close

tata ruang

Kebijakan Lingkungan

Mungkinkah Menerapkan Forest Amnesty?

Oleh: Pungky Widiaryanto, Pemerhati kehutanan

Apa itu? Kita punya pengalaman dalam tax amnesty. Forest amnesty bisa menjadi solusi konflik tenurial.

Keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia telah menjadi isu serius pembangunan nasional. Luas kawasan hutan tak berhutan ini mencapai kurang lebih 28 juta hektare. Meski ada upaya penyelesaian, tapi kurang efektif. Perlu terobosan, antara lain, melalui peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan forest amnesty, amnesti bagi keterlanjuran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan.

Dari segi hukum, kegiatan menduduki, membuka, dan mengolah kawasan hutan tanpa izin masuk kategori perambah atau ilegal. Tapi, satu hal yang perlu diingat, status merambah hutan ini bukan hanya perkebunan atau pertambangan saja. Pembangunan bandar udara, pelabuhan, jalan, fasilitas umum dan sosial lainnya, hingga fasilitas pemerintahan, juga masuk perambahan. Sampai saat ini, kawasan permukiman, perdesaan, dan perkotaan tersebut masih berada di dalam kawasan hutan.

Banyak yang mengklaim perambahan kawasan hutan ini merupakan resultante berbagai faktor. Contohnya, tidak jelasnya batas kawasan hutan, tidak adanya pengelola hutan di lapangan, ketidaktahuan pejabat yang memberi izin, atau bisa jadi memang pelanggaran itu sendiri. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tumpang tindih rencana tata ruang dengan kawasan hutan.

Kita sepakat bahwa masalah konflik tenurial ini harus diselesaikan agar tidak berlarut-larut dan semakin kompleks. Kepastian hukum di lapangan atas aset dan akses juga menjadi prasyarat mencapai target-target pembangunan. Upaya penyelesaian konflik sebenarnya telah dilakukan, walau hasilnya kurang maksimal.

Perlu digarisbawahi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan oleh masyarakat secara riil berada pada kawasan hutan tak berhutan, alias sudah dalam penguasaan masyarakat. Jadi, kurang benar jika ada anggapan bahwa reforma agaria kawasan hutan dan perhutanan sosial akan merusak hutan.

Pada sisi lain, terdapat juga pandangan yang beranggapan bahwa konflik tenurial kawasan hutan harus dikembalikan ke negara. Terlebih lagi, ada kelompok dengan argumen yang mungkin kurang rasional, bahwa kawasan hutan yang berupa pemukiman, kawasan pedesaan dan perkotaan tersebut akan direhabilitasi lagi menjadi hutan.

Pertanyaannya: apakah negara akan menggusur keterlanjuran ini? Apakah mungkin memindahkan masyarakat dari tempat tinggalnya? Jika mungin, perlu berapa lama dan biaya berapa besar?

Kombinasi Reforma Agraria dan RTRW

Melihat permasalahan di atas, permasalahan status kawasan hutan perlu dipertimbangan menjadi salah satu isu strategis pembangunan nasional. Negara harus hadir dalam memberikan kepastian legalitas status lahan yang disebut kawasan hutan ini. Utamanya untuk melindungi kepentingan, dan memberikan kepastian kepemilikan kepada rakyat.

Dalam beberapa kali kesempatan, Presiden Joko Widodo memerintahkan anak buahnya menyelesaikan berbagai isu pemanfaatan kawasan hutan. Amanah Presiden sangat jelas. Kepentingan masyarakat harus didahulukan jika terdapat konflik dalam penggunaan kawasan hutan. Instrumen kebijakan sudah diterbitkan, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Setelah berjalan lebih dari dua tahun, hasil kebijakan ini, yaitu pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat, masih jauh dari target yang dicanangkan – seluas 4,1 juta hektare. Proses yang rumit hingga kurang siapnya sumber daya manusia menjadi penyebab.

Dalam Perpres terdapat keterbatasan. Pertama, pendataan kawasan hutan yang dikuasai masyarakat hanya dilakukan sekali saja untuk setiap kabupaten. Kedua, pendataan awal pun hanya berdasarkan arahan dari peta indikatif. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana nasib masyarakat yang tidak masuk dalam peta indikatif dan tidak termasuk dalam pendataan inventarisasi lapangan?

