close
Kawasan pemukiman yang rusak parah diterjang topan Haiyan | Foto: telegraph

Topan Haiyan menghantam kota Tacloban, Propinsi Leyte, Pilipina pada hari Minggu (10/11/2013) meluluhlantakan segala bangunan yang berada di atas bumi. Pemandangan yang tersisa mengerikan, puing-puing kayu berserakan di tanah, tidak banyak bangunan yang sanggup bertahan dari hempasan topan. Kapal-kapal terhempas ke daratan, mengingatkan kita akan bencana gempa bumi dan tsunami yang pernah menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Diperkirakan tak kurang dari 10.000 jiwa melayang. Selain itu kelaparan juga membayangi korban yang selamat mengingat tak banyak makanan yang bisa diperoleh ditengah bencana dahsyat ini.

Sebelumnya sebulan lalu, pada Selasa (15/10/2013), gempa berkekuatan 7,2 skala Richter (SR) mengguncang Pulau Bohol dan Cebu, Filipina Tengah. Bencana dahsyat ini merobohkan banyak bangunan termasuk bangunan bersejarah, merobek jalan-jalan serta menimbulkan korban jiwa. Pemerintah setempat pontang-panting berusaha menyelamatkan penduduk. Kini bencana baru kembali datang.

Walaupun terjadi di dua daerah terpisah namun bencana ini masih dalam satu negara yang berarti satu komando penanggulangan. Tentu saja pemerintah Pilipina harus bekerja ekstra keras membantu rakyatnya yang tertimpa musibah. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana pemerintah dibawah Presiden Benigno Aquino mengatasi dua bencana dahsyat ini. Cuma sebagai orang yang pernah mengalami bencana tsunami di Aceh, saya bisa membayangkan perlu koordinasi yang kuat dalam penanganan pasca bencana.

Dua bencana yang terjadi dalam waktu berdekatan ini memberikan kita pelajaran, paling tidak dua hal. Pertama bahwa bencana bisa datang kapan saja, bisa diprediksi dan tidak bisa diprediksi. Persiapan menghadapi bencana harus terus dilakukan. Saat tidak terjadi bencana, masyarakat harus disadarkan akan bahaya bencana yang mengancam tempat tinggal mereka.

Penyadaran bisa dilakukan melalui kampanye ataupun latihan menghadapi bencana (drill). Sementara pemerintah juga bisa mulai memetakan daerah rawan bencana dan menginventarisir sumber daya yang dimilikinya.

Jika hal persiapan sebelum bencana bisa terlaksana, Insya Allah saat bencana itu benar-benar datang, dampaknya bisa dikurangi. Warga sudah tahu apa yang dilakukan saat bencana datang, kemana harus mengungsi dan yang tak kalah penting adalah bersikap tenang, tidak panik.

Hal kedua mengingatkan kita bahwa dunia kita sudah semakin rentan terhadap bencana. Frekuensi kejadian bencana sudah semakin tinggi. Buktinya saja yang terjadi di Pilipina tadi, hanya berselang sebulan bencana dahsyat datang menimpa. Terlebih bencana yang disebabkan oleh iklim, yang banyak disinyalir oleh ilmuan berkaitan erat dengan perubahan iklim. Penyebab perubahan iklim sendiri diduga akibat aktivitas manusia yang menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK).

Namun sayangnya masih saja banyak negara yang kurang peduli dengan emisi yang mereka hasilkan. Demi menjaga pertumbuhan ekonomi, mereka menolak untuk mengurangi emisi GRK dan mencoba membeli karbon (trade off) dari negara berkembang. Ini berarti emisi akibat ulah manusia (anthropogenic) tidak berkurang. Padahal dibutuhkan usaha yang sangat besar untuk menurunkan iklim bumi sebesar 1 derajat celcius saja, agar bumi tidak bertambang panas dan menyebabkan es di kutub mencair. Kalau es sudah mencair maka dipastikan akan banyak kota-kota di pinggir pantai yang lenyap.

Bencana seharusnya bisa menjadi pengingat yang paling bagus bagi manusia untuk bersiap menghadapi bencana. Jangan seperti pemadam kebakaran, datang saat terjadi kebakaran saja. Jangan sampai pula teringat bencana hanya ketika bencana menimpa. Kalau ini wataknya, maka kita butuh banyak sekali bencana untuk bisa sadar. [m.nizar abdurrani]

Tags : bencanapilipina

Leave a Response