close

tambang

Tajuk Lingkungan

Kejamnya Masyarakat Kota

Dewasa ini, pembangunan di kota-kota yang ada di Indonesia sudah semakin maju seiring tuntutan modernisasi. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan mewah, dan perkantoran elit serta sekolah-sekolah megah ada di setiap sudut kota. Semua pembangunan yang dilakukan di Kota menimbulkan efek yang besar bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di perkotaan sering tidak pernah berpikir bahwa akibat bangunan yang mereka tempati telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang tinggal di desa-desa yang dekat dengan sungai, hutan, dan pegunungan.

Bagi kita yang berdomisili di Kota Banda Aceh misalnya, mudah kita melihat sendiri secara langsung hasil pembangunan yang telah dilakukan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi kembali Aceh pasca bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada bulan Desember 2004 yang lalu.

Jika kita bicara pembangunan di sebuah kota, maka kita akan bicara tentang perencanaan pembangunan yang dilakukan disana oleh Bupati/Walikota. Biasanya, berbagai konsep pembangunan kota lahir dari para pengambil kebijakan tanpa memandang akibat yang akan ditimbulkan ketika pembanungan mulai dilakukan hingga selesai dilaksanakan. Strategi pembangunan yang demikian tentu saja membuat lingkungan hidup rusak. Masyarakat pedesaan menanggung akibat yang begitu besar dari pembangunan yang terus terjadi di kota.

Secara sosial, kota seharusnya menjembatani berbagai kehidupan masyarakat yang menyentuh pemenuhan ekonomi, budaya, politik, dan hal-hal lainnya yang berkaitan juga untuk kesejahteraan penduduk yang tinggal di pedesaan. Karena semua bahan baku bangunan di kota berasal dari desa sudah seharusnya pemerintah kota dan masyarakatnya memiliki perilaku yang ramah lingkungan. Jangan hanya memaksakan kehendak demi kemajuan kota yang ditinggali tanpa memikirkan efek besar bagi masyarakat yang bermukim di desa-desa.

Pembangunan di kota membutuhkan kayu, pasir, tanah, semen, dan batu. Semua bahan-bahan bangunan tersebut diambil dari hutan, gunung, perbukitan, dan sungai yang ada sumbernya dekat dengan tempat tinggal penduduk desa. Batu bata yang menjadi bahan baku utama sebuah bangunan memang berasal dari desa hasil karya masyarakat disana. Akan tetapi, tuntutan kebutuhan untuk pembangunan di kota membuat masyarakat mencari sumber tanah yang berasal dari perbukitan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini, berdampak buruk ketika curah hujan tinggi yang membuat longsor area tempat tinggal mereka. Juga, semen yang paling dibutuhkan didirikan pabriknya oleh pengusaha dengan izin dari pemerintah telah menimbulkan efek yang begitu besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di desa sekitar pabrik tersebut.

Bencana banjir bandang akibat penebangan hutan yang sembarangan sering memakan korban banyak dari penduduk desa yang tinggal di dekat sungai. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan di kota. Aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah seharusnya menjadi payung hukum bagi masyarakat desa menuntut masyarakat kota dan pemerintah berwenang atas tindakan mereka menebang hutan sehingga merusak ekosistem di sekitar tempat masyarakat desa tinggal.

Bahan bangunan berupa pasir dan bebatuan juga berasal dari sungai-sungai dan pegunungan yang dekat dengan tempat tinggal masyarakat desa. Izin Galian C terhadap para pengusaha diberikan begitu mudah oleh pejabat di perkotaan. Tanpa ada proses uji kelayakan sama sekali akan dampak yang ditimbulkan setelah galian dilakukan. Hal ini, sering sekali menghadirkan petaka besar bagi masyarakat desa di pinggiran sungai. Sudah terlalu banyak bencana yang telah terjadi akibat proses Galian C yang dilakukan oleh pengusaha nakal tersebut. Hal ini harus menjadi perhatian besar pemerintah kita. Selain kerusakan alam di sekitar area pengerukan pasir, aktivitas galian C juga telah mematikan  sumber mata air di lereng pegunungan. Air yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat di desa pun telah berkurang.

