close

satwa

Flora Fauna

Warga Aceh Utara Bunuh Phyton Delapan Meter

Warga Gampong Alue Drien, Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara menemukan ular Phyton sepanjang delapan meter, Kamis kemarin (20/11/2014), pukul 18:00 WIB. Ular yang ditemukan kali ini lebih besar dibandingkan ular yang pernah ditemukan sebelumnya tahun 2013 yaitu sepanjang tujuh meter.

Awalnya, ular Phyton ini ditemukan oleh penduduk Alue Drien, Marlina (38) dan Fatimah (32), ketika mereka mencari sapinya yang sudah dua hari tidak pulang ke kandang. Ular tersebut ditemukan Marlina sedang memangsa anak sapi miliknya yang masih berusia satu hari dikebun sawit warga yang dipenuhi dengan semak belukar. Karena takut, ia pun memanggil warga untuk meminta pertolongan.

“Warga berbondong-bondong datang ke lokasi penemuan ular. Sesampai disana, kami pun berusaha untuk menangkap ular tersebut secara hidup-hidup. Namun karena si ular ini terlihat buas dan melawan, maka kami pun terpaksa membunuhnya dengan mencincang-cincang bagian kepala, badan, dan ekor pakai parang,” jelas tokoh pemuda setempat, Mahdi, Jum’at (21/11/2014).

Warga menduga, hewan peliharaan yang selama ini kerap hilang karena dimangsa ular tersebut. Karena itu, warga pun sepakat mengantisipasi kemungkinan ada ular lainnya  yang seukuran berkeliaran di hutan.

“Kuat dugaan bahwa hewan peliharaan warga yang selama ini kerap hilang pasti di mangsa ular. Tahun lalu, kami juga menangkap ular semacam itu saat hendak memangsa kambing warga setempat. Ular kali ini juga lebih besar dibandingkan ular yang kami temukan tahun lalu,” tambah Mahdi.[]

read more
Flora Fauna

Krisis Populasi Badak Indonesia

Kritis  adalah kata yang tepat untuk menggambarkan status populasi badak  di Indonesia, dua spesies badak di Indonesia yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diambang punah. Apa yang dikhawatirkan saat ini adalah struktur populasi badak yang ada sekarang lokasinya  terpencar dan terisolir.

Kantung habitat badak Jawa,  hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon Banten, populasi badak Jawa di kawasan ini diketahui sebagai populasi  yang  jumlahnya  tidak  lebih  dari  50  individu. Rata-rata perkembangan populasinya tidak  lebih dari 1%  setiap tahunnya (Hariyadi et al. 2011). Kondisi habitat  yang ada saat ini diduga  mengalami  perubahan  perlahan  akibat  suksesi  alami  yang  berakibat  pada berubahnya  struktur  vegetasi (tumbuhan)  yang  ada.

Sedangkan di pulau Sumatera, jumlah kantong habitat badak Sumatera hanya tersisa empat kantong utama yakni di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Gunung Leuser serta Kawasan ekosistem Leuser, jumlah badak Sumatera diperkirakan populasi kurang dari 200 ekor (Adhi Hariyadi. 2012), untuk sebaran dan jumlah populasi badak Sumateradi Kalimantan masih kekurangan data.

Dewasa ini, perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Diperparah lagi dengan adanya pembangunan jalan yang membelah Taman Nasional,akibatnya hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut dan menyebabkan hutan terfragmentasi. Hilangnya habitat memiliki konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies.

Seiring fragment hutan mengecil, populasi cenderung lebih rentan untuk punah, karena resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987).

Satwa  badak merupakan satwa herbivora dimana sangat tergantung terhadap pakan, komposisi pakan badak yang besar dengan terganggunya vegetasi (tanaman), maka badak akan kehilangan pakan, profil  pakan  badak  berkorelasi  dengan  ruang  jelajah yang  ditempuhnya  dan  habitat  tumbuhan  di sekitarnya.

Badak  Jawa dan badak   Sumatera   juga   merupakan   browser  yang  meragut  tumbuhan  pakan menggunakan  bibir  bagian  atas. Secara  anatomis, semua  spesies  badak  merupakan hewan  monogastrik  dengan  sistem  pencernaan  yang  mengandalkan  fermentasi  dan penguraian selulosa pada sekum (Pough 1989).

Secara prilaku,badak Sumatera merupakan satwa yang rentan terhadap perubahan habitat, seperti aktivitas pembalakan liar  dan pembukaan jalan di hutan, aktvitas para pencari getah gaharu, secara alami badak akan selalu mencari habitat terbaik yang terbebas dari aktivitas manusia (Wawancara dengan Mike Grifith, 2013).

Sebagai contoh terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kasus pembukaan jalan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 1993. Dulunya populasi badak Sumatera sering dijumpai, akan tetapi sejak dibangunnya jalan tembus Lampung -Bengkulu yang membelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, akibatnya dalam beberapa tahun terakhir,  badak Sumatera sangat susah ditemui di kawasan ini.

Begitu pula di Provinsi Aceh, pembangunan jalan Ladia Galaska dan pembangunan  jalan poros tengahAceh telah membelah Kawasan Ekosistem Leuser, badak Sumatera semakin sulit ditemui, belum lagi adanya ancaman perburuan cula yang marak di kawasan ini.

