close

REDD

Green Style

LH-Fund Harapan Baru Hadapi Krisis Iklim

Jakarta – Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi peluncuran LH-Fund oleh pemerintah Indonesia, untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, konservasi, dan peningkatan stok karbon atau REDD+.

Peluncuran LH-Fund ini sangat ditunggu-tunggu karena diharapkan dapat menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup agar Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang semakin masif, salah satunya adalah bencana kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap yang telah banyak menelan korban dan menimbulkan kerugian ekonomi, kesehatan, dan reputasional yang sangat besar.

“Hari ini, Indonesia berjalan selangkah lebih maju untuk mengimplementasikan Paris Agreement secara konkret untuk mencapai komitmen iklim saat ini dan meningkatkan ambisi iklim di masa depan,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Senjata baru di tangan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, yakni dengan difokuskan pada program-program prioritas yang betul-betul berdampak luas pada iklim dan kesejahteraan masyarakat, seperti percepatan restorasi ekosistem gambut dan pendampingan perhutanan sosial pasca-izin agar dapat berkontribusi pada pencapaian target NDC.”

Percepatan dan perluasan restorasi gambut, termasuk di wilayah konsesi yang terbakar, adalah kunci untuk mencegah terulangnya Karhutla yang menyengsarakan rakyat. Sementara itu, perhutanan sosial selain menjadi strategi pemerataan ekonomi juga berpotensi berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia apabila ada pendampingan yang kuat dari pemerintah dan pihak-pihak lain.

Madani juga mengapresiasi penekanan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kekuatan dan kearifan lokal masyarakat adat dan lokal yang perlu difasilitasi dan dipermudah aksesnya terhadap pendanaan lingkungan hidup ini.

“Selain akses yang mudah terhadap pendanaan, kami juga berharap akan ada mekanisme partisipasi masyarakat yang terlembaga dalam operasionalisasi LH-Fund ini, sehingga masyarakat dan masyarakat sipil memiliki ruang untuk ikut menentukan prioritas penggunaan dana dan ruang untuk mengajukan keluhan apabila hak-hak mereka terlanggar dalam implementasi berbagai aksi mitigasi yang didanai LH-Fund,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani.

“Partisipasi yang terlembaga menjadi penting karena sebagai salah satu instrumen pengendalian perubahan iklim, pada akhirnya, LH-Fund harus bisa mengoperasionalkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam Pembukaan Paris Agreement, yang turut mencakup penghormatan terhadap HAM, hak-hak masyarakat adat dan lokal, kesetaraan gender, serta ketahanan pangan,” tutupnya.[rel]

read more
Perubahan Iklim

Indonesia Bersiap Tagih pembayaran REDD+ ke Pemerintah Norwegia

Jakarta – Pada 2016, emisi GRK nasional Indonesia terbesar adalah dari sektor AFOLU (Pertanian, Hutan dan Pemanfaatan Lahan) yaitu 51,59 persen dari total emisi sebesar 1,457,774 Gg CO2e termasuk kebakaran lahan gambut. Emisi AFOLU meningkat sebesar 25 persen selama kurun waktu 2000-2016. Akan tetapi, proporsi emisi dari AFOLU mengalami penurunan sebesar 7 persen dan tren ini kemungkinan akan terus berlanjut. Pada tahun 2017, emisi dari sektor energi lebih tinggi daripada AFOLU, yakni 49 persen sedangkan AFOLU dan kebakaran gambut hanya berkontribusi sebanyak 25 persen dari total emisi GRK nasional. Pada 2017, capaian penurunan emisi Indonesia dari target NDC 29 persen tahun 2017 adalah 24,5 persen, capaian tertinggi sejak tahun 2010. Akan tetapi, capaian ini masih di bawah target mutlak penurunan emisi Indonesia, yakni 29 persen dari BAU pada 2030.

Dirjen PPI dalam Pekan REDD+ pada 26 Maret 2019 menyatakan bahwa ada potensi peningkatan ambisi NDC di sektor energi karena proyeksi emisi dari energi diperkirakan akan terus meningkat sedangkan target penurunan emisi di sektor kehutanan dipandang sudah sangat ambisius sehingga sulit untuk lebih tinggi lagi.

