close

pantai

Kebijakan Lingkungan

Aktivis Pesisir Bahas Pemulihan Laut di Banda Aceh

Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (Jaringan KuALA) bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia melaksanakan diskusi kelompok terfokus dengan tema Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Pembahasan Draft Rencana Pemulihan Laut Indonesia 2025 (Versi Maret 2014). Diskusi diikuti oleh puluhan aktivis lingkungan terutama yang bekerja dalam advkasi isu-isu pesisir, Jum’at (11/4/2014) di Banda Aceh.

Koordinator KuALA, Marzuki menyampaikan Indonesia adalah negara kepulauan sekaligus negara kelautan terbesar di dunia. Negara besar ini memiliki wilayah seluas 5,1 juta meter persegi dan tidak kurang dari 13.466 pulau termasuk 92 pula terluar yang membentuk garis dan halaman terdepan negeri yang megah dijuluk Nusantara.

Namun diibalik cerita megah tersebut, krisis besar dari tata-kelautan yang dijalankan selama ini sungguh kita rasakan. Bangsa ini secara serius telah menghadapi pengelolaan sumber daya laut yang tidak berkelanjutan dan arah pembangunan pesisir dan kelautan yang lebih berpihak terhadap modal dan investasi asing.

Kondisi aktual diatas ternyata adalah masalah klasik yang telah dihadapi jauh sebelum dan sejak Era Reformasi dimulai dari tahun 1998. Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah dibentuk sejak tahun 1999 sudah semestinya harus lebih serius dalam memastikan kepemimpinan, teladan dan keberpihakan dalam membangun kemandirian dan ketangguhan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

Sementara aktivis Greenpeace, M. Ariefsyah mengatakan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu, pada akhir Mei 2013 lalu di Benoa, Bali, telah mendeklarasikan dan menyerukan kepada Pemerintah Indonesia dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung terwujudnya Visi Bersama Kelautan Indonesia 2025.

Sebagai tindak lanjut pengawalan masyarakat sipil terhadap Visi #Laut2025, saat ini tengah disusun Peta-jalan Rencana Pemulihan Laut Indonesia 2015-2025 yang merupakan masukan dan hasil dari FGD masyarakat sipil di Denpasar Bali, pada tanggal 16 Oktober 2013 dan di Lombok Timur pada 19 Oktober 2013.

” Acara ini dilaksanakan guna membangun ruang-ruang kritis dalam pembahasan dan penyempurnaan Peta Jalan Laut 2025 serta terus menggerakkan semangat perbaikan terhadap tata-kelola kelautan dan perikanan di Indonesia termasuk Aceh,” ujar Ariefsyah.  []

read more
Green Style

Jerinx SID: Pantai Kuta Sudah Kehilangan Ruhnya

Marah buminya, makin tak terkendali
Marah buminya, kita semua kan mati
Marah buminya, makin tak teratasi
Marah buminya, semua mati dan terluka!

Bait di atas bukan mengajak orang lain untuk marah, melainkan penggalan lirik lagu berjudul “Marah Bumi” yang dipopulerkan “Superman Is Dead”, sebuah kelompok musik yang besar di Bali. Cara bermusik “Superman Is Dead” atau dikenal SID itu memang terkesan garang. Tapi percayalah kegarangan Bobby Kool (vokal), Eka Rock (bass), dan Jerinx (drum) itu hanya sebatas gaya bermusik. Mereka yang selama ini bermarkas di Jalan Poppies II, Kuta, itu memiliki kecintaan yang boleh dibilang luar biasa terhadap alam.

Wajar, markas mereka memang berada hanya beberapa meter dari garis Pantai Kuta, salah satu objek wisata bertaraf internasional, yang dari tahun ke tahun mengalami degradasi kualitas natural. Kuta yang menjadi tempat favorit untuk berselancar dan berjemur, kini sudah mulai ditinggalkan seiring dengan makin menjamurnya destinasi wisata pantai di Bali dan tempat-tempat lain yang tak kalah menariknya. Bahkan, hampir setiap tahun di Bali selalu ada objek wisata baru yang menawarkan pesona dan panorama alami titisan Dewata.

