close

UKP4

Perubahan Iklim

Heru Prasetyo Pimpin Badan REDD+

Setelah lebih dari tiga bulan terbentuk, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menunjuk Heru Prasetyo, sebagai Ketua Badan Pengelola REDD+ lewat Kepres tertanggal 12 Desember 2013. Saat ini, Heru menjabat deputi I UKP4. Sejak 2010,  dia aktif menjadi sekretaris dan anggota Satgas REDD+.

Heru pernah memiliki peran penting dalam mengelola dana bantuan asing saat menjabat sebagai direktur Hubungan Internasional Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias 2005-2009. Tingkat efektivitas penyerapan BRR diakui dunia dengan hasil melebihi ekspektasi.

Dia memiliki pengalaman sektor swasta yang luas, saat bekerja sebagai konsultan selama lebih 15 tahun, dan menjabat sebagai Country Managing Director Accenture untuk Indonesia pada periode 1974-2002.

Kini, menjabat kepala Badan REDD+, dia bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dia mempunyai tugas membantu Presiden dalam tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Badan REDD+ ini,  mengemban tugas menurunkan laju deforestasi dan memperbaharui tata kelola serta transparansi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Heru Prasetyo, mengatakan, Badan REDD+ bertujuan memperjelas kedudukan dan pelaksanaan pemanfaatan dan kepemilikan hutan. Badan REDD+, katanya, harus segera bergerak maju dengan kecepatan penuh demi kepentingan Indonesia dan seluruh bumi.

Dia berharap, dengan ada badan ini, Indonesia jauh lebih baik  mengendalikan emisi karbon dari pemanfaatan lahan. “Dengan menyusun dan mempraktikan sistem yang mampu mengukur dan melaporkan pengurangan emisi secara akurat dan dapat diverifikasi. Jadi, kita dapat mengatakan telah menurunkan emisi dan menyelamatkan hutan dan lahan gambut,” katanya, dalam rilis kepada media di Jakarta, Jumat (20/12/13).

Persiapan pembentukan Badan Pengelola REDD+ melibatkan sedikitnya 18 kementerian dan lembaga serta 11 pemerintah provinsi dan kabupaten. Badan ini merupakan komponen kunci dalam mengawali fase kedua dari surat niat yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Norwegia.

Fase pertama kerjasama Indonesia dan Norwegia ini untuk mempersiapkan kelembagaan REDD+ di Indonesia. Termasuk, seluruh instrumen dan kapasitas bagi kelembagaan ini dalam menjalankan berbagai inisiatif REDD+. Kegiatan fase pertama dilaksanakan Satgas REDD+ yang menghasilkan antara lain, strategi nasional, dan instrumen pendanaan dan komponen pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV).

Kementerian Lingkungan Norwegia menyambut baik penunjukan Heru Prasetyo menjadi kepala Badan REDD+. Dari pernyataan resmi yang dikirim Kedutaan Norwegia di Indonesia, menyebutkan, langkah ini merupakan gerakan bersejarah dari Pemerintah Indonesia yang akan menyelamatkan hutan tropis ketiga terbesar dunia.

Penunjukan Heru ini, merupakan kemajuan penting bagi Indonesia, dalam kebijakan kehutanan, dan menunjukkan komitmen untuk transparan, dan menerapkan pendekatan keberlanjutan dalam melestarian hutan negeri ini.

Kini, Indonesia memiliki peralatan lengkap untuk mengambil tempat sebagai pemimpin global dalam perlindungan alam, dan hutan tropis, yang berperan penting dalam perang melawan perubahan iklim.

Penunjukan ini juga kemajuan dari perjanjian deforestasi global yang didorong pada menit-menit terakhir dalam pembahasan perubahan iklim global di Warsawa, Polandia, November 2013. Terobosan REDD+ ini, membuka jalan bagi negara-negara maju buat menyalurkan miliaran dolar dana perlindungan hutan ke Indonesia, Kongo, dan negara-negara berkembang lain yang memiliki hutan tropis.

RI Siap Jalankan REDD+
Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4 mengatakan, Indonesia siap menerapkan REDD+. Tantangan kepala badan ini, adalah mendorong reformasi ke arah kerjasama lintas sektoral. “Ini untuk menjawab tantangan besar menurunkan emisi gas rumah kaca Indonesia dengan paradigma pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.”