Selain itu, Perpres mengamanahkan penyelesaian hanya diperuntukkan bagi provinsi dengan jumlah kawasan hutan di atas 30%. Masalahnya, beberapa provinsi memiliki luas kawasan hutan di bawah 30%. Walaupun bisa dilakukan tukar menukar kawasan hutan, ketersediaan areal pengganti menjadi isu lain yang baru.

Di sisi lain, terdapat kebijakan lain memberikan kepastian penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat, yaitu perhutanan sosial. Bedanya, skema ini untuk kawasan hutan tak berhutan yang telah dikuasai masyarakat kurang dari 20 tahun. Seiring program reforma agraria, hasil dari skema ini juga masih lamban. Bahkan, skema ini tidak bisa diaplikasikan bagi masyarakat dengan usaha kebun kelapa sawit. Padahal kebun kepala sawit menjadi mayoritas penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat.

Langkah sangat diperlukan. Mekanisme revisi atau peninjauan kembali RTRW terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan dapat menjadi salah satu solusi yang diangggap cepat, murah, dan bisa dikerjakan secara bersamaan di seluruh Indonesia.

Tentu saja sebelum mengajukan usulan revisi RTRW Provinsi (RTRWP) perlu inventarisasi di lapangan secara partisipatif. Kegiatannya dimulai dari tingkat pemerintah desa dengan supervisi dari berbagai kementerian/lembaga terkait. Kompilasi klaim masyarakat atau desa ini kemudian menjadi basis dalam pengajuan perubahan peruntukan kawasan hutan melalui RTRWP.

Usulan perubahan kawasan hutan ini akan dibahas oleh Tim Terpadu. Setelah itu berdasarkan hasil kajian Tim, instansi berwenang memutuskan usulan RTRWP tersebut. Lalu, penataan batas lapangan.

Melalui proses peninjauan kembali RTRW partisipatif ini, peran desa menjadi sangat penting. Utamanya dalam penentuan tata batas maupun tata ruang. Pola partisipatif ini juga mendorong paradigma pembangunan kehutanan untuk pembangunan perdesaan.

Forest Amnesty untuk Tambang, Kebun, dan Fasum/Fasos

Isu lain, yang mungkin dapat dijadikan agenda pembangunan pada pemerintahan berikutnya, adalah penyelesaian ketelanjuran penggunaan kawasan hutan oleh perusahaan besar/korporasi. Obyeknya bisa tambang, pabrik, kebun, sawit masyarakat dan fasum/fasos dalam kawasan hutan. Penyelesaian melalui mekanisme Perpres 88/2017 tidak berlaku untuk obyek usaha produktif ini, terutama kebun kelapa sawit masyarakat.

Berdasarkan data yang diolah KPK akhir-akhir ini, luas kebun sawit dalam kawasan hutan mencapai sekitar 3,4 juta hektare. Seluas 1,8 juta hektare dikuasai oleh pengusaha besar, yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP). Bahkan, di antara mereka berada di atas izin usaha kehutanan. Sisanya sekitar 1,6 juta hektare dikelola oleh masyarakat.

Para pengolah lahan berupa kebun sawit ini, seringkali disalahkan sebagai penyebab utama perusak hutan. Jika dibandingkan dengan kawasan hutan tak berhutan seluas 28 juta hektare, persentase luas perkebunan kelapa sawit hanya 12% saja. Oleh karena itu, kurang tepat bila ada anggapan bahwa perkembangan perkebunan sawit menjadi penyebab utama hilangnya hutan atau deforestasi.

Sebaliknya, seperti kita ketahui, kelapa sawit memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Usaha kebun sawit juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hasil turunan dari sawit juga mampu mendukung untuk ketahanan pangan dan energi. Baru-baru ini, IUCN menyebutkan bahwa kebun sawit juga memiliki peran dalam menjaga keanekaragaman hayati. Apalagi jika pembuatan kebun sawit dilakukan di kawasan hutan tak berhutan lainnya. Lebih baik ada tanamannya meski sawit dibandingkan lahan dibiarkan tak berhutan.

