close

YEL

Green StyleRagam

Peluang dan Tantangan Ekowisata di Hutan Leuser

Di tepi Taman Nasional Leuser, Desa Tanganan menawarkan hari-hari yang dihabiskan untuk melakukan hiking, melihat harimau liar, badak, gajah, dan orangutan; mandi di air terjun; dan makan dengan menu rumahan bersama keluarga setempat sambil menikmati pemandangan sekitar.

Di sisi lain, penduduk desa mendapatkan manfaat dari sejumlah kegiatan yang menghasilkan pendapatan – homestay, layanan pemandu, makanan, transportasi – yang tidak hanya membantu mereka menjaga kawasan hutan tetap subur dan hijau, dimana mereka juga bergantung padanya.

Desa Tanganan adalah salah satu desa di sekitar hutan Indonesia yang mendapat manfaat dari kegiatan ekowisata yang terus berkembang di dunia ini. Turis-turis yang tertarik pada petualangan yang personal, budaya, dan berorientasi alam, menyukai petualangan ‘hijau’ ketika tiba saatnya merencanakan liburan.

Ekowisata di Hutan Indonesia
Di Indonesia, lebih dari 6.000 desa berada di dalam atau di sekitar kawasan lindung yang siap untuk peluang ekowisata, kata Direktur Jenderal Konservasi dan Ekosistem Alam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Wiratno.

“Keanekaragaman hayati adalah tulang punggung pariwisata, dan pariwisata menikmati keanekaragaman hayati,” kata peneliti di Kehutanan dan Penelitian, Pengembangan, dan Badan Inovasi (FOERDIA), Asep Hidayat di kementerian yang sama.

Mendidik penduduk setempat tentang keanekaragaman hayati di bentang alam mereka – hingga ke mikroorganisme asli – adalah kunci, jika penduduk ingin mengambil keputusan yang membantu mempertahankan ekologi mereka dan manfaat pariwisata dalam jangka panjang.

Pada gilirannya, mereka dapat membantu pengunjung sepenuhnya merasakan dan menyebarkan berita tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi. Memiliki daya tarik ekowisata adalah satu hal tetapi membawa turis – dan uang – adalah hal lain.

Direktur Komunikasi, Penjangkauan, dan Keterlibatan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), John Colmey, mengatakan bahwa metode tradisional seperti dari mulut ke mulut, iklan, dan yang menjangkau kelompok-kelompok konservasi serta jaringan perjalanan yang berkelanjutan masih berdampak pada kegiatan ekowisata.
Namun, John menekankan bahwa di era media sosial, memiliki informasi online yang aktif dan menarik adalah cara tercepat untuk perusahaan ekowisata mendapatkan para pelancong.

Sedangkan untuk umpan media sosial, Manajer Keberlanjutan di Grup Intrepid, Robyn Nixon, operator tur petualangan terbesar di dunia, mengatakan bahwa ekowisata menemukan interaksi pribadi dengan komunitas sebagai bagian yang paling mengesankan dari perjalanan mereka.

“Untuk membangun infrastruktur untuk ekowisata, berinvestasi pada orang dan masyarakat,” saran Nixon.
Untuk menjangkau komunitas-komunitas ini, Nixon mengatakan operator tur perlu melakukan pekerjaan rumah mereka. Ini berarti menemukan LSM yang bekerja dengan komunitas lokal; terlibat dengan para pemangku kepentingan politik di tingkat subnasional; memastikan masyarakat mempertahankan penguasaan lahan mereka; dan berinvestasi dalam infrastruktur dan pelatihan di lapangan untuk pemandu wisata, koki, transportasi, kerajinan tangan dan sejenisnya.

Direktur Program untuk Aksi Pelestarian Hutan Tropis Sumatra, Samedi, mencatat bahwa ekowisata dapat menjadi alternatif ekonomi untuk mencegah deforestasi dan pemanenan sumber daya alam. Tetapi seperti Nixon, Samedi mengatakan bahwa semua pemangku kepentingan, dari LSM lokal hingga kemitraan publik-swasta, harus bekerja menuju tujuan bersama.

“Kita semua sepakat orang lokal adalah penting karena kita harus membangun kapasitas dan kesiapan untuk menerima pengunjung asing, dan itu dapat mengubah perilaku orang-orang,” katanya.

Pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi terkemuka di Indonesia, dengan Kementerian Pariwisata yang menargetkan 20 juta pengunjung pada tahun 2019. Kementerian juga mencari cara meningkatkan jumlah homestay di seluruh negeri, yang akan membuka tujuan baru di luar Bali.

Namun, Wiratno mencatat bahwa keberlanjutan kawasan lindung adalah masalah lain. “Ekowisata di kawasan lindung tidak dapat memenuhi harapan Kementerian Pariwisata,” katanya. “Harus ada kuota.”

Dengan kata lain, ketika orang banyak datang dan uang mengikuti, para pemimpin pariwisata perlu memikirkan masa depan tanah dan orang-orang yang terlibat.

Secara umum, Nixon menganggap kapasitas manajemen akan segera menjadi masalah global karena semakin banyak wisatawan – terutama mengingat pasar perjalanan China dan India yang sedang tumbuh – mulai memilih usaha ekowisata dan situs kecil yang secara signifikan semakin populer.

Pengunjung di situs tertentu dapat dibatasi setiap hari atau setiap tahun, dan itu akan menjadi tindakan sulit yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat, Nixon menambahkan.

“Turisme berlebihan menghancurkan budaya,” katanya, lebih lanjut memperingatkan, “dan keserakahan akan menghancurkan hal yang membuat tempat-tempat yang layak dikunjungi.”

“Ekowisata adalah pasar kecil, tetapi itu akan tumbuh,” kata Colmey.

Sumber : forestsnews.cifor.org

read more
Flora FaunaHutan

Irmelin dan Agan Akhirnya kembali ke Habitatnya

Banda Aceh – Pada hari Selasa (08/05/2018), Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) kembali mengirim dua Orangutan Sumatra ke Pusat Reintroduksi Orangutan di Jantho, Aceh. Mereka adalah Irmelin dan Agan.

Irmelin merupakan orangutan betina muda berusia sekitar 5 tahun, dan Agan orangutan jantan muda berumur sekitar 7 tahun. Keduanya dulu dipelihara sebagai satwa peliharaan ilegal sebelum disita pada tahun 2016. Mereka kemudian dirawat di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan SOCP di Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara.
Hari ini mereka akan memulai fase baru dalam proses rehabilitasi dan reintroduksi, dan nanti akan dilepaskan sepenuhnya ke alam liar.

“Ini selalu merupakan momen yang sangat istimewa ketika orangutan ini lulus dari Pusat Karantina dan Rehabilitasi kami, kemudian melanjutkan ke tahap berikutnya untuk proses reintroduksi,” ungkap Dr. Ian Singleton, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera.

“Sangat menyenangkan melihat perkembangan mereka sejauh ini, apalagi mengingat beberapa dari mereka tiba pertama kali dalam kondisi yang menyedihkan. Kini kita akan melihat mereka kembali hidup bebas di hutan,” tambah Ian.

Kedua orangutan ini akan bergabung dengan banyak orangutan lainnya yang telah direintroduksi sebelumnya ke Cagar Alam Hutan Pinus Jantho, Aceh. Hingga saat ini, 105 individu orangutan telah dilepasliarkan di sana. Hal ini sesuai dengan misi SOCP yang secara bertahap ingin membentuk populasi baru orangutan yang hidup liar dan mandiri.

“Sebelum kami memulai kegiatan reintroduksi di Jantho, tidak ada populasi orangutan liar disana. Dengan melepaskan orangutan seperti Irmelin dan Agan, ini akan mendorong terciptanya populasi liar yang benar-benar baru dan mandiri dari spesies terancam punah ini,” Ujar Drh Citrakasih, Supervisor Pusat Karantina dan Reintroduksi Orangutan YEL-SOCP.

Bukti nyata bahwa keinginan menciptakan populasi baru dan mandiri orangutan ini berjalan dengan baik adalah dengan telah lahirnya dua bayi orangutan di hutan Jantho pada tahun 2017, dari induk orangutan yang sebelumnya dilepasliarkan di sana pada tahun 2011 lalu.