Aksi Cepat Penyelamatandi Indonesia
Contoh pengelolaan dapat diambil dari negara India dan Nepal. Kedua Negara ini telah sukses mengelola spesies badak (Rhinoceros unicornis ), total perkiraan populasi Mei 2007 diperkirakan 2.575 individu dengan perkiraan total dari 378 di Nepal dan 2.200 di India ( Asia Rhino Specialist Group 2007).

Secara keseluruhan jumlah badak Asia hanya tersisa 3,500 invidu, di India dan Nepal dulunya badak terus diburu hingga berada diambang kepunahan. Dengan perlindungan yang ketat dari otoritas satwa liar India dan Nepal selama lebih dari empat dekade, maka populasi badak India dapat di pulihkan (Dr. Christy Williams, WWF Internasional. 2013).

Cerita sukses ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara Indonesia, bagaimana memulihkan dan meningkatkan jumlah populasi badak di alam liar,  baik itu badak  Jawa dan Sumatera. Periode stabilisasi populasi, manajemen pengelolaan kedua Negara ini gunakan juga dapat di modifikasidi Indonesia.

Kata kunci penyelamatan badak di Indonesia adalah meningkatnya jumlah individu di habitatnya, untuk pengelolaan badak Jawa titik tekan pada pengelolaan pengkayaan habitat  dan pengembangan habitat kedua (second habitat/ second population) di luar Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan untuk badak Sumatera titik tekan pengelolan pada sistem patroli konvensional mencegah perburuan. Aksi ini tentu harus diiringi dengan perbaikan habitat, upaya lainnya adalah memasukan habitat badak dalam Rencana Tata Ruang Nasional dan sangat dibutuhkan adanya Perpres yang menaungi khusus perlindungan badak ini untuk menjawab kondisi individu yang sangat kritis dan hampir punah.

Penyelamatan badak Indonesia baik Jawa dan Sumatera sudah harus menjadi prioritas utama, baik itu di Ujung Kulon Banten, Taman Nasional  Way Kambas, TN BBS di Lampung, di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh. Kawasan Ekosistem Leuser Aceh  dan Kutai barat di provinsi Kaltim harus menjadi skala prioritas konservasi di Indonesia.

Langkah ini merupakan hal  yang penting dalam menentukan secara jelas wilayah dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan negara untuk segera berindak nyata dalam usaha konservasi badak di Indonesia.

Aksi  ini  juga berfungsi untuk menjawab tindakan apa yang perlu diambil di masa mendatang di semua wilayah konservasi badak di empat provinsi ini,  badak dikawasan ini dapat ditingkatkan status hukumnya dan harus diteliti untuk kepentingan konservasi.

Disamping itu, disisi pengelolaan Badak untuk dapat dengan mudah diterjemahkan di level Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan yang terpenting lainnya adalah masyarakat lokal di sekitar habitat Badak yang diharapkan menjadi pelindung utama dalam menjaga populasi badak  di Indonesia. Pada dasarnya satwa badak membutuhkan hutan berkwalitas sangat baik. Badak  merupakan interior terbaik hutan Indonesia. maka sudah seharusnya  Negara memberikan habitat terbaik bagi satwa ini. Jika ini terjadi, maka  badak Jawa – Sumatera bisa diselamatkan.

Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan TGK Chik Pantee Kulu Banda Aceh

read more
Flora Fauna

Keberadaan Gajah di Aceh Semakin Terancam

Papa Genk. Nama itu kini hanya tinggal cerita atas ganasnya perilaku manusia terhadap gajah di hutan Aceh.Gajah dewasa berusia 30 tahun itu mati mengenaskan dengan kondisi leher putus setelah terjebak ranjau besi di Desa Ranto Sabon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, pada 13 Juli 2013. Gading Papa Genk seberat 25 kg (setara dengan Rp 250 juta) juga hilang diambil pembunuhnya. Kematian Papa Genk meninggalkan duka mendalam bagi Rosa dan Suci, istri dan anaknya. Kedua mereka berhari-hari “meratapi” kematian Papa Genk dalam perasaan getir. Kasus Papa Genk merupakan potret betapa buramnya nasib gajah-gajah di Aceh saat ini. Satwa yang dilindungi dan kerapa dipanggil dengan nama Po Meurah–bermakna “Raja Yang Mulia”–itu semakin terancam kehidupannya.

Sepanjang 2012-2014, setidaknya 22 ekor gajah ditemukan mati di hutan Aceh. Semua gajah ini mati dalam kondisi mengenaskan. Ada yang ditombak, diracun, masuk dalam jebakan maut, hingga dibunuh ramai-ramai. Kasus terakhir terjadi pada 11 April 2014. Seekor gajah kembali ditemukan tewas mengenaskan di kawasan hutan Desa Teupin Panah, Kecamatan Kawai IV, Kabupaten Aceh Barat yang terjerat perangkap pemburu gajah liar. Kepalanya putus dipotong mesin chainsaw dan kedua gadingnya lenyap.