Perlu dipertimbangkan solusi memberikan ampunan dan menerapkan kewajiban, yang dinamakan forest amnesty. Terobosan ini sejalan dengan pengalaman bangsa ini dalam melakukan tax amnesty. Tujuan forest amnesty untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian, mengembangkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Selain itu, manfaat lainnya meliputi adanya kepastian kepemilikan dan investasi, peningkatan produktivitas dan daya saing, dan yang paling utama menjaga agar tidak merambah hutan lagi.

Langkah Nyata Forest Amnesty

Solusi atas problem di atas perlu kerjasama dan kesungguhan berbagai pihak. Langkah pertama menyusun peta indikatif tipologi pemanfaatan, pendudukan, penggunaan kawasan hutan di luar perizinan berdasarkan peta penutupan lahan. Selanjutnya, berbagai pihak melakukan inventarisasi, verifikasi, dan audit pemilik lahan, beserta jenis usaha dan komoditasnya. Kemudian, para pemilik lahan bisa mengklaim dan mengakui lahan dan usaha mereka. Terhadap pihak-pihak yang enggan melaporkan diri secara sukarela, penegakan hukum harus dilakukan.

Setelah verifikasi dan terdaftar, ampunan dan legalitas diberikan. Pemerintah bisa membebankan kewajiban lainnya seperti pengenaan tarif, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sewa lahan, dan kewajiban rehabilitasi hutan. Dalam melaksanakan forest amnesty ini perlu didasari regulasi. Berkaca dari Perpres No 88/2017, sebaiknya peraturan lanjutan ini dibuat lebih aplikatif dan tidak rigid.

Sumber: www.forestdigest.com

read more
Kebijakan Lingkungan

85 Persen Gajah Di luar Kawasan Konservasi, Keberadaan Gajah Kritis


Banda Aceh – Saat ini 85 persen gajah Sumatera di Aceh berada diluar kawasan konservasi, sehingga mengakibatnya konflik gajah dan manusia semakin sering terjadi. Penataan ruang yang keliru menyebabkan keberlangsungan hidup gajah kian terancam kritis. Perebutan kawasan antara manusia dengan satwa tak terelakkan. Selain itu pemerintah daerah kurang aktif melindungi gajah.

Secara regulasi perlindungan satwa dimandatkan kepada kementerian melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala, Wahdi Azmi di Banda Aceh, Rabu (20/3/2019) mengatakan, “Hanya gajah Sumatera yang terancam punah.”

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sudah ada, namun tidak ada kemajuan, “Belum berhasil (melindungi gajah-red), terjadi penurunan populasi, turun hingga 28 persen,” ujarnya kembali.

Ada sekitar 1.700 individu Gajah Sumatera di Indonesia dan sebaran populasinya di Aceh mencapai 500 ekor, Lampung 355 ekor.

“Jika konflik tidak dianggap masalah dan tidak ada aksi untuk melindungi gajah maka kematian gajah akan terus terjadi. Kematian gajah berawal dari konflik,” jelasnya.

“Diminta atau tidak Aceh wajib menjaga kelestarian gajah” tegas Wahdi.
Sekitar 85 persen satwa lindung berada diluar kawasan konservasi bahkan diluar kawasan hutan yang dikelola oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).

“Regulasi hanya membebankan satwa lindung kepada BKSDA, Sehingga pemerintah daerah sering lepas tangan. Padahal konflik dirasakan oleh warga daerah,” ujarnya.

Ketika dampak akibat konflik dirasakan oleh daerah warga lokal. Perlu solusi yang komprehensif, tidak ada solusi tunggal, Gajah dan manusia sama-sama penting.

“Mengusir seperti sekarang tidak akan menyelesaikan persoalan. Perlu hidup harmonis dengan gajah. Sejarah masa lalu harus menjadi inspirasi agar dapat di aplikasikan di masa sekarang. Seperti di masa sultan yang dimana manusia bisa hidup berdampingan dengan gajah,” kata Wahdi. (fat)

read more
Kebijakan Lingkungan

Perusahaan Lokal jadi Komprador Asing

Qanun/Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2013-2033 belum memperoleh persetujuan dari Kemendagri RI namun sudah menjadi dasar hukum dalam melakukan pembangunan Aceh.  Qanun RTRW Aceh ini telah mengajukan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang telah ditetapkan melalui SK Menhut No. 103 tahun 2015.