Pada September 2017, tim pemantauan orangutan pasca-pelepasliaran SOCP bertemu dengan satu orangutan betina dewasa bernama Marconi, membawa satu bayi jantan berusia sekitar 11 bulan, yang diberi nama Masen. Lalu hanya dalam beberapa minggu kemudian, pada November 2017, Orangutan Mongki juga terlihat sedang bersama bayi orangutan yang baru berumur beberapa minggu, yang kemudian diberi nama Mameh. Kedua induk baru ini telah dilepasliarkan di Jantho tahun 2012. “Kami sangat senang melihat dua bayi baru ini karena terlahir di alam liar, di habitat aslinya,” kata Mukhlisin, Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan SOCP di Jantho.

Sementara itu, Irmelin dan Agan akan terlebihi dahulu menjalani fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka, pengasuh baru mereka, serta jenis-jenis makanan baru yang mereka akan ketemu setelah lepas di dalam hutan. Ketika kemudian nanti dilepasliarkan sepenuhnya, mereka akan tetap dimonitor secara ketat oleh tim pemantau pasca pelepasliaran SOCP. Apabila semuanya berjalan dengan baik, dan mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di alam liar, dalam beberapa tahun kedepan mereka akan menghasilkan bayi mereka sendiri, dan akan menjadi bagian ‘pendiri’ populasi baru orangutan di Hutan Jantho.

Irmelin saat dipelihara illegal oleh masyarakat, sebelum disita oleh KSDA Aceh dan SOCP | Foto: Nanang Sujaya

“Sangat senang mengetahui bahwa orangutan yang sering dijadikan sebagai hewan peliharaan ilegal, yang tak jarang dalam kondisi menyedihkan, dapat pulih dari traumanya dan belajar menjadi orangutan liar lagi, bahkan dapat berkontribusi dalam jangka panjang untuk kelangsungan generasi spesies mereka berikutnya,“ menambah Dr Singleton.

Sapto Aji Prabowo, M. Si, Kepala Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, juga menjelaskan, “Hingga saat ini, kegiatan reintroduksi dan menciptakan populasi baru orangutan yang mandiri di Jantho sangat berhasil. Akan tetapi kami masih perlu menangani akar masalah di lapangan, fakta bahwa orangutan seperti Irmelin, Agan dan banyak yang orangutan lain yang masih ditangkap dan dipelihara secara ilegal sebagai hewan peliharaan.”

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh. [rel]

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan KEL Aceh Timur dan Tamiang, Menuju Kehancuran?

Banda Aceh – Hutan-hutan yang berada di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang serta dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menghadapi ancaman kehancuran. Berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut, mulai dari alih lahan fungsi lahan, ilegal logging, pembukaan pemukian, perambahan hutan, penangkapan hewan liar dan berbagai gangguan lain. Sementara itu fungsi-fungsi yang menjaga kelestarian hutan masih sangat lemah sehingga tidak berjalan semestinya.

Kurniawan S | Foto: P3KA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) menyampaikan hal tersebut diatas dalam kegiatan diseminasi hasil penelitian mereka yang bertajuk “Optimalisasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh Timur dan Aceh Tamiang”, Rabu (9/5/2018) di Banda Aceh. Sejumlah peneliti dari P3KA hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Kurniawan S, T. Muhammad Zulfikar, Muhammad Nizar, Bahagia, Fadila dan Munzami HS. Penelitian ini berlangsung semenjak pertengahan tahun 2017 yang dilaksanakan di dua kabupaten tersebut.

Adapun lokasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah desa-desa yang bersisian dengan hutan KEL. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat desa tersebut telah berinteraksi dengan KE selama jangka waktu yang lama. Selain itu banyak kasus yang menyangkut perusakan hutan terjadi di desa-desa tersebut.

Ketua P3KA yang juga peneliti, Kurniawan, menyampaikan pemaparannya tentang kondisi sosial budaya masyarakat di daerah yang berdekatan dengan KEL. Selain itu Kurniawan menyampaikan analisis berdasarkan aspek legal sosial yang menjadi landasan kebijakan kehutanan.

T. Muhammad Zulfikar | Foto: P3KA

Bertindak selaku moderator adalah T. Muhammad Zulfikar, yang dalam pengantarnya menyampaikan bahwa semua kecamatan yang berada diperbatasan KEL mengalami kegiatan perambahan hutan yang parah. Hal ini terjadi karena hutan telah menjadi sumber mata pencarian bagi penduduk sekitar. Masyarakat sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin tidak mempunya lahan produktif yang dapat mereka jadikan tempat mencari nafkah.

