, ML akan membeli semua Ulu Masen Credit yang dihasilkan Proyek, hingga maksimum 500.000 Ulu Masen Credit dalam setiap periode verifikasi, ada akan diberi opsi berjumlah 700.000, di setiap periode-periode verifikasi tersebut, dengan harga 4 Dolar Amerika per Ulu Masen Credit;

(b) untuk setiap periode verifikasi antara tahun 2012 dan 2013, ML akan diberi opsi untuk membeli/mendapatkan semua Ulu Masen Credit yang dihasilkan Proyek, hingga jumlah maksimum 700.000 Ulu Masen Credits dalam setiap periode-periode verifikasi tersebut, dengan harga 7 Dolar Amerika Serikat per Ulu Masen Credit;

(c) Pada kondisi ML menjual Ulu Masen Credit pada harga melebihi 7 Dolar Amerika Serikat per Ulu Masen Credit, pembagian keuntungan akan dibayar oleh ML;

(d) ML akan membayar, bergantung pada hasil uji kelayakan, 1 juta Dolar Amerika Serikat untuk opsi yang dijelaskan pada paragraf (a) dan (b) diatas.

Berdasarkan perjanjian ini, Carbon Conservatioan sebagai perpanjangan tangan pemerintah Aceh yang akan memasarkan dan menjual Ulu Masen Credits di dunia global. Penjualan dimaksud demi keuntungan masyarakat Aceh, pendapatan dari Ulu Masen Credit dari Proyek dibagi dua ; (a) 30% pertama dari Ulu Masen Credit yang dihasilkan pada setiap periode Verifikasi akan dialokasikan menjadi penyangga Risiko Manajemen (RMB/Risk Manajement Buffer).

(b) Sisanya sebesar 70% dari Ulu masen Credit yang dihasilkan akan dijual dan pendapatan yang dihasilkan dari penjualan dibagi lagi untuk biaya/jasa Agen Penagih/Pengumpul, Pembayaran jasa pemasaran, rekening proyek.
Jumlah penjualan yang dibayarkan ke Agen Pengumpul (Rekening Pengumpul) di transfer uang/dibayarkan/dibagikan untuk biaya/jasa Agen Penagih/Pengumpul, Pembayaran jasa pemasaran, rekening proyek. Rekening proyek dipegang oleh pihak ketiga (Escrow) dibagikan/dibayarkan untuk biaya proyek dan dana bantuan.

Sampai akhir tahun 2011 uang yang dijanjikan oleh pihak ketiga; dalam hal ini adalah Carbon Conservatioan dan Merril Lynch Commodities; belum ada kepastian berapa harga karbon Ulu Mesen. Nilai uang yang dibayar berdasarkan besar serapan carbon dari hutan Ulu Masen seluas + 750.000 Ha.

Perhitungan kasar berapa produksi karbon Ulu Masen dalam satu hektar adalah sebesar 132 ton/ha. Luas hutan 750.000 Ha bisa memproduksi carbon sebanyak 100.500.000 ton/hektar. Nilai karbon dikalikan dengan US$ 4 Dolar Amerika. Betapa besarnya uang didapatkan dari stok karbon Ulu Masen sebesar US$ 3.680.000.000.000 dolar Amerika.

Sangat fantastis, diatas kertas Ulu Masen akan menjadi petro dollar penganti Lhokseumawe. Tapi sekarang, uang dolar sebanyak itu tidak ada.  Perhitungan nilai uang karbonnya sangat besar, ironisnya tidak ada hasil apa-apa. Seperti kata pepatah tong kosong nyaring bunyinya, akhirnya pemerintah Aceh sampai dengan akhir tahun 2011 tidak mendapatkan apa-apa. Perjanjian dengan Carbon Conservation sampai dengan tahun 2013.

Sepertinya pembayaran konpensasi stock karbon telah diganti dengan keikutsertakan Gubernur Aceh pada sejumlah event internasional di luar negeri. Aceh bakal kena tipu lagi dan ditipu uang emisi karbon oleh pihak ketiga. Buruk sekali, uang karbon Aceh hanya dihargai dengan menjadi peserta konferensi internasional. Atau kemungkinan dana stok karbon Aceh telah dikorupsi  oleh pihak ketiga dalam perjanjian tersebut.  []

Catatan redaksi: Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Tanah Rencong, Edisi November – Desember 2011. Tulisan ini dimunculkan kembali karena masih relevan dengan keadaan sekarang.

read more
Perubahan Iklim

Teknologi dan Informasi Berpotensi Kurangi Emisi

Penggunaan informasi dan teknologi komunikasi berpotensi memangkas emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global hingga 16,5% pada 2020. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “GeSI SMARTer2020: The Role of ICT in Driving a Sustainable Future” yang dirilis baru-baru ini.

