close

tampur

Kebijakan Lingkungan

PTUN Banda Aceh Kabulkan Gugatan Walhi Terkait IPPKH PLTA Tampur-I

Banda Aceh – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh mengabulkan Gugatan Penggugat (Walhi) terkait penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Gubernur Aceh kepada PT. KAMIRZU untuk Pembangunan PLTA Tampur-I Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh.

Direktur Walhi Aceh M Nur, mengapresiasi putusan ini, mengingat sangat jarang ada Pengadilan yang memberi putusan yang memenangkan LSM lingkungan seperti ini.

M Nur juga menyampaikan sangat berterima kasih kepada Majelis Hakim yang telah dengan teliti melihat perkara ini dari berbagi aspek.

Muhammad Reza Maulana, SH Ketua Tim Pengacara Walhi menyebutkan intinya dalam pertimbangan Majelis Hakim menyatakan bahwa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No. 522.51/DPMPTSP/1499/2017 yang diterbitkan Gubernur Aceh, dihubungkan dengan UUPA (Pasal 156, 165 dan 150) UU Kehutanan dan aturan Pelaksananya (UU 41/1999, PP 24/2010, Permen LHK No. P-50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan seterusnya), menyatakan Gubernur hanya berwenang menerbitkan IPPKH untuk luasan paling banyak 5 Hektar dan bersifat Non-Komersial.

Sedangkan fakta hukumnya IPPKH yang diterbitkan Gubernur Aceh kepada PT. KAMIRZU diterbitkan dengan luasan 4.407 Hektar, sehingga Majelis Hakim menyatakan Gubernur Aceh tidak berwenang menerbitkan IPPKH.

Selain itu dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga menyampaikan Penerbitan Izin di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga bertentangan dengan Pasal 150 UU Pemerintahan Aceh.

Menurut Reza, ada yang menarik dalam Putusan ini, dimana menurut kami, adanya bentuk penemuan hukum oleh Majelis yaitu Objek Sengketa (IPPKH) ternyata telah diubah atau direvisi dengan IPPKH baru pada tanggal 29 Januari 2019, dan Majelis Hakim menyatakan karena bentuknya revisi maka dianggap satu kesatuan sehingga Majelis Hakim menarik perubahan tersebut ke dalam Persidangan dan disebutkan pembatalan di dalam Putusannya.

Artinya, selain telah dengam objective menilai dan memutuskan Majelis Hakim juga memberikan pelajaran hukum baru bagi seluruh Rakyat Indonesia.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

WALHI Aceh Gugat Gubernur Karena Terbitkan Izin Hutan untuk PLTA Tampur

Banda Aceh – WALHI Aceh menyurati Gubernur menyatakan keberatan terhadap penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), di Desa Lesten, Kabupaten Gayo Lues yang dipegang oleh PT. Kamirzu. PT. Kamirzu akan membangun mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur – 1 dengan kapasitas produksi 443 MW.

“Gubernur Aceh masih enggan menanggapi atau memberikan jawaban terkait keberatan yang kami sampaikan (WALHI Aceh). Kemudian kami melakukan upaya banding administratif kepada pemerintah pusat, tapi belum juga memberikan tanggapan terkait dengan banding Administratif ini,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, M. Nasir Selasa (12/3/2019).

Gubernur Aceh telah menerbitkan IPPKH, melalui surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administratif Pemerintahan, Setelah Menempuh Upaya Administratif yang menyebutkan: Pihak Ketiga yang berkepentingan yang dirugikan oleh keputusan upaya administratif dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif tersebut.

“Kemarin (11 Maret) kami (WALHI) bekerjasama dengan HAkA menggandeng sembilan pengacara mendaftarkan gugatan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) di Banda Aceh, untuk menggugat Gubernur Aceh atas penerbitan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian IPPKH Dalam Rangka Pembangunan PLTA Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT. KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017. Dengan nomor gugatan 7/G/LH/2019/PTUN.BNA,” katanya.

Ia kembali menegaskan bahwa IPPKH tersebut bertentangan dengan azas perundang-undangan, yaitu azas kepastian hukum, dan azas larangan sewenang-wenang.