Kebijakan mitigasi sektor AFOLU yang dirujuk adalah PP Gambut, moratorium, pengendalian kebakaran, perhutanan sosial, rehabilitasi hutan dan lahan, sertifikasi kayu, dan manajemen perkebunan tanpa bakar. Saat ini, PP gambut adalah kebijakan mitigasi dengan landasan hukum terkuat sementara kebijakan lainnya kebanyakan merupakan peraturan menteri. Kebijakan dengan landasan hukum paling lemah adalah moratorium (ditambah moratorium sawit yang belum masuk BUR) dan pengendalian kebakaran kebakaran yang bentuknya hanya Instruksi Presiden yang memiliki batas waktu berlaku.Terkait pengelolaan hutan lestari, pemerintah sedang menyiapkan peraturan menteri untuk implementasi mandatory RIL-C beserta mekanisme pemantauannya.

Update pelaksanaan Redd+
Indonesia sedang bersiap untuk mengklaim pembayaran berbasis hasil (RBP) untuk REDD+ ke Pemerintah Norwegia sesuai dengan Letter of Intent (LoI) dan Green Climate Fund (GCF). FREL deforestasi yang diajukan ke pemerintah Norwegia lebih ambisius (lebih rendah) karena periode referensi yang digunakan sebagai baseline deforestasi hanya 10 tahun, yakni 2006-2016 sedangkan untuk GCF, periode referensi deforestasi yang digunakan adalah 22 tahun, yakni 1990-2012. Belum ada laporan asesmen menyeluruh terkait kepatuhan terhadap safeguards dan rencana pembagian manfaat kecuali bahwa dana tersebut akan dimasukkan ke dalam Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang menyusun FREL 2 untuk digunakan setelah 2020 dan dapat didorong untuk lebih ambisius dengan menggunakan baseline yang lebih rendah. Pemerintah juga telah mengalokasikan FREL deforestasi dan degradasi hutan di tingkat subnasional (provinsi) berdasarkan pertimbangan emisi historis dari deforestasi dan degradasi hutan serta emisi potensial yang mungkin terjadi di masa depan sesuai dengan tutupan hutan alam yang ada. FREL provinsi berlaku hingga 2020. Lima provinsi (dari 34 provinsi) dengan alokasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan terbesar adalah: (1) Papua, (2) Kalimantan Tengah, (3) Sulawesi Tengah, (4) Kalimantan Timur, dan (5) Kalimantan Utara.

Progress Pelaksanaan Kebijakan Mitigasi Kehutanan
Moratorium Izin Baru Di Hutan Primer Dan Lahan Gambut
Revisi terakhir dari PIPPIB dilakukan pada tanggal 17 Desember 2018 (Revisi XV). Kebijakan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2017 (perpanjangan keempat) ini,akan berakhir pada tanggal 17 Juli 2019 mendatang jika kebijakan ini tidak lagi diperpanjang selama dua tahun atau ditingkatkan menjadi perlindungan permanen. Dirjen PPI menyatakan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan perpanjangan moratorium dan masih mendiskusikan dan melakukan analisis mengenai apakah moratorium dapat diberlakukan juga untuk hutan sekunder.

Moratorium Sawit
Dari September 2018 hingga Maret 2019, pemerintah (dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) belum membentuk Tim Kerja sebagaimana diamanatkan oleh Instruksi Presiden. Koalisi masyarakat sipil telah mengajukan permintaan kepada Kemenko Perekonomian untuk terlibat dalam Tim Kerja, namun belum mendapatkan tanggapan positif.

Saat ini, Kemenko Perekonomian dikabarkan tengah menyusun prosedur untuk implementasi moratorium sawit, terutama aspek evaluasi perizinan dan telah berkomunikasi dengan kepala dinas di tujuh provinsi yaitu Jambi, Riau, Sumsel, Sumut, Kalbar, Kalteng, dan Kaltim. Fokus untuk piloting adalah di Riau. Berdasarkan dataset Greenpeace, ada sekitar 3,3 juta hektare hutan alam di dalam konsesi kelapa sawit pada tahun 2017 dengan jumlah terbesar terletak di Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dan Papua Barat.