Sebagai pemuda yang lahir dan besar di Bali, Jerinx merasa tergugah dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Dalam berbagai kesempatan pria yang bernama lengkap I Gusti Ary Astina itu selalu menyerukan pelestarian alam.

jerinx“Hampir sebulan sekali, kami mengajak ‘outsider’ (julukan penggemar fanatik SID) untuk bersih-bersih pantai,” tutur Jerinx mengawali obrolannya di sebuah kafe favoritnya di kawasan Kerobokan, Kuta, sambil mengiringi perjalanan matahari menuju peraduannya.

Ia tak rela Kuta sebagai kampung halamannya itu “sakit” dan merana akibat ketidakpedulian. Orang-orang datang dari berbagai penjuru, hanya menikmati keindahan tanpa bisa memberikan kontribusi positif untuk kelestarian alam. Pantai Kuta tidak hanya sesak oleh pelancong dari berbagai ras, melainkan juga penuh oleh tumpukan sampah. Sisa-sisa aneka kebutuhan manusia itu berbaur dengan material hutan di seberang pulau dapat dengan mudah dijumpai di atas hamparan pasir putih Pantai Kuta.

Sebagian pemangku kepentingan menyebutnya sebagai “sampah kiriman”, namun sebagian besar pelaku industri pariwisata justru menciptakan sampah. Semua saling tuding, saling merasa benar, tanpa sedikit pun berupaya mengatasi persoalan sampah yang makin tak terkendali.

Melalui komunitasnya sebagai anak “band”, Jerinx mengajak anak muda untuk peduli terhadap lingkungan. “Bersih-bersih pantai kami iringi dengan bersepeda bersama,” kata pria yang hampir seluruh badannya itu dipenuhi tato.

Kegiatan itu dia mulai sejak 2005. “Sebenarnya tidak hanya pantai, tapi juga tempat-tempat lain, seperti Taman Kota, yang layak mendapat perhatian saya dan teman-teman. Kegiatan kami ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat secara langsung,” ucapnya.

Jerinx tak ingin disebut sebagai pelestari lingkungan karena merasa upaya yang dia lakukan selama ini tidak seberapa, apalagi dibandingkan dengan tingginya tingkat kerusakan alam. Namun dia tak ingin hanya berwacana lewat lagu yang biasa dibawakan bersama teman-temannya di SID.

“Kami tidak ingin hanya berwacana saja saat di atas panggung. Kami memberi contoh sekaligus melibatkan teman sebaya melalui perilaku sehari-hari. Memang hal ini tidak mudah, butuh pengorbanan dan kepedulian,” ujarnya.

Ajakan SID itu dia sampaikan melalui jejaring sosial. Tidak hanya soal kebersihan, Jerinx juga memberikan beberapa tips, seperti membuang sampah plastik, merokok tanpa mengotori dan mencemari lingkungan, dan hal-hal kecil lain yang selama ini luput dari perhatian semua orang.

“Kami berharap edukasi melalui tindakan nyata dan sosial media dapat menjadi inspirasi bagi ‘outsider’ sekaligus diimplementasikan oleh orang-orang lain dalam kehidupan sehari-hari,” kata penggebuk drum kelahiran 36 tahun silam itu

Berbeda karena Peduli
Kepedulian Jerinx dan teman-temannya di SID terhadap pelestarian lingkungan memang tidak perlu diragukan lagi. Selain menyuarakannya lewat tembang-tembang ciptaannya, Jerinx juga melakukan aksi nyata. Bahkan, tidak jarang pendapatannya dari panggung hiburan musik di Tanah Air itu disalurkannya untuk mewujudkan cita-cita idealnya sebagai manusia yang peduli terhadap Tuhan, sesama, dan lingkungan sebagaimana filosofi hidup masyarakat Pulau Dewata, yakni Tri Hita Karana.

“Dalam bermusik, kami tidak hanya bisa menjual kreativitas, melainkan juga memberikan sesuatu yang manfaat kepada alam. Sederhananya, bukankah musik itu setidaknya punya nafas keadilan, kemanusian, dan alam,” katanya berfilsafat.

Dia berpendapat bahwa seni tidak melulu menjadi alat untuk mencari uang atau keuntungan material semata, melainkan harus bisa memberikan sumbangsih pada sisi-sisi kemanusian. “Komersial boleh, asalkan ada kesimbangan antara idealisme dan kebutuhan pasar,” ucap pemilik sejumlah “distro” di kawasan Kuta itu.