Menurut dia, tantangan dunia saat ini mengurangi emisi gas rumah kaca dan deforestasi. “Kalau kita berbicara soal memerangi emisi gas rumah kaca, sektor utama kehutanan.”

Komitmen yang dicanangkan SBY, yang melandasi perubahan arah ekonomi Indonesia menjadi pembangunan ekonomi hijau. “Ini bukan basa-basi. Seluruh cara berpikir harus dibuat sedemikian rupa hingga mencapai apa yang kita harapkan,”  ucap Kuntoro.

Untuk itu, kerjasama dengan semua pihak diharapkan termasuk penguatan hak-hak masyarakat adat. Pada level provinsi,  Satgas REDD+ sudah melakukan pembanguan kapasistas. Kalimantan Tengah (Kalteng) dipilih sebagai provinsi percontohan. Kalteng juga provinsi  pertama yang memulai proses pengakuan wilayah adat  melalui perda. “Ini sesuatu yang sangat penting. Ini sekaligus  melingkupi berbagai aspek legal untuk mewadahi hak-hak masyarakat adat.”

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, dalam pertemuan para pihak terkait Badan REDD+ di Jakarta, Kamis (19/12/13) mengatakan, Badan REDD+ ini memang dibentuk terpisah dan mandiri, terutama MRV dan keuangan.  “Jadi sangat penting lembaga dipercaya atau tidak. Kami dari Kementerian Kehutanan dari awal memonitoring dan verifikasi termasuk dana. Bersyukur lahir badan REDD+ dan sudah ada kepala,” katanya.

Dengan ada Badan REDD+, Kemenhut merasa diperkuat secara kelembagaan, baik yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum.  Menurut Zulkifli, penyusunan Badan REDD+ ini sangat sulit karena ada berbagai kepentingan. Namun, berkat bantuan UKP4 dan negosiasi apik akhirnya persiapan REDD+ selesai. REDD+ dapat memperkuat skema Kemenhut yang selama ini masih mengalami berbagai kendala.

William Sabandar dari Tim Khusus REDD+ mengatakan,  Satgas REDD+ telah bekerja selama tiga tahun yang diakhiri persiapan REDD+ memasuki fase pelaksanaan.

Selama menjalankan tugas, Satgas REDD+  telah menghasilkan banyak kegiatan antara lain, 387 dokumen dalam berbagai bentuk. Program-program yang dihasilkan dapat dikategorikan empat kelompok utama. Pertama, kelompok kelembagaan dan sistem, telah dihasilkan tiga produk utama,  lembaga REDD+, instrumen pendanaan dan MRV.

Kedua, strategi dan perencanaan, yang menghasilkan strategi  nasional REDD+ didukung rencana aksi  nasional REDD+ dan rencana aksi daerah yang dihasilkan 11 provinsi berhutan di Indonesia.  Ketiga, pelaksanaan taktis, misal pelaksanaan provinsi percontohan selama  2,5 tahun di Kalteng.  Lalu, berbagai kegiatan perencanaan, penyiapan kelembagaan sampai dengan percontohan di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Barito Selatan.

Keempat, strategi pendukung. Database yang dihasilkan bisa diakses oleh publik secara terbuka dan dilengkapi sejumlah website. Pada kesempatan itu, ditandatangani nota kesepahaman sebagai upaya meletakkan dasar-dasar pelaksanaan REDD+ dan disusul semua provinsi.  Kali ini dimulai dengan tiga provinsi, yaitu Kalteng,  Jambi dan Kalimantan Timur.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Kuntoro Apresiasi Sambutan Luar Biasa Sukseskan REDD+

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, hari Kamis di Jakarta mengapresiasi respon luar biasa dari berbagai pihak serta kembali mengingatkan semua pihak untuk mengubah cara pandang pembangunan ke arah yang pro lingkungan.

“Kerjasama semua pihak sangat diperlukan. Saya berterimakasih atas segala respon yang telah ditunjukkan oleh berbagai pihak termasuk masyarakat adat, pemerintah-pemerintah provinsi mitra REDD+ serta kelompok korporasi,” kata Kuntoro dalam pidato kuncinya di hadapan lebih dari 400 orang yang hadir dalam pertemuan dengan para pemangku kepentingan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) di Jakarta pada hari Kamis (19/12).

Peserta yang hadir datang dari berbagai kalangan termasuk dari pemerintahan daerah, organisasi masyarakat sipil, akademia serta perwakilan negara-negara sahabat.