Berikut 11 (sebelas) alasan gugatan dilakukan, yaitu:

Gubernur Melampaui Kewenangan

Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Kewenangan pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) diberikan kepada Menteri, dan menteri berdasarkan kewenangannya melimpahkan sebahagian kewenangannya kepada Gubernur, namun sifatnya terbatas (limited authority) yaitu hanya bagi pembangunan fasilitas umum non komersial dan luasan kewenangan Gubernur juga dibatasi dengan luas paling banyak 5 (lima) hektar, sehingga apabila dihubungkan dengan IPPKH yang telah diberikan kepada PT. KAMIRZU, telah jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewajiban Hukum PT. Kamirzu

Dalam diktum ke lima IPPKH yang telah diberikan disebutkan “Dalam jangka waktu palling lama 1 (satu) tahun setelah terbit Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini, PT. Kamirzu wajib; Menyelesaikan tata batas areal IPPKH disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh dan tidak dapat diperpanjang, serta Menyelesaikan relokasi Desa Lesten.

Fakta dilapangan, kewajiban hukum untuk menyelesaikan tata batas areal izin pinjam pakai kawasan hutan yang disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh, dan relokasi Desa Lesten di Kabupaten Gayo Lues, belum dipenuhi atau dilaksanakan oleh PT. KAMIRZU sampai dengan saat ini. Sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan, dalam hal pemegang IPPKH tidak menyelesaikan pelaksanaan tata batas areal IPPKH dalam jangka waktu tertentu izin pinjam pakai kawasan hutan dinyatakan tidak berlaku.

Cacat Yuridis dalam penerbitan beberapa keputusan dalam satu keputusan

Dalam IPPKH yang telah diterbitkan disebutkan “Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini berlaku juga sebagai Izin Pemanfaatan Kayu, serta Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan”. Seharusnya terdapat pemisahan antara Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu dan Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan, dimana ketiga Izin tersebut berdiri secara sendiri-sendiri dan terpisah-pisah, yang peruntukkan dan pembentukkannya juga dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur secara khusus dan/atau tersendiri.

Tidak adanya rekomendasi dari Bupati Aceh Timur

Area IPPKH berada dalam tiga wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur. Sehingga membutuhkan rekomendasi atau dukungan dari pemerintah kabupaten tersebut sebagai salah satu syarat administrasi dalam penerbitan IPPKH. Namun faktanya, tidak ditemukan adanya rekomendasi atau dukungan dari Bupati Aceh Timur.

Tanggal Penerbitan IPPKH Tidak Rasional

Surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Nomor 522.12/2700-IV tanggal 09 Juni 2017 perihal Rekomendasi Permohonan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I. IPPKH yang diterbitkan juga dilakukan pada hari dan tanggal yang sama yaitu tanggal 09 Juni 2017. Menjadi aneh kemudian, bagaimana cara dan sikap Gubernur Aceh saat itu dalam hal penerbitan IPPKH, kapan memeriksa kebenaran segala berkas-berkas persyaratan administratif yang disuguhkan kepadanya tersebut, dan kapan memeriksa persyaratan teknis di lapangan, sehingga kiranya dapat memberikan gambaran dengan serinci-rincinya permasalahan-permasalahan hukum yang akan terjadi.

Area IPPKH berada dalam kawasan zona patahan aktif

Beradasarkan Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh, area IPPKH berada dalam kawasan rawan gempa bumi, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang memiliki resiko tinggi jika terjadi gempa bumi dengan skala VII – XII MMI (Modified Mercally Intensity), dan terletak di zona patahan aktif.

PLTA tampur – 1 memiliki luasan genangan mencapai 4.070 Ha dengan ketinggian bendungan mencapai 193 meter. Beresiko tinggi untuk hancur atau jebol apabila penempatan kawasan tersebut benar-benar akan dilakukan. Sehingga tidak dapat diprediksi akibat yang akan terjadi apabila bendungan raksasa tersebut tetap akan dilaksanakan pembangunannya. Karena Skala VII-XII MMI, dilansir oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, merupakan intensitas gempa dalam katagori “Sangat Kuat” sampai dengan “Sangat Ekstrem”.

Kabupaten Gayo Lues sendiri pada tanggal 29 Mei 2017, pukul 04.54 Wib juga pernah mengalami sejarah Gempa bermagnitudo 4,9 s/d 6 Skala Richter. Gempa yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues, dan sekitarnya merupakan akibat sesar atau patahan Sumatera Segmen Tripa yang kembali bergerak, yang mana segmen sesar tersebut memiliki riwayat gempa bermagnito 6,0 dan maksimal diperkirakan mencapai skala magneto 7,7.

Berada dalam Kawasan Hutan

Cukup luas kawasan hutan yang akan digunakan untuk pembangunan PLTA Tampur – 1, dimana pada proses pembangunnya sangat berpotensial tinggi untuk merusak hutan dan lingkungan hidup. Dimana hutan yang merupakan penyangga kehidupan akan dirusak dengan cara dibabat habis setiap pohon-pohon yang berdiri menjulang demi membersihkan areal, dan lingkungan juga akan tercemar akibat peralatan yang digunakan untuk membangun bendungan raksasa tesebut.

