close

pilipina

Sains

Peneliti Kembangkan Komputer Cerdas Tanggap Bencana

Hiruk pikuk koordinasi bantuan bencana di Filipina setelah Topan Haiyan bulan lalu menggarisbawahi perlunya kecerdasan buatan untuk membantu merampungkan tanggap bencana. Proyek ANGGREK, sebuah konsorsium universitas di Inggris dan perusahaan swasta membuat program yang bertujuan membuat ini mungkin dengan menggabungkan kecerdasan manusia dan buatan ke unit pelengkap efisien yang dikenal sebagai Human Agen Kolektif ( HAC ).

Sistem komputer yang dikembangkan dapat melaksanakan tugas-tugas seperti mengarahkan evakuasi, manajemen sumber daya dan perencanaan pencarian, kata Direktur Rescue Global, organisasi penanggulangan bencana yang bertanggung jawab untuk pengujian perangkat lunak ini tahun depan.

” Koordinasi setelah bencana besar sangat menyulitkan tanpa bantuan teknologi yang membuat data lebih mudah diakses , ” katanya dalam misi di Filipina.

” Membawa manusia dan kecerdasan buatan bersama-sama adalah satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan lebih baik . ”

‘Data-angka kemampuan komputer ‘ berarti sistem komputer membuat sejumlah besar informasi yang dihasilkan dalam keadaan darurat dari laporan lokal, media sosial dan berbagai organisasi yang terlibat dalam upaya bantuan.

Dengan mengumpulkan dan menganalisis data ini sistem HAC fleksibel dapat melaksanakan sejumlah kegiatan penting untuk tanggap bencana, kata Jones.

Ini termasuk perencanaan jalur penerbangan evakuasi, memverifikasi informasi dari media sosial, memfasilitasi berbagi data dan mengatur tim kemanusiaan berdasarkan keahlian dan kebutuhan di lapangan.

Mesin tidak hanya menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dan lebih baik dari manusia, tetapi dengan memakai sistem kecerdasan buatan ini perhitungan yang kompleks memungkinkan para ahli berkonsentrasi pada tugas-tugas yang lebih bernuansa seperti menganalisis isi foto atau video, dan perencanaan strategis.

Agar sistem HAC sukses, pembagian kerja harus dipertanggungjawabkan dan keseimbangan yang tepat ditemukan antara buatan manusia dan input,kata pemimpin proyek ANGGREK, Sarvapali Ramchurn,dari Universitas yang berbasis di Inggris, Southampton.

Ia percaya bahwa uji coba lapangan di Teluk Benggala yang direncanakan untuk tahun depan akan menunjukkan lebih jauh bagaimana HACs bisa efektif dan memberi dampak besar di masa depan.

Meskipun rincian tepat dari tes belum selesai, bagaimana algoritma kompleks mengatasi analisis data lingkungan yang datang dari sensor dan media sosial serta kemampuan komputer menilai kualitas informasi ini kemungkinan akan diteliti, katanya .

Sumber: enn.com

read more
Tajuk Lingkungan

Duka Cita Pilipina

Topan Haiyan menghantam kota Tacloban, Propinsi Leyte, Pilipina pada hari Minggu (10/11/2013) meluluhlantakan segala bangunan yang berada di atas bumi. Pemandangan yang tersisa mengerikan, puing-puing kayu berserakan di tanah, tidak banyak bangunan yang sanggup bertahan dari hempasan topan. Kapal-kapal terhempas ke daratan, mengingatkan kita akan bencana gempa bumi dan tsunami yang pernah menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Diperkirakan tak kurang dari 10.000 jiwa melayang. Selain itu kelaparan juga membayangi korban yang selamat mengingat tak banyak makanan yang bisa diperoleh ditengah bencana dahsyat ini.

Sebelumnya sebulan lalu, pada Selasa (15/10/2013), gempa berkekuatan 7,2 skala Richter (SR) mengguncang Pulau Bohol dan Cebu, Filipina Tengah. Bencana dahsyat ini merobohkan banyak bangunan termasuk bangunan bersejarah, merobek jalan-jalan serta menimbulkan korban jiwa. Pemerintah setempat pontang-panting berusaha menyelamatkan penduduk. Kini bencana baru kembali datang.