“Apabila terlalu idealis, tentu grup band itu tidak akan mampu bersaing dalam industri musik. Komersial itu tidak apa-apa, asalkan gerakan untuk melakukan perubahan tetap dilakukan. Kami ingin melahirkan agen-agen perubahan sebanyak mungkin di Indonesia,” ujarnya.

Dalam kehidupan nyata, dia melihat kerusakan alam ini makin parah. Pemangku kepentingan hanya mencari keuntungan sesaat. “Ekologi di Pulau Bali sangat mengkhawatirkan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan,” ucapnya dengan nada yang sedikit meninggi.

“Kami kira solusi dari keadaan tersebut adalah melakukan revolusi dalam artian melakukan perubahan secara besar-besaran untuk menghilangkan cara pemikiran yang merusak itu,” katanya menambahkan.

Oleh sebab itu, menurut dia, masyarakat Bali sangat membutuhkan pemimpin yang figurnya seperti Jokowi. Kebetulan saat ini situasi politik di Bali sedang hiruk-pikuk menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali untuk periode lima tahun mendatang.

Karena itu pula dalam berbagai kesempatan, Jerinx yang mendapatkan hak suara pada Pilkada Bali 15 Mei mendatang itu terus menyuarakan tentang alam yang harus menjadi perhatian bagi pemimpin masa depan di pulau yang dikenal keindahannya itu oleh masyarakat dunia.

“Kami justru khawatir jika nanti tanah milik warga Pulau Dewata akan beralih kepada para pemilik modal. Gejala ini sudah lama terjadi sehingga butuh pemimpin yang punya kekuatan untuk menahan gempuran pemilik modal. Sudah lama sekali masyarakat Bali ini jadi penonton,” kata pria yang tak pernah lepas dari rokok tersebut.

Pada bulan Mei yang bertepatan dengan hiruk-pikuk politik di Bali, SID berencana meluncurkan album baru. Di album itu terdapat 17 lagu berisi kritik sosial.  “Beberapa permasalahan sosial yang ingin kami tuntut, antara lain, pemberdayaan bisnis lokal, pola pikir aparat hukum, ketertiban umum, filterisasi wisatawan, pembatasan kendaraan, dan mempertahankan harga diri,” ucapnya.

Jerinx dan SID tidak hanya keras dalam menyampaikan kritik pedas, tapi mereka juga sudi turun sendiri untuk menyatukan jiwa dengan alam. Bahkan, tanpa sungkan-sungkan kritik pedas dan keras juga kerap disampaikannya kepada penguasa, termasuk Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Beberapa kali Jerinx dan teman-temannya mengajukan pertanyaan yang menohok uluhati penguasa, terutama terkait kualitas lingkungan yang makin menurun akibat pesatnya perkembangan industri pariwisata.

Jerinx tentu sudah tidak bisa lagi merasakan embusan angin semilir yang membuat daun-daun kelapa di Pantai Kuta melambai-lambai bagaikan jemari gadis Bali yang menari diiringi gemelan. Pantai Kuta sudah menjadi komoditas industri pariwisata, tapi tak satu pun dari pelaku industri yang memperlakukannya dengan ramah. Semilir angin laut di selatan Pulau Dewata itu kini sudah tidak lagi menerpa wajah dan menyibakkan rambut gadis-gadis Bali karena telah terhalang oleh bangunan megah yang berjejer di pinggir pantai sebagai perlambang supremasi kapitalisme. “Pantai Kuta sudah kehilangan ruhnya,” pungkas Jerinx. []

Sumber: greenersmagz.com

read more
Ragam

Menikmati Pemandangan Bawah Laut Pantai Lhokseudu

Sebuah cafe berdiri di areal seluas satu hektare di kawasan Lhok Seudu, Aceh Besar. Cafe tersebut memiliki beberapa pondok yang terletak di atas permukaan tanah yang tingginya sekitar satu meter dari letak cafe utama. Cafe yang dibuka pada 2010 itu bernama Ujoeng Glee, milik Junaidi (35).

Bukit berbaris mengapit hamparan laut yang dilintasi perahu-perahu mesin nelayan.  Permukaan tanah yang landai ditumbuhi pepohonan rindang. Sebuah perpaduan keindahan alam yang apik: hijau dedauan, biru laut, dan di kelilingi bukit yang seakan berkelok-kelok.

