close

haka

Kebijakan Lingkungan

Bahas Konservasi, BKSDA Aceh dan YEL-SOCP bertemu Bupati Aceh Besar

Banda Aceh – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, bersama Yayasan Ekosistem Lestari – Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL-SOCP) melaksanakan pertemuan/audiensi dengan Bupati Aceh Besar, Ir. Mawardi Ali, di kediaman pribadi Bupati, Gampong Meunasah Baro, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Jum’at (31/01/2020).

Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar mengatakan bahwa pertemuan tersebut mendiskusikan berbagai kegiatan atau program konservasi yang telah dan akan dilaksanakan oleh BKSDA Aceh dan YEL-SOCP di wilayah kerja Kabupaten Aceh Besar, khususnya Program Konservasi Orangutan Sumatera di kawasan hutan yang berada Kecamatan Jantho, Aceh Besar.

Bupati Aceh Besar, Ir. Mawardi Ali, pada kesempatan tersebut didampingi oleh Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Ridwan Jamil, beserta unsur staf lainnya. Sedangkan dari pihak BKSDA Aceh, dihadiri oleh Kepala Balai, Agus Arianto, S.Hut, didampingi Kepala Tata Usaha, Erwan, beserta beberapa unsur staf lainnya. Sedangkan dari unsur lembaga YEL-SOCP dihadiri oleh Direktur Konservasi YEL, M. Yakob Ishadamy, Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar, beserta beberapa staf YEL-SOCP lainnya.

Dalam audiensi tersebut Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto menyampaikan kepada Bupati berbagai aktivitas konservasi sumber daya alam yang dilakukan di wilayah Kabupaten Aceh Besar, salah satunya pusat Reintroduksi Orangutan di Cagar Alam (CA) Janthoi dan Taman Wisata Alam (TWA) Jantho yang dikelola bersama antara BKSDA Aceh dengan YEL-SOCP.

Kepala BKSDA Aceh, selain memperkenalkan anggota Tim yang hadir, juga menjelaskan berbagai program Konservasi Sumber Daya Alam serta rencana pengelolaan kawasan konservasi CA dan TWA serta kebutuhan dukungan pemerintah Kabupaten Aceh Besar untuk tahun 2020 dan beberapa agenda konservasi untuk tahun berikutnya. Termasuk update rencana penataan blok dan rencana kegiatan lainnya di kawasan hutan Jantho.

Sementara itu Direktur Konservasi YEL, M. Yakob Ishadamy menjelaskan terkait eksisting program dan rencana keberlanjutan yang perlu dukungan dari Pemkab Aceh Besar. Tim YEL-SOCP lainnya, drh. Citra, menambahkan kondisi dan berbagai capaian selama ini, termasuk pelibatan komunitas setempat dalam program.

Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar mengatakan bahwa pada diskusi dengan Bupati, pihak YEL-SOCP juga telah memaparkan secara detail berbagai penjelasan terkait jumlah, kondisi Dan perkembangan Orangutan yang telah direlease. Selain itu Bupati Aceh Besar juga memberikan arahan sekaligus harapan untuk memperkuat koordinasi program bersama kedepan dan memastikan perlindungan satwa dan habitatnya, serta mengembangkan semua potensi untuk penguatan ekonomi masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan.

Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali juga mengarahkan agar Tim Balai KSDA Aceh dan YEL-SOCP untuk dapat melakukan koordinasi teknis dengan unit kerja pemkab, khususnya Kadis Pariwisata, Pemuda dan Olahraga.

Dalam pertemuan tersebut juga disepakati bersama untuk mengagendakan visitasi lapangan Bupati Aceh Besar ke lokasi stasiun reintroduksi orangutan, dan akan dijadwalkan sesegera mungkin. Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali juga sangat mendukung rencana Pembangunan Koridor penghubung CA/TWA dengan Taman Hutan Raya (Tahura), sekaligus program konservasi yang memberikan kesempatan ekonomi bagi masyarakat Aceh Besar secara lebih luas. (rel)

read more
Kebijakan Lingkungan

Luas Hutan Aceh Terus Menyusut, Bencana Meningkat

Banda Aceh – Pada tahun 2019, isu lingkungan hidup dan kehutanan di Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), menjadi isu yang dibahas publik. Kondisi hutan di Aceh menjadi perhatian publik karena pentingnya pelestarian lingkungan untuk kehidupan manusia. Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan bahwa laju kehilangan tutupan di Kawasan Ekosistem Leuser wilayah Aceh menurun pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018. Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers Yayasan HAkA dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di Banda Aceh 30 Januari 2020.