Aktivitas penambangan yang dilakukan pengusaha Galian C telah membuat mata air di lereng pegunungan dan di bawah mengering. Sejauh apapun tanah yang digali tetap akan sulit mendapatkan air jika aktivitas itu terus dilakukan. Akibatnya, ketika hujan deras turun selama 2 (dua) hari saja maka longsoran tanah akan terjadi. Belum lagi rusaknya jalan, jembatan, dan debu berterbangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota. Akibat negatif dari proses penambangan galian C di Aceh telah banyak dibicarakan media cetak baik lokal maupun nasional. Sungguh telah mencapai titik nadir akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya.

Tak salah, apabila penulis mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di kota atau masyarakat yang ada di perkotaaan termasuk di Aceh memang kejam. Secara tidak langsung, mereka telah berpartisipasi terhadap timbulnya bencana alam yang diderita sepihak oleh saudara-sauadara mereka yang bertempat tinggal di desa-desa yang dekat dengan hutan, sungai, dan pegunungan yang ada di wilayah Aceh.

Dampak negatif dari pembangunan kota terhadap kualitas kehidupan sosial masyarakat desa sangat besar. Kehadiran bangunan-bangunan baru di kota untuk menjadikan kota tempat kita tinggal sebagai kota impian ternyata berdampak besar bagi kelangsungan ekosistem di pedesaan.

Sekali lagi, Pemerintah Aceh yang sekarang harus lebih komit terhadap isu kerusakan lingkungan akibat dari sebuah proses permbangunan. Hal ini mejadi begitu penting mengingat masa depan generasi muda Aceh dipertaruhkan kelangsungan hidupnya dari baik buruknya sebuah kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup. Apalagi, hutan, pegunungan, sungai, dan lautan adalah sumber kehidupan yang besar apabila dipelihara dengan baik dan diikat dengan peraturan yang bijaksana tata pengelolaannya.

Masyarakat yang tinggal di kota harus bersikap lebih adil terhadap saudaranya yang ada di desa-desa. Jangan jadikan alasan kemajuan di kota untuk menyerobot lahan masyarakat desa seenak udelnya saja. Tindakan pengusaha kota yang yang merusak hutan, menggali sungai, dan mencari bahan tambang penting lainnya tak bisa termaafkan bila memakan korban jiwa dari bencana yang ditimbulkan. Sikap kejam  masyarakat kota sudah selayaknya diubah bila ingin melihat Aceh damai dan sejahtera selamanya.[]

read more
Ragam

Rio Tinto : Perusahaan Tambang Paling Bahaya di Dunia

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL) Kutai Barat mendesak Pemerintah Indonesia menunda dan tidak tergesa-gesa menandatangani nota penutupan tambang dan serah terima Kawasan Pinjam Pakai seluas 6.750 Ha dari PT. Kelian Equatorial Mining (KEM) milik Rio Tinto. Nota tersebut akan memindahkan beban tanggung jawab mengurus 77 juta ton tailing di dam Namuk, pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan dan sosial yang belum juga dipulihkan dari PT. KEM/Rio Tinto ke Pemerintah Indonesia.

PT KEM milik Rio Tinto, perusahaan tambang mineral dan batubara terbesar di dunia asal Inggris, beroperasi sejak 1992 hingga 2004. Pertambangan ini menghasilkan 14 ton emas serta 13 ton perak setiap tahunnya. Sejak mulai eksplorasi terjadi rentetan kasus pelanggaran HAM, mulai perampasan tanah masyarakat adat dayak, serta pertambangan rakyat, kekerasan hingga kejahatan seksual Perhadap perempuan, kematian Edward Tarung di Tahanan Polres Kutai Kertanagara.