Hal lain yang menonjol hasil dari penelitian ini adalah posisi garis batas KEL yang banyak tidak diketahui baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan. Hal ini menyebabkan masyarakat masuk jauh ke dalam hutan dan tanpa sadar telah memasuki kawasan terlarang untuk kegiatan manusia. Aparat pemerintah juga kesulitan menjelaskan kepada masyarakat sejauh mana tapal batas KEL. Sosialisasi tapal batas KEL perlu mendapat perhatian khusus.

KEL memiliki luas sebesara 2.255.577 Ha yang mencakup 40% total luas Propinsi Aceh serta melintasi 13 kabupaten/ kota yang di Aceh. Menurut organisasi HAKA, kerusakan hutan dalam KEL pada tahun 2016 sebesar 4.097 Ha.

Menjadi tugas utama pemerintah dan dibantu oleh masyarakat untuk membenahi KEL yang ancaman kerusakannya sudah di depan mata. Membenahi lewat kebijakan yang pro lingkungan dan penganggaran yang memadai untuk pemantauan hutan Aceh.

 

 

 

 

 

 

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Penghasilan Petani Gayo Lues Meningkat Melalui Kerjasama Pengelolaan Hutan

Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mendukung upaya peningkatan mata pencaharian petani di Gayo Lues, salah satunya melalui pendampingan yang diberikan kepada petani kopi di empat desa yang terletak di dekat Taman Nasional Gunung Leuser. Lebih dari 650 petani di Desa Kenyaran, Suri Musara, Cane Baru dan Atu Kapur menerima bantuan dari program USAID LESTARI untuk meningkatkan praktik penanaman dan pengolahan kopi, serta pendampingan terkait proses permohonan izin perhutanan sosial dan pengelolaan lahan.

“Melalui USAID, Pemerintah Amerika Serikat bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk melestarikan hutan di Aceh serta berupaya membantu masyarakat setempat agar dapat mengelola sumber daya hutan dengan lebih baik. Bantuan yang kami berikan melalui USAID LESTARI, merupakan bukti bahwa konservasi hutan dan peningkatan mata pencaharian dapat berjalan selaras” ujar Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn dalam kunjungannya ke Desa Suri Musara. “Melalui program LESTARI, kami juga membantu memastikan bahwa pengelolaan hutan Aceh dilakukan secara berkelanjutan serta bermanfaat bagi generasi masa kini dan yang akan datang.”

Dalam mendukung upaya Pemerintah Indonesia yang menargetkan alokasi kawasan hutan untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar, USAID LESTARI membantu masyarakat setempat bekerja sama dengan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk memperkuat komitmen terhadap pengelolaan hutan kolaboratif. Pemerintah Kabupaten Gayo Lues sangat mendukung upaya ini,  terbukti dari partisipasi mereka saat mengikuti kegiatan studi banding ke Kabupaten Lampung Barat yang didukung USAID, untuk mempelajari teknik wanatani kopi berkelanjutan yang akan diterapkan di Gayo Lues.

Dalam kunjungan ini, Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn, juga akan mengikuti simulasi Patroli SMART (Spasial Monitoring and Reporting Tool) yang dapat meningkatkan efektivitas monitoring dan pengelolaan kawasan konservasi serta berdiskusi dengan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar yang selama ini telah bekerja untuk memitigasi konflik manusia dan satwa liar.

USAID LESTARI merupakan salah satu dari serangkaian inisiatif lingkungan yang didukung oleh USAID Indonesia, yang menunjukkan komitmen dan besarnya dukungan Kemitraan Strategis AS-Indonesia. Program ini mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove bernilai tinggi. Pemerintah AS telah mendukung upaya konservasi hutan di Indonesia dalam kemitraan dengan Pemerintah Indonesia melalui USAID LESTARI sejak tahun 2015.[rel]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Diduga Melanggar Kode Etik, YEL Minta MA Periksa Ketua PN Meulaboh

Banda Aceh – Kecaman terhadap putusan PN Meulaboh terus bergulir dimana sejumlah pihak menganggap putusan PN Meulaboh kontroversil. Salah satu pihak menyurati Mahkamah Agung (MA) agar memeriksa Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara adalah Yayasan Ekosistem Lestari atau YEL.