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melihat perubahan fungsi dan peruntukan ini tidak berdasarkan analisis keilmuan melainkan lebih menggunakan pendekatan celah regulasi dan perspektif ekonomi semata, terlihat pada areal kawasan hutan yang telah diusulkan dan dirubah tersebut adalah kawasan hutan yang memiliki nilai sumber daya mineral seperti yang banyak terdapat di wilayah tengah Aceh dan selatan Aceh.

Perusahaan yang menguasai sebagian besar saham di perusahaan-perusahaan tersebut di atas adalah perusahaan milik asing, sehingga perusahaan lokal hanyalah alat pengantar saja setelah seterusnya sebagaian besar keuntungan akan diperoleh oleh asing (komprador).

Kawasan hutan yang dirubah tersebut kebanyakan adalah kawasan hutan lindung, hal ini tidak aneh karena kawasan lindung sudah dimoratorium izin secara nasional sehingga tidak ada izin yang boleh diberikan dalam kawasan tersebut, ditenggarai untuk memperoleh izin harus menurunkan dulu fungsi dan peruntukan kawasan lindung tersebut.

Secara tipologi topografi kawasan hutan yang diusulkan dan telah dirubah tersebut adalah merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari wilayah pemukiman penduduk, sehingga dipastikan akan terpengaruh oleh curah hujan yang menyebabkan banjir.

Tahun 2014 KPHA mencatat peristiwa bencana alam banjir dan longsor sebanyak 23 kali di Aceh dengan angka kerugian yang melebihi 1 miliar rupiah, baik itu kerugian yang dialami oleh masyarakat maupun kerugian yang timbul akibat rusak dan hancurnya infrastruktur yang telah dibangun pemerintah.

Tanpa memerlukan analisis yang hebat sekalipun kita bisa menyimpulkan bahwa penyusunan RTRW Aceh sarat dengan kepentingan investor, padahal jelas-jelas terlihat bahwa investasi bukan satu-satu nya jalan untuk mengangkat kehidupan Aceh menjadi lebih sejahtera.

Masyarakat Aceh menginginkan sejahtera tanpa harus merusak dan menghancurkan lingkungan hidup, namun mimpi ini tidak bersambut dengan visi misi pemerintah yang hanya memiliki perspektif eksploitatif.

Pemerintah hendaknya jangan mewarisi watak “komprador” bagi generasi penerus bangsa, sebuah watak yang hanya mengedepankan kebutuhan pragmatis tanpa melihat kebutuhan dan kepentingan generasi mendatang.
KPHA mengajak seluruh stakeholder Aceh untuk melihat kebutuhan pembangunan secara holistik dengan tidak meninggalkan batasan dan daya dukung lingkungan, kajian-kajian ilmiah dan pengalaman empiris harus menjadi cermin dalam membuat dan mengambil keputusan yang akan berdampak jangka panjang untuk anak bangsa.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

KPHA: Qanun RTRW Aceh Belum Ada Kepastian Hukum

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh beberapa waktu lalu telah menjadi Rancangan Qanun (Raqan) RTRWA dan mendapatkan koreksi dan evaluasi dari Kemendagri. Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) , Efendi Isma, S.Hut, dalam siaran persnya, Kamis (17/6/2014) mengatakan Qanun RTRW tersebut sudah mendapat koreksi dari Mendagri dan hasilnya dituangkan dalam SK Mendagri  No. 651-441 tahun 2014 pada tanggal 20 Februari 2014.

Hasil koreksi tersebut dimana antara lain memerintahkan Gubernur Aceh untuk menindaklanjuti hasil evaluasi yang telah dilakukan pihak Kemendagri, gubernur Aceh menetapkan Rancangan Qanun RTRWA menjadi Qanun RTRWA,  Gubernur Aceh melakukan sosialisasi Qanun RTRW Aceh kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat di wilayah provinsi Aceh dan menyampaikan hasil ketetapan Qanun RTRW Aceh tahun 2014-2034 kepada Kementrian Dalam Negeri RI cq. Ditjen Bangda untuk dilakukan klarifikasi lebih lanjut.