Masalah-masalah serius yang ditinggalkan Rio Tinto, Pertama, dua dam berisi 80 juta ton limbah tailing di dam Nakan dan Namuk, berada di hulu Sungai Kelian dan Sungai Nyuatan yang mengalir hingga Sungai Mahakam. Jelas ini bom waktu yang akan meneror Mahakam dan warga Kutai Barat.; Kedua, kasus kejahatan seksual terhadap puluhan perempuan Kelian oleh karyawan PT KEM sampai hari ini tidak jelas nasibnya.

Kasus itu seolah dicuci lewat pemberian uang pengganti ‘malu’, tidak menggoreskan nota predikat kejahatan Rio Tinto sebagai pemilik 80 persen saham dalam PT KEM. Bahkan salah satu pelakunya, Ismail Thomas, kini menjabat sebagai Bupati Kutai Barat;

Ketiga, jaringan listrik yang dijanjikan tidak kunjung terwujud, bahkan di Kampung Tutung dan Kelian Dalam masyarakat hanya mengandalkan Genset. Ditambah lagi kehidupan ekonomi masyarakat yang tidak menentu memaksa mereka masuk ke kawasan bekas tambang PT. KEM untuk mendulang emas secara tradisional. Ini lah yang memicu bentrok masyarakat dengan aparat keamanan, yang berujung dengan penembakan salah satu warga pada 2008;

Keempat, Pengelolaan dana abadi sebesar USD 11,2 juta seperti yang tertuang dalam Komunike KPPT No 5 27 Februari – 1 Maret 2002, sama sekali tidak transparan. Dana abadi yang tersimpan di bank HSBC Singapura tersebut bunganya dikelola oleh PT. Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL), sebuah badan hukum bentukan PT. KEM untuk melaksanakan reklamasi dan reboisasi kawasan pinjam pakai tersebut.

Oleh karena itu, JATAM dan LKMTL dengan tegas menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk menunda penandatanganan dan serah terima Kawasan Pinjam Pakai hingga PT. KEM menyelesaikan semua tanggung jawabnya dan memulihkan hak masyarakat Lingkar tambang.

Mengapa publik perlu mengetahui seluruh cerita pemburukan kehidupan sosial ekologi masyarakat Kelian?

Karena Rio Tinto hingga saat ini masih tetap dengan leluasa membuka dan merencanakan lokasi-lokasi tambang baru di Indonesia dengan berbagai macam wajah. Pada tanggal 13 Desember 2012, Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Kepmen No 3323 K/30/MEM 2012 tentang penciutan IUP Eksplorasi PT Sulawesi Cahaya Mineral yang semula seluas 50.700 (lima puluh ribu tujuh ratus) hektar (luas wilayah semula) dikurangi 6.633 Hektar menjadi 44.067  Hektar.

Lokasi tambang ini berada di dua Kabupaten dan Provinsi, yakni Morowali Sulawesi Tengah dan Konawe Utara Sulawesi Tenggara. Sudah sepatutnya Rio Tinto dihukum sebagai perusahaan paling berbahaya di dunia, atas kejahatan mereka di masa lalu. Agar tidak leluasa menciptakan ketidakadilan di bumi Sulawesi.

Sumber: jatam.org

read more
Ragam

Perusahaan Tambang Hancurkan Lingkungan Aceh

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar menilai tak ada keuntungan apapun yang diperoleh daerah dari operasional perusahaan tambang emas yang disebut-sebut melakukan eksplorasi di kawasan hutan Geumpang, Kabupaten Pidie.

“Boleh dibilang, kita rugi. Dari sisi pendapatan atau ekonomi kita rugi dari sisi kerusakan lingkungan juga tinggi sekali. Muaranya ya, ke bencana,” kata Zulfikar sebagaimana dilansir Serambi Indonesia, Sabtu (16/11/2013) terkait penghentian eksplorasi 14 perusahaan tambang emas di kawasan hutan Geumpang karena belum turunnya izin pinjam pakai kawasan hutan dari Gubernur Aceh.

