close

tambang

Ragam

UGM Adakan Training Tata Kelola Industri Pertambangan

Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada akan menyelenggarakan Pelatihan Tata Kelola Pemerintahan di Industri Ekstraktif se-Asia Pasifik pada tanggal 28 April – 10 Mei 2014. Pelatihan dengan tajuk “Improving the Governance of Extractive Industries in Asia Pacific Region” ini ditujukan bagi  aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah, perusahaan, lembaga think tank dan media. Pelatihan ini merupakan penyelenggaraan kedua setelah yang pertama diadakan September 2013 lalu.

Melalui pelatihan ini, para peserta yang berasal dari kawasan Asia Pasifik ini diharapkan dapat memahami tata kelola industri ekstraktif secara konseptual dan praktik, khususnya pada isu-isu dampak sosial dan lingkungan, sistem kontrak dan rejim fiskal, manajemen penerimaan (revenue management), pelembagaan skema Extractive  Industries Transparency Initiatives (EITI) dan koalisi untuk reformasi. Selain diskusi di dalam kelas, pelatihan ini juga menyelenggarakan serangkaian diskusi panel dan studi lapangan.

Kegiatan ini sendiri merupakan rangkaian program kegiatan dari Asia Pacific (ASPAC) Knowledge Hub on Better Extractive Industries Governance yang dikelola oleh JPP UGM dengan dukungan oleh Revenue Watch Institute (RWI), yang berbasis di New York, serta didanai oleh United States Agency International Development (USAID). Asia Pacific (ASPAC) Knowledge Hub dikembangkan sebagai simpul pengetahuan atau think tank berbasis universitas untuk mendorong efektivitas advokasi kebijakan dalam rangka mendorong tata kelola pemerintahan di sektor industri ekstraktif yang transparan dan akuntabel di kawasan Asia Pasifik. Asia Pacific Knowledge hub merupakan Knowledge Hub yang ke-5 di dunia yang dikembangkan oleh Revenue Watch Institute selain: Anglophone-Africa, Francophone-Africa, Eurasia, dan Amerika Latin.

Program akan menyediakan beasiswa bagi peserta pelatihan perwakilan LSM yang berasal dari Myanmar, Vietnam, Kamboja, Filipina, Timor Leste, Malaysia dan Indonesia. Aplikasi pelamar beasiswa training paling lambat 27 Februari 2014. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi; ASPAC HUB melalui email: aspachub.polgov@gmail.com.[]

Sumber: fisipol.ugm

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh Keluarkan Instruksi Moratorium Tambang

Tanggal 27 September 2013 lalu, Gubernur Aceh telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 06/Instr/2013 tentang  Penghentian Sementara Pemberian Izin Penambangan Mineral di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Aceh. ” Tentunya hal ini perlu kita sambut secara positif sebagai terobosan dan langkah maju yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh dalam rangka pemulihan lingkungan terutama di wilayah pesisir dan laut,” ujar Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh,  T. M. Zulfikar.

Namun sangat disayangkan kebijakan yang dikeluarkan tersebut sangat minim sosialisasi sehingga tidak diketahui oleh publik secara luas. Hal ini disampaikannya dalam siaran pers yang diterima Rabu (12/2/2014) di Banda Aceh.

Dalam Ingub tersebut disampaikan bahwa dalam rangka mengembalikan fungsi-fungsi wilayah pesisir dan laut serta untuk menata kembali penambangan mineral di wilayah pesisir dan laut Aceh perlu diambil kebijakan penghentian sementara (moratorium) penambangan di wilayah pesisir dan laut Aceh.

Instruksi ini ditujukan kepada sepuluh institusi pemerintah antara lain: Para Bupati/Walikota se-Aceh, Kepala BAPPEDA Aceh, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Kepala BAPEDAL/BLH (Badan Lingkungan Hidup) Aceh, Kepala Badan Investasi dan Promosi Aceh dan Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Aceh.