Restorasi Gambut
Dari target restorasi seluas 2 juta hektare lahan gambut yang terbakar pada tahun 2015, setengahnya terletak di area konsesi. Progres restorasi lahan gambut yang dilakukan oleh BRG dan mitra pada 2016-2018 hanya seluas 679.901 hektare (semuanya berada di luar area konsesi). Sedangkan restorasi di area konsesi. Ada 99 konsesi hutan tanaman industri di kawasan ekosistem lahan gambut dengan luas 2,59 juta hektare. Jumlah yang terbesar berada di Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat. Sekitar 1,43 hektare area konsesi terletak di lahan gambut yang dilindungi dan harus dizonasi ulang dan dipulihkan jika dibakar/dirusak.

Dari keseluruhan 99 HTI di ekosistem gambut, 83 diantaranya telah melakukan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan 45 perusahaan telah menyerahkan rencana restorasi mereka kepada KLHK (dokumen RKU dan rencana pemulihan tidak dibuka). Terlepas dari sanksi ketat yang diberlakukan oleh KLHK, beberapa perusahaan masih lolos meskipun melakukan pembakaran lahan gambut untuk kelapa sawit seperti dalam kasus PT Pundi Lahan Khatulistiwa, Saraswanti, dan Mulia Agro Sawit Lestari di Kalimantan Barat.

Perhutanan Sosial
Capaian distribusi perhutanan sosial per 4 Maret 2019 adalah 2,56 juta hektare, yang terbanyak adalah hutan desa (50 persen), disusul hutan kemasyarakatan (25 persen), hutan tanaman rakyat (13 persen), dan kemitraan kehutanan (11 persen). Capaian hutan adat hanya 1 persen dari luas perhutanan sosial keseluruhan.

Dalam sembilan (9) bulan yang tersisa hingga Desember 2019, target distribusi yang masih harus dicapai KLHK adalah 1,82 juta hektare. Terkait hutan adat, Dirjen PSKL masih belum menetapkan Peta Indikatif Lokasi Hutan Adat (PILHA) yang didorong masyarakat sipil dan luasnya mencapai 369.861 hektare. Sementara itu, target verifikasi hutan adat tahun 2019 adalah 30.000 hektare.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari “Laporan Terkini Madani: Perkembangan NDC Indonesia di Sektor Kehutanan”.

Sumber: madaniberkelanjutan.id

read more
Perubahan Iklim

Resolusi Konflik Dalam Implementasi REDD+

Informasi Geospasial adalah informasi ruang kebumian, yang menyangkut aspek lokasi, letak suatu objek atau peristiwa dipermukaan bumi. Peta merupakan hasil informasi geospasial, pada dasarnya peta merupakan alat untuk merencanakan pembangunan di segala sektor.

Dewasa ini, pembuatan peta dan informasi geospatial ibarat sebuah pasar, di dalamnya terpampang berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pembeli bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia kehendaki. Bila pembeli menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu. Semua tinggal pesan, pilih dan bayar, seperti inilah kondisi perpetaan dan geospatial di Indonesia.

Ini terjadi disektor kehutananan dan perkebunan, sektor ini  dibutuhkan banyak peta, seperti peta hutan primer, hutan produksi, hutan gambut  hingga perkebunan sawit. Peta dapat dipesan sesuai selera pembeli, pesan, pilih dan bayar.
Saat ini, peta bisa dioplos dari pusat hingga kabupaten dan bermuara pada  izin penggunaan lahan, tentu ini berimbas sistem perizinan, sering terjadi tumpang tindih peraturan dan lahan, kemudian hari akan memicu terjadinya konflik horizontal dan vertikal

Transaksi Lahan
Permasalahan lainnya adalah Negara ini memiliki jumlah desa dalam kawasan hutan berkisar di 2.805 desa dikawasan hutan dan 16.605 desa disekitar kawasan hutan dan umumnya miskin serta rentan konlik (DKN, 2011). Dua kawasan ini menjadi bom waktu konflik lahan, ini  disebabkan oleh batas kawasan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, dan perencanaan pembangunan kehutanan belum mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan, tidak adanya kesepakatan“Satu Peta” menjadi biang kerok permasalahan ini, hingga konflik pun berkepanjangan.