Namun menurut Efendi, Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keputusan Mendagri tersebut lebih lanjut sebagaimana disebutkan pada diktum keempat bahwa “Dalam hal Gubernur Aceh tidak menindak lanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada diktum Kedua dan tetap menetapkan Rancangan Qanun Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2014-2034, akan dilakukan pembatalan oleh Mendagri.”

Realitas belum disetujuinya qanun RTRWA oleh Kemendagri melalui proses klarifikasi, menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan di provinsi Aceh sekarang adalah pembangunan yang tidak memiliki konsep tata ruang, pembangunan yang tertuang dalam RPJM dan RPJP Provinsi Aceh pada kenyataannya tidak merujuk pada tata ruang, papar Efendi Isma.

Penerapan sebuah regulasi harus memiliki payung hukum yang jelas dan sesuai dengan asas pelaksanaan pemerintahan yang baik, bila penetapan Qanun RTRWA tidak mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan maka yang terjadi adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah.

KPHA (Koalisi Peduli Hutan Aceh) melihat fenomena di atas harus segera diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah, baik itu Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri.  RTRW Aceh menjadi salah satu regulasi yang penting untuk segera di implementasikan karena apabila tidak segera sah dan berlaku (secara legal formal) maka provinsi Aceh adalah provinsi dengan pembangunan yang tidak memiliki tata ruang sehingga dapat disebut sebagai provinsi dengan pembangunan yang buruk, lanjut Efendi.

Kejahatan pelanggaran ruang sejauh ini yang berhasil dipantau oleh KPHA terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Tenggara, penegakan hukumnya masih memiliki kendala dengan penerbitan SP3 untuk kasus pelanggaran di Kabupaten Aceh Barat Daya dan pemberian hukuman di bawah 1 tahun untuk kasus pelanggaran ruang di Kabupaten Aceh Tenggara.

Seharusnya pelanggaran ruang pada kawasan hutan harus sepenuhnya dijerat dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar 5 miliar rupiah.

Fenomena ini menimbulkan dampak yang sangat berat terhadap kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum untuk pelanggaran ruang, dimana dalam PP 26 tahun 2008 disebutkan arahan sanksi bagi pelangaran ruang hanya dikenakan sanksi administrasi tanpa ada sanksi pidana dan ganti rugi, runut Efendi lebih lanjut.

KPHA selama ini selaku elemen masyarakat sipil Aceh yang antara lain meminta  agar penyusunan RTRW secara lebih transparan dan aspiratif dengan memperbesar partisipasi public, memasukan wilayah kelola mukim seperti hutan adat ke dalam RTRW Aceh, memasukkan kembali nomenklatur KEL ke dalam substansi RTRW Aceh, memasukan Rawa Tripa sebagai kawasan lindung di luar kawasan hutan, pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran ruang yang terdapat di daerah sebelum melakukan perubahan fungsi/status kawasan tersebut dan pemerintah bersama CSO membentuk tim independen pemantau penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

KPHA akan terus menyuarakan tuntutan terhadap tata ruang yang berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan Aceh dengan harapan generasi penerus Aceh dapat menikmati ruang Aceh dengan nyaman dan sejahtera.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Koalisi Peduli Hutan: Mendagri Dapat Batalkan RTRW Aceh

Konflik regulasi tata ruang Aceh dapat memperburuk hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, komunikasi yang tidak konstruktif dan cenderung mempertahankan status quo sewaktu-waktu dapat menjadi bumerang bagi kedua pihak dan yang pasti akan mengganggu stabilitas pembangunan daerah.

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma, Jumat (27/6/2014) mengatakan KPHA meneruskan advokasi masyarakat sipil Aceh terkait dengan proses penyusunan dan substansi tata ruang yang dianggap masih bermasalah, menjadi gambaran yang buruk dalam penyusunan sebuah regulasi yang vital setingkat RTRW sebagai blue print pembangunan kawasan dan daerah.

