close

sampah

Green StyleRagam

Mahasiswa Teknik Lingkungan USM Praktek Lapangan di TPS3R

Banda Aceh – Mahasiswa tidak hanya belajar dalam kelas saja membaca teori namun sangat penting untuk terjun langsung ke lapangan mempraktekkan konsep-konsep yang dipelajarinya. Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah (USM) pun tak ketinggalan melaksanakan praktek lapangan. Kali ini mempelajari bagaimana mengelola sampah dan membuatnya menjadi kompos, di Tempat Pembuangan Sampah Sementara Reuse, Reduse, Recycle (TPS3R) di kampung Surien Banda Aceh, Sabtu (21/4/2018).

Mahasiswa ditemani oleh dosen pengasuh mata kuliah Teknik Komposting, Bahagia, ST,MT, ikut bekerja dan mempelajari bagaimana mengolah sampah menjadi kompos. Mahasiswa Teknik Lingkungan memilah sampah sesuai jenisnya, mencacah sisa tanaman, mengaduk material kompos, menyaring kompos dan mengemas kompos dalam plastik yang siap untuk digunakan.

TPS3R adalah inovasi manajemen pengelolaan sampah yang dibangun oleh pemerintah dan dikelola oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat Kampung Surien, TPS3R ini menjadi solusi dalam mengelola sampah mereka. TPS3R dikelola oleh masyarakat dalam wadah KSM Guna Bersama.

KSM Guna Bersama mempekerjakan enam orang staf, mulai dari pembukuan, bendahara hingga petugas pengangkutan dan pengolah sampah, yang bekerja selama 26 hari dalam sebulan. KSM saat ini melayani 400 KK dalam kampung Surien yang memiliki tiga dusun dan setiap KK diwajibkan membayar retribusi Rp.10 ribu. KSM Guna Bersama saat ini masih menerima subsidi dari pemerintah melalui Ditjen Cipta Karya/Satker Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPLP) sebesar Rp.5,7 juta/bulan untuk biaya operasional.

Kepala Satker PPLP Prov Aceh, Yusrizal, ST, MT, menyebutkan Satker telah menjadikan TPS3R ini tidak hanya sebagai tempat pengolahan sampah dari sumber tetapi lebih dari itu TPS3R telah menciptakan lapangan kerja baru. Mulai dari pengambilan sampah, usaha pengolahan sampah organik sampai ke unit usaha tanaman organik. Satker selain memberikan subsidi juga memberikan pendampingan agar kegiatan di TPS3R dapat berjalan baik, lancar sesuai diharapkan.

“Tempat ini bisa menjadi tempat pembelajaran bagi masyarakat dan kampus juga.  Alangkah bagus bila semua kecamatan punya usaha seperti ini,”kata Yusrizal. Apalagi jika pemerintah daerah juga membantu dana operasional untuk TPS3R yang telah ada.

Selain itu Yusrizal juga menyampaikan bahwa pihaknya sedang memperjuangkan pembangunan TPS3R yang lebih bagus untuk di tempatkan di kampus-kampus. Sampah sekarang bisa dikelola dan punya nilai ekonomi dan pihak kampus siap membantu kegiatan tersebut, ujarnya.

Bahagia menyampaikan terima kasih kepada KSM Guna Bersama yang telah menyediakan waktu dan membantu mahasiswa melaksanakan Praktek Lapangan.

read more
Galeri

Kebersihan Arena Jambore Nasional di Banda Aceh

Ada yang menarik dalam hal kebersihan di arena Jambore Nasional Bebas Sampah 2017 yang berlangsung di Banda Aceh tanggal 10-12 November 2017. Tidak seperti event-event lainnya yang lazimnya pemandangan sampah berserakan usai acara disekitar lokasi acara. Pada kegiatan ini panitia dan peserta bekerja keras menciptakan kondisi yang bebas sampah sejak dari awal kemungkinan munculnya sampah tersebut. Foto-foto dibawah ini menjadi bukti nyata bahwa sampah bisa dihindari. Semua ini bisa dilakukan melalui manajemen sampah yang baik. Padahal peserta dan panitia dalam acara ini berjumlah 500 an.