Akibatnya adalah tingkat konflik lahan masih tinggi per-sektor, untuk sektor perkebunan berkisar  180 kasus dengan luas areal 527.939,27 hektar, pertambangan 38 kasus dengan 197.365,90 ha, sector kehutanan 31 kasus dengan luas 545.258 hektar, perkebunan merupakan sektor tertinggi dalam hal kuantitas kasus (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2103). Ini salah satu bukti tidak jelasnya batas kawasan dan terjadi sengkata lahan,  peta oplosan masih berlaku di level tapak.

Secara nyata, perkebunan kelapa sawit memberikan sumbangan siginifikan bagi perluasan lahan secara besar-besaran di Indonesia. Kebun sawit seluas 9 juta hektar memproduksi 23 juta ton CPO dengan perluasan kebun sawit per tahun rata-rata 400.000 hektar (Sawit Watch, 2012). Banyak di antaranya menggunakan tanah-tanah masyarakat adat, kawasan hutan konservasi dan kawasan bergambut. Dikawasan ini selisih dan sengketa lahan tak pernah padam,beragam peta odong – odong diterbitkan oleh pihak terkait dan menjadi punca permasalahan.

Akibat dari yang disebutkan di atas, maka laju deforestasi dan degradasi hutan masih cukup tinggi, 480.000/tahun (Statistik Kehutanan, 2012). Merujuk pada data FAO 2010, angka 480.000 hektar/tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain tingginya permintaan pasar terhadap produk-produk yang membutuhkan lahan luas. Implikasi dari hal ini adalah konflik tanah, ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan emisi dari konversi lahan.

Ironis memang, tumpang tindih peta masih berlaku dan masih terus digunakan di Indonesia. Faktanya adalah ada 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan.  Analoginya adalah Pemerintah Pusat ada lima lembaga seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lalu hal sama terjadi di tingkat  propinsi dan seterusnya hingga kabupaten. Hal ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing – masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat(Mubariq Ahmad, Banda Aceh, Januari 2014).

Pertanyaan mendasar pada kasus ini, Kenapa Kementrian dan LembagaNegara tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG). Mungkin jawabannya adalah masih tingginya konflik kepentingan dan ego –sektoral antar lembaga pemerintahan serta konsolidasi informasi pada satu lembaga Negara yang tidak transparan dan akuntabel.  Hal ini dipersulit dengan adanya kepentingan Politik dan Ekonomi, mungkin saja ada yang akan terganggu dengan penggunaan“One Map Policy.
Memitigasi Multi Tafsir Peta dan Resolusi Konflik
MenurutMubariq Ahmad, mantan Ketua Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ dalam lokakarya “Peliputan Perubahan Iklim” yang diadakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Banda Aceh, Selasa 28 Januari 2014, setidaknya

ada tujuh Undang-Undang yang memuat dasar informasi menjadi dasar penguasaan lahan, yaitu Kementerian Kehutanan berpedoman pada UU No 41 Tahun 1999, Kementrian Pertanian mengacu pada UU No 18 tahun 2014, Kementerian ESDM dengan mengacupada UU No 4 Tahun 2009, BPN mengacu pada UU No 2 Tahun 2012, Pemerintah Daerah dengan mengacupada UU No 32 Tahun 2004, lalu juga ada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Benturan peraturan ini harus segara diharmonisasikan dan diintegrasikan dalam satu peta.

Perlu ditegaskan, bahwa Indonesia harus segera melaksanakan implementasi REDD Plus, Negara ini, sedang disorot oleh dunia Internasional terhadap keseriusannya mengurangi emisi karbon sebesar 26% – 41%, dibawah perkiraan emisi tahun 2020. Pemerintah harus menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Upaya tersebut tertuang dalam Inpres No 6/2013 tentang Inisiasi Kebijakan Penurunan Emisi Karbon (REDD+). Disisi lain, Negara ini harus memulai transisi perekonomiannya menuju Energi Rendah Karbon dan secara jangka panjang pada tahun 2030 sektor kehutanan ditargetkan menjadi penyerap netto karbon.

Hal lain dari subtansi REDD plus adalah pertama, mengamanatkan penggunaan satu peta referensi pemberian izin. Kedua, Pemerintah selayaknya memperbaiki sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan. Ketiga, upaya untuk perpanjangan moratorium izin perkebunan baru. Jika perlu, Pemerintah memperpanjang moratorium izin perkebunan baru sampai peta satu (one map) siap dan dilaksanakan oleh Kementrian dan Lembaga Negara.