“Selama ini tidak ada satu pun kasus kematian gajah yang terungkap dan pelakunya diadili. Kecuali hanya kasus kematian Papa Genk,” kata Communication Officer World Wildlife Fund (WWF) Perwakilan Indonesia, Chik Rini kepada Serambi, Sabtu (17/5/2014). Kasus kematian Papa Genk sempat mengundang perhatian serius Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY meminta diusut kasus itu. Polisi pun ketika itu menetapkan 14 orang sebagai tersangka.

Lembaga International Union for Conservation of Nature memasukkan gajah Sumatera (Elephant Maxiumus Sumatranus) ke dalam daftar binatang yang hampir punah karena penyusutannya sangat drastis. Pada 1985, gajah Sumatera masih berjumlah 5.000 ekor. Kini, jumlahnya tinggal 2.000-an ekor. Sedangkan WWF Indonesia melaporkan, pembunuhan gajah Sumatera cukup tinggi. Selama 2012, 14 gajah mati, sebagian besar diracun di perkebunan sawit. Peristiwa ini terjadi di Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen. Tahun 2013, tercatat sudah tujuh gajah mati di Aceh Utara, Aceh Jaya, dan Aceh Timur.

Tahun 1996, populasi gajah di Aceh, diketahui berkisar antara 600-700 ekor (hasil riset lembaga IUCN). Tapi kini tersisa hanya sekitar 400 ekor saja. Gajah-gajah itu, antara lain, tersebar di kawasan hutan Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Padahal, jumlah gajah di Aceh sebelum tahun 2003-2004 masih sekitar 800 ekor. Communication Officer WWF-Indonesia, Chik Rini, menilai populasi gajah di Aceh semakin terancam menyusul banyaknya kasus kematian gajah. “Keberadaan gajah Sumatera saat ini sudah dalam status meningkat dari kritis menjadi terancam punah. Gajah di hutan Sumatera sudah berkurang 50 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pembunuhan gajah ini terus terjadi, maka 10 sampai 15 tahun ke depan gajah akan punah di hutan liar,” ujarnya.

Mengancam populasi
WWF Indonesia memetakan setidaknya ada tujuh wilayah yang dikategorikan sebagai “kantong gajah” di Aceh, yaitu: Bireuen, Bener Meriah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Tenggara, Pidie, dan Aceh Timur. Untuk wilayah hutan Sumatera, Aceh merupakan benteng terakhir dari keberadaan populasi gajah hutan Sumatera, setelah Lampung dan Riau. Gajah di tingkat lokal kedua provinsi itu sudah punah.

Ironisnya, di wilayah kantong populasi gajah ini kerap dilaporkan banyak gajah yang mati. “Setiap kasus gajah mati ditemukan tidak ada lagi gading. Pelakunya juga kerap tidak tertangkap,” ujarnya.

Menurut Chik Rini, berkurangnya populasi gajah di Aceh terjadi seiring meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah tidak menyiapkan tata ruang wilayah hutan yang baik sehingga banyak lahan hutan yang semestinya menjadi lahan konservasi diolah sebagai hutan produksi atau perkebunan. Akibatnya, banyak gajah masuk ke perkebunan rakyat atau area hutan produksi. Maka terjadilah konflik antara gajah dan manusia. Gajah-gajah yang merusak tanaman perkebunan dan pertanian,  kemudian dibunuh. Selain itu, pemerintah selama ini juga kerap tidak memperhatikan keberadaan gajah yang berada di luar wilayah konservasi.

Menurut Chik Rini, gajah merupakan hewan yang unik. Mereka butuh makan banyak dan hidup berkoloni dengan wilayah jelajah yang luas (home range). Namun faktanya, wilayah jelajah gajah ini telah diambil alih manusia dengan membuka lahan perkebunan sawit, karet dan lainnya. Terlebih, kata Chik Rini, gajah sangat menyukai sawit dan karet. Keberadaan kebun sawit dan karet mengundang gajah untuk masuk. Sehingga konflik antara gajah dan manusia tak terhindarkan. Ada manusia yang mati dibunuh gajah, maupun sebaliknya. “Manusia kemudian membenci gajah karena dianggap sebagai pengganggu yang mengancam jiwa,” ujarnya.

Padahal, kata Chik Rini, membuka lahan sawit dan karet atau sejenisnya di wilayah yang dijelajahi gajah adalah tindakan yang salah

Berkurangnya populasi gajah di Aceh juga disebabkan perburuan liar gading gajah. Hampir semua gajah mati sudah tanpa gading saat ditemukan. Diduga kuat kematian gajah di Aceh akibat perburuan gading gajah yang melibatkan mafia yang membentuk sindikasi. Di Aceh Barat polisi membekuk enam warga yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan gajah liar pada 15 April 2014. Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Aceh Jaya.

“Diduga memang ada sindikat perdagangan gading di Aceh. Mungkin bukan hanya gading, tapi juga kulit harimau,” tegas Chik Rini. Perdagangan gading gajah tergolong bisnis menggiurkan. Penelusuran Serambi, harga gading dengan panjang rata-rata 30 cm berkisar Rp 20 juta. Untuk 1 kg gading paling murah Rp 2,5 juta. Kalau perkiraan harga bisa sampai 5-10 juta/kg. Jika ada gading yang beratnya sekitar 25 kg, maka bisa menghasilkan uang Rp 250 juta.