KPHA melakukan pertemuan dengan Ditjen Bangda Kemendagri RI di Kalibata Jakarta tanggal 26 Juni 2014 membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan kronologi proses evaluasi dan klarifikasi sebuah peraturan daerah dengan menggunakan dasar aturan Permendagri No. 28 tahun 2009, Permendagri No. 15 tahun 2008, PP 15 tahun 2010, Permendagri No. 1 tahun 2014.  Merujuk kepada aturan yang ada tersebut maka Qanun No. 19 tahun 2013 tentang Tata Ruang Wilayah Aceh dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri RI, ungkap Efendi Isma.

Substansi tata ruang wilayah Aceh masih melanggar beberapa aturan di atasnya, seperti UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, PP 26 tahun 2008 tentang tata ruang wilayah nasional, UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.  Selain aturan dan regulasi tersebut qanun tata ruang juga tidak mengakomodir masukan dari masyarakat terkait hutan adat Aceh sebagai wilayah kelola mukim sesuai dengan keputusan MK 35 tahun 2012.

Sementara itu proses klarifikasi dapat terus dilakukan dengan pilihan-pilihan antara lain; pertama Pemerintah Aceh memiliki justifikasi yang untuk tidak mengikuti hasil koreksi/evaluasi Mendagri melalui SK No. 650-441 tahun 2014, dan yang kedua Mendagri membatalkan Qanun tersebut.  Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bersama Kasubdit Penataan Ruang Wilayah di Jakarta.

Pilihan membatalkan Qanun tersebut dapat terjadi dalam forum klarifikasi yang akan digelar oleh Kemendagri dalam bulan Juli 2014 mendatang. KPHA akan melihat keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan setiap permasalahan regulasi daerah, harapan untuk menjalankan system pemerintahan yang baik berdasarkan aturan menjadi catatan khusus bagi CSO untuk mengukur kinerja pemerintah. [rel]

read more
Hutan

Aktivis Lingkungan Demo RTRW Aceh di Jakarta

Koalisasi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar demonstrasi di Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Kamis (16/1/2014). Mereka memprotes Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang akan menghilangkan warisan dunia Kawasan Ekosistem Leuser.

Koordinator KPHA, Efendi Isma, menyebutkan RTRW tersebut menciptakan  “kiamat ekologi dunia” dan karena itu harus ditentang. KPHA mendesak dilakukan revisi RTRW Aceh yang sudah diparipurnakan DPR Aceh tersebut.

“RTRW Aceh itu menghilangkan warisan dunia, merendahkan masyarakat adat Aceh yang telah menjaga dan merawat kawasan ekosistem Leuser,” tukas Efendi.

Effendi menjelaskan menjaga kawasan ekosistem Leuser merupakan amanah UU No 11 Tahaun 2006. Oleh karena itu RTRW Aceh tidak boleh merusak kawasan ekosistem tersebut.

“Setiap keputusan yang keliru tentang kawasan eksistem Leuser adalah memainkan kematian terhadap separuh rakyat Aceh dan merendahkan kebanggaan masyarakat dunia terhadap world heritage. “Kita diambang kehancuran, karena itu harus ditolak dan tentang RTRW tersebut,” katanya.

Aksi yang diikuti puluhan demonstran tersebut mebentangkang sejumlah poster yang berisi kecaman. Melalui ‘pengeras suara tangan’, para demonstran meneriakkan protesnya terhadap kehancuran kawasan ekosistem Leuser.[]

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Penghapusan Nama Leuser Berlawanan dengan UU PA

Laporan Panitia Khusus (Pansus) II Tahun 2012 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengenai Hasil Pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 oleh Tgk. Anwar Ramli selaku Ketua Pansus II DPRA dalam masa persidangan VI Rapat Paripurna 6 pada tanggal 24 Desember 2013 memunculkan beberapa hal kontroversial. Hal ini disampaikan oleh Mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, yang kini menjabat Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar.