Konferensi pers yang dipimpin oleh Agung Dwinurcahya, GIS Manager Yayasan HAkA, TM Zulfikar dan Yakob Ishadamy mewakili YEL, mempresentasikan data hasil monitoring dari citra satelit meliputi seluruh provinsi Aceh dan kondisi gambut di Aceh, khususnya di Rawa Tripa – sebuah kawasan yang dulu dikenal sebagai Ibukota Orangutan di Dunia karena kepadatan populasinya. Citra satelit yang digunakan adalah Landsat, Sentinel, Planet dan bantuan peringatan dini kehilangan tutupan pohon GLAD alerts dari Global Forest Watch (GFW).

Agung menyebutkan bahwa laju hilangnya tutupan hutan di provinsi Aceh periode 2019 adalah sebesar 15.140 hektar. Tahun 2019 ini tren kerusakan hutan Aceh relatif stabil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 15.071 hektar. Angka itu kurang lebih seluas 2,5 x lipat luas kota Banda Aceh, seluas 14 ribu kali lapangan bola, dan diperkirakan 41 hektar hutan hilang di Aceh per harinya pada tahun 2019. Pada tahun 2019, di antara kabupaten-kabupaten yang angka laju tutupan hutannya tertinggi adalah Aceh Tengah (2.416 ha), Aceh Utara (1.815 ha) dan Aceh Timur (1.547 Ha).

Secara umum, sekitar 60% hilangnya tutupan hutan yang terjadi di Kawasan Hutan (berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015 maupun SK/MenLHK No. 580/Men-LHK II/2018), dan 40% lainnya terjadi di Areal Penggunaan Lain (APL).

KEL Aceh yang menjadi fokus area kerja HAkA juga tak luput dari analisis yang dilakukan. KEL Aceh mengalami penurunan angka laju tutupan hutan pada tahun 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perhitungan tim HAkA menghasilkan angka tutupan hutan di dalam KEL Aceh sebesar 5.395 ha, menurun 290 ha dibandingkan dengan tahun sebelumnya. “Dalam 5 tahun terakhir Yayasan HAkA memantau tutupan hutan KEL via citra satelit, tahun 2019 adalah tahun terendah untuk laju deforestasi KEL,” sebut Agung. Penurunan angka kerusakan hutan juga terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) wilayah Aceh.

Tim HAkA juga menyebutkan bahwa titik api di Aceh 2019 mengalami penurunan. Data titik api ini diunduh langsung dari website FIRMS (Fire Information for Resource Management System), NASA. Terpantau 1.957 titik api dari sensor VIIRS di tahun 2019 ini, dimana di 2018 ada 3.128 titik api. Menurun lebih dari seribu titik api dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan jika analisis menggunakan sensor MODIS terpantau 255 titik api dibandingkan 482 di tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa Aceh telah cukup berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di 2019.

Kawasan Gambut di Aceh juga adalah concern penting dalam perlindungan lingkungan di Aceh. YEL, diwakili oleh TM Zulfikar dan Yakob Ishadamy, sebagai salah satu LSM yang aktif advokasi isu gambut, mempaparkan kondisi gambut terkini di Aceh dan inisiatif pemerintah dalam penyusunan Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG), yang akan menjadi pedoman instansi pemerintah di Aceh untuk masa depan ekosistem gambut. “Kawasan gambut sering luput dalam diskusi perlindungan lingkungan di Aceh, padahal lahan gambut mempunyai peran penting untuk menyerap karbon dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Inisiatif pemerintah untuk penyusunan RPPEG adalah langkah awal untuk masa depan gambut yang lebih baik di Aceh, dan YEL berkomitmen untuk mendukung pemerintah Aceh agar tercapainya tata kelola rawa gambut berkelanjutan di Aceh,” jelas Yakob.