“Launching-nya saat Piala Dunia,” kata pria yang berdomisili di Gampong Layeun, Aceh Besar, itu, mengingat kembali awal mula didirkannya cafe tersebut, Selasa (14/1/2014) lalu.

Cafe tersebut, kata Junaidi, dibangun secara bertahap. Dia menceritakan, tanah tempat didirikannya cafe itu awalnya merupakan ladang. Tapi tsunami pada 2004 lalu menerjang dan meluluh-lantakkan ladang milik keluarganya itu. “Tanah  sudah terkikis. Tinggal bebatuan. Saya berfikir, ini kalau dijadikan ladang tak mungkin lagi. Lantas saya bukalah cafe ini,” katanya.

Perahu dan snorkeling
Tak hanya membuka usaha cafe, Junaidi juga menyewakan alat selam dan juga perahu mesin untuk para pengunjung yang ingin menikmati keindahan terumbu karang di bawah laut.

Perahu mesin  miliknya berbentuk pondok berukuran 4 x 4 meter. Perahu tersebut beratapkan seng berwarna cokelat dan disangga oleh dua belas tiang kayu. Perahu itu juga dilengkapi dengan dinding yang terbuat dari balok-balok kayu berwarna hijau. Yang unik adalah kaca setebal lima millimeter yang berada di tengah-tengah perahu tersebut. Dari kaca itulah, para pengunjung dapat melihat terumbu karang di bawah laut.

Junaidi mengatakan, perahu mesin tersebut beroperasi pada Bulan Ramadhan 2012.

“Inspirasinya datang dari diri sendiri. Alat-alat snorkeling sudah ada. Tapi masih ada yang kurang, soalnya ada juga pengunjung yang tak berani menyelam. Jadi, terpikirlah oleh saya bagaimana cara agar para pengunjung yang tak berani snorkeling, bisa melihat terumbu karang dari atas perahu lewat kaca,” ungkap Junaidi.

Pemandu Snorkeling, Zulkifli (23) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Obama, menuturkan, di hari libur, dia bisa membawa pengunjung sebanyak tiga rute. “Per jam 300 ribu, maksimalnya 10 orang. Bisa tiga kali jalan kalau hari libur,” kata dia.

Dari atas perahu, terumbu karang tampak menawan. “Ketika tsunami terumbu karangnya hancur semua. Ini baru mulai tumbuh lagi. Tidak boleh dipijak karena bisa rusak. Satu tahun terumbu karangnya hanya tumbuh lima centimeter,” kata  Obama, menjelaskan.

Kata Obama, perjalanan menikmati terumbu karang dengan perahu mesin  tergantung pada musim. “Jika musim timur, lautnya tenang. Tapi kalau musim barat biasanya berombak,” katanya.

Bulan mulai menampakkan diri di antara bukit-bukit yang diselimuti kabut. Senja  yang akan diganti oleh malam ditandai dengan terbenamnya matahari secara perlahan-lahan. Sang matahari kian menjorok ke barat dan menghilang di balik bukit. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Cegah Abrasi, Warga Tambakrejo Tanam Mangrove

Abrasi yang terjadi di wilayah Desa Tambakrejo Kelurahan Tanjung Mas menurut Bappeda Kota Semarang, telah menggerus lahan tambak sejauh 652,7 meter. Banjir Rob yang terjadi hampir setiap hari ini merupakan hal yang biasa bagi penduduk desa tersebut. Melihat hal itu, Penghijauan kawasan pesisir menjadi salah satu alternatif pilihan untuk menanggulangi permasalahan rob dan abrasi tersebut.

Beruntung, kesadaran masyarakat nelayan terhadap pentingnya penghijauan masih tinggi. Juraimi contohnya, pria yang lahir di Tambakrejo ini merupakan salah satu penggiat penghijauan. Dia sudah melakukan penanaman mangrove di Tambakrejo sejak 2011 bersama Kelompok Cinta Lingkungan Camar.

Kelompok binaan Pertamina ini beranggotakan 11 orang nelayan tulen yang bertanggung jawab menjadikan lahan konservasi menjadi hijau seperti sedia kala. Walaupun bibit mangrove yang ditanam mempunyai peluang kecil untuk hidup karena kondisi wilayah serta terpaan gelombang besar air laut.