Dalam siaran persnya, Kamis (26/12/2013) Ia menyebutkan mengacu beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu :

1.    Pelaksanaan pembangunan di Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-undang harus dilakukan dengan mengacu pada rencana pembangunan dan tata ruang nasional yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan dan berkeadilan.

2. Pemerintah, termasuk Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mematuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk secara aktif terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

3.  Perlu diingatkan kembali sebagaimana yang telah disampaikan oleh Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 149, menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

4.   Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung, termasuk mengelola kawasan lindung untuk melindungi berbagai keanekaragaman hayati dan ekologi.

5. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota juga wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

6.  Dalam Pasal 150 Undang-undang  No. 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh pada ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Lalu pada ayat (2) disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.

” Untuk itu usulan penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam RTRW Aceh merupakan tindakan yang salah dan bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

UU ini sendiri merupakan turunan dari perjanjian damai MoU Helsinki pada bulan Agustus 2005 yang lalu.

Menurutnya Pansus DPR Aceh perlu melihat kembali keberadaan beberapa kawasan hutan di Aceh sebagai sebuah kesatuan kawasan Hutan Aceh tanpa harus menganulir beberapa kawasan yang sudah ditetapkan melalui peraturan perundangan-undangan yang berlaku selama ini.[rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Tata Ruang dan Catatan Sakit

Romantisme hutan sebagai zamrud khatulistiwa tampaknya terus memudar. Para pujangga mungkin sedang kehilangan syair tentang damai dan rimbunnya pohon-pohon. Hutan yang dahulu hijau kini berubah warna. Pertanda bahwa tegakan hutan yang dahulu lebat kini berkurang bahkan hilang.

Seperti Si bodoh yang menghambur-hamburkan hartanya, rezim penguasa secara turun temurun bersekutu dengan bandit dan bertindak serampangan, sesuka hati tanpa ada yang menghukum atau yang membuat perhitungan. Ketidak pedulian terhadap hal ini menunjukkan pertanda buruk.

Menjadi sangat riskan ketika laju deforestasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebakaran hutan dalam skala besar terus berulang setiap tahunnya, pencurian kayu dan penyeludupan juga kian marak.

Memang desentralisasi dan otonomi daerah yang seluas-luasnya sedang berlangsung di tengah tuntutan masyarakat sekitar hutan yang menginginkan adanya rasa keadilan dalam pengelolaan hutan. Namun benturan kepentingan antara berbagai kelompok belum sepenuhnya mencapai titik temu. Ada kepentingan pemerintah pusat melawan daerah, juga kepentingan provinsi melawan kabupaten.

Sinisme terhadap pemerintah daerah yang tidak kreatif, sumber daya manusia yang tidak siap, hanya bersifat konsumtif, menjadi penonton yang baik dari segudang siasat pemerintah pusat, serta balas budi hutang politik dengan partai Si fulan, telah menjadi kecurigaan yang meluas. Semua cukup diatur dari sana.

Persoalan tata ruang provinsi/kabupaten yang tidak pernah tuntas adalah kanker ganas yang menambah runyam situasi dan memicu perebutan lahan, tumpang tindih areal dan konflik lahan antara masyarakat dengan pemegang konsesi.

Masa transisi yang terlalu panjang seolah sengaja diciptakan entah untuk kepentingan apa? Konkritnya, kondisi di lapangan begitu rawan, karena hampir tidak berlaku jaminan hukum tentang kepastian tata ruang dan lahan. Saling klaim, rebut merebut, penjarahan, pematokan batas dan kesewenang-wenangan.

Waktu demi waktu terus bergulir. Rezim demi rezim terus berganti seiring perkembangan sosial politik. Pola pemerintahan sentralistik dan militeristik telah runtuh, berganti rezim reformasi yang mengusung semangat demokrasi.

Desentralisasi dan otonomi daerah bahkan self government yang di dewa-dewakan itu ternyata bukanlah obat jitu atau formula yang ampuh bagi belantara di sana. Reformasi ternyata kosong isinya. Pada titik ini, ia tidak menunjukkan kemajuan sama sekali. Lembarannya bagaikan catatan-catatan sakit yang tidak berubah-ubah.[]

Sumber: hutan-tersisa.blogspot.com

read more
1 2
Page 1 of 2