Di pasar-pasar gelap Eropa, harganya bisa mencapai lebih dari satu miliar rupiah untuk satu gading berkualitas super. “Jumlah gajah yang terbunuh tanpa gading selama ini hanya beberapa kasus yang diketahui. Mungkin banyak gajah yang mati dibunuh di dalam hutan tidak diketahui masyarakat,” ujarnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh Genman S Hasibuan kepada Serambi tidak menampik jika berbagai kasus kematian gajah di Aceh melibatkan para sindikat. Tindakan itu diancam pidana karena melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990.

“Kalau tidak ada indikasi adanya perburuan gading, maka setiap gajah yang mati mestinya tetap utuh bersama gadingnya. Ini kan tidak logis. Untuk lebih detailnya, memang harus dilakukan pembuktian,” tegas Genman.

Menurutnya, konflik antara gajah dan manusia kerap menjadi dalih masyarakat membunuh gajah. Namun pada kenyataannya hal itu tidak selalu benar. Justru banyak faktor yang menyebabkan konflik itu terjadi. Salah satunya, habitat gajah sudah dirambah manusia dengan berbagai aktivitas perkebunan.

Menurut Genman, konflik antara manusia dan gajah harus ditangani bersama dengan melibatkan semua instansi karena hal itu sudah mencakupi masalah sosial ekonomi. “Soal adanya indikasi pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya masih kami telusuri berkerja sama dengan polisi,” demikian Genman. []

sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Tiongkok Akan Hukum Penyantap Hewan yang Dilindungi

Tiongkok akan memenjarakan pemakan hewan langka selama 10 tahun atau lebih berdasarkan atas undang-undang baru kejahatan, di tengah upaya pemerintah menutup celah hukum serta memberikan perlindungan lebih baik bagi lingkungan.

Tiongkok memasukkan 420 jenis dalam daftar spesies langka atau terancam, termasuk panda, kera emas, beruang hitam Asia, dan trenggiling, beberapa di antaranya atau semuanya terancam perburuan liar, kerusakan lingkungan dan konsumsi bagian tertentu tubuh binatang, termasuk untuk alasan pengobatan.

Konsumsi binatang langka semakin meningkat dengan semakin makmurnya negara tersebut, dan beberapa orang percaya bahwa mengeluarkan ribuan yuan untuk memakan binatang langka itu akan memberi status sosial tertentu bagi mereka.

“Memakan binatang liar yang langka bukan hanya perilaku sosial yang buruk namun juga menjadi penyebab utama perburuan liar tidak bisa dihentikan meskipun berulangkali ditumpas,” kata wakil kepala Komisi Perundang-undangan di parlemen, Lang Sheng seperti dikutip kantor berita Xinhua pada Kamis.

Interpretasi baru itu “memperjelas ambigu mengenai pembeli mangsa perburuan gelap”, kata laporan tersebut.

Sengaja membeli binatang liar yang dibunuh lewat perburuan liar sekarang akan dianggap sebagai kejahatan, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara, kata Xinhua.

“Sebenarnya, para pembeli itulah yang menjadi motivator utama perburuan liar skala besar,” kata Lang seperti disiarkan Reuters.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Jalan Terjal Penegakan Hukum Lingkungan di Aceh

Pria berperawakan kecil ini sepertinya gelisah. Sebagai kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, ia sering mendapat teror. Dalam sebuah acara pertemuan dengan aktivis lingkungan, Kepala BKSDA Aceh, Genman Hasibuan menyampaikan keluh kesahnya perihal ancaman yang menimpa dirinya dan staf. Teror ini tak ayal membuat stafnya takut turun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Bahkan ia sempat berucap,“ Kalau saya ga kuat terima teror, saya kabur saja.”

BKSDA mengatakan mereka sebenarnya bersungguh-sungguh dalam menegakan hukum lingkungan namun tantangan yang dihadapi juga sangat berat dalam pro justicia. Terakhir, saja dalam pengungkapan kasus pembunuhan dan pengambilan gading gajah yang terjadi Kaway XVI, Aceh Barat, staf BKSDA sampai tidak berani turun ke lapangan mengumpulkan data.

“Masyarakat menganggap staff KSDA-lah yang melaporkan masyarakat ke polisi dalam kasus pengambilan gading gajah tersebut sehingga staf tidak berani ke lapangan,”ujar Genman, Senin (14/4/2014) di kantor BKSDA.
Genman juga menceritakan contoh kasus rencana penyitaan hewan liar dari Ketua DPRK Nagan Raya di Jeuram. Sewaktu staf BKSDA hendak menyita hewan tersebut, Ketua DPRK meminta agar Kapolres langsung yang menyita hewan yang dalam penguasaannya.

“ Saya konsultasikan hal ini dengan kepolisian di Polda dan mereka siap menyitanya. Namun kita terbentur dengan biaya operasional sehingga sampai hari ini belum dilakukan penyitaan,” cerita Genman.