UKP4 menggelar pertemuan dengan para pemangku kepentingan REDD+ di Jakarta dan menyerahterimakan semua hasil pekerjaan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+). Pertemuan ini juga dirancang untuk memberikan informasi terkini dan peluang kepada semua pihak untuk bertemu dan bertukar informasi tentang kemajuan dan arahan kebijakan dan rencana aksi REDD+.

“Seluruh cara berpikir kita harus berubah. Empat jalur pembangunan ekonomi kita, salah satunya adalah pro lingkungan. Ini bukan basa basi, itu masuk ke dalam mainstream pembangunan kita,” tambah Kuntoro. Indonesia dinilai cukup berhasil setelah melakukan terobosan berarti dalam menurunkan tingkat kemiskinan melalui empat jalur strategi (four track strategy) pembangunan ekonomi dalam pengurangan pengangguran dan pengetasan kemiskinan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Badan Pengelola REDD+ akhir Agustus 2013 lalu. Badan ini mempunyai tugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Persiapan beroperasinya Badan ini telah dilaksanakan oleh Satgas REDD+ termasuk sebuah strategi nasional; instrumen pendanaan; serta komponen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa kementeriannya siap untuk melaksanakan kebijakan untuk mendukung REDD+. “Kita merasa sangat senang dengan hadirnya Badan REDD+ ini dan siap melaksanakannya di lapangan. MRV dan pendanaannya dilaksanakan oleh Badan REDD+ agar kredibel dan akuntabel.”[rel]

read more
Perubahan Iklim

Gas Rumah Kaca Ini Lebih Berbahaya dari CO2

Tim peneliti dari University of Toronto berhasil menemukan gas rumah kaca baru yang lebih berbahaya bagi iklim dan berumur panjang di atmosfer. Nama gas rumah kaca tersebut adalah perfluorotributylamine (PFTBA). Menurut tim peneliti, bahan kimia ini lebih berbahaya dari gas rumah kaca lain yang selama ini telah kita kenal, salah satunya CO2.

Namun, berbeda dengan emisi CO2 yang telah mengelami peningkatan produksi sejak masa Revolusi Industri pada abad 18, PFTBA ini baru digunakan sejak pertengahan abad 20.

Bahan kimia PFTBA ini dipakai dalam berbagai peralatan elektronik, sebagai cairan penguji dan materi penyalur panas. Bahan kimia ini tidak tersedia di alam dan hanya bisa diproduksi oleh manusia.

Menurut tim peneliti, hingga saat ini belum ada cara untuk menghancurkan atau menghilangkan bahan kimia ini dari atmosfer bumi. Masa edar PFTBA bisa mencapai ratusan tahun dan merusak lapisan atmosfer bagian atas.

Untuk menggambarkan betapa berbahayanya gas rumah kaca baru ini, Angela C. Hong, peneliti dari Jurusan Kimia, University of Toronto menyatakan: “Satu molekul PFTBA memiliki dampak bagi iklim yang setara dengan 7100 molekul CO2.”

Temuan ini menurut Hong menunjukkan betapa PFTBA sangat radiatif bagi iklim dalam jangka panjang.

Sumber: Hijauku.com

read more
Kebijakan Lingkungan

UKP4: Indonesia Masuki Babak Baru Pelaksanaan REDD+

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, hari Selasa (17/12/2013) di Jakarta meyakinkan kembali bahwa Indonesia siap melaksanakan komitmen Presiden untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pada 19 Desember 2013, UKP4 akan mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan REDD+ dan menyerahterimakan semua hasil pekerjaan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) termasuk pekerjaan yang sedang berjalan dan dalam perencanaan.

Pertemuan ini, yang digelar pada Kamis (19/12/2013), dirancang untuk memberikan informasi terkini dan peluang kepada semua pihak dari setiap elemen pemangku kepentingan REDD+ dan peminat isu ini, untuk bertemu dan bertukar informasi tentang kemajuan dan arahan kebijakan dan rencana aksi REDD+.

“Indonesia saat ini on track dalam usaha mencapai target penurunan emisi. Pertemuan ini bertujuan untuk melaporkan kemajuan dan tantangannya. Semua pihak harus berkoalisi untuk menghentikan perusakan hutan dan penurunan emisi.” ujar Kuntoro.