YEL menyurati MA agar melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik hakim terhadap tiga orang hakim anggota majelis perkara Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo yaitu Said Hasan, Ketua PN Meulaboh/Ketua majelis Perkara, Muhammad Tahir, Wakil Ketua PN Meulaboh, dan T. Latiful, Hakim Pratama dan Utama PN Meulaboh.

Selain itu YEL juga memohon kepada Ketua MA untuk memerintahkan Ketua PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap putusan Nomor 12/Pdt.G/2012/PN Mbo tanggal 8 Januari 2014 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor. 50/Pdt/2014/PT Bna tanggal 15 Agustus 2014 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 demi untuk tegaknya hukum Indonesia.

Dalam surat tersebut, YEL beragumen bahwa sejak putusan Kasasi PT Kalista Alam (PTKA) ditolak MA, PTKA harus melaksanakan putusan secara suka rela, akan tetapi PTKA tidak melaksanakannya. Karena PTKA tidak kunjung melaksanakan Putusan secara suka rela, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia mengirimkan surat Nomor S-103/PSLH/Gkm.1/11/2016 tentang permohonan pelaksanaan Eksekusi terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung, tertanggal 3 November 2016, kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Kemudian April 2017 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017, yang dalam amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT. Kalista Alam. Anehnya pasca keluarnya putusan kasasi MA Nomor. 1 PK/Pdt/2017, PT. Kalista Alam melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan tertanggal 20 Juli 2017 yang pada pokoknya mengabulkan permohonan perlindungan hukum PTKA. Padahal putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 adalah putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang kesemuanya memenangkan gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia terhadap PT. Kalista Alam.

Surat yang ditandatangani oleh Koordinator YEL Program Aceh, Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, M.P, ini menyatakan putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir) yang harus dilaksanakan, terlebih Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pihak yang dimenangkan dalam perkara telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan. “Maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi karenaa upaya hukum yang dapat ditempuh tidak ada lagi,”sebut Zulfikar.

Tidak dilaksanakannya eksekusi terhadap putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo memperlihat bahwa tidak adanya azas kepastian hukum.[rel]

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Orangutan Tapanuli yang Langka Terancam Punah oleh Megaproyek

Dalam sebuah artikel penelitian terbaru, tim peneliti internasional menyimpulkan bahwa Orangutan Tapanuli – spesies yang ditemukan tahun lalu di Sumatra, Indonesia, dan salah satu hewan paling langka di planet ini – dapat kehilangan perjuangannya untuk bertahan hidup, kecuali jika dilakukan langkah-langkah yang menentukan untuk menyelamatkannya.

“Selama empat puluh tahun penelitian, saya tidak berpikir saya akan melihat sesuatu yang dramatis ini,” kata Profesor William Laurance dari James Cook University di Australia, pemimpin tim peneliti.

“Ini hanya spesies ketujuh dari Kera Besar yang pernah ditemukan, dan itu bisa punah tepat di depan mata kita,” kata Profesor Jatna Supriatna dari Universitas Indonesia, salah satu penulis studi tersebut.

“Kurang dari 800 kera bertahan hidup, dan mereka terancam kepunahan akibat berbagai mega proyek, penggundulan hutan, pembangunan jalan, dan perburuan,” kata Dr Sean Sloan, penulis utama artikel dalam Journal Current Biology.

“Seluruh habitat mereka yang tersisa luar biasa kecil – kurang dari sepersepuluh ukuran Sydney, Australia,” kata Sloan.

Para peneliti mengatakan ancaman yang paling dekat adalah sebuah bendungan raksasa senilai $ 1,6 miliar yang direncanakan – proyek Batang Toru – yang akan dibangun oleh perusahaan milik negara Cina, Sinohydro, dan didanai oleh para pemodal China.

“Jika itu terjadi, bendungan akan membanjiri bagian penting habitat kera, seraya mencabut habitat yang tersisa dengan jalan dan jaringan listrik baru,” kata Supriatna.

Tim menemukan bahwa kera hanya bertahan di daerah-daerah yang hampir tidak memiliki jalan, yang membuka akses bagi pembalakan liar, penebangan, dan perburuan liar.