Dampak dari berukurangnya tutupan hutan adalah salah satu faktor dari meningkatnya angka terjadinya bencana alam berupa banjir, longsor dan kekeringan di Provinsi Aceh. Tim GIS HAkA juga memantau dan memetakan bencana-bencana tersebut melalui kliping media online. Kejadian bencana banjir, longsor dan kekeringan pada tahun 2019 meningkat pesat. Angka bencana banjir dan longsor meningkat 87 kasus, menjadi 121 kasus dan kasus kekeringan meningkat 4 kasus menjadi 16 kasus pada tahun 2019. Banjir dan longsor terjadi di 22 Kabupaten dan kekeringan terjadi di 8 kabupaten. Kecamatan yang sering terjadi banjir dan longsor adalah Woyla Timur dan Badar. Sedangkan Darul Imarah dan Lhoknga adalah kecamatan yang paling sering mengalami kekeringan.

Walaupun angka kehilangan tutupan hutan relatif stabil namun dampak bencana alam yang dialami relatif meningkat pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018, HAkA dan YEL mengapresiasi upaya dan inisiatif instansi pemerintah di Aceh dalam upaya pelestarian dan pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup. Dua lembaga tersebut akan terus mendorong pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dan lahan gambut di Aceh karena pelestariannya akan memberi manfaat kepada masyarakat Aceh, melindungi sumber air dan berperan untuk mitigasi bencana. “Stabilnya angka kehilangan tutupan hutan di Aceh menjadi preseden yang baik. Namun, luas tutupan hutan Aceh terus berkurang, dan ini pertama sekali dalam sejarah dimana luas tutupan hutan Aceh menjadi di bawah 3 (tiga) juta hektar. Upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan di Aceh harus ditingkatkan agar hutan Aceh tetap bisa menjadi sumber kehidupan untuk masyarakat Aceh,” tutup Badrul Irfan, sekretaris Yayasan HAkA. [rel]

read more
Green Style

Gerakan “Love the Leuser Ecosystem” Sedot Perhatian Dunia untuk Hutan Leuser

Jakarta/Banda Aceh – Hutan Amazon, Great Barrier Reef, Grand Canyon, dan sekarang Kawasan Ekosistem Leuser. Sebuah gerakan global yang melibatkan LSM lokal dan internasional dan bergabung dengan seniman grafis terkenal Asher Jay, fotografer peraih penghargaan Paul Hilton, serta aktor dan aktivis Leonardo DiCaprio untuk membawa perhatian internasional pada Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), suatu kawasan di tepi utara Sumatra.

Mulai dari komunitas lokal, ahli biologi satwa ternama, konservasionis hutan, aktivis hak asasi manusia dan pejuang perubahan iklim mengatakan bahwa sudah waktunya bagi KEL untuk mendapatkan pengakuan sebagai prioritas konservasi global. Mereka kemudian menggunakan media seni grafis, fotografi, video dan realitas maya yang disebarkan melalui media sosial dan tradisional untuk mengangkat profil dari lanskap KEL yang unik, agar para pelaku industri berusaha untuk tidak menghancurkan kawasan ini dan menerima resiko reputasi sebagai penyebab kerusakan yang terjadi di KEL.

Hutan hujan seluas 2,6 juta hektar yang membentang di KEL menjadi salah satu yang terluas di Asia Tenggara, dan menjadi kawasan terakhir di dunia dimana orangutan, gajah, harimau, dan badak hidup bersama di alam bebas. Para ahli satwa juga telah memperingatkan bahwa empat jenis satwa tersebut kini terancam punah akan punah selamanya jika hutan yang tersisa di KEL ini hancur.

KEL merupakan ekosistem bersejarah yang dikenal oleh ilmu pengetahuan. Kawasan ini telah mengalami ribuan tahun evolusi yang tak terputus hingga menghasilkan salah satu konsentrasi keanekaragaman hayati tertinggi. Ekosistem ini kaya flora dan fauna, termasuk setidaknya 105 jenis mamalia, 386 jenis burung, 95 jenis reptil dan amfibi dan 8.500 spesies tanaman. diantaranya seperti Thomas Leaf Monkey, atau dikenal sebagai ‘Monyet Kedih,’ merupakan spesies endemik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.

KEL membentang diantara dua provinsi di Sumatra yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Baru-baru ini Aceh telah mengangkat kembali mantan gubernur Irwandi Yusuf, yang terkenal dengan julukannya sebagai ‘Gubernur hijau’, beberapa pihak sangat berharap agar pada era kepemimpinan politik baru ini Irwandi akan memprioritaskan usaha konservasi Kawasan Ekosistem Leuser pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun-tahun terakhir.