Laporan SMARTer2020 menunjukkan, peningkatan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi (information and communication technology/ICT) seperti konferensi video jarak jauh dan teknologi bangunan pintar (smart building) bisa memangkas konsentrasi emisi gas rumah kaca sebesar 16,5% pada 2020 dari level yang diproyeksikan.

Nilai penghematan energi dan bahan bakar yang bisa diraih dari aksi hijau ini mencapai $1,9 triliun, dengan jumlah pengurangan emisi sebesar 9,1 Gigaton emisi setara CO2 (GtCO2e). Nilai manfaat peningkatan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi ini tujuh kali lipat lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan oleh sektor ICT pada periode yang sama.

Laporan terbaru ini menemukan nilai penghematan yang 16% lebih banyak dari laporan sebelumnya yang dirilis empat tahun yang lalu. Laporan SMARTer2020 mengevaluasi potensi pengurangan emisi di enam sektor ekonomi yaitu: energi, transportasi, proses manufaktur, pertanian, bangunan serta sektor jasa dan konsumen

Pengurangan emisi dari teknologi virtualisasi seperti komputasi awan (cloud computing) dan konferensi video, tata kelola ternak pintar yang mampu mengurangi emisi metana, hingga efisiensi yang diraih dari optimalisasi mesin dalam proses manufaktur diulas oleh laporan ini.

Secara keseluruhan ada 32 solusi berbasis informasi dan teknologi komunikasi yang bisa diterapkan guna membantu mengatasi krisis perubahan iklim. Kebijakan pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi dalam isu perubahan iklim masih dirasa sangat kurang.

Laporan ini menyeru dunia melakukan aksi konkret menerapkan solusi informasi dan teknologi komunikasi, guna mewujudkan pola pembangunan ekonomi rendah karbon. Laporan ini disusun dari penelitian di tujuh negara yaitu Brasil, Kanada, China, Jerman, India, Inggris dan Amerika Serikat.

Sumber: Hijauku.com

read more
Perubahan Iklim

Dampak Perubahan Iklim Semakin Parah

Laporan terbaru Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), yang dirilis Kamis (5/11) menyatakan hanya tekad yang kuat yang bisa mencegah kenaikan suhu bumi melampaui 2°C.  Laporan berjudul Emissions Gap Report 2013 ini disusun oleh 44 lembaga ilmiah di 17 negara.

Menurut UNEP walau semua negara berhasil mencapai target iklim mereka, konsentrasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dunia, akan 8-12 Gigaton setara CO2 (GtCO2e) lebih banyak dari batas emisi agar kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C. Hal ini terungkap dalammenjelang Konferensi Perubahan Iklim yang akan berlangsung di Warsawa, Polandia.

Jika jarak ini tidak bisa dicapai atau dipersempit pada 2020, peluang untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C akan tertutup, sehingga dunia perlu menciptakan target efisiensi energi dan biomassa yang lebih ambisius dan lebih cepat (sehingga lebih mahal) dengan mengandalkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage).

Agar dunia tetap dalam jalur menekan kenaikan suhu bumi di bawah 2°C, emisi gas rumah kaca harus ditekan maksimal 44 GtCO2e pada 2020, sehingga memuluskan jalan pemangkasan emisi pada periode berikutnya yaitu 40 GtCO2e pada 2025, 35 GtCO2e pada 2030 dan 22 GtCO2e pada 2050.

Karena target ini dimulai pada 2010, laporan ini menyatakan peluang untuk mencapai target ini semakin berat. “Jika dunia terus menunda aksi, maka krisis dan dampak perubahan iklim akan semakin parah. Efeknya akan terjadi dalam waktu dekat,” ujar Direktur Eksekutif UNEP, Achim Steiner.

Dan jika peluang untuk menekan suhu bumi di bawah 1,5°C sudah tertutup, maka kesempatan untuk memerkenalkan teknologi yang ramah iklim menuju masa depan yang lebih hijau dan lestari akan semakin terhambat.

Menurut UNEP, jumlah total emisi gas rumah kaca dunia 2010, telah mencapai 50,1 GtCO2e. Jika tidak ada aksi penurunan emisi, konsentrasi gas rumah kaca bumi akan mencapai 59 GtCO2e pada 2020 atau 1 GtCO2e lebih tinggi dibanding perkiraan tahun lalu. Para ilmuwan sepakat, jika dunia gagal menekan kenaikan suhu bumi di bawah 2°C pada akhir abad ini, kerusakan akibat krisis iklim tak bisa dielakkan lagi.

Sumber: Hijauku.com

read more