Dari sisi pendapatan, menurut Zulfikar tidak ada yang menguntungkan dari karena disinyalir izin yangh dikantongi oleh perusahaan lebih banyak di bawah tangan sehingga tidak mengacu pada peraturan. “Kalau pun ada izin dari kabupaten, itu kan masih sepihak. Sementara kalau mengacu ke UUPA, harus juga ada koordinasi dengan provinsi. Itu satu hal dari sisi PAD yang menurut kita lebih banyak permainan antar-kekuasaan,” tandas Zulfikar.

Kemudian, lanjutnya, dari sisi kerusakan ekosistem, ketika dilakukan eksplorasi di wilayah-wilayah hutan lindung, dampaknya sangat tinggi apalagi mereka tidak mengantongi izin dari kementerian kehutanan. Padahal, seluruh aktivitas di hutan lindung harus ada izin dari menteri.

Dikatakan Zulfikar, telah terjadi kerusakan aliran sungai dan habitat di sana. Juga terjadi kerentanan pangan akibat terganggunya pasokan air dari berbagai daerah aliran sungai yang rusak dalam wilayah Geumpang dan sekitarnya.

“Bencana rutin lainnya adalah banjir bandang dan longsor. Konfkik satwa juga sangat tinggi di wilayah ini. Pemerintah Aceh harus segera turun tangan dengan tidak memperbolehkan penerbitan izin eksplorasi. Ini juga termasuk illegal mining. Ketika terjadi bencana seperti selama ini, harusnya Pusat ikut bertanggungjawab,” tegas Zulfikar.

Zulfikar menyerukan Gubernur Aceh segera menyurati kementerian terkait sekaligus menegur izin yang tidak sampai ke tingkat gubernur karena sebenarnya harus ada izin yang dikeluarkan di tingkat provinsi.

“Selama ini mereka mengantongi izin dari kabupaten tetapi pernah satu saat kita tanya ke kabupaten, mereka (pihak kabupaten) mengaku nggak tahu dan mengatakan kegiatan mereka (perusahaan) lebih banyak eksplorasi. Ini kan aneh, kok sudah lebih tiga tahun masih eksplorasi (mencari) terus, sementara beberapa hasil sudah ada yang dibawa, ini kan ilegal namanya,” demikian Zulfikar.()

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

14 Perusahaan Tambang di Pidie Tak Miliki Izin Pakai Hutan

Sebanyak 14 perusahaan tambang emas menghentikan kegiatan eksplorasi (penelitian) di kawasan hutan Geumpang, Pidie karena belum turun surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Gubernur Aceh. Para pengusaha memberhentikan operasi meski izin eksplorasi dari Pemkab Pidie berlaku hingga 2015.

Kepala Bidang (Kabid) Pertambangan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Energi Sumber Daya Mineral (Disperindagkop-ESDM) Pidie, Teuku Irwansyah MM, menjawab Serambi, Sabtu (16/11/2013) mengatakan, ke-14 perusahaan tersebut tetap menghentikan eksplorasi sebelum keluar surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari gubernur, menyusul surat izin sebelumnya telah berakhir.

Dijelaskan Irwansyah, izin yang diberikan Pemkab Pidie kepada perusahaan tersebut masih berstatus eksplorasi, belum dinaikkan menjadi eksploitasi. Masa berakhir izin eksplorasi yang diberikan Pemkab Pidie kepada 14 perusahaan tambang emas tersebut bervariasi. Ada yang 2014 dan ada juga tahun 2015. Kegiatan eksplorasi berlangsung sejak 2009 dan 2010. “Untuk dinaikkan status menjadi eksploitasi, ke-14 perusahaan tersebut harus melakukan eksplorasi selama delapan tahun. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral Batubara,” kata Irwansyah.

Ia mengatakan, dari 14 perusahaan tambang emas yang telah memperoleh izin melakukan eksplorasi juga dibebankan membayar iuran tetap (landrent) per tahun berdasarkan luas lahan yang dikeluarkan izin.