Meskipun sekitar sepertiga dari wilayah KEL ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Leuser dan telah menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO, namun sebetulnya masih banyak wilayah KEL dengan nilai keanekaragaman hayati, hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut yang kaya berada di luar batas-batas taman nasional.

Jutaan orang yang tinggal diwilayah tersebut bergantung pada sungai-sungai bersih yang berasal dari KEL untuk air minum, melindungi dari banjir, dan irigasi bagi mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar hidup dari pertanian. Sebuah gerakan konservasi lokal juga tengah berkembang dengan memasukkan upaya politik, ilmiah dan hukum yang kuat bagi warga yang tinggal di wilayah ini. Usaha tersebut dilakukan dengan memberikan advokasi untuk perlindungan dan strategi pertumbuhan hijau untuk pembangunan.

KEL muncul dalam film dokumenter Leonardo DiCaprio yang berjudul Before the Flood sebagai daerah yang berfungsi penting untuk melindungi keseimbangan iklim dunia, film ini kemudian menjadi film dokumenter yang paling banyak ditonton dalam sejarah. Selain dijuluki sebagai ‘ibukota orangutan dunia’, KEL juga merupakan rumah bagi tiga rawa gambut utama yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon paling kaya di bumi. Hutan-hutan rawa gambut yang basah menangkap sejumlah besar karbon dari atmosfer bumi dan menyimpannya dengan aman di bawah tanah.

Sayangnya, meskipun ilegal, banyak lahan gambut ini dikeringkan dan dibakar untuk dijadikan industri perkebunan kelapa sawit. Ketika ini terjadi, polusi karbon dalam jumlah besar dilepaskan ke udara. Peristiwa kebakaran terakhir diperkirakan telah menyebabkan 100.000 kematian di seluruh Asia Tenggara. Kebakaran hutan yang terjadi di puncak tahun 2015 telah membuat Indonesia melepaskan polusi karbon yang sama dengan jumlah polusi dari seluruh gabungan kegiatan ekonomi AS setiap harinya.[rel]

read more
Green StyleHutan

Farwiza: Kerusakan KEL Ancam Empat Juta Penduduk

Banda Aceh – Perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sangat penting, karena merupakan kawasan strategis nasional. “Ekosistem Leuser adalah kawasan strategis nasional karena fungsi lingkungan KEL. Sangat penting untuk melindungi kawasan ini, karena menyediakan air dan udara bersih serta mengurangi dampak bencana, seperti erosi, hama, dan perubahan iklim,” Kata ketua HAkA Foundation, Farwiza Farhan, Rabu (19/12/2018). (more…)

read more
Green Style

Kisah Perjuangan Farwiza Farhan Selamatkan Hutan Leuser

Farwiza Farhan, seorang perempuan aktivis lingkungan berjuang melindungi hutan belantara Ekosistem Leuser di Sumatra, satu tempat di dunia di mana orangutan, badak, gajah dan harimau masih hidup berdampingan di alam liar. Pada tahun 2012, LSM Yayasan HAkA, tempatnya bekerja menggugat perusahaan kelapa sawit yang telah membuka hutan tanpa izin yang sah.

Mengapa Farwiza berjuang menyelamatkan lingkungan? Rasa ketidakadilan bahwa tidak ada yang berbicara untuk kepentingan satwa liar mendorongnya untuk menjadi aktivis lingkungan. “Bayangkan berdiri di bawah kanopi hutan yang sangat besar dan Anda melihat ke atas – Anda dapat mendengar burung Enggang terbang melesat dan kemudian Anda melihat ke sekeliling dan Anda mendengar suara Owa bergema melalui hutan, di wilayah mereka”.

Orangutan – ibu dan bayi berayun dari pohon ke pohon – dan di antara semua satwa liar yang berbeda ini, melihat semua kera yang berbeda menjerit. Tapi kemudian dari waktu ke waktu, keheningan melanda, hampir tidak terdengar suara hewan apapun.

“Di kejauhan kadang-kadang Anda dapat mendengar suara gergaji mesin, Anda dapat mendengar suara kehancuran semakin mendekat. Anda tahu bahwa ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk mencegah hal itu terjadi. Anda tahu ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk menghentikan gergaji mesin. Merusak hutan lebih dalam,”

“Saya menjadi konservasionis awalnya karena saya menonton terlalu banyak siaran BBC Blue Planet. Saya jatuh cinta dengan lautan, dengan terumbu karang, ketika saya masih sangat muda dan saya menetapkan di hati saya bahwa ini adalah apa yang akan saya lakukan selama sisa hidupku.