Adapun Instruksi Gubernur Aceh terkait Moratorium Tambang di Wilayah Pesisir dan Laut Aceh tersebut antara lain sebagai berikut:

1.    Untuk Para Bupati/Walikota dalam Provinsi Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      memastikan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
b.      melakukan inventarisasi terhadap penambangan mineral di pesisir dan laut yang berada dalam wilayah pemerintahan masing-masing;
c.       melalukan penataan kembali terhadap penambangan mineral di pesisir dan laut yang berada dalam wilayah pemerintahan masing-masing;
d.      melakukan penertiban dan pengawasan terhadap aktivitas penambangan mineral di pesisir dan laut yang telah mendapat izin sebelum penghentian sementara ini ditetapkan sehingga terlaksana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.    Kepala BAPPEDA Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan koordinasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
b.      mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota agar sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

3.    Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan perencanaan penambangan mineral sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
b.      melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kegiatan penambangan mineral yang sudah memiliki izin usaha pertambangan;
c.       melakukan pembinaan terhadap kegiatan penambangan mineral yang sudah memiliki izin usaha pertambangan.

4.    Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan kajian terhadap penambangan mineral yang berada di wilayah pesisir dan laut;
b.      melakukan evaluasi terhadap kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan laut;
c.       memastikan penambangan mineral yang berada di wilayah pesisir dan laut tidak menggangu kawasan konservasi.

5.    Kepala Dinas Kehutanan Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.        melakukan kajian terhadap kegiatan penambangan mineral yang berada dan/atau  berbatasan dengan vegetasi pantai, mangrove dan taman wisata alam;
b.        melakukan evaluasi terhadap kegiatan penambangan mineral yang berada dan/atau  berbatasan dengan vegetasi pantai, mangrove dan taman wisata alam;
c.         memastikan penambangan mineral yang berada di wilayah pesisir dan laut tidak menggangu kawasan vegetasi pantai, mangrove dan taman wisata alam.

6.    Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      Memastikan konsesi pertambangan mineral di wilayah pesisir dan laut sesuai peraturan perundang-undangan;
b.      melakukan evaluasi lahan terhadap pertambangan mineral di pesisir dan laut.

7.    Kepala BAPEDAL/Badan Lingkungan Hidup Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan koordinasi terhadap penambangan mineral di pesisir dan laut terkait masalah lingkungan;
b.      melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap aktivitas penambangan mineral di pesisir dan laut yang telah memiliki izin lingkungan.

8.    Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      memastikan kegiatan ekspor impor penambangan mineral di pesisir dan laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.      menjamin distribusi hasil penambangan mineral di pesisir dan laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.       menjamin industri penambangan mineral di pesisir dan laut yang ramah lingkungan.

9.        Kepala Badan Investasi dan Promosi Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Menjamin kepastian hukum iklim investasi pertambangan mineral di pesisir dan laut.

10.    Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Tidak memproses izin penambangan mineral di pesisir dan laut selama Penghentian Sementara Pemberian Izin Penambangan Mineral di Wilayah Pesisir dan Laut.

Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh berharap agar Instruksi Gubernur Aceh terkait Moratorium Tambang di Wilayah Pesisir dan Laut Aceh ini dapat terimplementasi secara baik dan dipatuhi oleh instansi yang bersangkutan sehingga agenda pembangunan yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai harapan.

Jika tidak kebijakan yang sudah dikeluarkan tersebut tidak akan berarti apa-apa dan lingkungan Aceh, terutama di wilayah Pesisir dan Laut yang saat ini sudah banyak yang rusak tidak dapat dipulihkan kembali fungsi-fungsinya.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

LKLH Desak Segerakan Moratorium Tambang Aceh

Pemberlakuan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) No. 4 Tahun 2009 beberapa waktu lalu, ternyata menimbulkan berbagai polemik. Sejak tanggal 12 Januari 2014, perusahaan tambang dilarang melakukan ekspor barang tambang mentah. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa perusahaan tambang wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter). Beberapa bahan tambang tersebut diantaranya emas, tembaga, bijih besi, nikel, batu bara dan bauksit.

Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, dalam siaran persnya, Jumat (17 Januari 2014) mengatakan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Pemerintah agar konsisten melaksanakan UU Minerba tersebut. Artinya, sejak 12 Januari 2014, kegiatan ekspor mineral mentah tidak akan diizinkan lagi. ” Perusahaan-perusahaan yang belum melakukan pengolahan dan pemurnian dilarang mengekspor mineral  mentah,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Seiring dengan pemberlakuan UU Minerba, DPR Aceh pada tanggal 27 Desember 2013 yang lalu juga telah mensahkan Peraturan Daerah/Qanun tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu bara. Dalam qanun tersebut tercantum agar setiap perusahaan tambang agar memberikan dana kompensasi sebesar 6,6 persen dari biaya produksinya. Besaran dana kompensasi ini kemudian menjadi sebuah kebijakan yang kontroversial antara perusahaan tambang dan Pemerintah Aceh.