Landrent tersebut, kata T Irwansyah, adalah penerimaan negara bukan pajak, yang disetor ke kas negara oleh perusahaan yang melakukan eksplorasi. Kemudian Pemkab Pidie menerima bagi hasil landrent yang dikirim dari pemerintah pusat. “Bagi hasil tersebut masuk ke dalam kas daerah yang kemudian menjadi pendapatan asli daerah (PAD),” katanya.

Ditanya berapa landrent yang telah masuk ke kas daerah, katanya, hingga kini pihak dinas sedang menghitung iuran tetap bersumber dari 14 perusahaan tambang tersebut. “Insya Allah, Senin (18/11) angka landrent sudah bisa kita berikan,” demikian Irwansyah.(naz)

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Otoritas Bursa Saham Kanada Respon East Asia Mineral

Dua lembaga yang memiliki otoritas dalam industri dan perdagangan di Kanada merespon sikap East Asia Minerals, perusahaan tambang emas dari Kanada yang ingin mengeksploitasi emas di Aceh. Kedua lembaga itu adalah bursa saham TSX Venture Exchange dan Investment Industry Regulatory Organization of Canada (IIROC) selaku lembaga yang menerbitkan aturan main bagi perusahaan di sana.

Respon dua lembaga itu menyatakan sikap mereka terkait tindakan East Asia Minerals yang ingin mengeruk emas di Gunung Miwah, Geumpang, Pidie, yang terletak di kawasan hutan lindung.

TSX Venture Exchange berjanji akan mempelajari kasusnya. Mereka juga akan menyurati East Asia Minerals untuk dimintai keterangannya.

“We will correspond directly with the Company (East Asia Minerals) should we decide to proceed with a formal review of this matter,” tulis TSX Venture Exchange dalam surat elektronik bertanggal  6 November 2013.

Sedangkan Investment Industry Regulatory Organization of Canada (IIROC) mengatakan, lembaga ini hanya mengurusi regulasi untuk perusahaan yang  beroperasi di Kanada. Sedangkan lembaga yang mengatur regulasi bagi perusahaan Kanada yang beroperasi di luar negeri adalah British Columbia Securities Commission.  Namun demikian, mereka berterima kasih atas informasi yang telah diberikan.

East Asia Minerals mengusai 85 persen saham tambang emas di Gunung Miwah, Pidie, areal yang yang disebut-sebut menyimpan potensi emas.  Perusahaan ini telah meneliti kandungan emas di sana sejak 2008.

Temuan emas itu telah membuat nilai saham East Asia Minerals terdongkrak bursa saham Kanada. Dalam laporan hasil survei, East Asia menyebutkan kandungan emasnya diperkirakan sebanyak 3,14 juta ons. Itu belum termasuk tembaga dan perak yang diperkirakan juga tak kalah banyaknya.

Disebutkan, proyek emas Miwah berjarak sekitar 150 kilometer dari Banda Aceh, berada di kawasan pegunungan Bukit Barisan. Di sekitar area tambang ada dua gunung api: Gunong Peuet Sagoe, dan Bur Ni Telong. Kedua gunung ini masing-masing berjarak sekitar 8 dan 60 kilometer dari lokasi.

“Topografinya curam dan terjal pada ketinggian berkisar antara 1.500-2.000 meter di atas permukaan laut, sebagian besar tertutup oleh hutan hujan dan vegetasi tropis. Proyek Miwah dapat diakses dari Geumpang oleh mobil 4WD sepanjang 8 kilometer, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki 9 kilometer atau alternatif dengan helikopter langsung ke lokasi proyek.”

Namun, sejak temuan itu dipublikasikan, rencana mengeruk emas dari Gunung Miwah belum terwujud. Penyebabnya, daerah temuan emas itu termasuk dalam kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Padahal, awalnya East Asia Minerals menarget memulai pengerukan emas pada November 2012.