“Kemudian, ketika saya benar-benar lulus sebagai ahli biologi kelautan, saya kembali ke karang yang sama di mana saya jatuh cinta dengan lautan pertama kalinya, untuk melihatnya benar-benar hancur – semua karena perubahan iklim – dan ini membuat saya marah,”ujarnya.

“Jadi, dalam pikiran naif saya saat itu, saya pikir, mungkin saya akan mencoba melindungi hutan. Mungkin itu sedikit lebih mudah, mungkin saya hanya perlu memasang pagar di sekitarnya dan itu akan baik-baik saja. Dan tentu saja saya terbukti salah waktu dan waktu lagi.

Ancaman Terhadap Ekosistem Leuser
“Ancaman utama bagi Ekosistem Leuser adalah kegiatan eksploitasi dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Perusahaan besar yang ingin menanam kelapa sawit – salah satu tanaman paling menguntungkan di dunia – menjadi ancaman bagi ekosistem yang sangat rapuh ini,”kata Farwiza.

“Permasalahan kebun kelapa sawit itu cukup rumit. Sangat sulit untuk mempersempit isunya dengan mengatakan, ‘Jangan membeli minyak sawit, atau hanya membeli minyak sawit yang berkelanjutan’ atau ‘memboikot semuanya’. Cara kita melihat minyak sawit – Ini hanya tanaman yang sangat menguntungkan, dan masalahnya adalah bagaimana permintaan telah mendorong ekspansi besar perkebunan kelapa sawit,”jelasnya.

“Masalah utama dengan minyak kelapa sawit adalah tata kelolanya – bagaimana konsumen di negara maju dapat mendorong minyak sawit yang benar-benar bebas konflik. Karena kita sering mencari jalan pintas. Kita menginginkan produk yang berkelanjutan, tetapi kita tidak mau membayar untuk itu,”ujarnya.

Farwiza mengatakan saat ini manusia hidup di zaman informasi yang berlebihan. Di masa lalu, ia akan mengatakan kepada orang-orang untuk membaca lebih banyak atau mencari tahu lebih banyak. Sekarang sepertinya ia akan mendorong orang-orang berjanji melihat lebih banyak atau mengalami langung lebih banyak tempat yang akan punah.

“Tempat-tempat seperti Sumatera, Amazon, Madagaskar adalah tempat-tempat di bawah ancaman luar biasa dari eksploitasi, termasuk minyak sawit. Jika Anda datang ke tempat itu dan melihat keadaannya sekarang dan Anda ingin menyaksikan tempat itu kembali di masa depan, Anda akan memiliki hubungan yang lebih kuat untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika menyangkut minyak sawit dan deforestasi. “[]

Sumber: bbcnews.com

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

ALSA Unsyiah Adakan Seminar Bahas Penegakan Hukum KEL

Banda Aceh – Bertempat di Gedung AAC Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh, hari ini Senin (17/9/2018) Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala, mengadakan seminar nasional yang membahas penegakan hukum lingkungan. Tak kurang dari 200-an peserta yang berasal dari 13 anggota dari perguruan tinggi di Indonesia yang merupakan anggota ALSA menghadiri acara ini. Selain anggota ALSA, seminar yang bertemakan “Peran Pemerintah dan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum Serta Pemanfaatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Sebagai Paru-paru Dunia” juga dihadiri oleh unsur LSM dan akademisi.

Penanggung Jawab Kegiatan, Oktavia Dwi Rahayu, kepada Greenjournalist mengatakan bahwa acara diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Pra-Musyawarah Nasional dan ALSA Leadership Training. Acara ini dibuka oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof.Dr.Ir. Samsul Rizal M.Eng.

Sebagaimana yang sering diberitakan, KEL sebagai sebuah kawasan hutan yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia sedang menghadapi berbagai ancaman. Ancaman tersebut mulai dari dihapuskannya terminologi KEL dalam Qanun RTRW Aceh, perubahan tata guna lahan KEL hingga perburuan ilegal hewan langka yang hidup di dalam hutan yang  juga disebut paru-paru dunia.

Hadir dalam Seminar Nasional tersebut sebagai pemateri Dede Suhendra (Program Manager Northern Sumatera WWF), Guntur M. Tariq, S.Ik (Dit Reskrimsus Polda Aceh) dan Farwiza Farhan (Yayasan HAkA) serta bertindak sebagai moderator Ir. T. Muhammad Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari. Ketiga pembicara ini mengupas situasi terakhir kondisi KEL saat ini.