“Ini adalah ujian kritis bagi Cina dan Indonesia. Mereka mengatakan pembangunan berkelanjutan – tetapi kata-kata itu murah,” kata Laurance.

“Tanpa tindakan segera, ini bisa menjadi kiamat ekologis untuk salah satu kerabat terdekat kita.”[]

Sumber: www.eurekalert.org

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PN Meulaboh “Lawan” MA, Batalkan Hukuman PT Kallista Alam Milyaran Rupiah

Jakarta – PT Kallista Alam, pelaku pembakaran lahan gambut Tripa yang dikenal sebagai ‘Ibukota Orangutan Dunia’, dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, kini diberikan pengampunan oleh Pengadilan Negeri Meulaboh yang kini diprotes oleh pengamat lokal dan internasional.

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat, GeRAM, melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada hari Kamis (3/05/2018) di Jakarta. Pada sidang tanggal 13 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam
(PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Para pendemo meminta agar hakim Said Hasan, yang memimpin sidang gugatan antara PT KA melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diperiksa dan diskors karena secara kontroversial memberikan perlindungan hukum dan memutuskan tidak akan mengeksekusi denda yang harus dibayar oleh PT KA.

“Ada dugaan pelanggaran disini, dimana putusan Mahkamah Agung tidak dieksekusi selama bertahun-tahun oleh PN Meulaboh. Kami meminta badan pengawas Mahkamah Agung untuk turun dan memeriksa kasus ini,” kata Harli Muin, koordinator aksi.

Keputusan hakim ini mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya demo oleh GeRAM, sehari sebelumnya, Crisna Akbar dari Rumoh Transparansi mengadukan dugaan indikasi penyimpangan dalam eksekusi Putusan MA terhadap PT KA ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nomor pengaduan 96297
pada hari Rabu (2/05/2018). “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar,” ujar Crisna.

Pada 13 April lalu, Majelis Hakim yang dipimpin Said Hasan, Muhammad Tahir, anggota; T.Latiful, anggota, dalam Register Perkara Perkara No. 16/Pdt.G/Pn.Mbo menyatakan menerima Gugatan PT KA. Hakim beralasan bahwa bukti koordinat yang salah yang diberikan KLHK pada kasus sebelumnya menjadi alasan bagi hakim eksekusi putusan terhadap PT KA. Pada perkara ini, PT KA mengajukan gugatan terhadap KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh. Belum jelas apakah KLHK akan melakukan banding.

Penyelamatan Orangutan di Rawa Tripa | Foto: YEL

Hal ini berlawanan dengan putusan sebelumnya, dimana PN Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA untuk membayar denda sebesar Rp. 366 milyar yang terdiri dari Rp. 114,3 milyar sebagai kompensasi ke kas negara dan Rp. 251,7 milyar untuk merestorasi 1.000 hektar lahan gambut yang terbakar dan hancur. PT KA mengajukan banding pada tanggal 28 Agustus 2015 ke Mahkamah Agung, namun MA menolak banding dan memerintahkan perusahaan tersebut untuk tetap membayarkan denda.

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk  akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan
motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), yang juga menjadi saksi fakta dalam sidang melawan PT KA pada kasus sebelumnya.

“Keputusan Pengadilan Negeri Meulaboh bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa PT KA bersalah. Tentu saja ini menimbulkan preseden buruk untuk reputasi sistem hukum di Indonesia,” kata Dr Ian Singleton dari Sumatran Orangutan Conservation Programme. “Penetapan oleh MA tersebut membawa angin segar bagi hukum lingkungan di Indonesia, dan menjadi bukti bahwa negara ini komit untuk melawan perubahan iklim. Namun, jika semua itu bisa dengan mudah diubah oleh satu putusan kontroversial hakim PN, maka ini bisa menjadi kemunduran besar bagi hukum negeri ini,” Ian menyimpulkan.

Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, mengatakan, “Seharusnya PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap Putusan MA. PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap PT KA
dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo. Kami melihat ini merupakan hal yang aneh.”

“Seharusnya, tidak ada gugatan baru yang dapat membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan”, kata Fahmi. “Dan juga koordinat yang melenceng akibat salah seharusnya tidak menjadi dasar justifikasi kerugian akibat kebakaran lahan yang disebabkan oleh PT KA.”

