close

10/12/2013

Green Style

Sejuknya Air Brayeung Leupung

Dimana tempatnya bisa mandi, sambil berperahu, dikelilingi pohon duren terus kalau lapar bisa makan gorengan? Kalau Anda berada di Aceh maka salah satu pilihan yang tepat adalah irigasi Brayeung Leupung Aceh Besar, berjarak sekitar satu jam berkendaraan dari Banda Aceh. Tempatnya tidak sulit dijangkau, sudah ada jalan aspal untuk mencapainya walaupun ketika 20 menit menjelang lokasi pengunjung harus bersiap-siap untuk merasakan “rodeo” akibat jalan yang belum beraspal.

Semenjak dua tahun belakangan ini Brayeung menjadi primadona baru tujuan wisata bagi penduduk Banda Aceh dan sekitarnya. Jika sebelumnya warga sudah terbiasa dengan wisata pantai atau air terjun kini wisata irigasi menjadi pilihan utama. Selain tempatnya sejuk dan rimbun, tempat pemandiannya juga relatif aman, tidak dalam. Bahkan di pinggirannya bisa berdiri anak usia tujuh tahun. Mau berperahu pun enak, tinggal sewa perahu karet yang tarifnya Rp.20 ribu/jam. Mau lebih murah juga bisa, tunggu saja menjelang jam enam sore, ketika pengunjung sudah sepi dan tempat juga mau ditutup. Anda bisa puas berperahu tanpa takut disemprit pluit petugas yang mengingatkan waktu telah habis.

Pemandangan menjelang sampai di lokasi sangat memanjakan mata. Di kiri-kana jalan tampak sawah, bukit yang rimbun serta barisan pohon durian yang bisa meneteskan air liur jika musim durian tiba. Jalanan memang tidak terlalu lebar, hanya pas untuk dua mobil, dimana salah satu mobil harus berhenti sejenak jika berpapasan dengan mobil lain.

Bagaimana dengan biaya yang harus disiapkan? Beberapa orang mengeluhkan tentang biaya di tempat wisata lokal yang tidak jelas. Pengelola atau yang pura-pura menjadi pengelola selalu saja mengutip uang kepada pengunjung tanpa perhitungan yang jelas. Umumnya para pria yang berdiri di gerbang masuk selalu saja mengutip uang Rp.10 ribu kepada mobil pengunjung. Tanpa tiket masuk dan hitungan yang jelas. Namun di Brayeung saat penulis mengunjungi kemarin, perhitungan tiket pengunjung sudah fair. Tiap pengunjung dewasa dikenakan tiket masuk Rp.3000, anak-anak bebas tiket.

Pada sebuah tikungan sempit sudah berdiri beberapa anak muda yang mengatur keluar masuk mobil. Lumayan juga pelayanan yang diberikan. Tidak cuma pandai mengutip uang masuk tapi juga sudah mulai profesional dalam mengatur pengunjung. Tapi sayangnya pengaturan yang sudah baik itu diperburuk dengan kutipan uang parkir yang mencapai Rp.10 ribu! Ntah untuk apa kutipan parkir itu, sebab tanpa disertai tanda bukti pembayaran dan layanan apapun. Tapi sudahlah, mari kita nikmati kesejukan air irigasi Brayeung saja.

Memasuki lokasi pemandian, mulai tampak keramaian para pengunjung. Lazimnya tempat wisata lokal, disepanjang jalan masuk dipenuhi oleh penjual makanan ringan. Mereka menjual berbagai makanan yang berbeda tapi ada satu yang sama. Setiap lapak menyediakan goreng-gorengan seperti pisang goreng, tahu goreng, risol dan lain-lain. Penjual memanfaatkan selera manusia yang suka akan makanan panas setelah berdingin-dingin ria.

Mata kembali dimanjakan oleh hamparan kolam irigasi Brayeung tersebut. Kolam yang kira-kira seluas lapangan sepakbola mempunyai hulu di kaki gunung yang rimbun. Pemandangan masih tampak asri. Di beberapa tempat tampak dinding tembok irigasi yang roboh, mungkin suatu waktu pernah dihantam banjir bandang. Jenis banjir ini memang sangat sering melanda kawasan pegunungan. Ramai pengunjung, terutama anak-anak muda yang mandi di kolam tersebut. Anak-anak juga tak ketinggalan mandi di kolam berair sejuk, umumnya mandi disisi pinggir kolam yang memang dangkal, sekitar setengah meter. Jika ingin berenang yang puas silahkan melompat ke tengah kolam yang lebih dalam. Beberapa anak muda menampilkan atraksi lompat jumpalitan dari sebatang pohon yang berada dipinggir kolam.