Namun demikian sebenarnya sudah banyak aksi penegakan hukum yang dilakukan tapi nyatanya belum memberikan efek jera kepada pelakunya. Selalu saja masih ada masyarakat yang tertangkap karena membunuh atau menguasai hewan liar. Misalnya dalam kasus pembunuhan gajah di Aceh Barat. Sekitar setahun sebelumnya, di Kabupaten Aceh Jaya juga sempat muncul kasus pembunuhan gajah yang terkenal dengan nama “Papa Genk”. Kasus ini menjadi heboh karena sempat menarik perhatian Presiden SBY dan memantik petisi ribuan orang agar kasus tersebut diusut tuntas. Belasan warga kampung ditangkap dan diadili di PN Calang. Uniknya, terdakwa mengaku tidak tahu bahwa membunuh gajah merupakan pelanggaran hukum. Sebelum menjalankan aksinya, warga melakukan musyawarah bersama di Balai Desa.

Kini muncul lagi kasus pembunuhan gajah yang disertai pengambilan gading gajah di Kaway XVI, kabupaten Aceh Barat. Polres setempat sudah menangkap 11 orang tersangka dan dari penyidikan diketahui bahwa para tersangka sudah sering memburu gajah untuk diambil gadingnya.

Akhirnya yang terjadi adalah banyak orang yang masuk penjara karena kasus hewan liar namun persoalan konflik satwa di lapangan tidak selesai juga. Dampaknya negatifnya BKSDA semakin dibenci oleh segelintir orang yang tidak senang bahkan teror semakin meningkat terhadap staf BKSDA. Menurutnya citra buruk ini sama sekali tidak menguntungkan penyelidikan.

BKSDA berharap penanganan konflik satwa liar dengan masyarakat bukan hanya menjadi tugas BKSDA semata namun juga melibatkan pemerintah setempat. Ada dimensi ekonomi didalamnya dimana banyak warga yang dalam rangka mencari nafkah membuka kebun hingga jauh masuk ke habitat hewan liar. BKSDA mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten yang memiliki konflik satwa liar agar ikut menangani persoalan tersebut dengan mengedepankan sosial ekonomi masyarakat.

Penegakan Hukum Lingkungan
Society of Indonesian Environmenal Journalist (SIEJ) pada tanggal 17 April 2014 lalu mengadakan Workshop Penegakan Hukum untuk Kasus-kasus Keanekaragaman Hayati. Dalam workshop yang dihadiri oleh puluhan jurnalis dan aktivis lingkungan ini ternyata secara garis mengungkapkan hal senada seperti yang disampaikan oleh BKSDA. Penegakan hukum lingkungan masih merupakan barang langka walaupun untuk beberapa kasus sudah dibawa ke meja hijau. Pelaksana Harian Yayasan Leuser International (YLI) Dr. Ir Syahrul, M.Sc, menceritakan temuan organisasinya.

Dr. Syahrul menjelaskan YLI banyak menemukan jerat hewan liar di wilayah kerjanya hutan Leuser. Ada berbagai jenis jerat antara lain Jerat Lobang untuk menangkap hewan besar seperti badak, harimau, rusa, kambing hutan, dll. Jerat ini sering dijumpai di hutan primer yang masih hutan. Kemudian Jerat Lontar untuk menangkap hewan besar dengan memakai alat pelontar.

Selain itu ada jerat penangkap burung yang sering dijumpai di pinggir kawasan hutan terutama dekat areal ladang dan kebun masyarakat, menggunakan burung jinak sebagai umpan

YLI juga menemukan bekas kamp pelaku aktifitas illegal, seperti pemburu kayu dan pemburu hewan langka. “ Kami telah menemukan 69 kasus kejahatan terhadap satwa,” ujar Dr. Syahrul. Temuan ini dilaporkan kepada pihak terkait namun sejauh ini tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.

Hakim bersertifikasi lingkungan dari Pengadilan Tinggi Aceh, Wahidin, SH,MH memberikan pemaparan dari sudut hukum. Ia lebih banyak berbicara dari segi  Aspek Prosedural dan Kebijakan Pemidanaan pelanggar hukum lingkungan. Wahidin mengambil kesimpulan bahwa masih lemahnya penegakan hukum lingkungan disebabkan oleh peran publik belum tumbuh karena minimnya informasi mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi serta lemahnya pengawasan dari pihak terkait.

Ada yang unik dari pemaparan pemateri yang disampaikan oleh Pemateri kedua, M. Ali Akbar, SH, MH, yang menjabat Ketua Satuan Khusus (Kasatsus) Tipikor Kejaksaan Tinggi Aceh. Ia banyak menyinggung tentang modus operandi pelanggaran hukum lingkungan, minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum lingkungan dan minimnya Jaksa serta hakim yang bersertifikasi lingkungan dan peran korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan. Ia menekankan tentang peran saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan kasus lingkungan.

Saksi ahli dihadirkan agar daya “cengkeram” penuntut semakin kuat. Namun lucunya pihak lawan menghadirkan saksi ahli dari institusi yang sama, dengan keahlian yang sama, alat bukti yang sama namun dengan hasil yang berbeda. Hal ini dikhawatirkannya bisa mempengaruhi keyakinan hakim.