Komitmen Indonesia secara sukarela untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% atau sampai dengan 41% dengan bantuan internasional mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk dunia internasional. Langkah berani ini adalah bentuk kepemimpinan Indonesia dalam memerangi dampak buruk perubahan iklim dan menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama yang secara langsung kehidupannya bergantung pada sumber daya alam.

Sebuah badan khusus yang bertugas mengelola kegiatan reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang bertanggung jawab kepada Presiden telah dibentuk akhir Agustus lalu. Persiapan beroperasinya Badan ini telah dilaksanakan oleh Satgas REDD+ termasuk sebuah strategi nasional; instrumen pendanaan; serta komponen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Peserta pertemuan tersebut mencakup pemangku kepentingan dari latar belakang yang beragam, sektor dan kepentingan, termasuk para pemimpin politik, anggota kabinet, DPR, DPRD Provinsi, para perwakilan negara sahabat dan pejabat diplomat senior serta pejabat kerja sama pembangunan. Pertemuan ini juga melibatkan masyarakat sipil, media massa, akademisi, dan sektor swasta termasuk asosiasi bisnis. Peserta juga termasuk pejabat dari tingkat pusat dan daerah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang terkait dengan berbagai bagian dari agenda kebijakan REDD+.

Dalam pertemuan ini juga akan diselenggarakan sesi interaktif dengan bentuk bazaar tematis. Sesi ini akan memberikan kesempatan diskusi tatap muka antara berbagai pihak dan kelompok kepentingan.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Berharap Pemimpin Baru Konsisten Atas Perubahan Iklim

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah berusia lima tahun, berdiri 2008. Tahun depan, era terakhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, alias, bakal ada Presiden baru. DNPI berharap, Presiden terpilih peka terhadap perubahan iklim hingga bisa memperkuat kehadiran lembaga ini.

“Penting dan wajib keberlanjutan tata kelola perubahan iklim nasional, DNPI itu penting. Ini untuk hadapi kelembagaan perubahan iklim di tingkat global,” kata Rachmat Witoelar, Ketua DNPI di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pergantian kepempimpinan pemerintahan pada 2014, menimbulkan kekhawatiran perubahan komitmen tentang iklim. “Gimana kalo calon tidak tune in, malah tak mau ada DNPI.” “Kalau sampai calon-calon tak concern (pada perubahan iklim) itu merugikan.”

Dia berkaca, pada pengalaman negara lain, setelah ada pergantian pemerintahan, keberadaan lembaga perubahan iklim menjadi tak jelas. Australia, misal, malah menghapus kebijakan perubahan iklim mereka setelah pemerintahan baru, seperti climate change authtority, clean energy finance company, dan domestic carbon pricing scheme.

“Policy berubah drastis. Saya harap Indonesia tak demikian. Jika lembaga tak berlanjut,  maka akan akan kembali ke nol lagi. Dana-dana yang ada 2014, mau diberikan ke mana?”

Perubahan komitmen penurunan emisi karbon juga terjadi di Jepang. Pemerintah negeri sakura ini dalam COP19 di Warsawa, Polandia, resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan emisi karbon dari 25 persen emisi tahun 1990 menjadi 3,8 persen dari emisi 2005. “Jepang shock dengan (tragedi pembangkit nuklir) di Fukushima, lalu pake power plant lagi.”

Untuk urusan perubahan iklim, sebenarnya, ideal ada sistem peraturan UU komprehensif, yang mempunyai kekuatan hukum tertinggi.  Terlebih, jika ingin legal secara global, tentu diawali di level nasional terlebih dahulu. “Yang ada di Indonesia, sekarang parsial. Itu harus diusahakan. Kini, diproses antara kementerian agar ada pegangan institusional,” ucap Rachmat.

Apakah sudah melakukan pendekatan-pendekatan ke calon-calon Presiden 2014? Menurut dia,  pendekatan-pendekatan informal sudah dilakukan ke para kandidat. Namun, lebih intens akan dilakukan setelah April 2014. Dia juga sudah berbicara dengan berbagai pihak dan mentitipkan agar Indonesia  tetap memegang komitmen tentang iklim. Kepada masyarakat, Rachmat berpesan, pada pemilu nanti agar memilih figur-figur peduli lingkungan, baik DPR maupun Presiden.