Misalnya panitia tidak menyediakan air dalam kemasan, baik kemasan botol maupun kemasan cup. Peserta diminta membawa thumbler (botol air) dan hanya gelas kaca yang tersedia. Kemudian juga tidak ada disediakan makanan yang dikemas pakai karton ataupun plastik. Hal ini agar tidak ada sampah bungkusan makanan yang berserakan di lokasi acara.

Tidak perlu petugas kebersihan dalam jambore ini. Permasalahan sampah bisa diselesaikan secara pribadi oleh setiap individu. Kesadaran yang terbentuk sudah tinggi. Kalau begini terus, bisa-bisa petugas kebersihan akan menganggur heheheh…

 

Tempat sampah yang tersedi di aula kampus Ubudiyah Banda Aceh, selepas acara diskusi FGD, Sabtu (11/11/2017). Nyaris tidak ada sampah yang berserakan dan tidak ada petugas sampah yang membersihkan | Foto: M. Nizar Abdurrrani

 

Suasana di depan pintu masuk aula kampus Ubudiyah Banda Aceh, selepas acara diskusi FGD, Sabtu (11/11/2017). Nyaris tidak ada sampah yang berserakan dan tidak ada petugas sampah yang membersihkan | Foto: M. Nizar Abdurrrani

 

Halaman aula kampus Ubudiyah Banda Aceh, selepas acara diskusi FGD, Sabtu (11/11/2017). Nyaris tidak ada sampah yang berserakan dan tidak ada petugas sampah yang membersihkan | Foto: M. Nizar Abdurrrani

 

Trotoar di halaman depan aula kampus Ubudiyah Banda Aceh, selepas acara diskusi FGD, Sabtu (11/11/2017). Nyaris tidak ada sampah yang berserakan dan tidak ada petugas sampah yang membersihkan | Foto: M. Nizar Abdurrrani

 

Suasana di aula kampus Ubudiyah Banda Aceh, selepas acara diskusi FGD, Sabtu (11/11/2017). Nyaris tidak ada sampah yang berserakan dan tidak ada petugas sampah yang membersihkan | Foto: M. Nizar Abdurrrani
read more
Green StyleRagam

Banda Aceh Gelar Jambore Nasional Bebas Sampah 2017

Jambore Bebas Sampah Nasional tahun ini akan dipusatkan di Hutan Kota Tibang, Banda Aceh pada 10 – 12 November 2017, ini merupakan pelaksanaan Jambore untuk kedua kalinya. Pemerintah Kota Banda Aceh sepenuhnya mendukung kegiatan ini bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenkomaritim), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPera), Kementerian Kesehatan.

Panitia Jambore Bebas Sampah terdiri atas Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) yang melibatkan Para Pegiat Isu Persampahan dan Lingkungan dari berbagai komunitas dan lembaga, termasuk pelaku komunitas dan media lokal di Aceh sebagai tuan rumah tahun ini. Di antaranya, turut berpartisipasi pemerintah Kota Banda Aceh, Zero Waste Aceh dan Forum Kolaborasi Komunitas sebagai inisiator kegiatan ini.

 

Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman, sedang melihat kegiatan peserta Jambore Nasional, Sabtu (11/11/2017) | Foto: M. Nizar Abdurrani

Walikota Banda Aceh, H. Aminullah Usman, SE.Ak., MM menegaskan Banda Aceh sebagai peraih 9 penghargaan Adipura insya Allah siap menjadi tuan rumah Jambore Nasional #BebasSampah2020 Tahun 2017. Jambore Nasional #BebasSampah2020 Tahun 2017 merupakan momentum strategis berkumpulnya seluruh pegiat yang peduli terhadap persoalan persampahan di Indonesia demi terwujudnya kekuatan bersama untuk menciptakan berbagai solusi pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Sementara itu Ketua Panitia Lokal Jambore Nasional #BebasSampah Tahun 2017, Gemal Bakri, berharap dengan kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dalam mewujudkan Banda Aceh Bebas Sampah.