Kasus pembakaran hutan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya dengan terdakwa PT. Kallista Alam menjadi contoh ‘kekonyolan’ kehadiran saksi ahli dari institusi yang sama untuk pihak yang berlawanan. Saksi ahli yang dibawa jaksa dan terdakwa sama-sama dari Institut Pertanian Bogor, saksi ahli terdakwa malah membawa sprint (surat perintah-red) dari rektornya. Padahal kejaksaan sendiri adalah institusi negara yang notabene juga sama dengan IPB yang merupakan institusi negara juga. Ini seperti pemerintah “lawan” pemerintah.

“Ini menjadi kendala, kita akan membahasnya lebih lanjut untuk kepentingan di masa mendatang,” ujar M. Ali Akbar, SH, MH. Sebagai informasi, kasus perdata pembakaran lahan Rawa Tripa dengan tergugat PT Kalista Alam telah diputuskan PN Meulaboh dengan memberikan denda kepada PT Kalista sekitar Rp.300 miliar.

Minim Anggaran
Anggaran operasional penegakan hukum lingkungan sangat minim, misalnya anggaran BKSDA Aceh. Genman menyebutkan, anggaran BKSDA tidak mencukupi untuk melakukan berbagai kegiatan dengan maksimal. Saat ini saja, anggaran untuk penyitaan hewan liar telah habis. “ Kami sudah melakukan tiga kali penyitaan, dan tiga kali pelepasan hewan liar. Anggaran sudah habis, memang segitu dianggarkan,” kata Genman.

Selain itu BKSDA juga kekurangan Sumber Daya Manusia dimana mereka hanya memiliki 117 orang staff, 34 diantaranya merupakan polhut dan sebagian diantaranya yang bekerja sebagai Pawang Gajah hanya lulusan SMP. Jika dibagi maka setiap staf mengawasi kawasan 1260 hektar dan anggaran untuk mengelolanya sebesar Rp.2.240/hektar.

Jalan Terjal Penegakan Hukum Lingkungan  
Ada banyak hal yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sebut saja seperti yang disampaikan oleh aktivis perlindungan satwa Ratno Sugito. Ia meminta agar perusahaan perkebunan harus ikut bertanggung jawab atas kematian hewan liar karena merekalah habitat hewan liar menjadi lenyap.  Belum lagi terkait dengan penyitaan hewan liar, dimana mereka ditempatkan karena butuh ruang yang luas dan anggaran yang besar untu memberi makan hewan-hewan tersebut.

Munawar Kholis dari Flora Fauna International (FFI) mengusulkan dibentuknya Rescue Centre, tempat penampungan sementara hewan-hewan yang disita dari masyarakat. Namun juga diutarakannya, Rescue Centre membutuhkan biaya yang besar. Apalagi sebagian satwa memang sudah tidak mungkin dilepaskan kembali karena perilakunya yang sudah berubah sehingga harus dipelihara di Rescue Centre selamanya.

Secercah harapan diujung jalan terjal setidaknya masih ada. Salah satunya adalah penegakan hukum dengan perspektif multi doors (multi pihak). Artinya sebuah kasus lingkungan, namun bisa saja tersangka digugat dari berbagai peraturan perundangan yang lain. Misalnya saja dari pajak perusahaan, perizinan, UU Perkebunan dan sebagainya.

Penegakan hukum satwa liar terus dilakukan mesti tantangan yang dihadapi cukup besar.  Ini adalah jalan terjal penuh tantangan.[m.nizar abdurrani]

read more
Flora Fauna

Polisi Sudah Menangkap 11 Tersangka Pembunuh Gajah

Polres Aceh Barat hingga kini telah menangkap 11 orang tersangka pembunuh dan pengambil gading gajah di Kecamatan Kaway XVI. Tersangka ditangkap secara terpisah. Tersangka mengaku sudah berulang kali membunuh gajah untuk diambil gadingnya. Lokasi pembunuhan gajah masing-masing di kawasan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya serta di kawasan Seumantok, Kecamatan Pante Ceureumen dan Gampong Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.

Penangkapan pertama dilakukan oleh Polres Aceh Barat, Sabtu (12/4/2014 ) dimana enam warga Desa Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat yang diduga terlibat pembunuhan seekor gajah beberapa sebelumnya. Keenamnya ditangkap di lokasi terpisah

“Menurut tersangka yang sudah diperiksa, mereka mengaku membunuh sedikitnya tiga gajah untuk diambil gadingnya,” kata Kapolres Aceh Barat, AKBP Faisal Rivai SIK, Senin (14/4/2014). Menurutnya, tersangka memasang ranjau untuk menjebak gajah lalu menjeratnya. Setelah satwa dilindungi itu mati, pelaku mengambil gadingnya dan menjual pada seorang penadah yang berada di kawasan Kuta Fajar, Aceh Selatan seharga Rp 2,3 juta.

Dijelaskan Kapolres, sistem perdagangan yang dilakukan pelaku itu dengan cara berantai. Artinya pelaku yang sudah berhasil membunuh gajah tersebut kemudian menjual kepada pelaku lainnya melalui Dolah Haris dan selanjutnya dijual lagi kepada Husen seharga Rp 1,5 juta. Kemudian Husen menjual gading ini kepada Jas, seorang warga Kuta Fajar seharga Rp 2,3 juta. “Jas sendiri masih kita buru dan sudah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO),” kata AKBP Faisal.