Kepedulian negara-negara dalam meningkatkan komitmen penurunan emisi karbon sangat penting. Mengingat tanpa kepedulian dari semua negara, dampak buruk perubahan iklim bakal menimpa bumi dan penduduknya.

Ban Ki Moon, Sekjen PBB,  mendorong seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan memberikan dan meningkatkan komitmen penanganan perubahan iklim. Bahkan, pada 23 September 2014, akan digelar UN Climate Summit, sehari sebelum sidang umum PBB. “RI tetap mempertahankan komitmen pengurangan emisi karbon sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional sampai 2020,” ucap Rachmat.

Hasil COP19
Dalam konferensi Perubahan Iklim ke 19 (COP19) pada Sabtu (23/11/13) ini, Indonesia lewat Kementerian Perhubungan, mendapatkan bantuan pendanaan internasional untuk sistem transportasi massal ramah lingkungan.

Proposal Kemenhut sebagai bentuk penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (sustainable urban transport initiative-nationally approriate migitigation action/SUTRI NAMA), mendapat pendanaan lewat NAMA’s facility dari Pemerintah Inggris dan Jerman.

Total dana proyek ini sekitar 70 juta Euro, dan Indonesia bersama Kolumbia, mendapatkan pendanaan sektor transportasi. Kuki Soejachmoen, Sekretaris Pokja Nagoisasi Internasional DNPI, mengatakan, proyek ini untuk pengembangan moda transportasi ‘hijau’ kota-kota sedang.

“Kemenhub sudah cukup lama studi dan perencanaan pengembangan sistem transportasi kota bersahabat ini. Sudah ada rencana di beberapa kota didukung technical assistant,” ucap Kuki.

Sedang, hasil penting lain dalam konferensi itu, antara lain penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+. Lalu, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, mekanisme pendanaan di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Ada juga hasil kesepakatan tentang arsitektur kerangka kerja global perubahan iklim pasca 2020.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Perubahan Iklim

Aksi Mitigasi Indonesia dapat Respon Positif Internasional

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia telah berakhir pada Sabtu (23/11/2013) dengan menghasilkan beberapa keputusan, termasuk kesepakatan tentang arsitektur kerangka kerja global untuk perubahan iklim pasca 2020.

Keputusan penting dalam COP19 antara lain mengenai penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, keputusan mengenai mekanisme pendanaan di bawah UNFCCC, dan panduan umum MRV untuk yang mendukung aksi mitigasi di negara-negara berkembang (National Appropriate Mitigation Actions / NAMAs)

Dalam rangkaian perundingan COP19 Warsawa, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan berhasil mendapatkan bantuan pendanaan internasional untuk sistem transportasi massal yang ramah lingkungan. Proposal Kemhub untuk pelaksanaan sistem transportasi kota yang berkelanjutan sebagai bentuk penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (Sustainable Urban Transport Initiative – Nationally Appropriate Mitigation Action / SUTRI NAMA) telah disetujui untuk mendapatkan pendanaan di bawah NAMAs Facility dari Pemerintah Inggris dan Pemerintah Jerman.

Proposal SUTRI NAMA ini disetujui untuk didanai bersama dengan tiga proposal NAMAs lainnya dari Chile, Kosta Rika dan Kolombia yang dipilih dari 43 proposal NAMAs yang diajukan. Dari sektor transportasi, Indonesia bersama dengan Kolombia menjadi negara pertama yang mendapat dukungan dari dunia internasional untuk kegiatan transportasi. Proyek SUTRI NAMA mendapatkan bantuan pendanaan sebesar 17 juta Euro dari total 70 juta Euro yang dikumpulkan NAMAs Facility untuk empat proposal yang terpilih tersebut.

Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim mengatakan diraihnya bantuan pendanaan untuk SUTRI NAMA menjadi bukti bahwa aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia mendapat apresiasi positif dari dunia internasional.

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa program aksi mitigasi seperti misalnya terangkum dalam Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) sudah dalam arah yang benar sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk ikut serta dalam penanganan dampak perubahan iklim dan penurunan emisi GRK global.

Komitmen Indonesia

Terdapat perkembangan mengejutkan pada perundingan COP19, yaitu melemahnya komitmen penanganan perubahan iklim dari negara maju, terutama dari Jepang dan Australia.