Walaupun terjadi di dua daerah terpisah namun bencana ini masih dalam satu negara yang berarti satu komando penanggulangan. Tentu saja pemerintah Pilipina harus bekerja ekstra keras membantu rakyatnya yang tertimpa musibah. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana pemerintah dibawah Presiden Benigno Aquino mengatasi dua bencana dahsyat ini. Cuma sebagai orang yang pernah mengalami bencana tsunami di Aceh, saya bisa membayangkan perlu koordinasi yang kuat dalam penanganan pasca bencana.

Dua bencana yang terjadi dalam waktu berdekatan ini memberikan kita pelajaran, paling tidak dua hal. Pertama bahwa bencana bisa datang kapan saja, bisa diprediksi dan tidak bisa diprediksi. Persiapan menghadapi bencana harus terus dilakukan. Saat tidak terjadi bencana, masyarakat harus disadarkan akan bahaya bencana yang mengancam tempat tinggal mereka.

Penyadaran bisa dilakukan melalui kampanye ataupun latihan menghadapi bencana (drill). Sementara pemerintah juga bisa mulai memetakan daerah rawan bencana dan menginventarisir sumber daya yang dimilikinya.

Jika hal persiapan sebelum bencana bisa terlaksana, Insya Allah saat bencana itu benar-benar datang, dampaknya bisa dikurangi. Warga sudah tahu apa yang dilakukan saat bencana datang, kemana harus mengungsi dan yang tak kalah penting adalah bersikap tenang, tidak panik.

Hal kedua mengingatkan kita bahwa dunia kita sudah semakin rentan terhadap bencana. Frekuensi kejadian bencana sudah semakin tinggi. Buktinya saja yang terjadi di Pilipina tadi, hanya berselang sebulan bencana dahsyat datang menimpa. Terlebih bencana yang disebabkan oleh iklim, yang banyak disinyalir oleh ilmuan berkaitan erat dengan perubahan iklim. Penyebab perubahan iklim sendiri diduga akibat aktivitas manusia yang menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK).

Namun sayangnya masih saja banyak negara yang kurang peduli dengan emisi yang mereka hasilkan. Demi menjaga pertumbuhan ekonomi, mereka menolak untuk mengurangi emisi GRK dan mencoba membeli karbon (trade off) dari negara berkembang. Ini berarti emisi akibat ulah manusia (anthropogenic) tidak berkurang. Padahal dibutuhkan usaha yang sangat besar untuk menurunkan iklim bumi sebesar 1 derajat celcius saja, agar bumi tidak bertambang panas dan menyebabkan es di kutub mencair. Kalau es sudah mencair maka dipastikan akan banyak kota-kota di pinggir pantai yang lenyap.

Bencana seharusnya bisa menjadi pengingat yang paling bagus bagi manusia untuk bersiap menghadapi bencana. Jangan seperti pemadam kebakaran, datang saat terjadi kebakaran saja. Jangan sampai pula teringat bencana hanya ketika bencana menimpa. Kalau ini wataknya, maka kita butuh banyak sekali bencana untuk bisa sadar. [m.nizar abdurrani]

read more
Galeri

FOTO: Keganasan Topan Haiyan

Badai super Haiyan menghantam wilayah Tacloban-Filipina, Minggu (10/11/2013) menyebabkan 10.000 orang tewas dan ratusan ribu kehilangan tempat tinggal. Dahsyatnya efek badai Haiyan ini mirip dengan efek tsunami 2004, dimana 70 sampai 80 persen rumah-rumah dan jalan hancur. Bangunan beton merupakan satu-satunya bangunan yang tersisa, ribuan kendaraan yang terbalik dan kabel listrik putus.

read more
Ragam

Topan Super Haiyan Menewaskan 10.000 Orang

Badai super Haiyan menghantam wilayah Filipina. Dahsyatnya terjangan dan efek badai Haiyan ini hampir disamakan dengan efek tsunami 2004. Seperti diberitakan AFP, Minggu (10/11/2013), di Provinsi Leyte, korban meninggal diperkirakan mencapai 10 ribu orang.