Indah dan nyaman memang menikmati pemandian Brayeun Leupung ini. Apalagi jika pengelola mampu menjaga kerapian dan kebersihan lokasi. Sebuah masalah klasik tempat wisata yang nyaris terdapat disemua tempat. Apalagi lahan parkir yang sempit, jalan yang belum beraspal menjelang lokasi, jangan sampai hambatan-hambatan ini membuat orang enggan berwisata. Bayangkan saja, mandi di kolam berair yang sejuk dikelilingi pohon duren, amboi enaknya…[m.nizar abdurrani]

read more
Perubahan Iklim

Aksi Mitigasi Indonesia dapat Respon Positif Internasional

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia telah berakhir pada Sabtu (23/11/2013) dengan menghasilkan beberapa keputusan, termasuk kesepakatan tentang arsitektur kerangka kerja global untuk perubahan iklim pasca 2020.

Keputusan penting dalam COP19 antara lain mengenai penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, keputusan mengenai mekanisme pendanaan di bawah UNFCCC, dan panduan umum MRV untuk yang mendukung aksi mitigasi di negara-negara berkembang (National Appropriate Mitigation Actions / NAMAs)

Dalam rangkaian perundingan COP19 Warsawa, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan berhasil mendapatkan bantuan pendanaan internasional untuk sistem transportasi massal yang ramah lingkungan. Proposal Kemhub untuk pelaksanaan sistem transportasi kota yang berkelanjutan sebagai bentuk penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (Sustainable Urban Transport Initiative – Nationally Appropriate Mitigation Action / SUTRI NAMA) telah disetujui untuk mendapatkan pendanaan di bawah NAMAs Facility dari Pemerintah Inggris dan Pemerintah Jerman.

Proposal SUTRI NAMA ini disetujui untuk didanai bersama dengan tiga proposal NAMAs lainnya dari Chile, Kosta Rika dan Kolombia yang dipilih dari 43 proposal NAMAs yang diajukan. Dari sektor transportasi, Indonesia bersama dengan Kolombia menjadi negara pertama yang mendapat dukungan dari dunia internasional untuk kegiatan transportasi. Proyek SUTRI NAMA mendapatkan bantuan pendanaan sebesar 17 juta Euro dari total 70 juta Euro yang dikumpulkan NAMAs Facility untuk empat proposal yang terpilih tersebut.

Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim mengatakan diraihnya bantuan pendanaan untuk SUTRI NAMA menjadi bukti bahwa aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia mendapat apresiasi positif dari dunia internasional.

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa program aksi mitigasi seperti misalnya terangkum dalam Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) sudah dalam arah yang benar sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk ikut serta dalam penanganan dampak perubahan iklim dan penurunan emisi GRK global.

Komitmen Indonesia

Terdapat perkembangan mengejutkan pada perundingan COP19, yaitu melemahnya komitmen penanganan perubahan iklim dari negara maju, terutama dari Jepang dan Australia.

Seperti diketahui, Pemerintah Jepang secara resmi mengumumkan perubahan komitmen penurunan emisi dari semula 25% dari emisi tahun 1990 menjadi 3,8% dari emisi tahun 2005 atau setara 3,1% dari emisi tahun 1990. Sedangkan Pemerintah Australia telah menghapus berbagai kebijakan perubahan iklim mereka seperti Climate Change Authority, Clean Energy Finance Company dan Domestic Carbon Pricing Scheme.

Melihat hal tersebut, Rachmat Witoelar yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menyatakan Indonesia tetap mempertahankan komitmen sukarela penurunan emisi GRK sebesar 26 % dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan pendanaan internasional. Apalagi upaya dari sektor kehutanan telah menunjukan pencegahan emisi GRK yang signifikan.

Rachmat Witoelar mengajak negara berkembang dan terutama negara maju untuk turut serta menangani perubahan iklim dengan berkomitmen menurunkan emisi GRK. “Sekarang waktunya bagi dunia untuk menunjukkan ambisinya dan bertindak lebih nyata,” katanya.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon sendiri mendorong seluruh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memberikan dan bahkan meningkatkan komitmen untuk penanganan perubahan iklim, mengingat urgensi akibat buruk dari berbagai dampak perubahan iklim, dengan menggelar UN Climate Summit yang dilaksanakan sehari sebelum Sidang Umum PBB, yaitu pada 23 September 2014.

Negara-negara Pihak UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP21, pada akhir tahun 2015 di Paris, Perancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara Pihak (applicable to all parties) sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca 2020. Draft kesepakatan pasca 2020 tersebut disepakati akan dirumuskan pada COP20 di Lima, Peru pada 2014, untuk selanjutnya diadopsi pada akhir 2015 dalam COP21 di Paris, Perancis.

