close
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Masih Tertutup tentang RTRW

Diskusi Publik Tata Ruang | Foto: M. Nizar Abdurrani

Kamis (31/10/2013) dilakukan diskusi publik dengan melibatkan Pemerintah Aceh dan Nasional, masyarakat Aceh, dan kelompok aktivis lingkungan, di Hermes Hotel Banda Aceh dalam acara Diskusi Publik bertemakan “Mendorong Tata Ruang Aceh yang Berkeadilan”. Benang merah dalam kegiatan ini adalah sejumlah pihak meminta Pemerintah Aceh membuka data dan informasi mengenai Tata Ruang Aceh yang baru.

Ketidak transparan ini telah mendapat kritik secara global dikarenakan kekhawatiran banyak pihak terhadap ribuan hektar hutan lindung yang akan direklasifikasi sehingga terbuka akses untuk konsesi kayu, kebun kelapa sawit dan konsesi tambang yang menjadi penyebab utama dalam peningkatan frekuensi tanah longsor dan banjir di Provinsi Aceh yang memiliki tingkat sensivitas lingkungan yang sangat tinggi.

“Kita sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam rangka upaya meminta kepada Pemerintah Aceh untuk lebih transparan terhadap rencana pengembangan dalam rencana tata ruang yang baru termasuk pembukaan hutan lindung, tetapi Pemerintah Aceh sendiri sampai saat ini masih menjadikan dokumen ini sangat rahasia untuk publik, ” kata Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma.

Peserta Diskusi Publik Tata Ruang Aceh | Foto: M. Nizar Abdurrani
Peserta Diskusi Publik Tata Ruang Aceh | Foto: M. Nizar Abdurrani

Hal ini sudah diketahui secara bersama bahwa hutan-hutan di Aceh berfungsi sebagai penyedia air baik untuk keperluan pribadi dan pertanian, serta pencegah bencana seperti banjir dan tanah longsor yang mana telah membunuh ratusan orang di Provinsi Aceh setiap tahunnya, juga menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak terhitung terhadap infrastruktur dan pertanian.

Sejumlah pihak merasa sangat dikucilkan dari proses penyusunan tata ruang dan sangat prihatin area Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)yang luas akan terpotong-potong atau terfragmentasi oleh pembangunan jalan, eksploitasi kayu dan pembukaan kebun kelapa sawit. Ini merupakan bencana untuk Aceh. Hutan yang merupakan daerah tangkapan air sangat mutlak diperlukan untuk produksi padi di Aceh.

” Sejauh ini yang kami lihat, rencana tata ruang yang baru tidak mengakomodir kepentingan masyarakat Aceh. Kehancuran hutan ini merupakan kepentingan sedikit golongan yang sudah kaya dan elit penguasa. Ini jelas bukan kepentingan banyak masyarakat Aceh, karena rencana ini menghancurkan seluruh harapan pengembangan ekonomi secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Rencana ini sepertinya anti masyarakat dan kontradiktif dengan rencana pembangunan Aceh jangka panjang. Pemerintah Aceh harus terbuka sekarang,” jelas Efendi.

Kepala Bidang Perencanaan Sarana dan Prasarana BAPPEDA Aceh, Dr. Husnan, ST, MP  dalam pertemuan tersebut mengatakan,“ Tidak ada alokasi pendanaan untuk kegiatan yang berhubungan dengan tata ruang tahun depan, RTRW Aceh diharapkan akan selesai akhir Desember 2013”.

Situasi ini sangat genting karena di waktu yang sama dana untuk berbagai macam proyek telah dialokasikan dalam APBA.

“Pembangunan jalan ini harus diinvestigasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diawasi secara ketat oleh lembaga anti korupsi dikarenakan kebanyakan hutan yang dilalui oleh jalan ini masih merupakan hutan lindung. Jalan ini tidak akan memberi manfaat kepada masyarakat, mereka hanya bisa melihat kehancuran pada akhirnya. Pembangunan jalan tersebut merupakan kesempatan untuk beberapa kontraktor dan cukong kayu untuk memperkaya diri dengan menggunakan uang Pemerintah,”sambung Efendi.

“Jika Pemerintah Aceh serius untuk memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh, tata ruang Aceh mestinya melindungi aset lingkungan Aceh yang penting untuk generasi mendatang, bukan untuk menghancurkan hutan kami dan memenuhi kantong-kantong sebagian orang kuat,” ujar Efendi.

Tata ruang yang serius harus dibangun untuk Aceh berdasarkan studi sensitivitas lingkungan untuk pembangunan jangka panjang. Kami belum bisa menerima proses rencana tata ruang saat ini karena temuan kami di lapangan beberapa proyek telah berjalan bahkan sebelum diumumkan ke publik atau disetujui. Kelihatannya ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat yang telah memilih wakil rakyat dan orang-orang pemerintahan saat ini.

Rekomendasi

Pertemuan ini juga menghasilkan rekomendasi sebagai berikut :

1. Pemerintah melakukan Harmonisasi tata ruang dengan regulasi yang berlaku untuk ruang di atasnya.
2. Pemerintah menyediakan akses informasi terkait tata ruang secara mudah.
3. Pemerintah memfasilitasi kebutuhan adanya Badan Adhoc (pemerintah, masyarakat adat, CSO, private sector) menjadi bagian dari BKPRA untuk percepatan implementasi keputusan MK 35/2012.
4. Membentuk komisioner pengawasan dan monitoring tata ruang.
5. Pemerintah Kabupaten memfasilitasi penyusunan qanun status, aturan dan tata ruang hutan adat (mukim) ;Batas2 hak kelola, Akses komunitas atas hutan adat.
6. Perlu menyusun rencana advokasi tata ruang oleh masyarakat sipil untuk, mengukur secara lebih terarah penyusunan tata ruang Aceh ke depan.
[rel]

Leave a Response