Saat ini telah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang   bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan akses Infomasi geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping itu adanya lembaga BIG (Badan Informasi geospasial) yang mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar.

Penggunaan informasi geospasial “SatuPeta” harus dengan satu tafsir yang akuntanbel, transparansi dan kredibel. Dimasa yang akan datang, diharapkan tidak ada lagi“Multi tafsir Peta”. Kebijakan“Peta Satu” diharapkan akan dipatuhi dan ditaati oleh semua pihak dan menjadi satu-satunya peta yang digunakan oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Kebijakan “Satu Peta” menjadi resolusi konflik lahan disektor kehutanan,  perkebunan dan masyarakat. Usaha ini tentu akan berdampak besar dalam aksi REDD  Plus di Indonesia.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk. Chik Pantee Kulu, Darusalam, Banda Aceh dan Pengamar satwa liar Indonesia.

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintahan Baru Diharapkan Beri Perhatian Lingkungan

Pemerintahan yang baru diharapkan dapat memberikan perhatian untuk melestarikan lingkungan. Selain itu pemerintah mendatang juga diminta mampu mendorong terciptanya usaha-usaha penyelenggaraan infrastruktur hijau di Indonesia.

“Pemerintah sekarang telah juga menerapkan beberapa kebijakan terhadap pelestarian lingkungan hidup dan perubahan iklim global‎. Indonesia bahkan telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Global Climate Change di tahun 2007 lalu, di Bali,” kata Mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo, di Jakarta, Kamis (1/5/2014).

Lebih lanjut Pramono menuturkan bahwa atas peran sentral pengembangan infrastruktur terhadap usaha mensejahterakan masyarakat Indonesia. “Tidak juga perlu diperdebatkan lagi mengenai kapan dan siapa yang harus memelihara lingkungan dari ancaman kehancuran,” lanjutnya.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini menghimbau seluruh warga dunia wajib mengusahakan kemakmuran dan pelestarian lingkungan hidup.

Terkait pelaksanaan Green Infrastructure Summit & Conference, Pramono sangat mengapresiasi inisiatif yang dilakukan KADIN Pusat, Bidang Pengembangan ‎Infrastruktur.

“Kamar Dagang Indonesia menunjukan kepada kita semua atas komitmen dan tanggung jawabnya dalam pengembangan infrastruktur selama ini. Kini tanggung jawab tersebut dilanjutkan dengan komitmen pengembangan infra steuktur hijau. Sungguh sebuah langkah kemajuan besar dalam melanjutkan cita-cita bangsa untuk mensejahterakan rakyatnya,” ungkapnya. []

Sumber: okezone.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Kuntoro Puji Gubernur Jambi Lestarikan Lingkungan

Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto memuji komitmen Gubernur Jambi Hasan Basri Agus dan seluruh jajaran pemerintahannya dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.

Pernyataan ini disampaikannya saat menghadiri “Workshop for South East Asia on Ecosystem Conservation and Restoration to Support Achievement of Aichi Biodiversity” di Jambi, Senin, (29/04/2014).

Acara Workshop ini akan berlangsung 28 April sampai 2 Mei 2014 akan mambahas rencana strategis Keanekaragaman hayati yang merupakan kerangka kerja 10 tahun untuk mendukung implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).

Kerangka kerja tersebut mencakup kesepakatan akan pencapaian Target Global Keanekaragaman Hayati atau yang dikenal dengan “Aichi Target”, untuk mengurangi laju kerusakan keanekaragaman hayati berikut komitmen negara-negara anggota CBD untuk memutakhirkan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati guna mencapai Aichi Target.

Kuntoro mengatakan, Jambi dijadikan sebagai percontohan dikarenakan Gubernur Jambi begitu terbuka terhadap ide-ide terhadap perbaikan lingkungan hidup hal ini ditunjukkan dengan dua hal yaitu adanya pembuatan pemetaan hutan dan adanya kesepakatan untuk mereview kembali perizinan kebun dan kawasan hutan.

“Hal ini menurut saya adalah satu yang mendasar bahwa Gubernur mau membuat kesepakatan untuk mereview kembali perizinan kebun dan kawasan hutan. Jambi adalah provinsi kedua yang dijadikan percontohan setelah Kalimantan Tengah,” katanya.