Ancaman terhadap Satwa

Pembangunan PLTA Tampur – 1 akan berdampak terhadap hilangnya habitat satwa-satwa yang dilindungi di areal kegiatan izin. Selain itu, potensi konflik antara binatang buas dan masyarakat setempat dikarenakan hilangnya koridor satwa dan habitatnya sehingga binatang-binatang buas tersebut akan turun ke Pemukiman untuk mencari tempat baru dan makanan. Pembangunan PLTA Tampur-I yang berada di kawasan hutan akan berdampak terhadap bencana alam, seperti lonsor dan banjir. Potensi bencana ini tidak hanya di Gayo Lues, juga berada di Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Ancaman terhadap sumber air

Akibat akan dialiri seluruh sumber-sumber air untuk memenuhi bendungan raksasa tersebut, dimana untuk dapat memenuhi bendungan diperlukan ± 1 (satu) tahun, sehingga selama itu pula manusia dan seluruh makhluk hidup yang berada di areal lokasi akan kehilangan sumber airnya, sehingga potensial dampak yang akan terjadi seperti kekeringan yang berakibat kekurangan air untuk konsumsi maupun mengaliri areal pertanian dan perkebunan warga setempat dan bahkan kematian bagi manusia maupun makhluk Hidup lainnya tidak dapat dihindari.

IPPKH berada di KEL

Areal yang akan dipergunakan sebagai areal pembangunan PLTA Tampur-I jelas-jelas masuk di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dimana KEL sendiri berdasarkan peruntukkan dan fungsinya sendiri menjadi patron inti dalam wilayah kehutanan, artinya KEL itu merupakan kesatuan kawasan hutan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT) atau High Value Forest (HVF) yang oleh Dunia telah ditetapkan sebagai satu kesatuan kawasan yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan dunia dari efek perubahan iklim secara global.

Terlebih lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), menentukan Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser. UUPA sebagai hasil perundingan MoU Helsingki antar GAM dan RI sehingga lahirnya status Daerah Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh yang kemudian wajib diterapkan dan dilaksanakan materi muatan yang diatur di dalam ketentuan tersebut, sehingga menetapkan dan merusak KEL artinya merusak cita-cita perdamaian di Bumi Aceh. [fat]

read more
Sains

Pakar Gempa: Lokasi PLTA Tampur Dekat Sesar Aktif

Indonesia berada pada jalur gempa bumi paling aktif di dunia akibat pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Samudera Indo-Australia Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudera Pasifik. Posisi ini menyebabkan Indonesia mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan bervariasi. Sayangnya, pemerintah sering mengabaikan potensi bencana tersebut hal tersebut dalam melakukan pembangunan. Sebagai salah satu contoh, Pemerintah Aceh dengan Keputusan Gubemur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPKKH/2017 telah memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Rutan dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) seluas ±4.407 Ha Atas Nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Aceh Timur. Proyek PLTA 443MW yang direncanakan dibangun di kecamatan Pining ini akan menggunakan bendungan setinggi 193 ,5 m di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). (more…)

read more
Perubahan IklimSains

Sadar Bencana Mengancam, Masyarakat Tolak Bendungan Tampur

Para perwakilan desa, datok dan geuchik di Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Tamiang setuju menolak proyek Bendungan Tampur. Pernyaataan ini disampaikan dalam acara diskusi dan pemutaran film lingkungan yang diadakan di Kuala Simpang Jumat (26/10/2018) lalu.

Selama diskusi, TM. Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mempresentasikan dampak ekologi dan sosial dari pembangunan pembangkit listrik Tampur sesuai studi yang dilakukan dengan melakukan analisis spasial melapisi wilayah bendungan. Analisis menunjukkan dampak ekologi dan sosial dari proyek bendungan yang meluas ke lebih dari 300 kilometer persegi kawasan hutan yang dua pertiga nya belum terjamah aktivitas manusia. Proyek bendungan ini akan memotong Ekosistem Leuser, lanskap hutan hujan purba yang utuh di Sumatra di mana spesies yang terancam punah seperti orangutan, gajah, badak dan harimau Sumatra hidup bersama di alam liar.