Pada sidang pengadilan ke – 13 dalam perkara ini, pada tanggal 30 Maret 2018, saksi ahli KLHK, mantan Hakim Pengawas di Mahkamah Agung, Abdul Wahid Oscar, menyatakan, “Menurut pasal 66 ayat (2) UU No. 14/1985, Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung.
Kasus lingkungan bukan berorientasi pada lahan atau apakah izin ada atau tidak, tetapi fokus pada kerugian yang ditimbulkan.”

Lahan Gambut Rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh, dengan kedalaman mencapai 12 meter dan memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh. Jutaan ton karbon lepas ke atmosfer setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut. Seperti diketahui dari sejumlah Penelitian, Lahan gambut di Aceh diperkirakan menyerap karbon sebanyak 1200 ton per hektar. Selain fungsi menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, membantu sektor perikanan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.

T.M. Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), menambahkan, “Kami mengamati perkembangan di gambut Tripa semenjak kasus ini terangkat pada tahun 2012. Dari tahun 2013 hingga 2017, deforestasi hutan primer di Tripa mencapai 4.069 hektar, yang mana 60 hektar berada di dalam HGU PT Kalista Alam. Pada periode yang sama, jika dianalisis melalui VIRSS, layanan satelite pendeteksi titik api, ada 2.564 titik api di Tripa, yang mana 193 titik berada di dalam HGU PT KA. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sedang menjalani kasus hukum, PT KA tidak menghormati sistem hukum di Indonesia.”

Lain halnya dengan kasus pidana, hakim PN Meulaboh, dengan perkara No 131/Pid.B/2013/PN MBO dan 133/Pid.B/2013/PN MBO, telah menghukum Manager Pengembangan PT.KA, Khamidin Yoesoef, 3 tahun penjara yang sudah dijalani oleh terpidana. [rel]

 

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

DPR Aceh Akan Revisi Qanun RTRW untuk Selamatkan Hutan

BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2018 ini sudah memasukkan rencana revisi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW). Revisi direncanakan memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun tersebut.

Qanun RT-RW sudah disahkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2013 lalu. Setelah qanun ini disahkan mendapat sorotan dan kritikan bahkan qanun RT-RW sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dan Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM) tahun 2016 lalu.

Namun, perjuangan beberapa lembaga yang konsen terhadap lingkungan kandas di MK. Majelis hakim saat yang dipimpin oleh Agustinus Setia Wahyu Triwiranto didampingi hakim anggota Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya Patah menolak gugatan KEL yang tak masuk dalam RT-RW Aceh.

Putusan tersebut dibacakan tanggal 29 November 2016 lalu, majelis hakim menilai Qanun RT-RW Aceh tidak perlu menyebutkan secara eksplisit tentang KEL Aceh. Alasan lain majelis hakim, proses pembuatan qanun sudah dilakukan secara prosedur dan aturan yang ada. Sehingga Qanun tersebut tidak dibatalkan dan masih dipergunakan hingga saat ini.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai tidak masuknya KEL dalam qanun RT-RW Aceh sejak 2012-2018 sarat dengan kepentingan agar cukong dan mafia lebih mudah menguasai hutan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, SH menyebutkan, bila ingin terbuka, tidak masuknya nomenklatur KEL dalam qanun RT-RW Aceh telah membuat banyak kerugian materil. Diperkirakan sejak disahkan qanun tersebut kerugian materil bisa mencapai Rp 5 triliun lebih.

“Angka ini dilihat dari rasio kayu yang keluar, kemudian bentang alam yang rusak, konflik satwa, pertambangan ilegal, hingga banyak kerugian material,” kata Askhalani, Selasa (24/4) di Banda Aceh.

Menurutnya, dampak yang terjadi paska tidak masuknya KEL dalam Qanun RT-RW, perambahan hutan meningkat, penambangan ilegal terjadi hingga terjadi konflik satwa dengan manusia semakin sering terjadi. Kerugian negara akan lebih besar dibandingkan kalau pemerintah mau melakukan proteksi melalu regulasi.