Sedangkan dari COP19 Warsawa, telah diputuskan tahap-tahap persiapan menjelang COP21, antara lain upaya setiap negara di dalam negeri masing-masing untuk menyiapkan kontribusi mereka yang akan menjadi bagian dari komitmen global pasca 2020, yang ditetapkan sendiri (nationally determined contribution) dan tanpa pretensi atas sifat hukum dari kontribusi tersebut (without prejudging the legal nature of the contributions).

“Berbagai keputusan COP19 memberikan dasar yang kuat untuk pembahasan yang lebih mendalam di tahun mendatang dalam rangka merumuskan elemen-elemen kesepakatan 2015,” kata Rachmat Witoelar.

Indonesia mengharapkan semua keputusan COP19 tersebut akan ditindaklanjuti dengan peningkatan komitmen negara-negara dalam upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya komitmen penurunan emisi pra-2020 oleh negara-negara maju.

Indonesia Pavilion
Selain berjuang melalui proses perundingan, Indonesia juga mengadakan Indonesia Pavilion dengan tujuan untuk menampilkan kemajuan dan inovasi program perubahan iklim dan investasi hijau di lingkup nasional dan subnasional serta kerjasama internasional. Sekitar 1000 peserta dari berbagai pihak dan delegasi negara lain datang mengikuti 16 sesi seminar yang diselenggarakan oleh beberapa Kementerian dan Lembaga serta organisasi internasional dengan narasumber dari dalam dan luar negeri, baik dari pemerintah maupun sektor swasta. Delri juga menampilkan budaya Indonesia melalui cinderamata berupa tas dan dompet yang bermotif batik, yang sangat disukai oleh peserta seminar.

Kegiatan Indonesia Pavilion dan Booth Indonesia dilaksanakan untuk mendukung upaya perundingan formal, meningkatkan kekuatan soft diplomacy dan menunjukan komitmen Indonesia terhadap proses multilateral.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

LECB Bangun Kapasitas Pembangunan Berbasis Ekonomi Hijau

Low Emission Capacity Buidling (LECB) program Indonesia hari Senin dan Selasa, (9-10 Desember 2013), menyelenggarakan pelatihan perancangan model perencanaan ekonomi hijau dalam pembangunan nasional kepada para staf Pemda Kalimantan Tengah dan anggota kelompok masyarakat lainnya. Acara ini dihadiri oleh Assisten II Gubernur Kalteng, Ir. H. Syahrin Daulay, M.Eng.Sc., beserta perwakilan BAPPENAS, SKPD terkait, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi.

Pelatihan di Palangkaraya yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Setda Pemprov Kalimantan Tengah, UNDP LECB Program dan UNORCID disampaikan oleh ahli perancang model System Dynamics Dr Andrea Bassi dan merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan kuliah umum dan pelatihan peningkatan kapasitas dalam LECB program. Sebelumnya di Jakarta telah dilaksanakan pelatihan serupa untuk tingkat nasional bersama perwakilan dari Bappenas, Kementerian terkait, Pemerintah Daerah dan akademisi pada tanggal 4 Desember 2013.(3)

“Tiga pilar utama dari ekonomi hijau adalah penurunan emisi, efisiensi sumber daya dan preservasi modal alam,” kata Pakar Perencana Pembangunan berbasis Ekonomi Hijau, Dr Bassi dalam pengantarnya. “Merancang model dengan system dynamics adalah cara satu untuk memastikan konsistensi antar sektor sehingga strategi pada satu sektor tidak memberikan dampak buruk bagi sektor lainnya.”

Ekonomi hijau adalah strategi logis untuk menyelaraskan target pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri, dan sampai 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2020 relatif atas skenario business as usual, dengan tetap mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

Dengan mengadopsi jalur pembangunan hijau dengan melibatkan masyarakat untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang serasi dengan alam, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menggunakan jasa lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebuah sesi pemaparan mengenai perspektif praktis tentang proses transisi Indonesia menuju Ekonomi Hijau telah dibawakan oleh Pavan Sukhdev, seorang pakar dunia Ekonomi Hijau di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 2 Desember 2013.

Indonesia, bersama 25 negara lain di dunia berkolaborasi dalam program LECB yang diluncurkan secara global pada bulan Januari 2011 sebagai bagian dari kolaborasi antara Uni Eropa dan UNDP. LECB Indonesia digerakkan oleh BAPPENAS dan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).[rel]

read more