close

YEL

HutanKebijakan LingkunganRagam

Hutan Gambut Rawa Tripa Nasibmu Kini

Rabu 8 Januari 2014 yang cerah di Meulaboh. Hakim PN Meulaboh bersiap-siap membaca putusan. Para pihak yang terkait nampak sedikit tegang, mungkin dalam hatinya berharap hakim berdiri di pihaknya. Hakim pun memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan WALHI Aceh tersenyum cerah. Sementara pengacara tergugat tidak terima dan menyatakan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli. Pencarian keadilan untuk lingkungan pun bergulir panjang.

KA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi kemudian kalah. Masih tak puas, KA mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, rupanya hakim sependapat dengan PN, KA pun pulang dengan kekalahan. Tinggal satu peluang lagi dan ini digunakan juga oleh KA yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan mendapatkan bukti-bukti baru. PK pun tak memberikan kemenangan pada KA. Tergugat tetap diputuskan bersalah dan membayar denda sebagaimana diputuskan di atas. Apakah lantas perjuangan lingkungan menyelematkan hutan Rawa Tripa sudah selesai? Belum, jalan masih panjang. Rawa Tripa nyatanya masih saja diobrak-abrik oleh pihak-pihak tertentu. Denda pun yang rencananya untuk merehabilitasi Rawa Tripa tak kunjung di bayar. Bagaimana nasib Rawa Tripa kini?

Untuk mengetahui kondisi terkini hutan gambut Rawa Tripa, kami mewawancarai Koordinator Program Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), TM Zulfikar, beberapa hari lalu.

Zulfikar menjelaskan status hukum lahan 1.605 Hektar yang dimenangkan oleh WALHI Aceh status hukumnya sudah final atau inkrah. Karena pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh PT Kallista Alam ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Secara aktual kondisi lahan yang ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Lindung Gambut tersebut seperti tanah tak bertuan. Padahal sudah sangat jelas, pengelolaannya sudah diberikan kepada Pemerintah Aceh. Bahkan tahun 2016 lalu Gubernur Aceh Zaini Abdullah memerintahkan Dinas Kehutanan Aceh segera melakukan rehabilitasi atau pemulihan. ” Lahan tersebut merupakan tambahan untuk Kawasan Lindung Gambut yang total mencapai 13.000 hektar jika mengacu pada RTRW Aceh 2013-2033. Tinggal sekarang kita dorong Pemerintah Aceh lebih serius melakukan upaya-upaya lanjutan terkait restorasi di Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa,”kata Zulfikar.

Seharusnya lahan tersebut masih utuh, namun hasil pemantauan yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) kondisi lahan semakin hari semakin berkurang akibat konversi lahan yang dilakukan secara illegal.
Beberapa oknum di lapangan bahkan mencoba-coba mengkapling-kapling lahan tersebut baik secara perorangan maupun kolektif. Seharusnya Pemerintah Aceh beserta Pemerintah Kabupaten setempat segera mengambil tindakan sebelum nantinya permasalahan akan semakin rumit, tegasnya.

YEL bersama beberapa LSM lingkungan lainnya mencoba melakukan berbagai upaya dan langkah strategis terkait hutan rawa gambut Rawa Tripa. Salah satunya adalah mendesak agar kawasan tersebut dijadikan Kawasan Lindung Gambut diluar Kawasan Hutan. “Alhamdulillah telah membuahkan hasil, yakni dengan ditetapkannya kawasan Rawa Tripa sebagai Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, lalu ditambah lagi dengan lahan sengketa dengan PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar, sehingga jika ditotal kawasan lindung gambut di Rawa Tripa mencapai 12.964 Hektar,”jelasnya. Jika lahan PT Surya Panen Subur II seluas 5000 Hektar yang pernah ditawarkan untuk dijadikan areal konservasi, maka jumlah kawasan lindung gambut mencapai + 18.000 Hektar. Namun hingga saat ini belum ada tindakan serius dari Pemerintah Aceh atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Disisi lain YEL sudah berusaha membantu melalui Program kerjasama TFCA Sumatera melakukan kegiatan restorasi di kawasan gambut Rawa Tripa. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti Pembangunan dam atau Blocking Canal sebanyak 31 titik untuk mempertahankan tinggi permukaan air sehingga kondisi rawa sebagai penyedia air dan perlindungan ekosistem dapat berjalan. Selain itu juga YEL melakukan penanaman ratusan ribu pohon di lokasi rawa gambut yang selama ini sudah hampir kritis, serta berbagai program kemasyarakatan lainnya.