Hasanuddin dari Desa Pantai Jempa, setuju menolak proyek ini karena dia melihat lebih banyak dampak negatif dari pembangunan pembangkit listrik tenaga air. Selain itu, ketua komunitas dari Kecamatan Simpang Jernih Andika menyadari bahwa setelah mengetahui informasi tentang dampak negatif yang disajikan dalam diskusi, mereka sekarang menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur. “Kami hanya diberitahu oleh perusahaan tentang dampak positif sejauh ini, tetapi kami tidak menyadari dampak negatifnya. Sekarang kami tahu dan kami akan menentang proyek ini,”tegasnya.

Aktivis perempuan setempat, Iep Halimatussadiyah juga menyampaikan keprihatinannya tentang dampak pembangunan bendungan pada konflik manusia dan satwa liar di sekitar daerah tersebut. “Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak secara jelas menyatakan bagaimana mekanisme perpindahan satwa liar dari daerah banjir, ini akan berpotensi meningkatkan jumlah konflik antara gajah liar dan manusia di sekitar desa. Sejauh ini konflik satwa liar terutama gajah liar masih sulit untuk dihadapi, jadi kami tidak dapat bergantung pada perusahaan bendungan untuk menyelesaikan masalah ini, ”kata Iep.

Perwakilan masyarakat yang hadir dalam diskusi sepakat untuk secara tegas menolak pembangunan bendungan Tampur demi menyelamatkan nyawa ribuan orang yang tinggal di hilir Sungai Tamiang dari bencana buatan manusia. Mereka memberikan dukungan dengan menandatangani tanda tangan dan bergabung dengan petisi online www.change.org/tolakpltatampur yang saat ini telah menerima 75.000 tanda tangan. (Leoni)

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Studi YEL: Dampak Ekologis Bendungan Tampur Lebih besar dari Perkiraan Awal

Hutan terakhir di Bumi yang menjadi rumah bagi harimau liar, badak, orangutan, dan gajah terancam musnah dan tak terhitung spesies lain juga bernasib sama jika proyek pembangkit listrik tenaga air senilai $ 3 miliar di hutan Leuser dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Studi terbaru yang melihat dampak potensial dari tanaman di Ekosistem Leuser di Sumatera Indonesia, dan salah satu dari hamparan hutan hujan tropis murni terbesar di dunia mengungkap hal tersebut di atas.

Bendungan Tampur yang menghasilkan listrik 428-megawatt dan masih dalam tahap pra-konstruksi, dengan beberapa studi kelayakan telah dilakukan. Dokumen Analisis dampak lingkungan, atau Amdal, menyebutkan air akan membanjiri lahan seluas 40 kilometer persegi (15 mil persegi) di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Peneliti mengatakan bendungan Tampur akan mendatangkan malapetaka pada ekosistem dan mata pencaharian lokal. Tetapi area yang terkena dampak bisa jauh lebih besar dari itu, menurut analisis spasial baru yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Berkelanjutan (YEL).

Analisis menunjukkan dampak ekologi proyek yang membentang hingga lebih dari 300 kilometer persegi (116 mil persegi) hutan, dua pertiganya hutan yang tidak pernah tersentuh oleh aktivitas manusia. Selain bendungan, proyek juga akan membutuhkan infrastruktur seperti gedung, jalan, dan jaringan listrik, yang akan memotong KEL, kata analis tata ruang YEL, Riswan Zein.

Empat per lima dari bendungan akan menempati hutan primer, bersama dengan hampir seluruh panjang jaringan jalan, kata Riswan.

“Semua ini akan menghancurkan hutan yang tersisa dari ekosistem, baik yang terletak di daerah banjir atau sepanjang rute jaringan listrik,” katanya.

Habitat alam liar

YEL melakukan overlay peta proyek ke peta hutan yang ada di ekosistem. Area yang berpotensi terkena dampak sebagian besar adalah lahan yang dilindungi, termasuk hutan primer.

Menurut undang-undang Indonesia, hutan lindung biasanya dikesampingkan untuk tujuan seperti pengelolaan daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, tetapi izin untuk proyek-proyek pembangunan dalam area ini dapat diberikan oleh pemerintah.

“Sebagian besar bendungan akan menggerogoti hutan produksi dan hutan lindung Leuser,” kata Riswan.

Daerah yang terkena dampak adalah satu-satunya habitat empat spesies paling ikonik dan terancam di Indonesia: harimau Sumatra, badak, orangutan dan gajah, yang semuanya terdaftar sebagai hewan terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena tingginya tingkat hilangnya habitat dan fragmentasi serta pembunuhan.

“Jika hutan dibersihkan maka habitat hewan ini akan hancur,” kata Riswan, menambahkan bahwa lokasi proyek itu sangat penting untuk gajah.