Gemal melanjutkan, “Di kota Banda Aceh saat ini sudah mulai diterapkan Sistem Waste Collecting Point (WCP). Sistem ini merupakan pengelolaan sampah pada sumbernya secara mandiri oleh warga desa, di mana satu fasilitas WCP mencakup 20-30 rumah tangga.”

Peserta jambore sedang melakukan diskusi di aula Universitas Ubudiyah, Banda Aceh, Sabtu (11/11/2017) | Foto: M. Nizar Abdurrani

Panitia dan pegiat komunitas Zero Waste Aceh (ZWA) Rama Herawati, menjelaskan, panitia pelaksana berinisiatif menjumpai para pimpinan lembaga pendidikan guna mengundang partisipasi peserta Jambore. Dengan cara ini, diharapkan para peserta dapat mengaplikasikan pengalamannya selama mengikuti Jambore ketika kembali ke sekolah dan kampus di Aceh. Sehingga, dapat mempercepat terwujudnya Aceh Bebas Sampah.

Koordinator Nasional Jambore Nasional #BebasSampah2020 Tahun 2017, Latansa Fashola Yahfa yang akrab dipanggil Sasa menjelaskan, “Kegiatan ini diharapkan dapat melibatkan 5 pelaku utama isu persampahan yang terdiri atas masyarakat, pemerintah, swasta, media dan tokoh masyarakat.”

Sasa menambahkan, kegiatan Jambore Nasional #BebasSampah2020 yang perdana sudah berhasil dilaksanakan di Kota Solo pada tahun sebelumnya dan telah menghasilkan Deklarasi Bebas Sampah Nasional 2020 serta 13 Isu Persampahan Nasional.

Dalam pelaksanaan Jambore tahun ini, panitia akan diluncurkan Green Pages, yaitu daftar lampiran yang berisi biodata komunitas pegiat lingkungan se-Nusantara.

Adapun bentuk kegiatan utama Jambore Nasional #BebasSampah2020 Tahun 2017, terdiri atas:
1. Forum lintas pemangku kepentingan dan para pakar;
2.  Diskusi roadmap percepatan menuju Indonesia Bebas Sampah 2020; serta
3.  Persiapan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2018.

[rel]

 

read more
Ragam

Membuat Manajemen Persampahan Banda Aceh Lebih Efisien

Coba anda perhatikan baik-baik setiap melewati tong sampah, bak sampah atau tempat sampah apapun disekitar anda. Dari kejauhan anda akan melihat bahwa tempat sampah tersebut seolah-olah sudah penuh, saat sudah dekat ternyata bukan tempat sampahnya yang penuh namun sampah berserakan diluar tempatnya. Bukankah masyarakat yang membuang sampah memang tujuannya ke dalam tong sampah namun mengapa banyak diantara mereka dengan kesadaran penuh malah membuang ke luar tong sehingga mengotori lingkungan sekitar. Kelihatan hal ini sepele. “Nanti kan tukang sampahnya bisa memungutnya kembali,” kata orang-orang. Persoalan lain adalah kebiasaan membuang tidak pada tempat yang disediakan, hal ini merupakan mentalitas jelek masyarakat yang terbentuk bertahun-tahun.

Kota Banda Aceh dapat menjadi contoh buruk kebiasaan membuang sampah. Ibu kota Provinsi Aceh ini mempunyai penduduk sekitar 217.940 jiwa. Produksi sampah rata-rata per orang adalah 0,2 kg/hari, suatu perkiraan yang moderat. Anda mungkin mengatakan tidak menghasilkan sampah sebanyak ini setiap hari, tapi ada pihak-pihak seperti industri, rumah makan, pertokoan dan lain sebagainya yang bisa menghasilkan sampah jauh lebih besar dari angka di atas. Anda tinggal mengalikan saja maka diperoleh sampah setiap harinya yaitu hasilnya 43.588 kg atau 43,588 ton/hari ! Ini baru hitungan yang menunjukkan berat sampah, belum lagi jika kita memperhitungan ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah sebanyak itu. Sebuah jumlah yang luar biasa besar. Ini barulah perkiraan sederhana, perlu penelitian yang mendalam berapa sebenarnya sampah yang diproduksi setiap hari, termasuk volumenya.