Untuk rencana ke depan, sesuai hasil diskusi dengan parapihak, termasuk hasil workshop yang dilakukan bersama antara Pemerintah Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, maka perlu segera dicari format yang tepat untuk status lahan tersebut. Beberapa tawaran yang muncul seperti Kawasan Ekosistem Essensial (KEE), Kawasan Lindung serta Kawasan Konservasi. “Jadi untuk pilihan-pilihan ini harus diputuskan sehingga nantinya bisa ditetapkan melalui regulasi yang mengikat semua pihak,”kata Zulfikar.

Selain itu harus secepatnya ditentukan Badan atau Lembaga Pengelola, misalnya Unit Perlindungan Gambut, Badan Restorasi Gambut Aceh, atau apa saja namanya yang tepat, dan nantinya badan atau lembaga ini di SK kan melalui Ketetapan Gubernur Aceh.

Kawasan Rawa Gambut di Tripa ini sebagian besar merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 sudah jelas sekali Kawasan ini menjadi Kewenangan Pemerintah Aceh. Selain itu Rawa Tripa berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, maka perlu juga dilibatkan kedua Pemerintahan Kabupaten tersebut. Jadi ketika nanti sudah dibentuk lembaga pengelola lahan gambut, maka selain pihak Provinsi, maka Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya harus ada perwakilannya. Termasuk juga mengajak pihak lainnya seperti LSM, masyarakat setempat, perguruan tinggi serta perusahaan untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa. []

read more
Pejuang Lingkungan

Ian Singleton, Penjaga Orangutan Aceh

Bagi anda yang terlibat dalam dunia konservasi Orangutan, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Pria asal Inggris yang lahir pada tahun 1966 sejak usia muda sudah mendedikasikan dirinya melestarikan Orangutan. Ian Singleton namanya, awal berkenalan dengan Orangutan ketika ia bekerja di Kebun Binatang Jersey pada tahun 1989 sebagai penjaga Orangutan. Penyandang gelar BSc (hons) Ilmu Lingkungan ini memang menyukai bekerja bersama hewan liar.

Awal ia “terdampar” di Indonesia adalah saat Ian mengambil liburan ke Indonesia untuk belajar tentang orangutan di alam liar dan akhirnya mengembangkan rencana PhD. Ia memulai risetnya pada tahun 1996 di Aceh Selatan dan menyelesaikan studinya akhir tahun 2000. “Saya kemudian mendekati Regina Frey dan PanEco karena saya tahu mereka baru memulai proyek konservasi Orangutan di sini dan saya dipekerjakan untuk membantu mengaturnya”ujar Ian. Disertasi PhD nya tentang perilaku Orangutan Sumatera dan pergerakan musiman di hutan rawa.

Pria ini sekarang menjabat Direktur Konservasi di lembaga konservasi internasional Yayasan PanEco. Pekerjaan utamanya adalah mengawasi dan mengarahkan semua aspek Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP). ” Ini melibatkan banyak pekerjaan kantor dan pertemuan tetapi saya juga masih sering pergi ke hutan dan melakukan langsung sejumlah pekerjaan dengan tangan saya sendiri. Namun, semakin banyak pekerjaan manajemen seperti membuat proposal, penggalangan dana, laporan, masalah staf, melobi, rapat, mengembangkan proyek baru, dll.

Ian Singletan cukup bebas untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan dan masih bisa pergi ke hutan setiap saat dan mengembalikan Orangutan ke alam liar. Ian juga senang merawat Orangutan yang sakit agar kembali sehat dan dapat dilepasliarkan ke alam bebas.

Sumber: www.orangutan.org.au

read more
Ragam

Masyarakat Berdaya, Rawa Tripa pun Lestari

Hutan gambut Rawa Tripa, sebuah kawasan yang terletak bersilangan antara Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Hutan ini masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang membentang mulai dari wilayah tengah Aceh, Pantai Timur, Pantai Barat dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Memiliki luas sekitar ± 61.803 hektar.

Rawa Tripa adalah salah satu dari 3 kawasan gambut pantai yang sangat penting yang ada di Aceh, yang dua lainnya adalah Rawa Kluet (18.000 ha), dan Rawa Singkil (100.000 ha). Ketiga lokasi hutan gambut dataran rendah ini  telah lama mengalami kerusakan karena dirambah oleh berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak puluhan tahun lalu.