“Sekitar 70 sampai 80 persen rumah-rumah dan jalan hancur, ” kata Kepala Kepolisian Filipina Elmer Soria.

Sementara itu, tim dari PBB yang berada di Tacloban menyebut kondisi kota yang berpenduduk 220 ribu orang itu mirip dengan kondisi setelah tragedi tsunami 2004. Hal itu terlihat dengan beton yang merupakan satu-satunya sisa bangunan yang tersisa, kendaraan yang terbalik dan putusnya kabel listrik.

“Ini adalah kehancuran dalam skala besar. Ada mobil yang terlempar seperti tumbleweed dan jalan-jalan penuh dengan puing-puing,” kata Sebastian Rhodes Stampa , kepala tim koordinasi pengkajian bencana PBB di Tacloban .

“Terakhir kali saya melihat sesuatu dalam skala seperti ini adalah pasca tsunami di Samudera Hindia,” imbuhnya yang mengacu pada bencana 2004 yang menewaskan sekitar 220.000 jiwa.

Badai Haiyan menghantam wilayah Leyte dengan kecepatan angin sekitar 315 kilometer per jam. Badai itu menyebabkan gelombang hingga tiga meter.

Pemerintah Filipina juga mengaku kewalahan untuk mengirimkan logistik bantuan dan dan masih banyak masyarakat yang belum bisa dikontak.

“Kami masih berusaha mengontrol logistik dan komunikasi,” kata juru bicara militer Letnan Kolonel Ramon Zagala.

Ia mengatakan masyarakat yang masih belum bisa dikontak adalah masyarakat Guiuan, sebuah kota nelayan dengan penduduk sekitar 40.000 orang, wilayah pertama yang dihantam badai Haiyan.

Korban Berebut Makanan
Mereka yang lolos dari kematian akibat Haiyan di Filipina timur dan tengah, memulai penderitaan baru mereka.

Hari Minggu (10/11/2013), banyak dari warga yang selamat dari ”supertopan” itu mengais-ngais mencari makanan di antara puing-puing bangunan dengan jenazah-jenazah bergelimpangan di sekitarnya. Sebagian yang lain terpaksa menjarah toko-toko, mal, pompa bensin, bahkan konvoi bantuan.

Dua hari setelah salah satu badai terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah memporakporandakan kota-kota di bagian Filipina itu, taktik bertahan hidup menciptakan kenyataan bagai kisah horor.

Korban topan Haiyan menjarah toko mengambil makanan demi hidup | Foto: EPA
Korban topan Haiyan menjarah toko mengambil makanan demi hidup | Foto: EPA

Di pinggiran Tacloban, Provinsi Leyte, sebuah kota di bagian timur negara itu, dengan penduduk 220.000 jiwa yang luluh lantak diterjang gelombang bagai tsunami, Edward Gualberto secara tak sengaja menginjak jenazah-jenazah yang berserakan saat dia mengais-ngais di reruntuhan sebuah rumah.

Dengan hanya mengenakan celana basket warna merah, ayah empat anak yang anggota dewan desa itu meminta maaf atas penampilannya yang lusuh dan karena mencuri dari orang mati.

”Saya orang baik. Tetapi kalau Anda tidak makan selama tiga hari, Anda akan melakukan hal-hal yang memalukan untuk bertahan hidup,” kata Gualberto kepada kantor berita Agence France-Presse (AFP) saat dia mengais-ngais makanan kaleng dari puing-puing, di tengah lalat yang mengerumuni jasad orang-orang mati di sekitarnya.

”Kami tak punya makanan. Kami memerlukan air dan hal-hal lain untuk bertahan hidup,” ujarnya mengiba.

Setelah bekerja keras setengah hari, dia telah mengisi sebuah kantong dengan berbagai kebutuhan, seperti beberapa kotak spageti, sejumlah kaleng bir, detergen, sabun, dan biskuit.