Seperti diketahui, Pemerintah Jepang secara resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan emisi dari semula 25% dari emisi tahun 1990 menjadi 3,8% dari emisi tahun 2005 atau setara 3,1% dari emisi tahun 1990. Sedangkan Pemerintah Australia telah menghapus berbagai kebijakan perubahan iklim mereka seperti Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company dan Domestic Carbon Pricing Scheme.

Melihat hal tersebut, Rachmat Witoelar yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menyatakan Indonesia tetap mempertahankan komitmen sukarela penurunan emisi GRK sebesar 26 % dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan pendanaan internasional. Apalagi upaya dari sektor kehutanan telah menunjukan pencegahan emisi GRK yang signifikan.

Rachmat Witoelar mengajak negara berkembang dan terutama negara maju untuk turut serta menangani perubahan iklim dengan berkomitmen menurunkan emisi GRK. “Sekarang waktunya bagi dunia untuk menunjukkan ambisinya dan bertindak lebih nyata,” katanya.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon sendiri mendorong seluruh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memberikan dan bahkan meningkatkan komitmen untuk penanganan perubahan iklim, mengingat urgensi akibat buruk dari berbagai dampak perubahan iklim, dengan menggelar UN Climate Summit yang dilaksanakan sehari sebelum Sidang Umum PBB, yaitu pada 23 September 2014.

Negara-negara Pihak UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP21, pada akhir tahun 2015 di Paris, Perancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara Pihak (applicable to all parties) sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca 2020. Draft kesepakatan pasca 2020 tersebut disepakati akan dirumuskan pada COP20 di Lima, Peru pada 2014, untuk selanjutnya diadopsi pada akhir 2015 dalam COP21 di Paris, Perancis.

Sedangkan dari COP19 Warsawa, telah diputuskan tahap-tahap persiapan menjelang COP21, antara lain upaya setiap negara di dalam negeri masing-masing untuk menyiapkan kontribusi mereka yang akan menjadi bagian dari komitmen global pasca 2020, yang ditetapkan sendiri (nationally determined contribution) dan tanpa pretensi atas sifat hukum dari kontribusi tersebut (without prejudging the legal nature of the contributions).

“Berbagai keputusan COP19 memberikan dasar yang kuat untuk pembahasan yang lebih mendalam di tahun mendatang dalam rangka merumuskan elemen-elemen kesepakatan 2015,” kata Rachmat Witoelar.

Indonesia mengharapkan semua keputusan COP19 tersebut akan ditindaklanjuti dengan peningkatan komitmen negara-negara dalam upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya komitmen penurunan emisi pra-2020 oleh negara-negara maju.

Indonesia Pavilion
Selain berjuang melalui proses perundingan, Indonesia juga mengadakan Indonesia Pavilion dengan tujuan untuk menampilkan kemajuan dan inovasi program perubahan iklim dan investasi hijau di lingkup nasional dan subnasional serta kerjasama internasional. Sekitar 1000 peserta dari berbagai pihak dan delegasi negara lain datang mengikuti 16 sesi seminar yang diselenggarakan oleh beberapa Kementerian dan Lembaga serta organisasi internasional dengan narasumber dari dalam dan luar negeri, baik dari pemerintah maupun sektor swasta. Delri juga menampilkan budaya Indonesia melalui cinderamata berupa tas dan dompet yang bermotif batik, yang sangat disukai oleh peserta seminar.

Kegiatan Indonesia Pavilion dan Booth Indonesia dilaksanakan untuk mendukung upaya perundingan formal, meningkatkan kekuatan soft diplomacy dan menunjukan komitmen Indonesia terhadap proses multilateral.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

LECB Bangun Kapasitas Pembangunan Berbasis Ekonomi Hijau

Low Emission Capacity Buidling (LECB) program Indonesia hari Senin dan Selasa, (9-10 Desember 2013), menyelenggarakan pelatihan perancangan model perencanaan ekonomi hijau dalam pembangunan nasional kepada para staf Pemda Kalimantan Tengah dan anggota kelompok masyarakat lainnya. Acara ini dihadiri oleh Assisten II Gubernur Kalteng, Ir. H. Syahrin Daulay, M.Eng.Sc., beserta perwakilan BAPPENAS, SKPD terkait, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi.