Sedikit bermain dengan matematika, mari kita menghitung kembali waktu yang dibutuhkan untuk membereskan sampah yang berserakan di luar tong sampah yang disediakn. Paling tidak 5-10 menit waktu petugas tersita untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, memasukkan kembali sampah kedalam tempatnya. Banyak waktu terbuang yang sebenarnya dapat digunakan petugas kebersihan untuk mengerjakan hal-hal lain. Perhitungan sederhana ini adalah asumsi penulis, yang sebenarnya sekedar untuk memberikan gambaran yang mendekati kenyataan. Ingat, disini yang dibicarakan adalah jumlah sampah yang sangat banyak, pengumpulan sampah yang dilakukan setiap hari dan banyaknya ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah.

Pada negara-negara yang sudah maju pengelolaan sampahnya seperti Malaysia, Singapura ataupun Jepang, masyarakat sudah memberikan kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah walaupun hal-hal yang mereka lakukan terlihat sepele. Jepang misalnya, masyarakatnya sudah terlatih untuk mengemas sampah di tingkat rumah masing-masing sesuai dengan jenisnya. Sampah kaca, kertas, plastik, elektronik dan sebagainya dipisahkan. Kemudian pada hari-hari tertentu mereka membuang sampah sesuai jenisnya misal; sampah kaca dibuang hari Selasa, plastik hari Rabu dan seterusnya. Mungkin terdengar menggelikan bagi orang Aceh, tapi hal seperti ini sangat penting di Jepang. Pengaturan sampah yang mulai dilakukan dari rumah memudahkan pemerintah untuk mengelola jutaan ton sampah-sampah dalam proses selanjutnya. Daur ulang, penggunaan ulang dan pemulihan (recycle, reuse & recovery) merupakan prinsip-prinsip utama pengelolaan sampah. Jika prinsip-prinsip ini dapat dijalankan maka pemerintah akan dengan mudah melakukan kegiatan pengelolaan sampah sesuai dengan jenisnya. Seperti kertas apakah di daur ulang, atau elektronika yang diambil komponen-komponen yang masih berguna untuk digunakan kembali dan sebagainya.

Manajemen pengelolaan sampah di Indonesia umumnya atau Aceh khususnya masih jauh dari apa yang kita sebutkan pada negara maju. Sampah plastik, kertas, beling, puntung rokok, bercampur aduk dibungkus dalam satu wadah. Bahkan banyak sampah tidak ditempatkan dalam bungkusan, cuma menuangkan saja ke bak sampah. Membuang sampah pun pada waktu yang sembarangan, kadang pagi, kadang sore. Walhasil program manajemen sampah yang telah disusun sedemikian canggih tidak akan pernah berhasil. Sebuah cerita lucu tentang pengelolaan sampah pasca tsunami menarik disimak. Negara Turki menyumbangkan truk sampah, compactor, artinya truk ini sekaligus memadatkan sampah sebelum ditempatkan dalam baknya. Ternyata truk ini tidak dapat bertahan lama alias segera mengalami kerusakan di bagian compactor nya. Mesin menjadi cepat rusak karena terlalu banyak memadatkan sampah yang masih bercampur dengan material keras dan besar. Misalnya ada yang membuang besi, kayu dengan beragam ukuran, barang elektronik, sehingga mesin pemadat sampah tidak sanggup bekerja lagi. Akhirnya truk inipun digunakan secara manual kembali yaitu sekedar menampung sampah pada baknya. Padahal akan sangat banyak sampah yang dapat diangkut jika mesin compactor tetap berfungsi dengan baik.