Polisi juga sudah mengamankan sejumlah barang bukti lainnya seperti tiang dan rotan serta balok pemberat yang diduga digunakan pelaku untuk menjerat gajah.

Kemudian pada penangkapan kedua, lima warga lainnya yang diduga ikut dalam komplotan pembunuh dan mengambil gading gajah liar, di Desa Teuping Panah, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, diamankan polisi pada Selasa (15/4/2014) dari lokasi penangkapan.

Berdasar pengakuan warga yang ditangkap, kata Kapolres, mereka membunuh gajah menggunakan perangkap tradisional. Gajah itu dibunuh karena selama ini sudah sangat menganggu, bahkan sudah pernah menyerang penduduk hingga meninggal dunia. Sementara gading gajah yang mati itu sudah dijual. “Kita meminta kepada warga yang membeli gading itu segera menyerahkan diri, sebab identitasnya sudah dikantongi,” ujarnya.

Sejumlah pelaku pembunuhan gajah yang ditangkap polisi mengatakan, pembunuhan terhadap gajah dilakukan karena sudah bertahun-tahun mereka menderita akibat amukan gajah liar tersebut. Para pelaku berharap adanya keringanan hukuman sebab pembunuhan ini tidak pernah mereka inginkan jika saja sang gajah tak menggangu warga.

Kepala Resor BKSDA Aceh Barat, Zulkifli yang dimintai tanggapannya kemarin mengatakan, pembunuhan terhadap gajah tidak dibenarkan dalam aturan, walaupun hewan yang dilindungi itu menggangu, merusak tanaman, bahkan membunuh manusia. “Apabila ada gajah liar yang menggangu dipersilakan melapor ke BKSDA untuk diusir agar menjauh dari perkampungan maupun lahan pertanian warga,” katanya.

Sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Bahas Konflik Satwa, BKSDA Meeting dengan Aktivis Lingkungan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan pertemuan dengan sejumlah aktivis lingkungan dalam rangka mencari solusi penyelesaian konflik satwa. Pertemuan tersebut mengungkap beberapa informasi bagaimana menangani satwa liar termasuk penegakan hukum. BKSD sendiri merasa tidak mampu melakukan tugasnya tanpa bantuan dari pihak lain.

Kepala BKSDA Aceh, Genman Hasibuan mengatakan sudah banyak penegakan hukum yang dilakukan namun ternyata tidak memberikan efek jera kepada pelakunya. Selalu saja masih ada masyarakat yang tertangkap karena hukum terkait hewan liar, tanya Genman dalam pertemuan tersebut. “Masyarakat yang tertangkap karena pengambilan gading gajah masih terkait dengan pembunuhan gajah beberapa waktu lalu di kabupaten yang sama,” katanya dalam pertemuan yang berlangsung, Senin (14/4/2014) di Kantor BKSDA Banda Aceh.

Banyak orang yang masuk penjara karena kasus hewan liar namun persoalan konflik satwa di lapangan tidak selesai juga. Dampaknya negatifnya BKSDA semakin dibenci oleh segelintir orang yang tidak senang bahkan teror semakin meningkat terhadap staf BKSDA. Selain itu Genman juga menyoroti pemberitaan terkait kasus hewan liar yang menurutnya tidak menguntungkan penyelidikan.

“Wartawan menghubungi saya menanyakan kasus, saya kalau tidak bicara tidak enak, takut menyembunyikan informasi,”jelasnya. Menurutnya kedepan ritme pemberitaan kasus hewan liar harus diatur kembali agar jangan sampai pihak BKSDA bergerak pelaku sudah kabur akibat mengetahui kasusnya di media.

Terkait dengan penanganan konflik satwa liar terutama gajah, BKSDA sudah mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten yang memiliki konflik satwa liar agar ikut menangani persoalan tersebut dengan mengedepankan sosial ekonomi masyarakat. “ Pemerintah daerah harus ikut menangani karena masyarakat yang berkonflik dengan satwa terganggu perekonomiannya,” ujar Genman. BKSDA hanya Unit Pelaksana Teknis di Daerah di bawah Kementerian Kehutanan yang kemampuannya sangat terbatas.

Peserta yang hadir dalam pertemuan juga menyampaikan pendapatnya terkait kondisi perlindungan satwa liar di Aceh. Ratno Sugito, aktivis satwa liar menceritakan pengalamannya saat mengunjungi lokasi pembunuhan gajah di Kaway XVI. Setahu Ratno belum ada masyarakat yang ditangkap dalam kasus kematian gajah itu. Selain itu ia mengamati di lokasi terdapat kebun yang dipagari dengan kawat beraliran listrik. “Perusahaan harus ikut bertanggung jawab atas kematian hewan liar,” ujarnya. Dirinya siap membantu BKSDA Aceh dalam menghubungkan BKSDA dengan jaringan perlindungan satwa di tingkat nasional.

