close

YEL

Kebijakan Lingkungan

Kawasan Rawa Gambut Aceh Miliki Biodiversitas Sangat Tinggi

Banda Aceh – Dari semua kawasan ekosistem gambut di Aceh, Rawa Gambut Tripa-Babahrot menjadi fokus banyak pihak domestik dan internasional dikarenakan status kawasan ini berada pada tingkat ancaman kepunahan tertinggi dan masuk dalam salah satu dari 174 “Situs yang Tak Tergantikan di Dunia” (World’s Most Irreplaceable Places) berdasarkan kajian yang dilakukan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2013. Kawasan Ekosistem Gambut Rawa Tripa-Babah Rot sangat penting dalam konservasi keanekaragaman hayati secara global dan seluruh areal (lebih dari 60.000 Ha) berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang telah ditetapkan sebagai KSN dalam penataan ruang nasional.

Demikian sejumlah poin-poin penting yang disampaikan dalam acara penyusunan dokumen awal Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh yang berlangsung di Kyriad Muraya Hotel, Banda Aceh, Selasa (30/4/2019). Kegiatan ini sendiri diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh bekerjasama dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan TFCA Sumatera.

T. Muhammad Zulfikar dari YEL perwakilan Aceh menyatakan ekosistem gambut Aceh tersebar sepanjang pantai barat daratan pulau Sumatera dengan total luas berdasarkan data yang termuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor K.130/Menlhk/Setjen/Pkl.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, 339,282 Ha. Dari total luasan tersebut, 178,662 (53%) ditetapkan dengan fungsi lindung dan 160,622 Ha (47%) fungsi budidaya. Luas total 36 kesatuan hidrologis gambut atau KHG di Aceh kurang dari 10% luas total KHG di Pulau Sumatera, 4.985.913 Ha (lindung) dan 4.618.616 Ha (budidaya).

Peserta RPPEG | Foto: Ist

Peserta Workshop Penyusunan Dokumen RPPEG Aceh yang dilibatkan dalam kegiatan ini meliputi unsur Tim Penyusunan RPPEG Aceh, Dinas/Instansi Terkait ditingkat Pemerintah Pusat, Pemerintahan Provinsi Aceh, perguruan tinggi, pihak swasta serta lembaga non pemerintah/ organisasi non pemerintah, diperkirakan sebanyak + 55 orang peserta.

Kegiatan workshop ini menghadirkan pemateri antara lain Ir. Sri Parwati Murwani Budisusanti, M.Sc., Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Kementerian LHK RI dengan topik Kebijakan Nasional Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, kemudian mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Muhammad Daud yang berbicara tentang Tata Kelola Ekosistem Gambut Aceh, dan selanjutnya M. Yakob Ishadamy, Konsultan RPPEG Aceh YEL-TFCA Sumatera dengan materi Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh.

Walaupun luas bentang alamnya relatif kecil, namun kawasan rawa gambut di Aceh memiliki keunikan geografis dan memiliki keragaman hayati sangat tinggi. Semua unit ekosistem (36 KHG) di Aceh tersebar sepanjang Pantai Barat – Selatan yang terkonsentrasi dalam bentang alam rawa gambut Rawa Teunom-Arongan dan sekitarnya dalam wilayah Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat, Kawasan Rawa Tripa -Babah Rot dan sekitarnya dalam wilayah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Rawa Kluet dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan dan Rawa Trumon-Singkil dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Disamping terkonsentrasi dalam beberapa kawasan tersebut, beberapa KHG secara terpisah sepanjang pesisir Kabupaten Aceh Jaya sampai Kabupaten Aceh Singkil.

Dalam konteks ruang dan kebijakan, kawasan Rawa Gambut Teunom–Arongan berada diluar Kawasan Strategis Nasional (KSN) Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan hanya 4,042.0 Ha dari total luas 32,717.2 Ha yang ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut RTRW Aceh.