Perwakilan Polda Aceh menyampaikan bahwa Propinsi Aceh merupakan kawasan nasional yang penataan ruangnya diprioritaskan sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, baik di bidang ekonomi, sosial budaya atau lingkungan hidup.

Selain itu, banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan tidak memungkiri untuk potensi terjadinya kejahatan. Hal ini dikarenakan banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun kurangnya sosialisasi hukum kepada masyarakat oleh pegiat hukum, sehingga menimbulkan kesenjangan pemahaman. Masyarakat dalam melakukan kegiatan tidak mengenal aturan dan tidak mengenal dampak yang akan terjadi dari kegiatan yang dilakukan, salah satunya di bidang lingkungan.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Mengapa Hakim PTUN Tolak Gugatan Izin Kawasan Karst Tamiang?

Pada tanggal 15 Agustus 2018 lalu bertempat di PTUN Banda Aceh Majelis Hakim yang diketuai Hujja Tulhaq, SH,MH dengan hakim anggota Miftah Sa’ad Caniago, SH,MH dan Rahmad Tobrani, SH, telah membacakan putusan terhadap gugatan pemberian izin kawasan Karst Aceh Tamiang. Hakim menolak gugatan yang diajukan oleh pengacara Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Hakim menyatakan bahwa Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut. Mengapa hakim memutuskan demikian?

Pengacara HAkA, Nurul Ikhsan, SH, dalam sebuah kesempatan menjelaskan alasan-alasan hakim menolak gugatan aktivis lingkungan. Segala alasan yang telah dikemukakan oleh pengacara HAkA dalam persidangan, termasuk sidang lapangan yang meninjau langsung lokasi sengketa, tidak menjadi pertimbangan hakim. Hakim lebih mempertimbangkan segi prosedural yang dilakukan oleh tergugat. Padahal lokasi izin tambang tersebut, kasat mata dan sangat jelas posisinya dalam kawasan Karst Aceh Tamiang.

Fakta-fakta yang dimunculkan dalam persidangan oleh sejumlah saksi ahli menunjukan bahwa izin lahan yang digugat adalah kawasan Karst. Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012-2032  juga disebutkan daerah Karst merupakan kawasan lindung geologis.

Dalam RTRW Kabupaten Aceh Tamiang, lanjut Nurul Ikhsan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang secara jelas dan tegas menetapkan bahwa Kecamatan Tamiang Hulu adalah Kawasan Cagar Alam Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Karst Kabupaten Aceh Tamiang. Pemerintah menetapkan secara hukum Kawasan tersebut, sebagai kawasan Rawan Bencana. Karena itu, jelas Kawasan Tamiang Hulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar apalagi tambang.

“Seharusnya pemerintah yang baik melindungi Karst ini, bukan malah memberikan izin,”ujar Nurul.

Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor : 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen Kapasitas Produksi 10.000 ton/hari Klinker di Kampung Kaloy Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh oleh PT. Tripa Semen Aceh.

Memang dalam izin tersebut telah dikeluarkan sejumlah area goa Karst dari wilayah pertambangan. Namun hal ini tidak bisa dibenarkan menjadi pertimbangan keluarnya izin, karena daerah Karst itu merupakan sebuah daerah satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain.

Sementara hakim memutuskan berdasarkan pertimbangan utamanya yaitu belum adanya penetapan dari Menteri bahwa daerah tersebut merupakan kawasan Karst. Selain itu hakim juga menyatakan bahwa Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut. Hakim terlalu bersandarkan pada teknis prosedur dalam pemberian izin, tidak melihat substansi ancaman yang akan terjadi pada daerah akibat izin pertambangan yang dikeluarkan tersebut. Keputusan hakim ini menjadi sebuah kerugian yang besar masyarakat dan alam Tamiang.

Majelis hakim dalam putusannya, tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, sebab sejak awal diterbitkan izin lingkungan PT.TSA, aktivis Yayasan HAkA, aktivis lingkungan, dan masyarakat telah menyampaikan penolakan atas Izin PT.TSA karena rencana kegiatan industri semen dengan kapasitas produksi 10.000 metrik ton per-hari berpotensi merusak kawasan bentang alam karst.