Padahal sebelum qanun tersebut disahkan besaran dana kompensasi yang diajukan saat itu justru lumayan besar, yakni mencapai 25  persen. Namun keberatan perusahaan pertambangan saat ini dikabulkan oleh Pemerintah Aceh dengan menurunkannya hingga mencapai 6,6 persen saja.

Salah satu perusahaan pertambangan yang keberatan dengan aturan tersebut adalah PT. Mifa Bersaudara yang mengelola usaha pertambangan Batu bara di Kabupaten Aceh Barat. Bahkan perusahaan tersebut mengancam akan angkat kaki dari Aceh dan menghentikan produksinya bila Pemerintah Aceh tidak melakukan perubahan atas qanun tersebut.

Jika dilihat dari aspek tata kelola, justru pengelolaan pertambangan di Aceh saat ini masih sangat tertutup dan kabur. Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keterbukaan informasi publik yang baik dalam pengelolaan tambang di Aceh.  Selama ini Pemerintah Aceh belum mampu mensajikan informasi kepada publik mengenai hasil pertambangan.

Saat ini lebih dari 144 (data Distamben Aceh, 2013) perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan di Aceh yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi yang tersebar di wilayah Aceh. Namun dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi, sama sekali belum tampak upaya untuk mensejahterakan masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar wilayah pertambangan, bahkan sebaliknya konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan maupun antara masyarakat yang menolak dan menerima justru yang lebih mencuat.

Bahkan di beberapa lokasi sudah mulai terjadi berbagai kerusakan lingkungan, sebut saja mulai dari pencemaran udara, kerusakan sarana tranportasi/jalan yang dilalui masyarakat, kerusakan daerah aliran sungai, pencemaran sumber air, kerusakan hutan. Dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya.

Selama ini perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh sedikit sekali merekrut putra daerah sebagai pekerjanya. Masyarakat tidak ubahnya seperti penonton dan pemantau saja, istilahnya dalam bahasa Aceh “Buya Krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki” (orang setempat hanya mampu duduk termangu saja sementara orang yang datang dari luar yang dapat rezeki).

Belum lagi dampak lingkungan yang akan dirasakan oleh masyarakat Aceh yang tinggal di daerah yang rawan berbagai bencana tersebut. Padahal apabila hasil tambang di Aceh tidak dieksploitasi sekalipun, rakyat Aceh tidak akan lapar, karena masih banyak potensi sumber daya alam Aceh yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang belum optimal dimanfaatkan, misalnya sektor perikanan dan kelautan, sektor peternakan, sektor pertanian dan perkebunan, sektor jasa dan pariwisata, justru seharusnya sektor-sektor ini yang perlu segera dikembangkan dan dioptimalkan potensi kelolanya baik oleh Pemerintah, dunia usaha  maupun masyarakat.

Untuk itu, menyahuti berbagai persoalan di Aceh terkait pengelolaan pertambangan tersebut, Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk segera mengeluarkan Instruksi atau Peraturan Gubernur tentang Moratorium Tambang (Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan) di Aceh.

Hal ini sesuai dengan komitmen dan apa yang pernah diucapkann Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah pada saat menerima kunjungan Duta Besar China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh beberapa waktu lalu. Pada saat itu Gubernur Aceh mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh memutuskan untuk segera memberlakukan moratorium pertambangan.

Keputusan ini merupakan pelaksanaan dari komitmen Pemerintah Provinsi Aceh untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Dan Moratorium Tambang juga bertujuan untuk menjaga cadangan alam seperti emas dan bijih besi serta hasil-hasil tambang lainnya sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. []

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Benarkah Australia Nikmati Untung Larangan Ekspor Mineral RI?

Seiring diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah oleh Indonesia, sejumlah negara terancam mengalami kemerosotan pasokan komoditas tambang dalam jangka pajang. Namun kondisi tersebut justru memberikan keuntungan tersendiri bagi sejumlah penambang bauksit di beberapa negara, salah satunya Australia.