Namun permasalahan yang dihadapi tidak sama, di Kalteng terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu pemanfaatan lahan gambut untuk sawah, sedangan di Jambi tidak, permasalahan yang ada yaitu tentang keanekaragaman hayati yang harus mendapatkan perlindungan, ujar Kuntoro.

Ia menjelaskan, diharapkan dengan adanya program REDD+ ini dapat juga mengokomodir kebutuhan dan kebijakan bagi para masyarakat yang memanfaatkan dan bergantung kepada hasil alam di sekitar hutan.

Sementara itu Gubernur Jambi dalam sambutannya menyatakan dengan adanya kerja sama dengan REDD telah mengawali langkah nyata di Provinsi Jambi melalui kegiatan penataan perizinan yang ke depannya akan dibangun sistem pengelolaan informasi perizinan.

“Saya menilai bahwa kegiatan ini merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan pembangunan Provinsi Jambi dalam mempertahankan kelestarian hutan dari kegiatan degradasi dan deforestasi,” katanya.

Gubernur menilai bahwa tersusunnya dokumen SRAP REDD+ Provinsi Jambi hal tersebut sangat beralasan, mengingat sekitar 43 persen dari luas wilayah Jambi (2,2 juta hektare), terdiri dari kawasan hutan, dan sekitar 8,7 persen (191 ribu hektare) terdiri dari hutan lindung gambut.

Selain itu, di Provinsi Jambi terdapat empat Taman Nasional, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit 30, Taman Nasional Bukit 12, dan Taman Nasional Berbak.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Perubahan Iklim

WALHI Pesimis Badan REDD Mampu Bekerja

“Kami merasa pesimis proyek ini akan berjalan dengan baik,” ujar Deddy Ratih Manager Pengembangan Program Walhi saat menanggapi proyek REDD+ di Indonesia kepada Ekuatorial (24/4/2014). Deddy merasa tugas dan fungsi serta beban kerja REDD+ sangat besar dan permasalahan struktural banyak sekali.

Kontrasnya pesimisme Walhi ini datang dari tegasnya optimisme Ketua Badan REDD+ Heru Prasetyo yang diungkapnya dalam evaluasi kinerja Badan REDD+ di Hotel Shangri-La, Jakarta, hari sebelumnya (23/4). Heru menyatakan bahwa sejauh ini mereka sudah berada di jalur yang benar dan sesuai dengan perencanaan awal, ia tetap optimis untuk terus menjalankan proyek ini.

“Saat ini kami sudah berada di fase kedua yaitu transformasi. Target kami untuk tahun 2016 mendatang ada tiga: satu, Indonesia secara operasional dan secara institusi dapat siap memasuki ke fase ke tiga; dua, Indonesia melaporkan pengurangan emisi dari 3 sektor yaitu deforestasi, dekomposisi lahan gambut, dan pembakaran lahan gambut dan tiga, Indonesia bisa mencapai perkembangan yang signifikan dalam kegiatan mitigasi emisi karbon,” jelas Heru.

Selanjutnya Heru menyebutkan daftar pekerjaan yang tengah digarap Badan REDD+ panjang lebar: menyusun database perizinan kehutanan, pertanian, dan pertambangan; membuat peta tingkat emisi untuk MRV (measurement, reporting and verification); akuisisi satelit beresosusi tinggi; melindungi kepentingan rakyat adat; berkomitmen dalam resolusi yang kuat terhadap konflik; mendukung penegakkan hukum untuk perlindungan hutan dan gambut; pembuatan pengelolaan pembakaran hutan dan lahan gambut untuk upaya mitigasi; pembuatan program desa hijau dan sekolah hijau; melakukan advokasi di semua level mulai dari adat, provinsi, negara dan internasional; melakukan komitmen kerjasama dengan berbagai pihak.

“Saat ini REDD+ sudah secara operasional bekerja di 11 provinsi di Indonesia, yaitu Aceh, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Papua dan Papua Barat. Dan di tahun 2015 akan ada 21 provinsi lainnya yang sekarang sedang dalam tahap persiapan,” tambah Heru.