Kawasan Rawa Teunom-Arongan sebagian berada dalam wilayah KPH-IV Aceh dan sebagian lainnya berada dalam wilayah KPH-I Aceh. Hampir seluruh kawasan Rawa Trumon-Singkil berada dalam pengelolaan KPH konservasi SM Rawa Singkil yang overlap dengan wilayah KPH-VI Aceh. Sebagian besar Rawa Kluet berada dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser yang juga masih dalam wilayah KPH-6VI Aceh. Kawasan Rawa Tripa berada dalam wilayah KPH-V Aceh dan 11347,7 Ha dari total luas lebih dari 60,000.0 Ha, telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut

RTRW Aceh
Sebagai upaya harmonisasi dari kompleksitas pengelolaan diatas, diperlukan suatu rencana bersama yang melibatkan multipihak untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang berkelanjutan di Aceh. Upaya ini juga memuat strategi perlindungan dan pengelolaan yang mencegah penurunan kualitas dan kerusakan permanen ekosistem gambut. Sesuai mandat dari PP 71/2014 dan perubahannya dalam PP 57/2016, Pemerintah Aceh sedang menyusun RPPEG Aceh dengan membentuk Tim Penyusun dibawah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. RPPEG Aceh yang sedang disusun perlu melibatkan multipihak terkait dengan perlindungan dan pengelolaan gambut di Aceh, dan setelah melalui semua proses perumusan dokumen rencana, diharapkan nantinya ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Aceh.

Pelaksanaan kegiatan ini bermaksud untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan penyusunan dokumen RPPEG Aceh dan Rawa Tripa dalam wilayah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Dokumen RPPEG berisi analisis terhadap berbagai bentuk pengelolaan kawasan dan rekomendasi terhadap suatu bentuk pengelolaan yang ideal yang dirangkum dalam dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan pada tingkat provinsi dan khusus Rawa Tripa. Dokumen RPPEG yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh dan khususnya Rawa Tripa.

Kegiatan ini sebagai upaya perbaikan tata kelola kawasan ekosistem gambut dan perlindungannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Aceh. Pada saat bersamaan ingin merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mendorong lahirnya unit pengelola khusus dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh yang kompeten sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh & YEL Adakan FGD Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

Nagan Raya – Ekosistem gambut dalam wilayah Aceh tersebar sepanjang Pantai Barat Daratan Pulau Sumatera dengan total luas 339,282 Ha, ini berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor SK.130/Menlhk/Setjen/Pkl.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional. Dari total luasan tersebut, 178,662 (53%) ditetapkan dengan fungsi lindung dan 160,622 a (47%) fungsi budidaya. Luas total 36 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Aceh kurang dari 10% luas total KHG di Pulau Sumatera, 4.985.913 hHa (lindung) dan 4.618.616 ha (budidaya).

Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), T. Muhammad Zulfikar, kepada Greenjournalist, Jumat (26/04/2019) mengatakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Bekerjasama dengan YEL serta TFCA Sumatera saat ini sedang menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau RPPEG Aceh dengan membentuk Tim Penyusun dibawah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Penyusunan RPPEG Aceh melibatkan multipihak terkait dengan perlindungan dan pengelolaan gambut dan setelah melalui semua proses perumusan dokumen rencana, diharapkan nantinya ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Aceh,”ujar T.Muhammad Zulfikar.

Salah satu bentuk kegiatan dalam penyusunan RPPEG tersebut adalah melakukan Focus Group Discussion (FGD) di kabupaten yang memiliki areal gambut. Hari ini, Jumat (26/04/2019) FGD dilakukan di Hotel Grand Nagan, Kabupaten Nagan Raya.

Kegiatan diskusi terbatas penyusunan dokumen RPPEG Aceh di Nagan Raya diikuti oleh peserta sebanyak 17 orang yang mewakili instansi terkait pengelolaan lingkungan dan gambut, masyarakat serta Tim Penyusun RPPEG Aceh sebanyak 8 orang.

Yang menjadi narasumber adalah Kadis LHK Aceh, diwakili oleh Muhammad Daud, sementara Konsultan Tim Penyusunan RPPEG Aceh, M. Yakob Ishadamy.

Maksud kegiatan ini untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan penyusunan dokumen RPPEG Aceh. Dokumen RPPEG berisi analisis terhadap berbagai bentuk pengelolaan kawasan dan rekomendasi terhadap suatu bentuk pengelolaan yang ideal yang dirangkum dalam dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tingkat provinsi. Dokumen RPPEG ditetapkan dengan Peraturan Gubernur selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh.

Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan perumusan dokumen RPPEG Aceh sebagai upaya perbaikan tatakelola kawasan ekosistem gambut dan perlindungannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Aceh. Pada saat bersamaan ingin merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mendorong lahirnya unit pengelola khusus dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh yang kompeten sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.