Hampir 50 persen daerah Rawa Tripa  telah mengalami deforestasi karena pembukaan perkebunan dan pembuatan kanal untuk mengeringkan rawa gambut. Kerusakan ini menyebabkan berbagai satwa langka seperti Orangutan kehilangan habitat yang paling ideal dan terancam punah. Karena pembukaan lahan rawa Tripa ini penduduk yang tinggal di sekitarnya yang sering tertimpa bencana banjir di musim hujan dan mengalami kekeringan yang parah dimusim kemarau.

Ancaman terbesar yang dihadapi oleh Kawasan Rawa Gambut Tripa adalah terjadinya penurunan permukaan gambut secara perlahan-lahan menurun dan akan semakin tenggelam dimasa mendatang. Dapat dipastikan nasib hutan gambut Rawa Tripa akan punah tanpa ada tindakan nyata oleh semua pemangku kepentingan khususnya pemerintah Aceh untuk mencegah dan membatalkan konsesi yang telah diberikan kepada perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Penyelamatan hutan gambut Rawa Tripa memasuki babak baru tahun 2012. Dari segi advokasi,  kampanye penyelamatan Rawa Tripa dilakukan secara intensif oleh Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) yang dipimpin oleh WALHI Aceh. Kampanye ini mendapat dukungan internasional secara luas. TKPRT telah berkali-kali mendesak pemerintah, baik pusat maupun provinsi Aceh, untuk menyelesaikan permasalahan rawa gambut Tripa dan masalah lingkungan yang semakin memburuk di kawasan ini.

Salah satu pencapaian TKPRT adalah dicabutnya Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT. Kallista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha. Izin perkebunan yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa ini dicabut oleh Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah setelah sebelumnya TKPRT memasukan gugatan di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pencabutan izin tersebut diikuti dengan gugatan hukum perdata dan pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia terhadap perusahaan terkait kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan akibat pembakaran lahan.

Pemberdayaan Masyarakat
Selain melaksanakan advokasi, pemberdayaan masyarakat sekitar Rawa Tripa dan konservasi hutan harus tetap dilaksanakan. Salah satu lembaga yaitu Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melakukan pendampingan terhadap masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa sejak tahun 2008 melalui program-program pemberdayaan masyarakat dan konservasi hutan. YEL yang berdiri awal tahun 2000, merupakan lembaga yang fokus pada isu-isu lingkungan dan pengembangan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar daerah konservasi. YEL memiliki kantor utama di Medan dan kantor-kantor lapangan dimana proyek mereka sedang berjalan dewasa ini.

Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), T. Muhammad Zulfikar kepada Greenjournalist menyampaikan, pada tahun 2012, YEL dengan dukungan program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa.  “ Tahap awal program ini mengembangkan bibit secara partisipatif bersama masyarakat setempat untuk rehabilitasi kawasan rawa yang terdegradasi,” kata T. Muhammad Zulfikar.
**
TFCA adalah proyek pengalihan utang untuk lingkungan (debt for nature swap) Pemerintah Amerika Serikat yang ditujukan kepada negara yang memiliki hutan hujan tropis dan utang kepada Amerika Serikat. Hutan hujan tropis dipilih dikarenakan hutan ini mampu menampung bermacam-macam makhluk hidup didalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan serta mengurangi gas karbon dan mengatur siklus hidrologi. Penggunaan dana ini untuk rehabilitasi Rawa Gambut Tripa akan sangat menguntungkan.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 30 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia.
**

YEL sedang mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan Rawa Tripa, yang merupakan bagian dari program besar untuk merehabilitasi dan melindungi kawasan tersebut. Belajar dari pengalaman panjang, banyak proyek-proyek konservasi yang sangat strategis dari bantuan asing yang tidak berkelanjutan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat lokal.

Masyarakat yang merupakan aktor utama dalam pelestarian hutan harus diberdayakan agar mereka tidak melakukan kegiatan mencari nafkah yang merusak hutan, kata T. Muhammad Zulfikar. Selama ada kecenderungan lembaga-lembaga konservasi hanya fokus pada flora dan fauna saja, sehingga masyarakat sekitar hutan terabaikan, sambung alumni Pascasarjana Konservasi dan Sumber Daya Lahan Unsyiah ini.

