close

riau

Ragam

Ajakan Blusukan Asap dari Sungai Tohor

Kapal penumpang yang akan mengantar kami ke Sungai Tohor siang itu lumayan dipenuhi penumpang. Kami sengaja memilih tempat duduk paling belakang yang langsung berbatasan dengan dek bagian luar kapal, demi mengejar sejuknya tiupan angin di siang yang terik itu. Matahari di atas langit Riau  menambah pengap udara dalam ruang penumpang.  Setelah menunggu beberapa saat, kapal akhirnya bergerak, mula-mula pelan lalu raungannya terdengar kencang membelah perairan Selat Air Hitam.

Sudah hampir satu bulan ini nama Pak Abdul Manan hilir mudik di media online karena petisi yang digagasnya dan tak tanggung-tanggung, petisi ini ditujukan langsung ke Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang sejak lahir tinggal di desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Pak Abdul Manan menyampaikan kegelisahannya tentang asap yang berasal dari kebakaran hutan. 17 tahun seperti warga Riau lainnya, Pak Manan dipaksa hidup bersama asap setiap tahunnya. Asap dari kebakaran hutan seperti sudah menjadi rutinitas yang harus diakrabi masyarakat Riau. Di bulan-bulan saat musim kemarau datang, biasanya asap juga akan tiba bersama teriknya sinar matahari.

Akhirnya setelah hampir dua jam menyeberang dari Buton, dan sepuluh menit naik ojek dari dermaga, kami tiba juga. Rumah bercat coklat dengan pohon sagu di halaman itu terlihat teduh. Walaupun sibuk, Pak Manan menyempatkan menyambut kami dengan senyumannya yang khas. Ada yang berbeda hari itu, Pak Manan menjelaskan kesibukannya bertambah. “Mempersiapkan kedatangan Bapak Jokowi”, katanya dengan wajah berseri.

Rupanya, petisi yang telah menghasilkan lebih dari 25.000 dukungan mendapatkan perhatian khusus Presiden Indonesia. Dengan bahasa sederhana, dalam petisi itu Pak Manan mengundang Pak Jokowi untuk langsung merasakan dampak kebakaran hutan yang mereka derita bertahun-tahun, Pak Manan mengajak Pak Jokowi blusukan asap ke desanya. “Saya buat petisi ini atas nama warga Riau, kami sudah lelah diasapi setiap tahunnya.”, kata Pak Manan.

Khusus untuk desanya, menurut Pak Manan kebakaran berasal dari  pembangunan kanal. Kanal-kanal yang dibangun perusahaan membuat lahan gambut  mengering. Saat musim kemarau datang, gambut yang kering akan dengan mudah terbakar.  Desa Kepo Baru adalah salah satu desa dengan kerugian terbesar. Awal tahun 2014 ini, api melahap hampir 2.000 hektar lahan di desa tersebut. “Banyak kebun sagu warga ikut terbakar saat itu”, tutur Pak Manan.  Sagu sudah ditanam warga di Kepulauan Meranti sejak tahun 1940an. “Dari sebelum Indonesia merdeka, kami sudah budi daya sagu di sini.”, Pak Manan menambahkan.

Seperti halnya warga desa lain, Pak Manan sangat menantikan kunjungan blusukan asap Presiden Jokowi minggu ini. “Saya berharap Pak Jokowi bisa memberikan solusi kebakaran hutan dan lahan gambut yang sudah berkepanjangan di Riau dan Sumatera.” kata Pak Manan.

Tak perlu malaikat yang cemerlang dan rupawan untuk menjawab harapan Pak Abdul Manan, cukup sebuah kunjungan blusukan dari Presiden Indonesia dilanjutkan dengan kemauan dan langkah nyata pemerintah untuk menguatkan perlindungan hutan dan lahan gambut di Indonesia.  Perwujudan harapan Pak Manan dan warga Riau tinggal beberapa langkah lagi, tinggal beberapa hari menuju blusukan asap Presiden Jokowi.

Sambil kembali ke aktifitas persiapan bersama warga lainnya, Pak Abdul Manan menyempatkan berterima kasih kepada 28.000 penandatangan petisi #blusukanasap. Minggu ini kita akan melihat hasil kekuatan bersuara bersama bagi penyelamatan hutan Indonesia.

Sumber:greenpeace.org

read more
Hutan

Indonesia Masih Kesulitan Kelola Hutan Hujan Alami

Meski ada larangan penebangan, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela. Indonesia adalah tempat dengan wilayah hutan hujan tropis terbesar di dunia, dan memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi. Saat ini, tanda-tanda kemajuan telah terlihat dalam upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan konservasi hutan hujan alami.

Pada dekade-dekade terakhir, jutaan hektar hutan Indonesia telah hilang lewat penebangan ilegal dan pembukaan perkebunan untuk industri-industri kayu, pulp dan kertas serta minyak kelapa sawit.

Pada 2010, pemerintah Norwegia dan Indonesia menandatangani kontrak 1 miliar dolar untuk memberlakukan moratorium pembukaan lahan gambut dan hutan alami. Perjanjian itu dilihat sebagai cara untuk membantu Indonesia memenuhi tujuan ambisius untuk mengurangi emisi karbon sampai 26 persen pada 2020.

Namun meski ada larangan tersebut, hutan-hutan alami terus dibabat untuk industri, sebagian karena lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela. Selama bertahun-tahun para ilmuwan dan ahli lingkungan telah kesulitan meyakinkan daerah-daerah di Indonesia bahwa perlindungan hutan adalah kepentingan jangka panjang mereka.

Ilmuwan Eric Meijaards mengatakan pesannya sudah mulai menyebar karena orang-orang menyadari ada biaya ekonomi tinggi dalam menghancurkan hutan. Selama bertahun-tahun, Meijaard telah melakukan pemetaan persepsi orang mengenai kehancuran hutan di Kalimantan.

Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di industri kelapa sawit dan pulp dan kertas di Indonesia baru-baru ini telah berkomitmen atas “deforestasi nol,” sementara pemerintah juga mulai menghukum perusahaan-perusahaan yang secara ilegal menebang dan membakar hutan.

Fadhil Hasan, direktur eksekutif Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan meski keberlanjutan tidak akan terjadi semalam, industri kelapa sawit sedang berjalan ke arah yang benar. Sebagai awal, Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), akan menjadi wajib pada akhir tahun ini.

Rukka Sombolinggi dari Aliansi Rakyat Nusantara mengatakan pemerintah telah lambat mengimplementasikan keputusan pengadilan. Seiring berjalannya proses rumit dalam memetakan hutan adat, pemerintah terus memberikan kontrak di wilayah hutan lindung, ujarnya.

“Masalahnya sekarang adalah karena hak kita tidak diakui dan dilindungi secara khusus, sangat mudah bagi pemerintah untuk memberikan izin terhadap sektor swasta, perusahaan swasta, tanpa menyadari bahwa ada suku asli tinggal di sana,” ujar Rukka.

Akibat pembabatan hutan secara signifikan, Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat.

Sumber: voaindonesia.com

read more
Ragam

Asap Riau Ancam Keselamatan Manusia

Dua alat deteksi di Pekanbaru menunjukkan angka 305 dan 402 Psi. Artinya, pencemaran sangat berbahaya bagi manusia, hewan, dan tumbuhan

Sembilan dari 10 alat pemantau indeks pencemaran udara di sejumlah wilayah di Riau menunjukkan, polusi akibat kabut asap Riau capai level “Berbahaya”. Laura Pulina, Kepala Sub-Bidang Informasi Pusat Pengelolaan Ekologi Regional Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, dalam level itu, kualitas udara bisa disebut buruk atau tidak sehat.

“Kalau sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup, semestinya warga yang berada pada daerah kualitas udara buruk itu sudah harus dievakuasi. Ini yang harus menjadi perhatian dari Satgas dan pemerintah daerah,” ujar Laura Paulina, Kamis (13/3/2014).

Dua alat deteksi di Kota Pekanbaru tersebut menunjukkan angka 305 dan 402 Psi (Pollutant Standar Index). Angka indeks lebih dari 300 berarti pencemaran sudah sangat berbahaya bagi manusia, hewan, dan tumbuhan.

Kondisi yang sama juga terdeteksi di Kabupaten Siak. Tiga alat menunjukkan angka 347, 500, dan 464 Psi. Di Kabupaten Bengkalis, polusi asap juga berada di level berbahaya. Indeks pencemaran di dua alat milik PT Chevron Pacific Indonesia di daerah Duri menunjukkan angka 450 dan 500. Sementara itu, indeks pencemaran di Kota Dumai menunjukkan angka 183 atau dalam ambang batas level “Sangat Tidak Sehat”.

Sejumlah kasus kematian pun terjadi di lokasi yang diduga akibat banyak menghirup asap di lokasi pembakaran hutan.

Misalnya, yang terjadi pada Muhammad Adli (63), petani asal Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Tanjung Pinang Barat, Kabupaten Meranti, Riau. Ia ditemukan tak bernyawa di dekat kebunnya yang dipenuhi asap sangat pekat di dekat lokasi pembakaran hutan.

Begitu juga Nasib Asli (41), warga Desa Rantau Baru, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Penyakit paru-paru kronis petani berputra dua itu semakin parah karena fungsi pernapasannya tak mampu lagi menahan ”gempuran” asap yang membahayakan kesehatan manusia.

Nayaka (2), putri pasangan Muhammad Said (31) dan Rika (27), pekan lalu, menderita demam berkepanjangan. Awalnya Said menganggap putrinya demam biasa. Namun, setelah dibawa ke dokter, Nayaka didiagnosis terkena ISPA. Penyakit tersebut sudah menyebar jauh ke seluruh penjuru Riau. Ribuan “Nayaka” lain kini menderita penyakit yang sama akibat paparan asap.

Menurut Azizman Saad, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad, Pekanbaru, akibat terpapar asap, dalam 10 tahun mendatang terjadi ledakan penyakit paru-paru di Riau. Data Satgas Tanggap Darurat Asap Riau sendiri menunjukkan bahwa selama Februari hingga pertengahan Maret ini lebih dari 51.600 warga sakit akibat kabut asap Riau.

Ibu hamil, bayi, dan orang sakit
Sementara itu, Manager Communications PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Tiva Permata mengatakan, manajemen perusahaan minyak itu sudah merencanakan untuk melakukan evakuasi selektif bagi setiap orang yang rentan saat polusi asap. Ia mengatakan, area kerja perusahaan di daerah Duri Kabupaten Bengkalis sudah sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian serius.

Ia mengatakan, tindakan relokasi khususnya untuk mereka yang memiliki risiko kesehatan tinggi, seperti bayi yang baru lahir, ibu hamil, balita, dan orang-orang dengan riwayat penyakit paru dan jantung sesuai dengan rekomendasi tim medis perusahaan.

“Kebijakan ini berlaku untuk semua pegawai, termasuk juga ekspatriat,” katanya.

Menurut dia, perusahaan menyediakan wisma-wisma untuk tempat tinggal sementara di Camp Rumbai atau tinggal bersama keluarga mereka di lokasi lain yang kualitas udaranya lebih baik. Sedangkan para pegawai dan keluarganya yang tidak masuk dalam daftar rekomendasi tim medis bisa mengambil cuti sesuai peraturan perusahaan.

Sumber: NGI/intisari-online.com

read more