T.M. Zulfikar mengatakan walaupun luas bentang alamnya relatif kecil, namun kawasan rawa gambut di Aceh memiliki keunikan geografis dan memiliki keragaman hayati sangat tinggi. Semua unit ekosistem (36 KHG) di Aceh tersebar sepanjang Pantai Barat – Selatan yang terkonsentrasi dalam bentang alam rawa gambut RawaTeunom-Arongan dan sekitarnya dalam wilayah Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat, Kawasan Rawa Tripa-Babah Rot dan sekitarnya dalam wilayah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Rawa Kluet dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan dan Rawa Trumon-Singkil dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Disamping terkonsentrasi dalam beberapa kawasan tersebut, beberapa KHG secara terpisah sepanjang pesisir Kabupaten Aceh Jaya sampai Kabupaten Aceh Singkil.

Dalam konteks ruang dan kebijakan, kawasan Rawa Gambut Teunom–Arongan berada diluar Kawasan Strategis Nasional (KSN) Kawasan Eosistem Leuser (KEL) dan hanya 4,042.0 ha dari total luas 32,717.2 Ha yang ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut RTRW Aceh. Kawasan Rawa Teunom-Arongan sebagian berada dalam wilayah KPH-4 Aceh dan sebagian lainnya berada dalam wilayah KPH-1 Aceh. Hampir seluruh kawasasan Rawa Trumon-Singkil berada dalam pengelolaan KPH konservasi SM Rawa Singkil yang overlap dengan wilayah KPH-6 Aceh.

Sebagian besar Rawa Kluet berada dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser yang juga masih dalam wilayah KPH-6 Aceh. Kawasan Rawa Tripa berada dalam wilayah KPH-5 Aceh dan 11347,7 Ha dari total luas lebih dari 60,000.0 Ha telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut RTRW Aceh.

Ekosistem Gambut Rawa Tripa seluruhnya berada dalam Kawasan Strategis Nasional (RTRW Nasional) Kawasan Ekosistem Leuser dan merupakan salah satu dari 174 “Situs yang Tak Tergantikan di Dunia” (World’s Most Irreplaceable Places) berdasarkan kajian International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2013.

Informasi diatas memberikan gambaran kompleksitas pengelolaan ekosistem gambut di Aceh saat ini dengan struktur kewenangan berbeda dan stakeholder yang beragam baik sektor publik, swasta maupun masyarakat. Sebagai upaya harmonisasi dari kompleksitas pengelolaan diatas, diperlukan suatu rencana bersama yang melibatkan multipihak untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang berkelanjutan di Aceh.

Selain di Nagan Raya, FGD yang sama juga sudah dilaksanakan di Tapaktuan Aceh Selatan pada tanggal 24 April 2019 lalu, pungkas T. Muhammad Zulfikar.

read more
Green Style

YEL Dukung Ekspor Sedotan Bambu Sumut ke Jepang

Deli Serdang – Penggunaan sedotan plastik yang kian mengancam bumi dan perairan global membuat Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) terinspirasi membuat sedotan dari bambu. Sejak diluncurkan tahun 2018 dan telah dipasarkan di sejumlah daerah di Indonesia, kini sedotan asal Sumut ini bakal mencicipi pasar Jepang. Karena akan diekspor ke Jepang pada Juli 2019.

Marketing Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) YEL, Arif Hasibuan, mengatakan, inisiatif pembuatan sedotan bambu karena YEL sudah banyak ‘bermain’ di bambu sejak 2007. Salah satunya pembangunan restoran bambu di Bukit Lawang.

“Salah satu daerah yang banyak sekali bambu-nya adalah Pancurbatu. Jadi kami berinisiatif untuk memanfaatkannya. Kami awalnya hanya ingin mencoba dan ternyata berhasil. Setelah itu memulai produksi dengan manual dan hasil sedotan bambunya juga masih belum sempurna,” katanya, di workshop yang terletak di OU Haven Pancurbatu, Deli Serdang, Selasa (9/4/2019).

Setelah beberapa kali dipamerkan ke masyarakat dan dijual secara online, terang Arif, akhirnya dia bertemu dengan beberapa klien dan salah satu-nya dari Jepang. Bahkan pembeli asal Jepang telah memesan 15.000 sedotan bambu.

Klien dari Jepang ini, kata Arif, merupakan pembeli kopi dari orangutan kopi. Sehingga dia meminta sedotan bambu dibranding dengan orangutan kopi.

“Jadi khusus pesanannya diberi logo orangutan kopi agar seragam karena pemesan memiliki kafe di sana,” katanya.