T. Muhammad Zulfikar mengatakan rehabilitasi kembali kawasan Rawa Tripa yang rusak perlu segera dilakukan. “ Jikapun nantinya wilayah ini menjadi wilayah lindung maupun konservasi, tentunya akses masyarakat untuk mengelolanya tentunya tetap terbuka,” ujarnya. Namun kegiatan ekonomi untuk daerah tertentu yang secara ekologi sangat sensitif di kawasan Rawa Tripa sebaiknya diterapkan prinsip kehati-hatian. Itulah sebabnya studi yang lebih komprehensif sangat perlu dilakukan di kawasan ini.

Hal ini sejalan dengan niat Pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim, maka selayaknya hutan Gambut Rawa Tripa dikembalikan seperti fungsi semula. “ Untuk itu mari kita tunggu langkah konkrit Pemerintah melalui lembaga yang menangani isu perubahan iklim dan juga Pemerintah Daerah baik di Provinsi Aceh maupun di Kabupaten Nagan Raya dan Abdya, ucap T. Muhammad Zulfikar. **

Koordinator Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat, TFCA, Rahmadani, kepada Greenjournalist bercerita banyak tentang program pemberdayaan yang dilaksanakannya bersama masyarakat.

Rahmadani yang biasa dipanggil Dani menjelaskan ada tiga program utama YEL di Rawa Tripa, sejak pertengahan April 2012. “ Tiga program itu yang pertama kampanye Lingkungan, kemudian pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan gambut Rawa Tripa dan yang terakhir survey Biodiversity hutan gambut Rawa Tripa,” ujar Dani.

Penelitian tentang biodiversity hutan gambut Rawa Tripa mencakup survey kedalaman gambut, menghitung stok karbon, vegetasi tanaman, pencemaran dan sebagainya. Juga dilakukan survey populasi Orangutan yang rencananya akan dilakukan awal tahun 2014. Hasil penelitian ini akan dimasukan ke dalam jurnal internasional sehingga bisa dibaca banyak pihak terutama komunitas internasional.

Namun tantangan penelitian ini juga sangat besar. Banyak titik-titik survey yang berada dalam lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan perkebunan sehingga untuk masuk ke dalamnya wajib mendapatkan izin terlebih dahulu. Perusahaan-perusahaan yang lahannya menjadi lokasi penelitian biasanya enggan memberikan izin masuk kepada peneliti.

Dalam melakukan pengembangan ekonomi masyarakat, mereka membuat program pembibitan dengan mengembangkan berbagai bibit tanaman lokal, meliputi tanaman kayu dan buah buahan yang biasa dijumpai di kawasan rawa. Masyarakat tidak diberikan bibit yang sudah jadi tetapi mereka diajarkan cara melakukan pembibitan sendiri seperti cara melakukan okulasi, pencangkokan, stek dan sebagainya. Ini merupakan proses alih pengetahuan.

Pembibitan yang sudah berhasil antara lain pembibitan tanaman seperti Jabon, Sengon dan pohon-pohon lain untuk rehabilitasi hutan. Selain itu juga dilakukan pembibitan tanaman yang bernilai ekonomis seperti pohon rambutan, durian dan sebagainya. “ Lebih kurang 9000 bibit sudah disebarkan kepada masyarakat,” kata Dani.

Setelah bibit-bibit ini siap tanam maka bibit segera didistribusikan ke masyarakat. Untuk tanaman hutan seperti jabon dilakukan penanaman pada lahan kritis. Sedangkan pohon rambutan dan durian ditanam dalam kebun milik masyarakat.

Jika pohon-pohon tersebut tumbuh dengan baik maka dalam jangka waktu lima tahun diharapkan masyarakat sudah dapat memetik hasilnya. Pemberian bibit tanaman pohon dilaksanakan di daerah Kecamatan Babah Rot, Kabupaten Aceh Barat Daya.

Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL
Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL

Selain pemberian bantuan bibit, Dani mengatakan program TFCA di Rawa Tripa juga membantu masyarakat melakukan budidaya ikan lele. Pada awalnya sekitar 15 kolam yang masing-masing berukuran 3 x 6 meter dengan kedalaman 1,2 meter, diberikan kepada masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 8 orang. Kini jumlah kolam sudah berkembang menjadi 27 kolam setelah berhasil melaksanakan panen beberapa kali.