”Topan ini telah merenggut martabat kami…, tetapi saya masih mempunyai keluarga saya dan saya bersyukur untuk itu,” katanya.

Saat para petugas penyelamat berjuang untuk mencapai desa-desa sepanjang pesisir, mereka yang selamat mengais-ngais makanan atau mencari kerabat mereka yang hilang.

”Orang-orang berjalan bagaikan zombi, mayat hidup, mencari makanan,” kata Jenny Chu, seorang mahasiswa kedokteran di Leyte. ”Ini seperti film.”

Tacloban terletak dekat Red Beach di Pulau Leyte, tempat Jenderal Amerika Serikat Douglas MacArthur mendarat tahun 1944 pada akhir Perang Dunia II dan memenuhi janjinya yang terkenal, ”I shall return (Saya akan kembali).”

Itu merupakan kota pertama yang dibebaskan dari tentara Jepang oleh pasukan gabungan AS dan Filipina dan pernah menjadi ibu kota sementara Filipina selama beberapa bulan setelah itu. Tacloban juga kota asal mantan ibu negara Filipina, Imelda Marcos. Keponakan Imelda, Alfred Romualdez, kini menjadi Wali Kota Tacloban.

Seorang warga Tacloban mengatakan, dia dan sejumlah orang mencari perlindungan di dalam sebuah mobil jip saat badai datang. Namun, kendaraan itu dengan mudah tersapu gelombang tinggi air yang datang menerjang. ”Airnya sampai setinggi pohon kelapa,” kata Sandy Torotoro, seorang tukang ojek sepeda yang tinggal dekat Bandara Tacloban dengan istri dan putri mereka yang berusia 8 tahun.

”Saya keluar dari jip itu dan saya tersapu arus air dengan batang-batang kayu, pohon, dan rumah kami, yang tercerabut. Ketika kami tersapu air, banyak orang hanyut dan mengangkat tangan berteriak minta tolong. Kami bisa apa? Kami juga perlu ditolong,” kata Torotoro.

Di desanya, mayat-mayat tergeletak sepanjang jalan utama yang berlumpur. Warga yang kehilangan rumah berkumpul meringkuk dengan sedikit harta benda yang sempat mereka selamatkan.

Laporan kerusakan datang dari sebagian besar kawasan Visayas, kawasan dengan delapan pulau besar, termasuk Leyte, Cebu, dan Samar.

Tim Ticar, seorang pejabat pariwisata setempat, mengatakan, 6.000 turis lokal dan asing terdampar di pulau wisata Boracay, salah satu titik yang dilewati jalur topan itu.

”Air laut mencapai lantai kedua hotel,” kata Nancy Chang, yang dalam perjalanan bisnis dari China di Tacloban dan berjalan tiga jam melewati lumpur dan puing-puing untuk menuju pusat evakuasi militer di bandara. ”Ini seperti kiamat,” katanya.

Penjarahan pun marak. Dua mal terbesar di Tacloban dan toko bahan pangan dijarah warga yang kelaparan. Kekosongan keamanan ketika petugas polisi di kota itu tidak masuk kerja setelah topan dimanfaatkan sebagian orang yang selamat.

Seperti Gualberto, banyak warga mengatakan mereka belum makan sejak topan itu dan pihak berwenang mengakui tidak bisa mendatangkan cukup bahan bantuan ke kota itu.

Seorang pemilik toko daging berusaha mencegah massa memasuki tokonya dengan sebuah senjata api. Massa tidak peduli, dan toko itu tetap dijarah. Pengusaha itu hanya bisa memaki-maki.

Ketua Palang Merah Filipina Richard Gordon menyebut sebagian penjarah itu penjahat setelah salah satu konvoi bantuan organisasinya dijarah dekat Tacloban.

Di sudut lain kota itu, pria, wanita, dan anak-anak yang bingung berjalan tanpa arah tujuan di sepanjang jalan yang dipenuhi mobil terbalik dan tiang listrik tumbang. Bau anyir kematian memenuhi udara.

Sumber: theglobejournal.com

read more