Tak hanya itu, kafe-kafe di Medan juga sudah ada yang mau beli, baik secara langsung atau juga melalui online. Dalam waktu dekat ini juga akan ditawarkan ke hotel-hotel di Medan.

Kapasitas produksi saat ini belum menentu. Tapi karena ada permintaan dari Jepang, jadi diusahakan dalam satu bulan bisa memproduksi sekitar 2.000 potong per bulan. Untuk harga jualnya sendiri, berbeda antara lokal dan ekspor.

Untuk lokal, sedotan bambu dibanderol dengan harga Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per piece sesuai ukuran. Sedangkan untuk ekspor sekitar Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per piece karena butuh tambahan branding.

Sementara untuk sikat pembersih sedotan, sampai saat ini masih bekerja sama dengan pihak ketiga. Tetapi ke depannya, pihaknya akan mencoba membuatnya di Bukit Lawang karena ada beberapa pengrajin yang bisa membuatnya.

Sedotan asal Sumut ini pun diproyeksikan bisa merambah pasar ekspor yang lebih luas. Seperti Jerman dan Inggris, sesuai dengan tujuan ekspor orangutan kopi.

Sumber: medanbisnisdaily.com

read more
Flora FaunaGreen Style

Nadya Hutagalung Luncurkan Biografi untuk Bantu YEL Selamatkan Orangutan

Jakarta – Model Nadya Hutagalung meluncurkan buku berjudul Walk with Me. Buku ini menjadi narasi personal Nadya dalam kehidupannya sebagai figur publik dan kampanyenya untuk berbagai isu lingkungan.

Hasil dari penjualan buku setebal 348 halaman ini akan didonasikan ke Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), organisasi nirlaba yang fokus pada isu-isu lingkungan dan pengembangan masyarakat, terutama mereka yang tinggal berdekatan dengan kawasan konservasi orangutan di Sumatera.

Nadya Hutagalung mulai bekerja untuk membuat buku ini sejak 2015. Ia ingin menceritakan perjalanan kariernya selama lebih dari 30 tahun. Wanita berusia 44 tahun ini menceritakan awal masuk ke dunia model hingga keterlibatannya dalam aktivitas di dunia lingkungan. Nadya tidak memiliki pesan khusus yang ingin disampaikan melalui buku ini.

“Secara garis besar menurut saya sangat penting untuk mengerti bagaimana semua makhluk hidup bisa bersatu. Kita semua tinggal di planet yang sama dan kita harus kerja sama,” tutur Nadya di Jakarta, Jumat, (7/12/2018).

Dalam buku ini, Nadya juga menunjukkan orang-orang yang memiliki peran penting dalam hidupnya. Walaupun dikenal sebagai sosok yang menjaga kehidupan pribadinya, pembaca bisa melihat hubungan Nadya dengan suaminya, Desmond Koh, dan anak-anaknya, Tyrone, Fynn, Nyla.

Nadya juga menunjukkan hubungannya dengan ibu dan ayahnya, Ricky Hutagalung dan Dianne Thompson, serta bersama beberapa teman dekatnya. Dalam buku ini, Nadya menunjukkan foto wajah anak-anaknya ke publik untuk pertama kalinya.

“Saya hanya ingin menunjukkan paket lengkap, ini kehidupan saya. Mereka adalah bagian penting dari kehidupan saya,” kata Nadya.

Bukan hanya mengenai karier dan keluarga, Nadya juga menggambarkan perjalanan hidupnya melalui karya fotografi Davy Linggar. Mereka pergi ke berbagai tempat yang memiliki makna penting untuk Nadya, termasuk Jakarta, Ubud, Singapura, Medan, Nepal, dan Kenya. Melalui foto-foto ini, Nadya juga mendiskusikan beberapa isu preservasi lingkungan dan konservasi satwa yang menjadi fokus dari tugasnya sebagai UN Environment Goodwill Ambassador.

Buku ini diformat sebagai coffee table book, dengan ukuran yang cukup besar dan sampul keras. Buku dijual dengan harga Rp 1,75 juta dan hanya dijual di The Papilion Duo di Indonesia. Dia bekerja sama dengan Didit Hediprasetyo sebagai direktur kreatif, Winda Malika Siregar sebagai direktur editorial, dan Boedi Basoeki sebagai penerbit.[]

Sumber: tempo.co


read more
Flora Fauna

YEL Telah Lepasliarkan 109 Orangutan ke Hutan Jantho

Salah satu bukti nyata bahwa proses reintroduksi dalam membentuk populasi baru dan mandiri orangutan di Jantho berjalan dengan baik adalah dengan ditemukan kelahiran dua bayi orangutan di hutan Jantho pada tahun 2017 dari induk orangutan yang dilepasliarkan pada tahun 2011 lalu.

Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP), Ian Singleton mengatakan, hingga saat ini 109 individu orangutan telah dilepasliarkan ke Cagar Alam Hutan Pinus Jantho. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk membentuk populasi baru orangutan yang hidup liar dan mandiri.

“Momen yang sangat istimewa ketika orangutan ini lulus dari Pusat Karantina dan Rehabilitasi orangutan kami, mengingat beberapa dari mereka tiba pertama kali dalam kondisi yang menyedihkan. Kemudian melanjutkan ke tahap berikutnya untuk proses reintroduksi,” kata Ian, sebagaimana dikutip dari Analisa, Kamis (15/11/2018).

Supervisor Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL-SOCP), Drh Citrakasih menjelaskan, sebelum memulai kegiatan reintroduksi di Jantho, tidak ada populasi orangutan liar di sana. Dengan melepaskan orangutan seperti Leo dan kawan-kawannya, akan mendorong terciptanya populasi liar yang benar-benar baru dan mandiri dari spesies sangat terancam punah ini.

Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan SOCP di Jantho, Mukhlisin menambahkan, pihaknya sangat senang mengetahui orangutan yang sering dijadikan sebagai satwa peliharaan ilegal, yang tak jarang dalam kondisi memprihatinkan, dapat pulih dari traumanya, dan belajar menjadi orangutan liar lagi.

Pelepasliaran Empat Orangutan
Empat Orangutan Sumatera bernama Leo, Ully, Cut Luwes dan Aruna dikirim YEL melalui Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) ke Pusat Reintroduksi Orangutan di Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Setiba di Jantho, Leo, Ully, Cut Luwes, dan Aruna akan terlebih dahulu menjalani fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan pengasuh baru mereka, serta jenis-jenis makanan baru yang akan mereka temukan setelah lepas di dalam hutan.

Setelah nanti dilepasliarkan sepenuhnya, mereka akan tetap dimonitor secara ketat pasca pelepasliaran oleh tim pemantau SOCP. Apabila semuanya berjalan dengan baik, dan mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di alam liar, dalam beberapa tahun kedepan mereka akan menghasilkan bayi mereka sendiri, dan akan menjadi bagian dari ‘pendiri’ populasi baru orangutan di Hutan Jantho.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebut, hingga saat ini kegiatan reintroduksi dan menciptakan populasi baru orangutan yang mandiri di Jantho sangat berhasil. Akan tetapi pihaknya masih perlu menangani akar masalah di lapangan, dengan fakta bahwa orangutan seperti Leo, Aruna, Cut Luwes, Ully, dan banyak orangutan lain masih ditangkap dan dipelihara secara ilegal sebagai hewan peliharaan.

 

 

read more
Flora Fauna

Menjelajahi Hutan Batangtoru, Habitat Orang Utan Tapanuli

Orang Utan Tapanuli sempat menjadi primadona tahun lalu. November 2017, para peneliti mengumumkan satwa yang mempunyai nama ilimiah Pongo Tapanuliensis itu sebagai spesies baru di Sumatera Utara. Sayangnya, bersamaan dengan pengumumuman itu, Orang Utan Tapanuli justru terancam punah.

Mencari keberadaan Orang Utan Tapanuli memang tidak gampang. Beruntung saya punya kesempatan untuk menelusuri habitat spesies langkah itu. Jujur saja, rasa antusiasme saya membuncah.

Habitat Orang Utan Tapanuli berada di Harangan Batangtoru. Dalam Bahasa Batak, harangan artinya hutan. Selama ini rimbunnya Harangan Batangtoru memang masih menyimpan beribu tanya. Tak sedikit yang menanyakan bagaimana satwa penghuni hutan itu bisa bertahan di tengah gempuran industri.

Saya memulai perjalanan panjang ini pada 18 September lalu. Dari Bandara Kualanamu, saya terbang ke Tapanuli Tengah. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit dengan pesawat. Kalau lewat jalur darat, bisa-bisa pinggang saya encok. Perjalanan darat dari Medan ke Tapanuli Tengah bisa sampai 12 jam.

Si burung besi yang saya tumpangi mendarat di Bandara FL Tobing sekitar pukul 13.00 WIB. Saya berangkat bersama teman-teman dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan beberapa porter. YEL ini adalah salah satu lembaga yang concern terhadap pelestarian Orang Utan.