Manajemen persampahan Aceh masih belum begitu efisien. Bagaimana mau mendaur ulang sampah kalau sampahnya saja bercampur aduk tidak karuan. Perlu waktu ratusan jam untuk memilah-milahnya yang pada akhirnya akan membutuhkan banyak waktu sehingga berimplikasi membutuhkan biaya yang lebih mahal. Belum lagi kalau kita membicarakan tentang teknologi daur ulang sampah yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Program manajemen pengelolaan sampah susah-susah gampang. Seorang ahli manajemen limbah pasca sarjana Unsyiah pernah menyatakan tidak setuju benar dengan program kompos sebagai cara utama penanggulangan sampah.
Sangat sedikit sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat diolah menjadi pupuk atau kompos. Hanya sampah organik seperti sayuran, ikan, sisa nasi ataupun sampah yang berasal dari makhluk hidup yang dapat menjadi kompos. Bagaimana dengan sisanya seperti sampah anorganik, besi, kayu, elektronik, kertas dan lain sebagainya? Ahli ini lebih setuju dengan manajemen sampah yang dimulai dari rumah warga. Pemilahan sampah, pembagian hari membuang sampah dan semacamnya oleh warga merupakan langkah strategis pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Sehingga sampah jutaan ton dapat menjadi barang yang berguna kembali sebanyak jutaan ton pula. Ini sebenarnya sangat sesuai dengan teori kekekalan massa yaitu massa tidak dapat dimusnahkan atau diciptakan. Yang dapat dilakukan manusia hanyalah merubah-rubah bentuk massa atau benda.

Pemerintah Aceh kini sedang membangun Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah yang terletak di Desa Data Makmur kecamatan Blang Bintang Aceh Besar. TPA ini menerapkan sistem Sanitary Landfill, artinya setiap lapisan sampah yang terbentuk setiap hari akan segera ditutup dengan lapisan tanah setiap hari juga. TPA Sanitary Landfill dengan penanganan sesuai konsep tidak akan menimbulkan bau, tidak mengundang banyak lalat dan tidak kotor. TPA ini merupakan TPA regional yang menampung sampah dari daerah kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dengan Luas 200 ha, diharapkan TPA dengan teknologi tercanggih di Indonesia ini, akan mampu bertahan hingga 17 tahun. Sekali lagi, pertanyaan selanjutnya, apakah TPA ini akan efektif jika pengelolaan sampah di tingkat masyarakat masih seperti sekarang? Secara pribadi saya ragu, karena system Sanitary Landfill mengharuskan sampah yang telah dikondisikan sesuai dengan jenis. Apalagi TPA Blang Bintang juga berencana akan mendaur ulang sampah sehingga dapat bermanfaat kembali dan mempunyai nilai ekonomis.

Slogan buanglah sampah pada tempatnya banyak kita baca dimana-mana. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah dimana tempatnya aliasnya tong sampahnya? Setelah ada tong sampah, apalagi yang harus kita lakukan? Jangan sampai sudah ada tong sampah masih juga membuang sampah di luar tempatnya. Kalau membuang sampah pada tempatnya saja kita belum bisa, bagaimana melakukan hal-hal lain yang lebih rumit. Maka dari itu buanglah sampah pada tempatnya, jangan di luarnya. []

read more
Green Style

Meluruskan Mitos Plastik Biodegradable

Tahun-tahun belakangan ini muncul produk kantong plastik yang diklaim dapat terurai dengan sendirinya di alam (biodegradable). Produk ini semakin meluas pemakaiannya oleh konsumen di berbagai negara. Biasanya di kantong plastik ini sendiri tertulis kalimat biodegradable, walaupun masih banyak yang tidak memahami maksud dari kalimat itu. Namun pertanyaannya adalah apakah plastik itu benar-benar terurai secara alami? 