Namun, daftar panjang itu tak juga membuat Walhi optimis Badan REDD+ efektif dalam usaha penurunan emisi Indonesia. Deddy menyebutkan bahwa posisi Badan REDD+ kurang jelas karena tidak ada landasan hukumnya. Ia khawatir jika nantinya Badan REDD+ akan menjadi kambing hitam jika kerjasama Indonesia dengan Norwegia tidak berhasil dilaksanakan. Deddy juga mengatakan, “Seharusnya pemerintah Indonesia sadar, pengurangan emisi karbon merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua pihak bukan hanya REDD+.”

Pada evaluasi kinerja REDD+, hadir juga Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Tine Sundtoft. Ia mengapresiasi hasil kinerja BP REDD+ hingga saat ini, “Selamat atas pencapaiannya hingga saat ini, Indonesia sudah melakukan langkah yang baik untuk kebijakan pengurangan emisi karbon dan ini hasil yang positif.”

Selanjutnya Tine mengatakan bahwa kedepannya akan banyak sekali tantangan dan tahap ketiga merupakan tahapan yang krusial. “Sebetulnya ini adalah kerjasama yang sederhana. Kalian mengerjakan, kami membayar,” canda Tine. Januar Hakam

Sumber: equator.com

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Kurangi Emisi, Berikan Indonesia Keuntungan Finansial

Kepala Badan Pengelola Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation atau yang disingkat REDD+ Heru Prasetyo mengatakan Norwegia sepakat dengan empat argument yang diajukan Indonesia mengenai REDD+.

“Empat argument itu adalah Ekonomi dan Finansial, Pemerintah atau tata kelola, peningkatan kesejahteraan dan Keadilan dan hak masyarakat. Pihak Norwegia menyambut positif,” ujar Heru kepada wartawan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (22/4).

Empat argumen itu, pertama, kata Heru, bila Indonesia berhasil mengurangi emisi maka akan ada keuntungan ekonomi dan finansial yang diberikan. Problemnya, lanjut dia, didalam diskusi global saat ini hal itu masih lesu.

Heru mengatakan argument itu terjadi dikarenakan pada awal pengenalan REDD+ ada anggapan bahwa program itu akan membawa uang ke daerah. Hal itu perlu dikoreksi, sebab pasar belum terbentuk. Bila dipaksakan akan stress sendiri.

Lalu yang kedua, terkait efisiensi dari penerapan peraturan. Menurut Heru, kehadiran REDD+ adalah memperbaiki pemerintah soal efisiensi serta transparansi dan melihat apakah UU lingkungan hidup di Indonesia diimplementasikan dengan baik.

“Kemudian kekuasaan yang berbagi antara pusat dan daerah,” ujar dia.

Heru mengatakan argument ketiga merupakan suatu keputusan yang sangat fundamental dalam pelaksanaan Redd+. Jika itu terlaksana keadilan dan hak bisa didorong.

“Keempat argument itu setelah disepakati oleh Norwegia langsung di implementasikan di lapangan,” ucap dia.

Heru mengatakan pihaknya menerapkan 5 elemen dalam penerapan strategi nasional REDD+.

Pertama, Institusi harus ditingkatkan kapasitasnya. Lalu kedua regulasi dan Hukum harus ditegakkan. Kemudian keterlibatan dari seluruh stakeholder harus dilakukan.

“Keempat, kita harus berubah pikiran kita dari eksploitasi terhadap aset menjadi lebih menjaga untuk anak cucu kita,” ujar Heru.

Terakhir, perlunya dasar-dasar itu dibangun seperti peta yang baik, data yang jujur dan transparansi.

Di tempat yang sama, Seketaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan REDD+ harus menjadi jalan reformasi yang menjunjung hak-hak masyarakat adat.

“Karena mereka memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam. Serta kehidupan sosial budaya. Hal itu diatur oleh hukum adat dan lembaga adat dalam mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat,” ujar Abdon.

Ia mengatakan REDD+ bukanlah tujuan melainkan sebuah cara untuk membuka dialog terbuka antara pemerintah dengan masyarakat adat yang selama ini tertutup. “Kita ingin Norwegia lebih mempertajam prioritas dan pendanaan,” ujar Abdon.