Setiap kolam ditaburkan 3000 benih ikan yang merupakan bantuan dari Balai Benih Ikan setempat. Masyarakat juga diajarkan cara pemijahan ikan atau membuat benih ikan. Bantuan benih ikan diberikan kepada masyarakat di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

Demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggir hutan Rawa Tripa melalui pemberdayaan ekonomi, selain dua program bantuan di atas juga dibagikan bantuan kambing, bebek petelur dan ayam potong. Warga dari dua kecamatan di atas mendapat bantuan tersebut.

Siapa yang layak menerima bantuan ini ? Dani menjawab penerima bantuan adalah masyarakat yang telah menjadi kader lingkungan dan dibina oleh YEL. Kader ini diharapkan turut menjaga kelestarian lingkungan hidup hutan gambut Rawa Tripa.  Program ini berjalan bukannya tanpa tantangan. Keterbatasan alokasi dana dan jumlah masyarakat pinggir hutan membutuhkan bantuan jauh lebih banyak dari jumlah bantuan tersedia menjadi tantangan utama pelaksanaan program. Banyak penduduk yang bertanya-tanya, “Mengapa kami tidak dapat bantuan sedangkan yang lain dapat?”, Dani menceritakan.

Menurut Dani tidak semua bantuan pemberdayaan ekonomi yang diterima masyarakat berjalan sukses. Misalnya saja ada panen ikan lele yang gagal dan ada juga sistem pengelolaan yang kurang terbuka membuat munculnya rasa tidak percaya dalam anggota kelompok. Namun Dani memperkirakan sekitar 80 persen bantuan yang mereka berikan berkembang baik.

Sementara ini YEL masih berperan  menjadi penggerak dan pemberi semangat namun realisasinya semuanya terletak di pundak masyarakat yang melanjutkan program. Program yang akan berakhir pada April 2015 ini selalu dimonitor dan dievaluasi oleh donor setiap enam bulan sekali untuk mengecek dan membandingkan antara laporan dan fakta lapangan. Namun donor berjanji akan memperpanjang program ini untuk beberapa daerah selama dua tahun jika hasilnya memuaskan.**

Salah satu peneriman bantuan yang sempat dihubungi GreenJournalist adalah Nurdin, warga kampung Blang Luah Kecamatan Darul Makmur. Saat diwawancarai, ia hendak menjual ikan lele hasil panen dari kolam bantuan. Lele yang mereka pelihara adalah lele jenis Sangkuriang. Ia juga mendapat bantuan itik yang baru berusia 1,5 bulan.

Nurdin menceritakan kelompoknya mengelola lima kolam ikan dan mendapatkan bantuan itik sebanyak 100 ekor. Selama ini mereka telah tiga kali melakukan panen ikan dan hasil yang diperoleh terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat panen pertama, mereka meraup sekitar 97 kg ikan lele dari satu kolam. Pada panen kedua  hasilnya sedikit menurun, diperoleh 184 kg ikan lele dari satu kolam dan ketika panen ketiga diperoleh hasil yang memuaskan yaitu sekitar 150 kg/kolam.

“ Untung dari penjualan ikan kami bagai ke anggota kelompok setelah dipotong modal untuk usaha lagi,” kata Nurdin. Nurdin juga mendapat bantuan bibit pohon seperti pohon mahoni, jabon, durian dan rambutan. Semua bibit ini sudah ditanamnya di kebun dan ia pun rutin melakukan perawatan di tanamannya. Nurdin menyampaikan program bantuan yang dilakukan YEL berjalan dengan transparan. “ Tidak ada istilah balas budi atau apa-apa dibelakangnya,” ujar Nurdin. Namun ia tidak menampik bisa saja ada oknum yang membonceng program ini untuk popularitas.

Sudah dua tahun program ini berjalan dan dirasakan manfaatnya. Nurdin mengakui bantuan-bantuan pemberdayaan ekonomi yang ia dan warga desa terima telah memberikan kemajuan ekonomi walaupun belum begitu banyak. Ia berharap, YEL dapat terus membantu masyarakat ke depannya.

Rahmadani mengharapkan dampak dari program ini dapat meningkatkan kemandirian masyarakat penerima manfaat. Program ini ingin menyampaikan kepada masyarakat pinggiran hutan gambut Rawa Tripa bahwa mereka tidak perlu menanam sawit di lahan gambut karena masih banyak usaha alternatif yang sangat ekonomis untuk meningkatkan pendapatan. Percontohan kegiatan ekonomi alternatif harus terus disosialisasikan. Memang ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi harus terus dicoba.[]

read more
1 3 4 5
Page 5 of 5