Konsumen perlu memahami apa itu Plastic  Biodegradable (PB) agar benar-benar dapat membuat keputusan berkelanjutan. Iklan pemasaran produk PB telah “mengacaukan”, membuat banyak konsumen percaya bahwa produk plastik yang mereka beli lebih ramah lingkungan daripada yang sebenarnya. Sebenarnya tidak demikian adanya. Sejumlah kekeliruan pemahaman telah menghinggapi masyarakat. 

Istilah “Biodegradable”
Biodegradable bukan didefinisikan oleh dari mana bahan bersumber tetapi dengan komposisi bahan itu sendiri. Saat ini, pasar didominasi oleh plastik yang berasal dari petroleum tahan lama, biasanya diidentifikasi oleh nomor identifikasi resin 1 sampai 7. Secara umum (masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan materi sendiri), plastik ini disintesis karena fleksibilitas dan kekuatan mereka dan daya tahan terhadap pelapukan alami, suatu keharusan dalam banyak produk dan kemasan produk. Hal ini berlaku untuk banyak polimer berbasis bio saat ini.

Sifat yang diinginkan tersebut menghasilkan plastik sangat halus dengan panjang rantai polimer kompleks yang sangat tahan terhadap degradasi alam (seperti oleh mikroorganisme). Sebagian besar plastik di pasar saat ini tidak biodegradable, bahkan bahan yang bersumber dari biomassa terbarukan sendiri.

Tapi bagaimana dengan plastik yang diberi label oleh produsen sebagai biodegradable? Klaim biodegradabilitas biasanya tidak diikuti dengan petunjuk eksplisit tentang bagaimana membuat plastik ini terurai, atau bagaimana biodegradable plastik sebenarnya.

Misalnya, poliasamlaktat (PLA) adalah salah satu yang paling umum disebut bioplastik yang “biodegradable” yang digunakan saat ini. PLA terbuat dari jagung, jadi orang menganggap itu hanya seperti batang jagung yang dibiarkan di lingkungan. Jelas ini tidak terjadi. Hanya jika PLA terkena suhu dan kelembaban kondisi yang tepat (seperti dalam komposter industri) massa PLA akan berkurang seiring waktu berjalan. Tapi jangan berharap PLA akan terurai di halaman belakang anda seperti kompos.

Bioplastik sering digabungkan dengan biodegradasi hanya karena fakta bahwa mereka bersumber dari biomassa terbarukan. Bahkan, sebagian besar plastik “hijau” di pasar tidak mudah terurai. Sebagian besar memerlukan pengolahan di fasilitas pengomposan industri di mana suhu, kelembaban dan paparan sinar UV dapat diatur secara ketat. Bahkan dalam fasilitas tersebut, beberapa plastik biodegradable dapat memakan waktu hingga satu tahun untuk diproses sepenuhnya. Lihat bagaimana label “biodegradable” ternyata agak menyesatkan?

Bahkan jika biodegradabilitas dari plastik itu sendiri tidak masalah, kita daur ulang, infrastruktur masih kurang siap untuk benar-benar mengelola plastik lebih biodegradable. Pada tahun 2012, sekitar 3.100 program pengomposan di AS menghasilkan 21 juta ton sampah organik, sementara hampir 50 juta ton sisanya tersisa dipembuangan.  Tanpa keseriusn untuk memperkuat kemampuan pemrosesan polimer biodegradable, kita akan hanya akan menghasilkan lebih banyak limbah untuk pembuangan sampah dan insinerator.

Masa Depan Biodegradable Plastik
Plastik biodegradable masih hanya masuk akal dalam sangat terbatas, situasi jangka pendek. Alasannya sederhana: Mengapa menghabiskan energi dan sumber daya memproduksi polimer plastik biodegradable sangat halus, hanya untuk benar-benar mengorbankan nanti melalui pengomposan atau biodegradasi alami? Sebagai strategi jangka pendek untuk mengurangi sampah di pasar, itu cukup masuk akal; sebagai strategi jangka panjang untuk mengimbangi ketergantungan berkelanjutan pada plastik yang berasal dari petroleum, tidak masuk akal.