Namun, kepedulian penduduk Desa Tambakrejo dalam merawat dan menanam bibit mangrove yang konsisten, mencapai keberhasilan hidup bibit mangrove hingga 60 persen, dengan modal awal 2.000 bibit, hingga meningkat menjadi 81.000 bibit.

“Apa yang kami lakukan bertujuan untuk mengembalikan lingkungan Tambakrejo menjadi lebih hijau. Ini juga merupakan dukungan terhadap program “Pertamina menabung 100 Juta Pohon,” kata dia.

“Dengan adanya penanaman ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas Wilayah Tambakrejo yang semakin terkikis abrasi,” Tutup Juraimi, dengan wajah ramah. []

Sumber: okezone.com

read more
Ragam

Pulau Baru di Jepang Terus Meluas

Pulau vulkanik kecil ini berada di sekitar 970 kilometer selatan Tokyo, dekat lepas pantai sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang disebut Nishino Shima. Terletak di perairan Jepang, pulau yang baru timbul ini adalah salah satu dari sekitar 30 Kepulauan Bonin, atau rantai Ogasawara.

Niijima pertama kali terlihat pada 20 November lalu. Pada hari berikutnya, penjaga pantai Jepang merilis video pembentukan pulau itu yang menunjukkan asap mengepul, uap, debu, dan batuan meledak dari kawah yang meletus di laut.

Pada saat itu, para ilmuwan Jepang tidak yakin berapa lama pulau itu akan berlangsung, karena laut sering menelan kembali pulau vulkanik dalam waktu singkat.

Menurut Badan Meteorologi Jepang, Niijima telah berkembang menjadi 56.000 meter persegi (13,8 hektare), sekitar tiga kali ukuran awalnya. Tingginya meningkat sekitar 65 sampai 82 kaki (20-25 meter) di atas permukaan laut.

Ilmuwan Jepang memprediksi, pulau tersebut telah tumbuh cukup besar untuk bertahan hidup selama setidaknya beberapa tahun jika tidak permanen.

Dalam citra satelit NASA yang diambil 8 December lalu, Niijima bisa terlihat jelas di samping pulau yang lebih besar, Nishino Shima. Air di sekitar Niijima itu tampak berubah warna oleh mineral vulkanik, gas, dan sedimen dasar laut yang diaduk oleh aktivitas geologi.

Kini, aktivitas gunung berapi telah lama mengubah tampak planet ini, terutama di sepanjang Ring of Fire, sebuah pinggiran pantai yang mengelilingi sebagian besar Samudera Pasifik termasuk Jepang.

Sumber: NGI

read more
Ragam

Cara Taiwan Kelola Wisata Tambang Tua

“LLHA formosa…pulau yang cantik,” begitu para pelayar Portugis menyebut Taiwan ketika melewati pulau yang terletak di antara China, Jepang, dan Filipina itu. Tak hanya menyandang sebutan cantik, bangsa yang mendiami pulau itu juga kreatif mengolah sumber daya alam.

Hanya sebuah batu, hanya sebuah pasar malam, dan hanya sebuah desa di lereng gunung, tetapi bisa ”disulap” menjadi kawasan pariwisata. Pariwisata berbasis sejarah, ekologi, dan budaya yang mendongkrak ekonomi kreatif warga sekitarnya.

Kesan tersebut muncul ketika Kompas mengikuti ”2013 Taiwan Study Camp for Future Leaders from Southeast Asia” pada 21-30 November yang digelar Kementerian Luar Negeri Taiwan. Kegiatan yang berfokus pada pelatihan kepemimpinan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, dan energi terbarukan itu diikuti 38 peserta dari negara-negara Asia Tenggara.

Kesan itu kami dapati ketika diajak ke sejumlah tempat wisata. Beberapa di antaranya adalah Yehliu Geopark, desa penambang emas Jiufen, dan Taiwan Indigenous Peoples Culture Park.

Yehliu Geopark membentang sepanjang 1.700 meter di pesisir pantai Wanli, New Taipei City. Yehliu Geopark merupakan taman batu karang yang menyuguhkan panorama batu dengan aneka macam bentuk. Lebih kurang ada 180 formasi batu karang. Ada yang menyerupai jamur, lilin, sarang lebah, kepala ratu, gorila, naga, dan masih banyak lagi.