Seperti dikutip laman The Australia, Senin (13/1/2014), larangan ekspor mineral yang diterapkan pemerintah Indonesia membuat para produsen pengolah mineral mentah mencari sumber energi lain. Seperti misalnya, China yang sangat bergantung pada pasokan bauksit Indonesia.

Tanpa ragu, China memilih perusahaan Australia Bauxite (ABZ) untuk memasok kebutuhannya. Sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan tersebut terus mengembangkan pasokan bauksitnya.

Sembilan bulan yang lalu, ABZ meresmikan kerjasama dengan Xinfa Group yang memiliki sejumlah smelter alumunium di empat provinsi di China. Xinfa Group sepakat untuk menerima pasokan dari ABZ sambil terus memantau kondisi kebijakan pengiriman mineral mentah di Indonesia.

Jika Indonesia terus melanjutkan larangannya dan fokus pada upaya mengembangkan pengolahan mineral mentah di dalam negeri, ABZ akan menikmati peluang kerjasama besar dengan pasar-pasar baru sepanjang operasinya. Selain ABZ, BHP Billiton dan Rio Tinto juga dapat menikmati keuntungan dari larangan ekspor mineral mentah Indonesia.

Sejauh ini, BHP telah memasok bauksit untuk sejumlah smelter di Afrika Selatan dan Mozambique. Sementara Rio Tinto memiliki pasokan yang besar di sektor tersebut untuk memenuhi kebutuhan smelter Bell Bay di Tasmania. []

Sumber: TGJ/liputan6

read more
Kebijakan Lingkungan

Yusril Ihza Mahendra : Banyak Multi Tafsir Terkait UU Minerba

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan sudah menyampaikan masukannya terkait larangan ekspor raw material (bahan mentah) dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan peraturan pelaksanaannya. Masukan tersebut disampaikan dalam bentuk surat kepada Presiden Republik Indonesia dengan tembusan Menko Perekonomian dan menteri-menteri terkait pada tanggal 7 Januari lalu. Hal itu ditegaskan Yusril Ihza Mahendra dalam akun twitternya @Yusrilihza_Mhd, Jumat (10/1).

“Terkait masukan tersebut, Mensesneg Sudi Silalahi dan Menteri ESDM Jero Wacik menyampaikan ucapan terima kasih. Masukan tersebut akan dijadikan acuan Pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM terkait UU Minerba,” ucap mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut.

Masukan yang disampaikan tersebut merupakan jalan tengah yang berisi solusi untuk mengatasi masalah larangan ekspor raw material yang akan dimulai pada tanggal 12 Januari mendatang. Solusi ini dimulai dari memberikan tafsir atas istilah “pengolahan dan pemurnian” dalam UU Minerba yang selama ini tidak jelas apa maknanya.

“Pengolahan ditafsirkan sebagai pengolahan dari raw material untk menghasilkan konsentrat. Sedangkan pemurnian ditafsirkan sebagai pengolahan dari konsentrat menjadi solid metal atau logam mineral terentu,” tulisnya dalam twit berikutnya.

Mantan Menteri Sekretaris Negara ini menegaskan, amanat UU Minerba PP 23 Tahun 2010 yang mewajibkan agar dilakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri 5 tahun sejak berlakunya UU tersebut harus ditaati. Begitu juga dengan ketentuan Permen ESDM yg tegas melarang ekspor raw material terhitung tgl 12 Januari dipatuhi.

Yusril Ihza Mahendra menyarankan tidak perlu mengubah pasal 103, 169 dan 170 UU Minerba. Perubahan cukup pada PP 23 Tahun 2010 dan Permen ESDM. Perubahan itu khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 112 angka 4 huruf c PP 23 Tahun 2010. Dengan perubahan ini, maka ekspor raw material tetap dilarang, namun ekspor hasil pengolahan dalam bentuk konsentrat diperbolehkan.

Diperbolehkannya  ekspor konsentrat antara pemegang Kontrak Karya dengan Pemegang IUP OP harus berbeda karena starting point mereka berbeda. Bagi pemegang KK, izin ekspor konsentrat diberikan jika mereka telah melakukan pemurnian sebagian produk konsentratnya di dlm negeri. Sedangkan bagi pemegang IUP OP dengan syarat telah melakukan pemurnian sebagian konsentrat di dalam negeri tidak berlaku.