Sebelum benar-benar masuk ke alam bebas, saya singgah semalam di Kantor YEL Batangtoru. Lokasinya di Jalan Dangol Tobing, Tapanuli Tengah. Semalaman saya mengecek lagi perbekalan. Rasanya memang seperti mau berangkat perang. Semua harus dipersiapkan secara matang. Apalagi mau masuk hutan belantara.

Sejak berangkat dari Medan saya sudah bawa satu tas besar dan dua tas pinggang. Isinya macam-macam. Mulai dari logistik makanan, senter, kamera, sleeping bag, baju ganti, matras, jas hujan hingga plastik untuk membuang sampah. Di dalam hutan pasti nggak ada tempat sampah. Makanya saya siapkan kantong plastik untuk wadah sampah sementara.

Keesokan harinya, matahari sudah menyambut kami dengan ramah. Teriknya bersahabat. Tidak terlalu menyengat kulit. Sekitar pukul 10.00 WIB, tibalah kami di Desa Sait Nihuta Kalangan II, Kecamatan Tukka. Desa itu adalah gerbang masuk petualangan kami yang sesungguhnya.

Pintu rimba masih berada di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) Hutan. Sepanjang jalan setapak, kiri kanan mata memandang, perkebunan warga nan hijau benar-benar menyegarkan mata. Sebagian besar warga di sana menanam karet. Tapi kami juga bisa menemui tanaman lain. Mulai dari kopi, aren, hamijon (kemenyan, Red) dan cokelat.

Di kawasan APL saja, medan yang ditempuh lumayan berat. Belum lama berjalan, dengkul saya mau copot rasanya. Saya mendaki bukit, menuruni lembah. Jadi teringat lirik lagu Ninja Hattori.

Terkadang kami melewati sumber-sumber air yang mengalir ke hilir. Airnya masih jernih. Bahkan kami juga melewati kawasan, tempat para warga di sekitar hutan berburu kalong (kelelawar, Red).

Rute menuju camp yang akan kami tuju memang sudah ada. Sebab memang sudah banyak yang sering masuk ke dalam hutan. Mulai dari pembuat film, peneliti dan petugas research camp. Terkadang juga ada peneliti dari luar negeri yang masuk untuk meneliti keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan.

Tak terasa sudah satu jam kami berjalan. Di depan kami, terdapat sebuah papan peringatan. Rupanya kami sudah melangkah masuk ke dalam area hutan lindung.

Jalur yang kami lewati semakin berat. Jalanan lebih menanjak. Lebih menurun terjal. Tak terhitung berapa kali kaki-kaki kami terjerembab masuk ke kubangan lumpur. Batangtoru adalah hutan hujan tropis dengan kadar kelembaban yang cukup tinggi. Sekarang tahu sendiri kan kenapa saya pakai sepatu bot!

Kondisi Hutan Batangtoru masih sangat alami. Pepohonan masih sangat rapat. Bahkan kerapatannya membuat sinar matahari susah tembus. Hawa dingin langsung menusuk masuk.

Sesekali sang porter mencabut golok dari pinggangnya. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan kami ditebas dengan ganas.

Setelah blusukan ke hutan selama enam jam, terlihat beberapa pondok-pondok di seberang sungai. Alhamdulillah, sampai juga kami di camp Stasiun Riset Batangtoru.

Kami langsung disambut oleh beberapa staf YEL dan peneliti di sana. Koordinator Riset Stasiun Riset Batangtoru Sheila Kharismadewi Sitompul dengan supel menyapa kami. “Ah tiba juga kalian. Besok kita cari Orang Utan yah,” sapa perempuan berambut panjang itu.

Kami dipersilakan untuk menempati pondok-pondok yang cukup nyaman untuk sekadar berteduh. Camp itu sangat sederhana. Jangan bayangkan bangunannya terbuat dari beton-beton kokoh. Dindingnya hanya berupa daun-daun rumbia. Atapnya cuma terpal berwarna biru.

Namun itu semua cukup untuk berlindung dari sengatan matahari maupun berteduh bila hujan deras menghujam bumi. Ada sekitar lima pondok di sana. Termasuk pondok ruang kerja dan dapur.

Selepas santap malam, saya kembali menghimpun energi untuk esok hari. Sebelum terlelap, lamunan saya menggantung pada wujud Orang Utan Tapanuli itu. Selama ini saya hanya sebatas mendapat informasi dari referensi beberapa artikel. Tak sabar rasanya ingin cepat bertemu mereka.