“Kami sangat sering melihat gajah di sana. Wilayah Tampur adalah satu-satunya koridor bagi gajah untuk pergi dari bagian utara ekosistem ke selatan. Jadi jika koridor itu dipotong, maka itu juga akan berdampak pada garis genetik gajah Sumatra, ”katanya, memperingatkan“ konsekuensi fatal ”bagi spesies tersebut.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Bendungan dan pembangkit listrik direncanakan akan melintasi wilayah perbatasan antara kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues dan Aceh Timur, di provinsi Aceh di ujung utara Sumatera. Pengembang proyek adalah PT Kamirzu, anak perusahaan Indonesia dari Hong Kong-based Prosperity International Holding (HK) Limited.

Aktivis lingkungan telah meluncurkan petisi online menyerukan kepada pemerintah provinsi Aceh untuk menghentikan proyek, dan juga berencana untuk menggugat izin pengembang di pengadilan.

Dedi Setiadi, manajer proyek Kamirzu, menyanggah pernyataan YEL tentang skala potensi dampak bendungan terhadap lingkungan. Dia mengatakan analisis spasial yang dilakukan oleh LSM didasarkan pada versi sebelumnya dari analisis dampak lingkungan perusahaan.

“Apa yang mereka analisis adalah dokumen Amdal yang tidak disetujui, itu adalah draft rancangan,” katanya sebagaimana dikutip dari Mongabay.

Amdal yang direvisi dan disetujui, kata Dedi, termasuk penilaian perusahaan tentang dampak lingkungan yang mungkin disebabkan oleh proyek, dan ditujukan kepada mereka semua.

Sebagai contoh, katanya, perusahaan telah memperhitungkan peta habitat spesies yang diketahui yang disediakan oleh BKSDA Aceh. “Kami telah melakukan overlay lokasi area banjir bendungan kami dengan peta habitat gajah dan orangutan dan menemukan bahwa kami berada di luar habitat mereka,” kata Dedi. “Saya telah bekerja di proyek ini selama dua tahun dan saya belum melihat spesies yang terancam punah disini sekalipun,”katanya.

Sumber: mongabay.com

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
read more
EnergiKebijakan Lingkungan

GeRAM Minta Menteri LHK Tidak Izinkan Hutan untuk PLTA

Banda Aceh – Gabungan Masyarakat dan Aktivis Lingkungan Hidup Aceh yang berhimpun di dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), telah menyampaikan surat permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (LHK-RI).

Surat yang disampaikan kepada Menteri LHK tersebut berisikan penolakan mereka terhadap rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur I yang diyakini akan mempercepat laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Oleh karena itu kami mengirimkan surat kepada Menteri LHK RI pada pertengahan Desember lalu yang isinya berupa Permohonan Agar Mohon Tidak Diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam RencanaPembagunan PLTA Tampur I”, kata  Juru Bicara GeRAM untuk Advokasi Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Akibat Pembangunan PLTA Tampur I, T. M. Zulfikar.

Selain GeRAM, berbagai elemen masyarakat dan gabungan NGO/LSM Aceh yang ikutserta menandatangani surat tersebut diantaranya Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Forum Orangutan Aceh (FORA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Rumoh Transparansi Aceh, Rawa Tripa Institute (RTI), Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Orangutan Information Centre (OIC), Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh, Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh (PeNA), dan Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh (JKMA).
Gabungan masyarakat dan LSM tersebut selama ini dikenal sangat aktif dalam mendukung upaya-upaya advokasi penyelamatan hutan dan lingkungan khususnya di Aceh, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser.

Surat yang disampaikan kepada Menteri LHK RI antara menyebutkan antara lain Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur  berada di lokasi yang merupakan habitat kunci beberapa jenis satwa yang dilindungi,  seperti harimau, gajah, orangutan. Dikhawatirkan bila pembangunanPLTA Tampur 1 jadi terlaksana maka konflik antara manusia dan hewan akan meningkat. Selain itu juga disebutkan bahwa sebagian dari wilayah PLTA Tampur terdapat kampung adat yaitu kampung Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, yang didiami oleh 67 KK yang akan terpaksa harus direlokasi, selain bahwa didalam areal luasan rencana proyek juga merupakan kawasan lindung adat masyarakat Gayo – Pining, yang telah mereka taati dan pelihara secara turun menurun, sehingga keberadaan proyek tersebut dikuatirkan akan memincu konflik sosial di masyarakat, baik konflik vertikal maupun horizontal.[rel]

read more