Batu-batu karang itu terbentuk karena proses alam selama jutaan tahun. Erosi air laut berpadu dengan angin, hujan, gelombang laut, dan topan timur laut membantu proses pembentukan batu-batu karang itu.

Mangin Stephen, pemandu Yehliu Geopark asal Perancis, mengatakan, dahulu kawasan itu merupakan tempat tinggal masyarakat Aborigin Taiwan atau Taiwan Indian. Mereka bekerja sebagai nelayan dan berasal dari sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina.

Lantaran kerap didatangi para peneliti dan akhirnya menjadi tempat wisata geologi, mereka pindah ke sejumlah kawasan pegunungan Taiwan. Dahulu, mereka memanfaatkan batu-batu itu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh yang datang dari laut.

”Rata-rata ada 3 juta orang per tahun yang datang ke Yehliu Geopark. Agar formasi batu tidak rusak, kami membatasi para pengunjung yang masuk ke taman, terutama di hari-hari libur. Kami juga menempatkan penjaga untuk menjaga batu-batu itu agar tidak disentuh pengunjung,” kata Stephen.

Stephen menambahkan, masyarakat sekitar Yehliu Geopark juga diberi kesempatan untuk berdagang di kompleks tempat parkir. Mereka mendapat uang dengan menjual makanan, jajanan, dan suvenir.

Sekitar 1 jam perjalanan dari Yehliu Geopark, terdapat tempat wisata desa kuno yang menjadi saksi bisu penambangan emas terbesar di Taiwan. Desa itu adalah Jiufen, berada di antara Gunung Jiufen dan Ghinkuashin.

Jalan kuno
Pada awal pemerintahan Dinasti Qing, Jiufen hanyalah sebuah kampung kecil yang terpencil, terisolasi, dan sepi. Penghuninya hanya sembilan keluarga. Pada 1890, seorang pendatang menemukan bijih emas di Jiufen sehingga kawasan itu menjadi ramai. Pada 1971, tambang itu tidak lagi menghasilkan emas dan ditutup.

Saat ini, kawasan itu berkembang menjadi desa wisata yang menampilkan panorama alam pegunungan. Dari atas desa tersebut, pengunjung dapat melihat sebagian pesisir Lautan Pasifik Taiwan dari gardu pandang sembari meminum teh khas Jiufen.

Selain itu, desa tersebut mempunyai jalan kuno yang dahulu dilewati para penambang emas. Jalan itu berupa tangga batu dan lorong-lorong yang terhubung dengan jalan utama desa. Di desa itu pula banyak pengunjung dapat membeli aneka makanan dan suvenir khas Taiwan. Lantaran terkenal sebagai daerah dingin, banyak pedagang yang menawarkan minuman jahe khas pegunungan Taiwan.

Berkat pengelolaan yang matang dan terencana, desa itu tumbuh sebagai tempat wisata yang diminati ribuan pengunjung. Hampir sebagian masyarakat desa hidup sebagai pedagang dengan mengubah rumah mereka menjadi kios makanan dan minuman atau suvenir.

Jenny Tseng dari Taiwan Turnkey Project Association, pendamping peserta 2013 Taiwan Study Camp, mengemukakan, Pemerintah Taiwan sangat peduli dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu, mereka menempuh berbagai macam upaya, salah satunya mengemas kekuatan dan kearifan lokal dan menawarkannya kepada wisatawan.

”Mereka mengajak warga setempat untuk memasarkan kekuatan dan kearifan lokal yang khas. Kearifan lokal itu bisa berupa potensi alam, budaya, sejarah, dan kesenian,” kata dia.

Salah satu peserta dari Indonesia, Laela Royani, mengaku terkesan dengan pengelolaan pariwisata Taiwan. Pemerintah Taiwan benar-benar melibatkan swasta dan masyarakat setempat. Hal-hal yang mungkin dipandang remeh, seperti batu dan bekas penambangan emas, justru dikemas dengan sangat menarik dan ditawarkan kepada para wisatawan.

”Selain itu, pariwisata di Taiwan ditujukan pula untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui geliat industri rumahan. Pariwisata itu tidak semata untuk menambah pendapatan asli daerah,” kata Laela. []

Sumber: kompas.com

read more