close
Galian C yang dibiarkan berlangsung hingga merubah bentang alam di Lhokseumawe. | Foto: M. NIzar Abdurrani

Pasca tsunami dan perjanjian damai Helsinki, Aceh menjadi daerah yang berkembang pesat baik secara perekonomian maupun dalam jumlah penduduk (4,3 juta jiwa saat ini). Pertumbuhan ini mempunyai implikasi tekanan terhadap lingkungan juga menjadi semakin besar. Tak pelak lagi, tekanan lingkungan yang semakin besar menyebabkan isu-isu atau kasus lingkungan juga menjadi mencuat lebih banyak. Mulai dari isu moratorium logging atau jeda penebangan legal, kasus penambangan mineral yang banyak merusak alam serta kasus pengambil alihan paksa lahan.

Mungkin ini sudah menjadi rahmat dari Allah SWT bahwa selain Aceh kaya dengan sumber daya alam, daerah Serambi Mekkah juga kaya dengan berbagai persoalan lingkungan. Hal-hal yang dulu tidak menjadi masalah di Aceh seperti penambangan, kini menjadi isu yang sangat ‘seksi’. Konon lagi pemerintah Aceh sangat doyan mengundang investor asing untuk menanamkam modal sembari ‘melubangkan’ bumi Aceh melalui sektor pertambangan ataupun sektor lain yang merusak lingkungan.

Masyarakat sekitar lokasi menjadi penerima kerugian utama dari dampak kerusakan lingkungan yang muncul. Sebut saja berbagai kasus yang merusak lingkungan: kasus penambangan PT Lhoong Setia Mining di Lhoong Aceh Besar, Penambangan PT Pinang Sejati Utama di Manggamat Aceh Selatan, penambangan rakyat yang tidak terkendali di Gunong Ujeun-Aceh Jaya dan Sawang-Aceh Selatan, pencemaran yang dilakukan oleh PT SAI, pembangunan embung (semacam waduk) Lambadeuk Aceh Besar, pengalihan lahan masyarakat menjadi kebun sawit di Sinabang dan masih banyak lagi yang jika kita sebut satu persatu tidak akan muat halaman koran ini. Semua kasus-kasus ini sangat merugikan masyarakat dan mereka pun terus berjuang agar para perusak lingkungan menghentikan kegiatan mereka dan memberikan kompensasi yang layak atas bencana yang mereka timbulkan.

Masyarakat dalam memperjuangkan tuntutannya bahu membahu dengan berbagai lembaga yang peduli dengan lingkungan. Warga pun biasanya didampingi untuk mendirikan organisasi masyarakat sehingga perjuangan menjadi lebih teratur dan terarah. Perjuangan membela kepentingan masyarakat banyak sering diistilahkan sebagai “advokasi” dalam ranah lembaga Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Menjadi pertanyaan, sampai kapankah advokasi itu dapat dijalankan? Siapa yang paling bertanggung jawab dalam menjalankan advokasi? Bagaimana suatu advokasi dapat dikatakan berhasil? Apakah advokasi tetap berjalan pada tuntutan awal atau jangan-jangan sering mengalami ‘penyesuaian’ akibat upaya orang-orang tertentu?

Pertanyaan seperti ini sering mengemuka dalam internal organisasi pembela lingkungan. Wajar pertanyaan ini muncul mengingat semakin hari semakin banyak kasus kerusakan lingkungan muncul. Sebagai conth, belum selesai memperjuangkan kasus pencemaran udara yang dilakukan PT Arun, muncul lagi kasus kebocoran amonia dari PT PIM. Atau advokasi terhadap pencemaran yang dilakukan PT SAI selama bertahun-tahun belum juga tuntas bahkan isunya terkadang dibelokkan oleh pihak-pihak tertentu. Perjuangan advokasi sering menjadi perjuangan ‘abadi’ alias perjuangan tanpa henti. Hanya saja OMS dibelahan dunia manapun tetap saja mempunyai prioritas dalam gerakannya. Semua ini tak lain agar perjuangan melestarikan lingkungan dapat berjalan fokus, tidak ‘lari’ kemana-mana.

Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu pengertian advokasi menurut para ahli. Topatimasang (2000) mengatakan advokasi adalah upaya untuk memperbaiki, membela (confirmatio) dan mengubah (policy reform) kebijakan sesuai dengan kepentingan prinsip-prinsip keadilan.  Sedangkan dalam buku terbitan Insist Pers (2002) yang berjudul “Kisah-kisah advokasi di Indonesia” secara eksplisit membenarkan pengertian advokasi sebagai aksi-aksi sosial, politik dan kultural yang dilakukan secara sistematis, terencana dan dilakukan secara kolektif, melibatkan berbagai strategi termasuk lobby, kampanye, bangun koalisi, tekanan aksi massa serta penelitian yang ditujukan untuk mengubah kebijakan dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dan menghindari bencana buatan manusia.

Ada banyak pengertian advokasi menurut para ahli namun dari kesemuanya itu pada dasarnya advokasi mempunyai kesamaan yaitu sebuah gerakan bersama yang disusun secara sistematis untuk merubah kebijakan. Ada dua unsur penting disini yaitu bersama-sama dan sistematis. Ini artinya sebuah gerakan yang dijalankan secara individual baik perorangan maupun individual organisasi serta dilakukan sembarangan alias tidak sistematis, tidak layak dikatakan sebagai sebuah gerakan advokasi.  Prinsip-prinsip ini kalau kita lihat dalam konteks Aceh, memang sudah dilaksanakan oleh sebagian besar organisasi lingkungan.
Gerakan bersama yang direncanakan secara sistematis terkadang dirusak oleh berbagai persoalan internal yang sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan tujuan perjuangan. Ada beberapa gerakan advokasi yang tidak ketahuan ujung pangkalnya akibat terjadi perpecahan di antara komponen anggotanya. Sering juga akibat perencanaan yang tidak sistematis mengakibatkan gerakan perlahan-lahan lenyap begitu saja bagai debu yang ditiup angin sepoi-sepoi. Gerakan advokasi tampaknya harus diformulasi ulang.

Sebagian besar organisasi lingkungan telah banyak mendapatkan peningkatan kapasitas atau bahasa kerennya “Building Capacity” selama hadirnya NGO-NGO internasional dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh. Peningkatan kapasitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan juga kemampuan melakukan kerja-kerja advokasi. Peningkatan kapasitas kelembagaan hari ini bisa jadi menjadi salah satu faktor mencuatnya kasus-kasus lingkungan. Gerakan advokasi diharapkan tidak lagi menjadi gerakan konvensional dengan alur : Rapat- Aksi-Muncul di media-selesai. Perlu ada perencanaan yang lebih sistematis dan berdurasi panjang dari pada alur yang di sebutkan di atas tadi.

Terkadang, gerakan sistematis dan penuh perencanaan tersebut sering disalah pahami oleh orang-orang yang berkepentingan secara langsung. Kepentingan yang dimaksud disini biasanya adalah orang-orang yang langsung terkena dampak dari kerusakan lingkungan. Misalnya warga Manggamat tentu sangat berkeinginan secepatnya agar desa mereka kembali seperti sediakala ketika pencemaran pertambangan belum terjadi. Hal ini sangat wajar karena mereka setiap hari menghirup debu tambang dan air bersih sungai mereka sudah penuh lumpur.
Perbedaan sistem menyebabkan munculnya “ketegangan” sesaat yang harus segera dipulihkan kembali. Ketegangan antara OMS pendamping dan masyarakat yang ingin segera kasusnya tuntas.  Apalagi jika ada pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan alias bermain di air keruh sehingga menimbulkan prasangka yang berkelanjutan. Alih-alih bersatu untuk memperjuangan tujuan bersama malah bisa-bisa jalan sendiri-sendiri karena adanya perbedaan gerakan.

Kebersamaan dalam sebuah gerakan advokasi sangat dibutuhkan agar tujuan perjuangan bisa berhasil secepatnya. Advokasi bukanlah aksi individual, seperti layaknya permainan sepak bola Brasil. Advokasi bukan lah gerakan yang ditujukan untuk segelintir orang dengan sejumput keinginan untuk memuaskan keinginan sendiri. Perlu ada upaya merangkul pihak-pihak lain sebanyak mungkin. Yang belum masuk ke dalam barisan, diajak masuk. Yang sudah mulai keluar dari barisan, segera ditarik kembali ke dalam barisan. Seperti  yang sudah diungkapkan di atas, perjuangan advokasi seringnya adalah perjuangan tanpa akhir. Meminjam istilah salah satu parpol “Bersama kita Bisa”, agar perjuangan advokasi bisa tuntas.