Sumber: Prayugo Utomo/Jawapost.com

 

 

read more
Tajuk Lingkungan

Aktivis Minta Mahasiswa Nagan Perkuat Pelestarian Rawa Tripa

Banda Aceh – Hutan gambut Rawa Tripa menghadapi ancaman kerusakan dari berbagai pihak secara massive pasca tsunami. Semua pihak yang peduli terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan Rawa Tripa harus ikut membantu pelestarian hutan tersebut. Mahasiswa Nagan Raya terutama yang berdiam disekitar kawasan Rawa Tripa merupakan tulang punggung utama untuk menjaga hutan yang juga merupakan tempat tinggal orangutan tersebut.

Kesimpulan ini merupakan hasil pertemuan Focus Group Discussion (FGD) antara aktivis lingkungan yang tergabung dalam Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Komunitas Mahasiswa Tripa (KOMTRI) dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Darul Makmur (Ipelmasdam), Kamis (20/09/2018) di Kafe 3 in 1 Banda Aceh.

FGD tersebut dihadiri oleh T. Muhammad Zulfikar (YEL), Indrianto (Koordinator Proyek Tripa YEL) dan Halim Bangun (pengacara lingkungan) serta 10 orang dari perwakilan mahasiswa.

T. Muhammad Zulfikar dalam FGD tersebut mensosialisasikan tentang keadaan hutan Rawa Tripa saat ini, termasuk fungsi dan manfaat hutan bagi makhluk hidup. Gambut di Rawa Tripa memiliki ketebalan diatas 3 meter dibeberapa tempat sehingga harus dilindungi agar tidak mengalami kekeringan dan beralih fungsi lahan. Ancaman terhadap Rawa Tripa paling besar datang dari sektor perkebunan sawit dan kegiatan pertambangan. Saat ini Rawa Tripa sedang dalam proses penetapan sebagai kawasan lindung gambut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal-hal merupakan beberapa point penting dalam pemaparan T. Muhammad Zulfikar.

Sementara Indrianto juga kembali memaparkan secara rinci kondisi hutan gambut Rawa Tripa secara teknis. Pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan oleh sejumlah ilmuan seperti kedalaman lapisan gambut, jumlah orangutan yang tinggal di Rawa Tripa, kondisi iklim mikro Rawa Tripa menjadi perhatian presentasi Indrianto. Selanjutnya Indrianto mengajak mahasiswa bersama-sama untuk mengadvokasi lingkungan.

“Rawa Tripa butuh energi baru dari mahasiswa,”ujarnya.

Menurutnya sudah selayaknya mahasiswa Nagan Raya, sebagai masyarakat yang berada di sekitar hutan Rawa Tripa ikut memperkuat advokasi lingkungan. Apapun yang terjadi dengan hutan gambut tersebut, masyarakat sekitar lah yang paling merasakan dampaknya untuk waktu yang lebih lama dibandingkan dengan masyarakat luar Rawa Tripa. Selain itu, kelompok masyarakat tertentu sekitar Rawa Tripa juga merupakan pelaku perusakan sehingga perlu diberikan pemahaman bersama.

“Kami dari LSM ini, tentu tidak selamanya mempunyai program di Rawa Tripa. Jadi masyarakat lah yang paling utama berhak menjaganya,”kata T. Muhammad Zulfikar.

Ketua KOMTRI, Ibnu Kasir, mengatakan siap melakukan advokasi Rawa Tripa dan berharap dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan advokasi hutan Rawa Tripa.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Belajar Pendanaan Konservasi KEL di Kanada

Vancouver – Minggu lalu delegasi Pemerintah dan Parlemen dari Aceh belajar mengenai opsi-opsi pembangunan ekonomi berbasis konservasi yang bisa menyelamatkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ke Great Bear Rainforest, Provinsi British Columbia, Kanada. Model pendanaan konservasi yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi masyarakat telah diterapkan di Great Bear Rainforest sejak 2007 dan merupakan salah satu model finansial paling komprehensif dan berskala terbesar di dunia. Keunggulan ekonomi Great Bear Rainforest bergantung pada perlindungan satwa langka seperti beruang hitam, beruang Grizzly, dan beruang Bermode yang hidup di sana, bersama dengan serigala, dan berbagai jenis paus yang melewati perairan tersebut. KEL merupakan tempat terakhir di dunia dimana orangutan, gajah, badak dan harimau masih tinggal bersama di alam. Perlindungan KEL memainkan peran penting untuk pembangunan ekonomi ke depan.