“Suatu langkah maju dan luar biasa kalau DPRA hendak melakukan revisi RT-RW Aceh memasukkan nomenklatur KEL, ini bisa mencegah kerugian negara,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), KEL merupakan hutan tropis yang membentang di 13 kabupaten/kota di Aceh luas mencapai 2.255.577 Ha, mencakup 40 persen total luas Aceh berdasarkan SK Menhut No.190/Kpts-II/2001.

Paska disahkannya qanun RT-RW yang tidak memasukkan nomenklatur KEL telah berkontribusi terjadi deforestasi sejak 2014-2017 mencapai 31.117 hektar. Kemudian kembali meningkat sejak 2016-2017 mencapai 7.006 hektar.

Adapun laju deforestasi dalam KEL yang paling tinggi berada di Kabupaten Aceh Selatan. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Selatan 299,723 hektar, turun menjadi 297,904 hektar, ada mengalami kehilangan sebesar 1.819 hektar.

Peringkat kedua kehilangan hutan yang masuk dalam KEL yaitu Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Timur yang masuk KEL seluas 233.863 hektar, turun menjadi 232.635 pada tahun 2017, mengalami kehilangan hutan seluas 1.229 hektar.

Sedangkan kabupaten peringkat ketiga mengalami kehilangan hutan yaitu di Nagan Raya tahun 2016 luas hutan mencapai 128.357 hektar, turun pada tahun 2017 tersisa 127.375 hektar, atau susut 982 hektar. Gayo Lues hanya susut 660 hektar dari luas hutan tahun 2016 lalu 402.073 dan turun pada tahun 2017 tersisa 401.413 hektar.

Kondisi inilah yang kemudian banyak masyarakat sipil menaruh harapan besar agar nomenklatur KEL kembali dimasukkan dalam qanun RT-RW. Sehingga dengan adanya proteksi oleh pemerintah melalui regulasi, laju deforestasi, konflik satwa, perambahan hutan hingga ancaman banjir bisa dimininalisir.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah memasukkan revisi qanun RT-RW sejak awal 2018 menjadi qanun prioritas dibahas tahun ini. DPRA menilai, revisi qanun RT-RW sudah saatnya dilakukan, karena ada banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Aceh saat ini. DPRA menilai ada poin-poin penting yang harus direvisi dan ditambah nomenklatur lainnya seperti memasukkan KEL dalam qanun tersebut.

“Benar, revisi dari qanun Aceh, sudah kita prioritas tahun 2018. Perlu direvisi dengan perkembangan terkini sehingga 2018 qanun tersebut perlu kita lakukan revisi, ada poin-poin kalau kita lihat dengan kekinian Aceh,” kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin.

Katanya, bila dilihat ada sejumlah persoalan yang harus direvisi, seperti tapal batas, masalah KEL yang masih perlu dikaji lebih mendalam untuk dimasukkan dalam qanun, sehingga diharapkan qanun RT-RW bisa lebih sempurna nantinya.

“Sudah kita tunjuk tim pembahasnya, semoga nanti teman yang peduli dengan lingkungan bisa memberikan kontribusi yang lebih, kita harapkan melalui regulasi ini qanun akan bermanfaat untuk masyarakat,” tegasnya.

Selain revisi qanun RT-RW, Tgk Muharuddin juga menyebutkan ada memasukkan qanun inisiatif DPRA yaitu tentang qanun Perlindungan Satwa Liar di Aceh. Qanun tersebut saat ini juga sudah ditunjuk tim pembahasnya.

“Barang kali dikawal bersama-sama qanun ini, yang jelas sudah kita tetapkan dan sedang dibahas,” jelasnya.

Menurut Tgk Muharuddin, penting dibuat qanun Perlindungan Satwa Liar untuk melindungi satwa-satwa dilindungi itu dari kepunahan. Selama ini DPRA sudah sering menerima masukan dan informasi, perburuan satwa dilindungi masih marak terjadi, seperti memburu harimau, gajah dan sejumlah satwa lainnya.

Rencana revisi qanun RT-RW dan adanya qanun inisiatif DPRA tentang Perlindungan Satwa Liar di Aceh menjadi era baru untuk menyelamatkan khususnya KEL pada khususnya, hutan Aceh secara umum. Termasuk bisa mencegah terjadi konflik satwa, perdagangan satwa yang dilindungi hingga ancaman kepunahan dan bencana alam bisa terhindari.[]

 

read more
1 2 3 4 5
Page 4 of 5