Pengacara HakA tanpa ragu akan mengajukan banding terhadap putusan ini. Sidang ini sendiri telah berlangsung selama lebih kurang 6 bulan, menjalani 12 kali persidangan termasuk sekali sidang lapangan. Namun dari beberapa sumber, ada yang menyatakan hakim tidak sampai ke lokasi yang persisnya menjadi kawasan Karst. Padahal jika hakim mencapainya, Ia akan melihat ada banyak goa Karst, sekitar 600 goa dengan diameter berkisar antara 14-40 meter membentang di kawasan tersebut.[]

 

 

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Hakim PTUN Tolak Gugatan Aktivis Lingkungan terhadap Izin Pabrik Semen

Tanggal 8 Februari 2018 Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memasukan gugatan kepada Bupati Aceh Tamiang terkait dengan Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor : 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen Kapasitas Produksi 10.000 ton/hari Klinker di Kampung Kaloy Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh oleh PT. Tripa Semen Aceh.

Menurut HAkA Keputusan Bupati tersebut tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Aceh Tamiang dan berpotensi merusak Kawasan Lindung Geologis/Kawasan Karst.

Hari ini, Rabu (15/8/2018) bertempat di PTUN Banda Aceh Majelis Hakim yang diketuai Hujja Tulhaq, SH,MH dengan hakim anggota Miftah Sa’ad Caniago, SH,MH dan Rahmad Tobrani, SH, akan membacakan putusannya.

Sementaraa HAkA sendiri diwakili oleh pengacaranya yaitu Nurul Ikhsan, SH, Harli SH, Jehalim Bangun, SH, Askhalani, S.Hi dan Wahyu Pratama, SH.

Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Banda Aceh menolak gugatan yang diajukan oleh HAkA terkait diterbitkannya izin lingkungan tentang rencana kegiatan industri semen PT Tripa Semen Aceh (PT.TSA), Kampung Kaloy, Kabupaten Aceh Tamiang. Hakim beralasan Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut.

Putusan Majelis Hakim yang menolak gugatan ini, menurut Koordinator Tim Pengacara Yayasan HAkA, Nurul Ikhsan, SH, tidak sesuai dengan dalil-dalil yang disampaikan HAkA dalam gugatannya atas beberapa pertimbangan pokok.

”Dalam surat gugatan kami mendalilkan bahwa Keputusan Bupati Nomor 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen PT.TSA Klinker bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, “ tegas Nurul Ihksan.

Peraturan yang bertentangan, kata Nurul Ihksan, misalnya, Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012-2032. HAkA akan mengajukan banding atas putusan tersebut.

Dalam RTRW Kabupaten Aceh Tamiang, lanjut Nurul Ikhsan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang secara jelas dan tegas menetapkan bahwa Kecamatan Tamiang Hulu adalah Kawasan Cagar Alam Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Karst Kabupaten Aceh Tamiang.

Pemerintah menetapkan secara hukum Kawasan tersebut, sebagai kawasan Rawan Bencana. Karena itu, jelas Kawasan Tamiang Hulu tidak diperuntukan sebagai kawasan industri besar apalagi tambang.

Sebagai tambahan, majelis hakim dalam putusannya, juga tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, sebab sejak awal diterbitkan izin lingkungan PT.TSA, aktivis Yayasan HAkA, aktivis lingkungan, dan masyarakat telah menyampaikan penolakan atas Izin PT.TSA karena rencana kegiatan industri semen dengan kapasitas produksi 10.000 metrik ton per-hari berpotensi merusak kawasan bentang alam karst, yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung geologis;

Dengan ditolaknya gugatan tersebut, menurut Ihksan, tidaklah merupakan kekalahan aktivis HAkA semata akan tetapi merupakan kekalahan masyarakat umum di dalam penyelamatan/pelestarian lingkungan hidup sebab kawasan bentang alam karst itu memiliki fungsi vital sebagai benteng alami untuk mencegah terjadinya bencana alam.

Staf HAkA, Badrul Irfan menambahkan, Kawasan Bentang Alam Karst Kaloy ,memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dengan keberadaan beberapa dan sungai bawa tanah sehingga sangat cocok dikembangkan sebagai tempat pariwisata, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga pantas dikonservasi. Bukannya malah dihancurkan menjadi kawasan pertambangan yang bisa merusak alam dan mengancam habitat satwa liar.

 

 

read more
1 2
Page 1 of 2