Lambannya realisasi penambangan emas itu membuat market cap East Asia rontok. Jika pada 2010 nilai kapitalisasi pasarnya mencapai $2,16 miliar, pada Mei 2012 turun menjadi $48 juta. Per 16 April 2013 melorot menjadi $ 18 juta. Pada 23 September 2013, turun lagi menjadi $11,02 juta.

Untuk meningkatkan kepercayaan investor dan mendongkrak nilai perusahaannya, pada April 2013, CEO East Asia Minerals Edward C. Rochette membuat pernyataan mengejutkan: mereka terlibat aktif dalam proses reklasifikasi fungsi hutan di Aceh. East Asia ingin status hutan lindung di Gunung Miwah menjadi hutan produksi.

Untuk mewujudkan rencana itu, East Asia menggandeng Fadel Muhammad, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, yang juga mantan Gubernur Gorontalo.

Fadel disebut sebagai orang yang akan membantu East Asia mendapatkan konsesi tambang. ”Fadel akan memberi bantuan tak ternilai dalam menangani konsesi milik East Asia Minerals di Sangihe, Miwah, serta wilayah lain yang mungkin diakuisisi di masa depan. Sebagai imbalannya, Fadel akan mendapat peluang untuk memiliki saham,” demikian bunyi pernyataan itu.

Meskipun temuan emas Miwah telah membuat saham East Asia meroket di pasar modal sejak dua tahun lalu, anehnya, pemerintah Pidie malah mengaku tidak pernah memberikan izin tambang emas untuk perusahaan Kanada itu.

“Kami tidak pernah berhubungan dengan East Asia Minerals. Lagi pula kita tidak bisa memberi izin pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung,” kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Pidie, Mukhtar Usman saat dihubungi melalui telepon selular, Selasa, 24 September 2013.

Mukhtar menjelaskan, saat ini ada 14 perusahaan tambang emas yang beroperasi di Geumpang, Pidie. Namun, tidak ada nama East Asia Minerals di sana. Padahal, pada Desember 2012, East Asia mengaku telah memperoleh perpanjangan izin atas 4 IUP di Miwah. Izin itu berlaku hingga 30 November 2014.

Lantas, bagaimana East Asia bisa merangsek hingga ke Gunung Miwah? “Kemungkinan mereka bekerjasama dengan perusahaan lokal yang kita beri izin. Kalau kejadiannya seperti itu, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Muhktar.

Siapa saja perusahaan lokal itu? Mukhtar mengaku tidak tahu persis. Namun, ia mendengar ada 4 perusahaan lokal yang menjadikan East Asia sebagai konsultan. Keempat perusahaan itu adalah  PT Komuna Karya, PT Bayu Nyohoka, PT Parahita Sanu Setia, dan PT Krueng Bajikan. Kata dia, keempat perusahaan itulah yang mendapat izin IUP pada 2009, lalu diperpanjang pada 2012 dengan masa berlaku hingga 2014.

“Bisa jadi mereka mengajak East Asia untuk mendapat dukungan modal. Namun, saya pastikan pemerintah daerah tidak punya hubungan dengan East Asia Minerals,” kata Mukhtar.

Pernyataan Mukhtar bisa jadi benar. Namun, simaklah pengakuan East Asia Minerals yang termuat dalam sebuah presentasi pada Mei 2013. Presentasi itu dimuat di situs mereka dan bisa diakses siapa saja. “Bupati dan manajemen telah bertemu dengan Wakil Menteri Kehutanan.”

Dalam poin berikutnya disebutkan,”Bupati menandatangani Surat Rekomendasi untuk Gubernur mengenai permohonan perubahan klasifikasi kehutanan dari hutan lindung menjadi hutan produksi.”

Manajemen East Asia yakin perubahan status itu akan diperoleh dalam waktu 6 hingga 24 bulan. Dalam presentasi itu juga disebutkan East Asia memegang 85 persen dari total kandungan emas Miwah. Sisa 15 persen milik perusahaan lokal.

