close
Perubahan Iklim

Indonesia Bersiap Tagih pembayaran REDD+ ke Pemerintah Norwegia

Ilustrasi | Foto: pixabay.com

Jakarta – Pada 2016, emisi GRK nasional Indonesia terbesar adalah dari sektor AFOLU (Pertanian, Hutan dan Pemanfaatan Lahan) yaitu 51,59 persen dari total emisi sebesar 1,457,774 Gg CO2e termasuk kebakaran lahan gambut. Emisi AFOLU meningkat sebesar 25 persen selama kurun waktu 2000-2016. Akan tetapi, proporsi emisi dari AFOLU mengalami penurunan sebesar 7 persen dan tren ini kemungkinan akan terus berlanjut. Pada tahun 2017, emisi dari sektor energi lebih tinggi daripada AFOLU, yakni 49 persen sedangkan AFOLU dan kebakaran gambut hanya berkontribusi sebanyak 25 persen dari total emisi GRK nasional. Pada 2017, capaian penurunan emisi Indonesia dari target NDC 29 persen tahun 2017 adalah 24,5 persen, capaian tertinggi sejak tahun 2010. Akan tetapi, capaian ini masih di bawah target mutlak penurunan emisi Indonesia, yakni 29 persen dari BAU pada 2030.

Dirjen PPI dalam Pekan REDD+ pada 26 Maret 2019 menyatakan bahwa ada potensi peningkatan ambisi NDC di sektor energi karena proyeksi emisi dari energi diperkirakan akan terus meningkat sedangkan target penurunan emisi di sektor kehutanan dipandang sudah sangat ambisius sehingga sulit untuk lebih tinggi lagi.

Kebijakan mitigasi sektor AFOLU yang dirujuk adalah PP Gambut, moratorium, pengendalian kebakaran, perhutanan sosial, rehabilitasi hutan dan lahan, sertifikasi kayu, dan manajemen perkebunan tanpa bakar. Saat ini, PP gambut adalah kebijakan mitigasi dengan landasan hukum terkuat sementara kebijakan lainnya kebanyakan merupakan peraturan menteri. Kebijakan dengan landasan hukum paling lemah adalah moratorium (ditambah moratorium sawit yang belum masuk BUR) dan pengendalian kebakaran kebakaran yang bentuknya hanya Instruksi Presiden yang memiliki batas waktu berlaku.Terkait pengelolaan hutan lestari, pemerintah sedang menyiapkan peraturan menteri untuk implementasi mandatory RIL-C beserta mekanisme pemantauannya.

Update pelaksanaan Redd+
Indonesia sedang bersiap untuk mengklaim pembayaran berbasis hasil (RBP) untuk REDD+ ke Pemerintah Norwegia sesuai dengan Letter of Intent (LoI) dan Green Climate Fund (GCF). FREL deforestasi yang diajukan ke pemerintah Norwegia lebih ambisius (lebih rendah) karena periode referensi yang digunakan sebagai baseline deforestasi hanya 10 tahun, yakni 2006-2016 sedangkan untuk GCF, periode referensi deforestasi yang digunakan adalah 22 tahun, yakni 1990-2012. Belum ada laporan asesmen menyeluruh terkait kepatuhan terhadap safeguards dan rencana pembagian manfaat kecuali bahwa dana tersebut akan dimasukkan ke dalam Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang menyusun FREL 2 untuk digunakan setelah 2020 dan dapat didorong untuk lebih ambisius dengan menggunakan baseline yang lebih rendah. Pemerintah juga telah mengalokasikan FREL deforestasi dan degradasi hutan di tingkat subnasional (provinsi) berdasarkan pertimbangan emisi historis dari deforestasi dan degradasi hutan serta emisi potensial yang mungkin terjadi di masa depan sesuai dengan tutupan hutan alam yang ada. FREL provinsi berlaku hingga 2020. Lima provinsi (dari 34 provinsi) dengan alokasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan terbesar adalah: (1) Papua, (2) Kalimantan Tengah, (3) Sulawesi Tengah, (4) Kalimantan Timur, dan (5) Kalimantan Utara.