Sebelumnya Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Tine Sundtoft, akan datang ke Jakarta sore ini, Selasa (22/4/2014), kunjungan ini dalam rangka memperkuat kemitraan Indonesia-Norwegia dalam pelestarian hutan dan penurunan emisi yang berkelanjutan. Serta, untuk memastikan ketersediaan karbon dunia dan memastikan lingkungan hidup yang sehat bagi generasi yang akan datang.

Kunjungan kerja Sundtoft ke Indonesia pada 22-25 April 2014 ini menjadi bentuk penguatan kerjasama dan koordinasi yang baik sejak kedua negara menandatangani Letter of Intent (LoL) pada Mei 2010.

Sumber: beritasatu.com

read more
Perubahan Iklim

BP REDD Sebut 11 Provinsi Siap Implementasi REDD+

Lebih dari 170 peserta dari 11 provinsi dan 29 kabupaten yang kaya dengan sumberdaya hutan dan lahan gambut, termasuk delapan orang bupati dari Sumatra Barat, Jambi dan Sulawesi Tengah, menunjukkan antusiasmenya saat berkumpul di kantor operasional Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) di Jakarta, Rabu (2/4/2014) untuk mendiskusikan dan menyepakati kegiatan REDD+ di wilayahnya masing-masing.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Usaha penurunan emisi ini dapat ditingkatkan hingga 41% dengan bantuan internasional. Untuk segera mewujudkan hal ini BP REDD+ mengajak pemerintah daerah untuk bersama menjalankan agenda ini.

Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo dalam arahannya di awal pertemuan menegaskan bahwa janji dunia internasional untuk mendukung usaha REDD+ di Indonesia adalah kepercayaan mereka atas kesungguhan komitmen kita dan bukan sikap yang perlu dianggap merendahkan.

“Prinsip yang penting sekali untuk dipahami adalah bahwa kita harus menurunkan emisi. Lebih dari itu juga kita berkontribusi kepada dunia, dan untuk itu bila berhasil kita akan diberi penghargaan,” tegas Heru.

Selanjutnya Heru Prasetyo mengingatkan kembali bahwa BP REDD+ tidak hanya menggaris bawahi masalah emisi, lebih dari karbon dan tidak hanya hutan. “REDD+, reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, ada plus besar di belakangnya. Bagian yang tak terpisahkan dari tugas BP REDD+. Hutan kita sangat kaya dengan hal-hal yang tidak melulu karbon. Hutan seringkali kita cederai karena kita sering tidak memperhatikan ada kekayaan lain yang bukan sekadar kayu, bahan tambang, atau bahkan karbon,” jelasnya.

Sejak awal tahun, BP REDD+ telah mengunjungi beberapa provinsi dan sejauh ini, empat pemerintah provinsi dan 20 pemerintah kabupaten/kota telah menandatangani nota kesepakatan bersama (MoU) untuk pelaksanaan serangkaian kegiatan REDD+.

Pertemuan dua hari di kantor operasional BP REDD+ di Jakarta kali ini adalah pertama kalinya semua mitra REDD+ dari kesebelas provinsi ini berkumpul untuk mendengarkan penjelasan langsung mengenai kegiatan BP REDD+. Diharapkan setelah pertemuan dua hari ini semakin banyak pemerintahan daerah yang bergabung untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ini.

Rangkaian kegiatan yang merupakan 10 aksi imperatif BP REDD+ di 2014 ini meliputi (i) pemantauan penundaan izin baru (moratorium), (ii) penataan perizinan, (iii) fasilitasi penegakan hukum, (iv) dukungan pemetaan hutan adat dan penguatan kapasitas masyarakat adat, (v) dukungan penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut, (vi) program desa hijau, (vii) program sekolah hijau, (viii) fasilitasi resolusi konflik, (ix) fasilitasi penyelesaian RTRW, dan (x) program strategis untuk mengawal dan mengembangkan taman nasional dan hutan lindung.

Kegiatan-kegiatan ini direncanakan dan dilaksanakan secara transparan dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Semua usulan program akan dimasukkan ke dalam sistem registry BP REDD+ yang akan segera dapat diakses oleh publik secara on-line. Agenda REDD+ termasuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan pengayaan cadangan karbon.

Kesebelas provinsi mitra BP REDD+ adalah Aceh, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua dan Papua Barat.[rel]

read more
1 2
Page 1 of 2