“Dengan demikian Pemerintah bersikap adil dan proporsional terhadap pemegang KK yang umumnya asing dengan pemegang IUP OP. Bersamaan dengan terbitnya PP Perubahan PP 23 Tahun 2010, diterbitkan juga Permen ESDM yang merumuskan dengan jelas batas pengolahan dan pemurnian,” tambah Yusril Ihza Mahendra.

Yusril beralasan, sebab karakteristik setiap mineral berbeda. Kadar pengolahan konsentrat juga berbeda, timah misalnya OC 72 dan pasir besi OC 51. Disamping itu ada juga mineral tertentu yang tidak mengalami pengolahan untuk hasilkan konsentrat, tapi langsung dimurnikan seperti bauksit.

Untuk mineral seperti bauksit, lanjut Yusril, juga harus ada treatment tersendiri dalam Permen ESDM agar segala sesuatunya menjadi jelas dan tidak rancu. Dia menyarankan kepada Menteri ESDM Jero Wacik pagi ini sebaiknya sore atau malam nanti Perubahan PP dan Permen ESDM sudah ditandatangani.

“Dengan demikian baik Pemerintah, maupun pengusaha dan buruh tambang merasa lega dengan keputusan jalan tengah ini. Harapan banyak pihak agar jangan lagi ada ekspor raw material mulai tgl 12 Januari tetap terlaksana,” ujar Pria kelahiran Belitung Timur tersebut.

Namun, dengan dibolehkannya ekspor konsentrat tersebut, maka kegiatan penambangan bisa berjalan terus serta buruh tidak dirumahkan atau di PHK. “Namun bolehnya ekspor konsentrat tersebut hanya berlaku 3 tahun. Mulai 12 Januari 2017, semua ekspor sudah hasil pemurnian,” tegasnya.

Dia juga menyarankan kepada Pemerintah harus membuka jalan dan peluang agar pembangunan pengolahan dan pemurnian dalam negeri berjalan seperti rencana. Harus ada roadmap pertambangan yang sungguh-sungguh sambil membenahi administrasi dan birokrasi pengelolaan tambang sampai industri tambang. “Dan, itu tugas Pemerintah sekarang dan yang akan datang,” tutup Yusril Ihza Mahendra.[]

read more
Ragam

Warning! Calang Tercemar Merkuri

Penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Jaya dengan mengambil sampel air dan tanah di beberapa titik dalam kota Calang menyimpulkan telah terjadi pencemaran merkuri (Hg). Hasil ini kemudian dikonfirmasi kembali selang dua bulan kemudian oleh Laboratorium BTKL PP Kelas I Medan dengan hasil yang hampir sama. Penelitian yang serupa dilakukan oleh mahasiswa pasca Sarjana Unsyiah beberapa tahun lalu di Sungai Kr. Sabee juga menyatakan sungai tersebut telah tercemar limbah merkuri.

Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Kabupaten Aceh Jaya, Dahnial SKM yang ditemui beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa titik-titik yang menjadi pengambilan sampel merupakan lokasi yang berdekatan dengan tempat pengolahan emas.

“ Sampel kami sebanyak seratus unit, di tiga kecamatan yaitu kecamatan Krueng Sabee, Panga dan Sampoiniet, sebanyak 54 sampel tanah atau 54 persen tercemar merkuri. Sedangkan sampel air sebanyak 79 persennya tercemar,” kata Dahnial.

Pengambilan sampel sendiri dilakukan pada bulan Juli 2012 oleh Dinas Kesehatan setempat dan sampel diperiksa di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Aceh di Banda Aceh.

Kandungan merkuri dalam baku mutu yang diperbolehkan sesuai dengan Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Baku Mutu Kualitas Air Bersih adalah sebesar 0,001 mg/l. Ternyata 79 persen sampel air yang diambil mengandung merkuri diatas ketentuan tersebut, berkisar antara 0,002 – 0,01 mg/l.

Ketika ditanyakan, apa yang dilakukan Pemkab Aceh Jaya sehubungan dengan fakta ini, Dahnial menjawab bahwa saat ini sedang disusun qanun (perda) yang mengatur tentang pemakaian merkuri. “ Tapi saya tidak tahu sudah sampai dimana rancangan Qanun ini,” kata Dahnial.