Sementara itu Munawar Kholis dari Flora Fauna International (FFI) mengusulkan dibentuknya Rescue centre, tempat penampungan sementara hewan-hewan yang disita dari masyarakat. Namun juga diutarakannya, Rescue Centre membutuhkan biaya yang besar. “ Sebagian satwa memang sudah tidak mungkin dilepaskan kembali karena perilakunya yang sudah berubah sehingga harus ditanggung di Rescue Centre. Kholis pernah bertahun-tahun bekerja di Rescue Centre di Pulau Jawa.

Badrul Irfan dari Koalisi Peduli Hutan Aceh menyarankan agar BKSDA memasang iklan penyerahan hewan liar di media massa dengan tujuan masyarakat sukarela menyerahkan satwa liar. Namun usulan ini menurut Genman sulit dilaksanakan karena BKSDA khawatir jika masyarakat ramai menyerahkan hewan, tidak ada kandang yang memadai di BKSDA untuk menampung hewan liar tersebut. BKSDA kekurangan anggaran untuk memelihara hewan dalam jumlah banyak.

Aktivis lingkungan lain, Wahdi memberikan pendapat bahwa ada cara agar hewan liar tidak memakan hasil pertanian masyarakat yaitu dengan menanam tanaman yang tidak disukai hewan liar tersebut. Misalnya menanam lada, yang merupakan tanaman tidak disukai gajah sehingga terhindar dari konflik satwa liar.

Pada akhir pertemuan peserta menyepakati untuk melakukan pertemuan rutin dua bulanan membahas isu aktual penyelamatan satwa. Untuk pertemuan ke depan disepakati membahas konflik gajah liar dengan masyarakat.[]

read more
Flora Fauna

Organisasi Ini Bentuk Ranger Cegah Perburuan Satwa Liar

Maraknya perburuan satwa liar di kawasan pelestarian alam, mendorong ProFauna Indonesia membentuk satuan unit untuk mencegah semakin luasnya perburuan itu. Satuan unit tersebut dinamakan Ranger ProFauna yang akan bekerja secara suka rela di beberapa kawasan pelestarian alam yang rawan terjadinya perburuan satwa liar. Untuk angkatan pertama Ranger ProFauna telah merekrut sebanyak 10 orang relawan yang telah mengikuti proses pelatihan dan seleksi selama tiga bulan.

Sebelum resmi menjadi anggota Ranger ProFauna, para relawan tersebut telah dilatih dengan berbagi ketrampilan seperti bela diri, survival, mountaineering, identifikasi spesies satwa liar dan komunikasi. Ketrampilan tersebut akan diperlukan anggota Ranger ProFauna ketika menjalankan tugasnya yang beresiko tinggi karena akan melawan kejahatan alam yaitu perburuan illegal satwa liar.

“Perburuan satwa liar di kawasan pelestarian alam merupakan kejahatan karena itu melanggar UU nomor 5 tahun 1990 tentang pelestarian sumber daya alam hayati. Ini juga menjadi pemicu terancam punahnya satwa liar di alam”, kata Bayu Sandi, juru kampanye ProFauna Indonesia. Bayu yang juga diangkat menjadi komandan Ranger (Danger) ProFauna itu menambahkan, “minimnya petugas polisi kehutanan yang berjaga di kawasan pelestarian alam membuat perburuan liar satwa liar leluasa dilakukan, disinilah Ranger ProFauna akan berperan aktif untuk mencegah semakin luasnya perburuan satwa liar itu”.

Berbagai jenis satwa liar terancam keberadaannya di alam karena dampak perburuan, seperti lutung jawa, kucing hutan, ayam hutan, musang, burung rangkong, dan kijang. Kebanyakan mereka diburu di kawasan pelestarian alam yang semestinya menjadi tempat yang paling aman bagi satwa tersebut. Beberapa kawasan di Jawa Timur yang rawan menjadi lokasi perburuan satwa liar antara lain Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Nasional Merubetiri, Taman Hutan Raya R Soerjo, Taman Nasional Baluran, Cagar Alam Arjuna Lalijiwo dan Gunung Argopuro.

Menurut UU nomor 5 tahun 1990, perburuan semua jenis satwa liar di dalam kawasan pelestarian alam adalah dilarang. Pemburu yang melakukan aktivitas perburuan satwa liar di dalam kawasan pelestarian alam diancam dengan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 100 juta.

Adanya Ranger ProFauna itu diharapkan akan mendorong lebih aktifnya petugas taman nasional atau polisi hutan dalam melakukan patroli mencegah tindak kejahatan terhadap satwa liar. “Ranger ProFauna juga akan bekerja sama dengan pihak Balai Pelestarian Sumber Daya Alam (BKSDA) dan taman nasional untuk melakukan patroli bersama dalam pengamanan kawasan pelestarian alam”, kata Bayu.

Partisipasi masyarakat dalam mencegah terjadinya perburuan satwal liar di kawasan pelestarian alam tersebut dijamin oleh undang-undang. Dalam UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 69 disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Kemudian dalam UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pasal 4 disebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat.

Partisipasi masyarakat itu juga disebutkan dalam UU no 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, pasal 70, yaitu masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. “Ranger ProFauna ini suatu bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam pelestarian alam dan Ranger ProFauna kedepannya diharapkan akan ada di seluruh wilayah Indonesia”, pungkas Bayu Sandi.

Sumber: profauna.net

read more
1 2 3 4 10
Page 2 of 10