Para Delegasi Konservasi dan Pendanaan Hijau Aceh diundang oleh Canopy, sebuah organisasi nirlaba lingkungan internasional. Delegasi ini terdiri dari para pemangku kebijakan politik di Aceh dan para ketua lembaga swadaya masyarakat di Aceh. Dalam kunjungan 5 hari tersebut, Menteri Koordinator Lingkungan dan Iklim British Columbia, Kanada, Hon. George Heyman, para pemimpin First Nations, bersama dengan para eksekutif finansial, bisnis dan yayasan filantropi memberikan presentasi mengenai pendanaan konservasi (Green financing) dan peluang yang dapat dihasilkan untuk membangun ekonomi hijau lokal berskala besar.

Delegasi yang diundang adalah Teuku Irwan Djohan (Wakil Ketua DPRA), Azhari (Kepala BAPPEDA ACEH), Mursil (Bupati Aceh Tamiang), Raidin Pinim (Bupati Aceh Tenggara) dan tim asistennya, Ahmad Ubaidi, Farwiza Farhan (Ketua Yayasan HAkA), Rudi Putra (Direktur FKL) dan Wahdi Azmi (Direktur ACCI – Aceh Program).

Pada akhir kunjungan, Teuku Irwan Djohan, mengatakan,“Saya yakin bahwa model ekonomi konservasi yang ada di Great Bear Rainforest, Kanada, bisa menjadi fondasi atau model yang bisa dipakai untuk Aceh agar bisa mengembangkan masyarakat yang sejahtera sekaligus melindungi Kawasan Ekosistem Leuser. Semangat saya bangkit untuk bekerja dengan kolega saya di Aceh untuk mencapai visi tersebut bersama dengan partner baru yang kami temui di Kanada.”

Direktur Eksekutif Leonardo Di Caprio Foundation, Justin Winters, mengatakan, “Kawasan Ekosistem Leuser adalah salah satu hutan hujan paling berharga di dunia dan mempunyai potensi untuk mendatangkan investasi hijau untuk pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat, perencanaan konservasi dan perlindungan skala besar yang ada di Great Bear Rainforest, Kanada. Ada keinginan dari yayasan filantropi untuk mendukung kepemimpinan konservasi di lanskap sebesar Kawasan Ekosistem Leuser”.

Direktur Eksekutif Canopy, Nicole Rycroft, menambahkan,“Dengan adanya revisi rencana revisi RTRW Aceh, Aceh mempunyai kesempatan untuk mengejar jalan pembangunan yang berbeda dengan industrialisasi yang banyak kita lihat di daerah lain. Para pemangku kebijakan di Aceh punya kekuatan untuk memanfaatkan keindahan alam Aceh yang sangat kaya sebagai fondasi kesuksesan ekonomi hijau dan masyarakat yang sejahtera sekaligus melindungi Kawasan Ekosistem Leuser. Tanpa inisiatif ini, satwa penting, seperti orangutan dan harimau, akan semakin punah”. “Mengingat krisis iklim dan keanekaragaman hayati yang terjadi di bumi, kita benar-benar tidak mampu menanggung dampak jika Kawasan Ekosistem Leuser ini hilang,” sambung Justin Winter

Pertemuan ini juga membicarakan bagaimana pendanaan konservasi dikembangkan dan disusun di Great Bear Rainforest dan model pendanaan konservasi seperti apa yang bisa dikembangkan di Kawasan Ekosistem Leuser. Para delegasi juga berkesempatan untuk mengunjungi Great Bear Rainforest yang indah dan melihat bisnis dan inisiatif seperti apa yang dikembangkan oleh masyarakat First Nation dengan bantuan investasi pendanaan konservasi. Para delegasi melihat langsung bagaimana masyarakat yang hidup di sekitar Great Bear Rainforest memperoleh pendapatan dua kali lipat semenjak berganti kepada ekonomi berbasis konservasi.

Delegasi, ahli dan peserta panel telah berkomitmen untuk bekerja sama untuk mengembangkan rencana pendanaan konservasi di Aceh yang mencakup perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser. Kunjungan ini adalah awal dari hubungan kerja yang erat antara para ahli di British Columbia dan Pemerintah Aceh.[rel]

 

 

read more
1 2 3 4 5
Page 2 of 5