Dahnial menjelaskan, selang dua bulan dari penelitian Dinkes Aceh Jaya, BTKL PP Kelas I Medan juga melakukan penelitian yang sama dan mendapati hasil yang tidak jauh berbeda. “ Mereka melakukan penelitian sekitar bulan Oktober 2012,” ujar Dahnial.

Sampel diambil pada lokasi yang berdekatan dengan tempat gelondongan pengolahan atau ekstraksi emas. Di Calang sendiri sejak beberapa tahun lalu marak penambangan emas liar. Salah satu lokasi tambang yang sangat populer adalah Gunong Ujeun (Gunung Hujan-red) yang mengundang ribuan orang termasuk dari Pulau Jawa untuk mengadu nasib di perut bumi. Daerah Aceh Jaya sendiri termasuk dalam suatu kawasan hutan luas yang dikenal dengan nama Ulu Masen.

Penambangan liar ini secara langsung memicu penggunaan merkuri besar-besaran untuk memurnikan emas dari material lain. Limbah merkuri yang dihasilkan dibuang begitu saja ke lingkungan sekitar tanpa melalui pengolahan. Limbah dibuang ke tanah dan ke aliran sungai yang berbahaya bagi makhluk hidup. Selain itu penambangan liar menghancurkan hutan Ulu Masen.

Beberapa tahun lalu, seorang mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Konservasi Sumber Daya Lahan Universitas Syiah Kuala yang bernama Iwandikasyah juga melakukan penelitian kandungan merkuri di daerah aliran sungai (DAS) Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Ia meneliti dampak limbah merkuri akibat aktivitas penambangan secara tradisionil dan semi modern.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa merkuri pada sedimen (hulu, median, dan hilir) di aliran Krueng Sabee berbahaya dan nilainya di atas ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Baku Mutu Kualitas Air Bersih sebesar 0,001 mg/l.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi kandungan merkuri pada biota di daerah hulu, median, dan hilir di aliran Krueng Sabee berbahaya dan nilainya di atas ambang batas. Menurut Iwandikasyah, bila kondisi ini terus dibiarkan, akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan warga yang menetap di daerah aliran sungai tersebut.

Iwandikasyah memperkirakan estimasi penggunaan merkuri perharinya mencapai 3 kg/hari/unit (0,75 kg x 4 penggilingan/hari). Jumlah kilang yang beroperasi lebih kurang 100 unit, maka pemakaian merkuri perharinya mencapai 300 kg/hari, 70 % terjadi penyusutan dan 30 % hilang terbawa air (terbuang dalam bentuk limbah), sehingga yang beredar di lingkungan masyarakat adalah 90 kg/hari. “Sehingga saya menyimpulkan bahwa limbah yang terdibuang bersama air ke aliran sungai Krueng Sabee di perkirakan sebesar 32.400 kg/tahun atau sekitar 32,4 ton/tahun,” jelasnya.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemkab Aceh Besar Tertibkan Lokasi Galian C

Tim penertiban yang dibentuk Pemkab Aceh Besar dalam dua hari terakhir kembali menutup 7 lokasi galian C yang dinilai menyalahi Surat Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 238 Tahun 2013. Ketujuh lokasi yang ditutup tersebut, masing-masing 4 lokasi di Kecamatan Indrapuri dan 3 lokasi lainnya di Kecamatan Kuta Cot Glie.

Pekan lalu, penertiban juga telah dilakukan pada 4 lokasi lainnya di Kecamatan Seulimuem dan Kuta Cot Glie. Tim penertiban yang melibatkan unsur Pemkab Aceh Besar, Satpol PP, Muspika, TNI, dan Polri itu dipimpin langsung oleh Kadistamben Aceh Besar  Fauzi ST MT, didampingi Kasatpol PP Aceh Besar M Rusli S.Sos.

Kadistamben Aceh Besar, Fauzi, Kamis (19/12/2013) menyatakan, permasalahan yang terjadi di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh bukan hanya tanggung jawab Distamben saja, namun diharapkan juga kepedulian instansi terkait lainnya untuk menjaga dan memelihara kelangsungan dan keberadaan DAS di wilayah Aceh Besar. Kepedulian masyarakat untuk menjaga lingkungan dan mendukung upaya Pemkab melestarikan alam demi kemaslahatan bersama juga sangat diharapkan. Penertiban seperti ini akan terus kita lakukan.