Sumber : atjehtoday.com

read more
Ragam

Penambangan Emas Liar Cemarkan Sungai Geumpang

Jurnalis lokal dari media online bihaba.com, berhasil mendokumentasikan kegiatan penambangan ilegal tradisional yang dilakukan di kawasan kecamatan Geumpang, kabupaten Pidie, Aceh. Jurnalis tersebut melakukan penyamaran karena ketatnya keamanan yang diterapkan oleh pengelola tambang liar tersebut. Penjagaan terhadap “orang asing “ sangat ketat.

Jurnalis tersebut melakukan ini untuk membuktikan bahwa tambang emas liar bukan hanya cerita. Penyamaran pun menjadi pilihan terakhir. Demi keamanan, indentitas jurnalis harus disembunyikan.

Sekali dalam sepekan, “koordinator” melakukan pemeriksaan indentitas para pekerja untuk mencegah adanya penyusup dan pencuri. Koordinator ini juga bertugas untuk menerima atau menolak jika ada warga yang ingin membuka lahan pertambangan. Koordinator juga yang berwenang untuk mengutip uang “sewa lokasi dan uang fee” hasil pertambangan. Disebut sebut, nama salah seorang koordinator itu berinisial “Keuchik A “. Keuchik adalah sebutan lokal di Aceh yang berarti Kepala Desa. Namun di Aceh, seseorang yang sudah tidak menjabat Kepala Desa pun masih dipanggil dengan sebutan Keuchik.

Penggilingan tanah untuk mendapatkan emas di tambang liar Geumpang, Aceh PIdie | Foto: bihaba.com

Jurnalis melihat, di lokasi terdapat sekitar 800 unit mesin penggilingan batu yang diduga mengandung emas. Mesin berkuatan 24 PK tersebut bekerja nonstop, sepanjang siang dan malam dan memperkerjakan tiga orang setiap mesin.

Sebagian penggilingan tersebut milik penambang, sebagian lain milik yang tidak memiliki “lubang galian” tapi hanya melayani jasa/ongkos giling.

Di lokasi diperkirakan terdapat sekitar dua ribu pekerja, yang terdiri dari pekerja di penggilingan, pekerja yang masuk ke lorong lorong bawah tanah dan buruh angkut.

Pekerja lorong adalah buruh yang masuk dan menggali dalam tanah. Buruh yang menggali dan yang masuk dalam terowongan ini umumnya didatangkan dari Jawa Barat dan berpengalaman bekerja di tambang batubara.

Sementara buruh angkut adalah warga dari berbagai daerah di Aceh. Buruh angkut mengangkut tanah dari lubang penggalian ke pabrik pengilingan. Tanah tanah tersebut ditaruh dalam karung beras ukuran 15 kilogram.

Kayu yang berasal dari hutan di sekitar penambangan emas liar, Geumpang, Aceh Pidie | Foto: bihaba.com

Akibat pertambangan liar ini, hutan di kawasan itu rusak parah. Dibagian atas, hutan ditebas untuk diambil kayunya sebagai bahan kayu olahan. Sedangkan dibagian bawah, ribuan lubang dibuat untuk mengambil tanah demi emas.

Hal lain yang paling memprihatinkan adalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan Merkuri untuk mendapatkan emas. Merkuri atau air raksa (Hg) merupakan golongan logam berat  yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan merusak lingkungan hidup. Mercuri digunakan oleh penambang untuk menggumpalkan butiran butiran emas agar terpisah dari tanah.

Mercuri hasil pengolahan dibuang begitu saja di lokasi pegunungan dan mengalir ke sungai Geumpang dan beberapa sungai kecil lain. Sungai Geumpang adalah  sungai terbesar di kabupaten itu dan melintasi beberapa kecamatan. Sungai ini merupakan sumber kehidupan, selain untuk dikonsumsi, air sungai dimanfaatkan untuk mendukung usaha perekonomian rakyat.

Sumber: bihaba.com

read more
1 2 3 4
Page 4 of 4