Progress Pelaksanaan Kebijakan Mitigasi Kehutanan
Moratorium Izin Baru Di Hutan Primer Dan Lahan Gambut
Revisi terakhir dari PIPPIB dilakukan pada tanggal 17 Desember 2018 (Revisi XV). Kebijakan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2017 (perpanjangan keempat) ini,akan berakhir pada tanggal 17 Juli 2019 mendatang jika kebijakan ini tidak lagi diperpanjang selama dua tahun atau ditingkatkan menjadi perlindungan permanen. Dirjen PPI menyatakan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan perpanjangan moratorium dan masih mendiskusikan dan melakukan analisis mengenai apakah moratorium dapat diberlakukan juga untuk hutan sekunder.

Moratorium Sawit
Dari September 2018 hingga Maret 2019, pemerintah (dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) belum membentuk Tim Kerja sebagaimana diamanatkan oleh Instruksi Presiden. Koalisi masyarakat sipil telah mengajukan permintaan kepada Kemenko Perekonomian untuk terlibat dalam Tim Kerja, namun belum mendapatkan tanggapan positif.

Saat ini, Kemenko Perekonomian dikabarkan tengah menyusun prosedur untuk implementasi moratorium sawit, terutama aspek evaluasi perizinan dan telah berkomunikasi dengan kepala dinas di tujuh provinsi yaitu Jambi, Riau, Sumsel, Sumut, Kalbar, Kalteng, dan Kaltim. Fokus untuk piloting adalah di Riau. Berdasarkan dataset Greenpeace, ada sekitar 3,3 juta hektare hutan alam di dalam konsesi kelapa sawit pada tahun 2017 dengan jumlah terbesar terletak di Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dan Papua Barat.

Restorasi Gambut
Dari target restorasi seluas 2 juta hektare lahan gambut yang terbakar pada tahun 2015, setengahnya terletak di area konsesi. Progres restorasi lahan gambut yang dilakukan oleh BRG dan mitra pada 2016-2018 hanya seluas 679.901 hektare (semuanya berada di luar area konsesi). Sedangkan restorasi di area konsesi. Ada 99 konsesi hutan tanaman industri di kawasan ekosistem lahan gambut dengan luas 2,59 juta hektare. Jumlah yang terbesar berada di Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat. Sekitar 1,43 hektare area konsesi terletak di lahan gambut yang dilindungi dan harus dizonasi ulang dan dipulihkan jika dibakar/dirusak.

Dari keseluruhan 99 HTI di ekosistem gambut, 83 diantaranya telah melakukan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan 45 perusahaan telah menyerahkan rencana restorasi mereka kepada KLHK (dokumen RKU dan rencana pemulihan tidak dibuka). Terlepas dari sanksi ketat yang diberlakukan oleh KLHK, beberapa perusahaan masih lolos meskipun melakukan pembakaran lahan gambut untuk kelapa sawit seperti dalam kasus PT Pundi Lahan Khatulistiwa, Saraswanti, dan Mulia Agro Sawit Lestari di Kalimantan Barat.

Perhutanan Sosial
Capaian distribusi perhutanan sosial per 4 Maret 2019 adalah 2,56 juta hektare, yang terbanyak adalah hutan desa (50 persen), disusul hutan kemasyarakatan (25 persen), hutan tanaman rakyat (13 persen), dan kemitraan kehutanan (11 persen). Capaian hutan adat hanya 1 persen dari luas perhutanan sosial keseluruhan.

Dalam sembilan (9) bulan yang tersisa hingga Desember 2019, target distribusi yang masih harus dicapai KLHK adalah 1,82 juta hektare. Terkait hutan adat, Dirjen PSKL masih belum menetapkan Peta Indikatif Lokasi Hutan Adat (PILHA) yang didorong masyarakat sipil dan luasnya mencapai 369.861 hektare. Sementara itu, target verifikasi hutan adat tahun 2019 adalah 30.000 hektare.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari β€œLaporan Terkini Madani: Perkembangan NDC Indonesia di Sektor Kehutanan”.

Sumber: madaniberkelanjutan.id

Tags : norwegiaREDD

2 Comments

  1. 🎁 Get free iPhone 15: https://spedition-brilz.de/uploads/go.php 🎁 hs=98065476b501aa4f731670d6ce3dc945* says:

    qfpvd0

Leave a Response