”Intinya, kita akan tertibkan seluruh Galian C yang menyalahi Surat Keputusan Bupati,” kata Fauzi.

Sebelum itu, pihaknya telah menurunkan tim ke lokasi-lokasi penambangan mineral bukan logam dan batuan (galian C) dalam wilayah kabupaten tersebut. Penurunan tim dimaksudkan untuk melakukan monitoring dan mendata kembali aktivitas penambangan galian C sehingga semua penambang tidak merusak lingkungan yang akhirnya menggangu keberlangsungan makhluk hidup baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Fauzi menambahkan, hasil monitoring dan pengkajian Tim Pertambangan dan Energi Aceh Besar, jelasnya, ada lokasi-lokasi tertentu yang segera harus ditertibkan mengingat kondisi wilayah yang sangat mengkhawatirkan akan perusakan lingkungan khususnya sepanjang Krueng (sungai) Aceh.

Dikatakan Fauzi, dalam penertiban itu, Pemkab Aceh Besar menyampaikan, seluruh pemangku kepentingan termasuk pengusaha batu (stone crusher), AMP dan BCP tidak diperkenankan membeli pasir, kerikil, batu kali dan batu gunung termasuk tanah timbun dari penambang ilegal dalam kabupaten itu. Kepada pemilik ekskavator diminta segera menarik peralatannya yang disewakan kepada penambang galian C tak berizin.  []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Tim Gabungan Hentikan Penambangan Emas Ilegal Nagan Raya

Tim gabungan bentukan Bupati Nagan Raya, Selasa (3/12) kemarin menghentikan aktivitas penambangan emas rakyat di sepanjang aliran Krueng Nagan, karena tidak berizin (ilegal) dan mencemari lingkungan hidup.

“Aktivitas penambangan rakyat itu selama ini dikelola oleh koperasi dan masyarakat. Tapi mereka tidak memiliki izin dari Pemkab Nagan Raya, sehingga aktivitasnya harus dihentikan karena melanggar perundang-undangan,” kata Kepala Satpol PP dan WH, Drs Muhajir Hasballah kepada media, Selasa (3/12/2013) siang.

Dia sebutkan bahwa tim yang melakukan penghentian aktivitas tambang emas itu terdiri atas personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Pertambangan dan Energi, polisi, TNI, unsur Kecamatan Seunagan Timur, serta petugas Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Nagan Raya.

Menurut Muhajir, salah satu lokasi penambangan emas yang dihentikan aktivitasnya kemarin berada di Gampong Tuwi
Meuleusong, Kecamatan Seunagan Timur, Nagan Raya. Di lokasi penambangan itu, kata Muhajir, terdapat sejumlah bukti yang mengindikasikan adanya aktivitas penambangan. Di antaranya satu unit beko dan dua buah tempat penyaringan emas.

Berdasarkan keterangan pemilik lokasi tambang kepada petugas, mereka belum menambang emas, karena masih dalam tahap membersihkan lahan lokasi penggalian.

Pihak koperasi tambang juga mengaku sudah memperoleh izin lahan untuk melakukan penambangan seluas 42 hektare. Namun, keterangan ini dibantah oleh petugas dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Nagan Raya, karena penambangan itu belum lengkap surat izin operasionalnya. Itu sebab, aktivitasnya harus dihentikan sementara waktu, sampai izin dari pemkab setempat dikeluarkan.

Sebelumnya, Bupati Nagan Raya, Drs HT Zulkarnaini menyatakan, meski sejumlah koperasi dan perusahaan pertambangan sudah mengajukan izin kepada pemkab setempat, tapi kini harus dievaluasi secara menyeluruh dan dilakukan audit lingkungan untuk mengetahui dampak penambangan itu terhadap kerusakan lingkungan hidup.

“Apalagi lokasi penambangan rakyat itu berada di sepanjang aliran Krueng Nagan dan dikhawatirkan sungai akan tercemar oleh limbah merkuri. Tentunya akan sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang sehari-hari mengonsumsi air sungai tersebut,” ujarnya. Semua usaha tambang itu ditutup, kata Bupati Nagan, supaya daerah dan masyarakat tidak dirugikan. []

Sumber: serambinews.com

read more
1 2 3 4
Page 3 of 4