Pelatihan di Palangkaraya yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Setda Pemprov Kalimantan Tengah, UNDP LECB Program dan UNORCID disampaikan oleh ahli perancang model System Dynamics Dr Andrea Bassi dan merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan kuliah umum dan pelatihan peningkatan kapasitas dalam LECB program. Sebelumnya di Jakarta telah dilaksanakan pelatihan serupa untuk tingkat nasional bersama perwakilan dari Bappenas, Kementerian terkait, Pemerintah Daerah dan akademisi pada tanggal 4 Desember 2013.(3)

“Tiga pilar utama dari ekonomi hijau adalah penurunan emisi, efisiensi sumber daya dan preservasi modal alam,” kata Pakar Perencana Pembangunan berbasis Ekonomi Hijau, Dr Bassi dalam pengantarnya. “Merancang model dengan system dynamics adalah cara satu untuk memastikan konsistensi antar sektor sehingga strategi pada satu sektor tidak memberikan dampak buruk bagi sektor lainnya.”

Ekonomi hijau adalah strategi logis untuk menyelaraskan target pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri, dan sampai 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2020 relatif atas skenario business as usual, dengan tetap mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

Dengan mengadopsi jalur pembangunan hijau dengan melibatkan masyarakat untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang serasi dengan alam, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menggunakan jasa lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebuah sesi pemaparan mengenai perspektif praktis tentang proses transisi Indonesia menuju Ekonomi Hijau telah dibawakan oleh Pavan Sukhdev, seorang pakar dunia Ekonomi Hijau di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 2 Desember 2013.

Indonesia, bersama 25 negara lain di dunia berkolaborasi dalam program LECB yang diluncurkan secara global pada bulan Januari 2011 sebagai bagian dari kolaborasi antara Uni Eropa dan UNDP. LECB Indonesia digerakkan oleh BAPPENAS dan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).[rel]

read more
Perubahan Iklim

UKP4 Tetap Bekerja Sampai Badan Pengelola REDD+ Terbentuk

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto, hari Selasa di Jakarta memastikan bahwa kerja Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) yang habis masa tugasnya akhir Juni lalu, tetap dilaksanakan oleh UKP4 sampai Badan Pengelola REDD+ (1) terbentuk.

“Selama Badan Pengelola REDD+ belum terbentuk, maka fungsi dan tugas dari Badan ini dijalankan oleh UKP4, sesuai ketentuan dalam Perpres 62 nomor 2013,” tegas Kuntoro. “Semua kerja yang telah mulai dibangun oleh Satgas REDD+ penting untuk terus dijaga momentumnya, termasuk good governance, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi dalam mengelola REDD+ dalam konteks multi-sektor,” lanjutnya.

Dalam masa transisi ini, UKP4 menggelar serangkaian lokakarya implementasi REDD+ di Indonesia dengan mengundang para pihak untuk mendiskusikan berbagai situasi persoalan lapangan dan sejumlah tantangan dan peluang bagi implementasi REDD+ dan kelanjutannya.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang membuka lokakarya ini bersama Kepala UKP4 menyambut baik Badan Pengelola REDD+ yang susunan organisasinya akan segera dilengkapi ini.

“Kami berharap kemitraan yang produktif dapat dijalin dengan Badan yang baru ini terutama untuk MRV-nya. Begitu luas tugas Kemenhut, maka semakin banyak mitra semakin bagus. Tantangannya ke depannya adalah bagaimana melaksanakan MRV ini, karena instrumen ini dapat sangat membantu kita dalam melaksanakan berbagai tugas dari mulai restorasi ekosistem sampai memantau adanya pelanggaran,” kata Menhut pada pembukaan lokakarya.

Lokakarya ini adalah seri pertama dari serangkaian Seri Lokakarya Implementasi REDD+ yang diselenggarakan dalam kurun waktu antara Oktober sampai Desember 2013. Fokus lokakarya kali ini adalah seputar implementasi REDD+ di Indonesia dan transisi operasionalisasi ke Badan Pengelola REDD+ di Indonesia.

Pemateri dan peserta adalah staf kunci dari berbagai Kementerian dan Lembaga terkait dan dari kelompok-kelompok kerja eks-Satgas REDD+. Paparan dan diskusi dalam akan terfokus pada strategi dan rencana aksi REDD+ baik di tingkat nasional maupun sub-nasional, upaya pengarus-utamaan kepada para pihak, termasuk Kementerian dan Lembaga, dan Kelembagaan REDD+ termasuk di dalamnya MRV dan Instrumen Pendanaan. [rel]

read more