Konsumen harus memahami bahwa plastik biodegradable bukan alternatif berkelanjutan yang ramah lingkungan sebagaimana yang sering diiklankan. Bioplastik tahan lama yang dapat didaur ulang jauh lebih realistis bagi jangka panjang, bukannya membiarkan bioplastik ini berada dalam tumpukan kompos. Bioplastik ini paling hanya hancur menjadi  bentuk serpihan-serpihan kecil yang kemudian mengalir kemana-kemana dibawa air. Hal ini sangat berbahaya karena bisa masuk ke dalam rantai makanan manusia.

Sumber: www.sustainablebrands.com

read more
Green Style

Hari Peduli Sampah 2016, Komunitas Bersih-bersih Pantai Legian

Peringatan Hari Peduli Sampah yang dilakukan setiap tanggal 21 Februari dapat dijadikan ajang untuk merefleksikan kepedulian terhadap lingkungan dengan berbagai cara, termasuk menjaga serta melindungi lingkungan tempat tinggal. Sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, Coca-Cola Amatil Indonesia (CCAI) dalam kesempatan ini turut serta mengkampanyekan pentingnya pelestarian lingkungan bagi kelangsungan hidup saat ini dan generasi yang akan datang.

Salah satu kegiatan rutin CCAI & Quiksilver Indonesia yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan adalah Bali Beach Clean Up (BBCU). Kegiatan bersih bersih pantai setiap hari sejak tahun 2008 lalu itu dilakukan di 5 pantai di Bali yaitu Kuta, Legian, Seminyak, Jimbaran, dan Kedonganan, serta sering menjadi contoh kegiatan lingkungan yang sangat mendapat tanggapan positif dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan.

Sebagai bagian dari BBCU, CCAI, Quiksilver dan ratusan Komunitas Pantai melanjutkan kembali aksi Community Beach Clean Up Day sejak awal Februari lalu. Diadakan di Pantai Legian minggu ini, aksi Community Beach Clean Up merupakan upaya untuk memberikan dorongan positif untuk menjaga kebersihan dan kelestarian pantai di Bali.

Kegiatan bersama ini didukung pemerintahan lokal seperti Desa Adat dan pengelola pantai juga komunitas pecinta pantai dan Hotel sekitar seperti Hard Rock Hotel, Hard Rock Café, Harris Kuta, Inna Kuta, FHR Legian, Niksoma Hotel, Bali Mandira, Padma Hotel, The Magani, Swiss Bell Legian, Surfer Girls, Enviro Pallets, Role Foundation, Baliwaves, Indosurflife, Padma Boys, Lippo Group dan BaleBenggong. Community Beach Clean Up rutin berlangsung setiap dua minggu sekali dan telah berhasil menarik minat para wisatawan lokal dan mancanegara untuk turut menjaga kebersihan pantai dengan ikut terjun langsung memunguti sampah.

Sejak mulai beroperasi di Indonesia hampir 24 tahun yang lalu, tumbuh bersama dengan masyarakat dan memberikan kontribusi untuk lingkungan selalu menjadi bagian penting dari bisnis CCAI. Upaya CCAI dalam menerapkan bisnis yang berkelanjutan terfokus pada empat pilar CSR yaitu lingkungan hidup (environment), lingkungan kerja (workplace), lingkungan pasar (marketplace), dan masyarakat (community) dimana CCAI beroperasi.

Di Bali, CCAI telah mendukung kegiatan masyarakat sekitar pabrik dan fasilitas CCAI melalui bantuan pendidikan, alokasi ratusan tempat sampah untuk membantu pengelolaan sampah pasca-konsumsi, menjalankan program Bali Beach Celan Up untuk partisipasi dalam menjaga lingkungan, mendirikan dan berkontribusi dalam pengelolaan Kuta Beach Sea Turtle Conservation, dan promosi gaya hidup sehat dan aktif melalui berbagai kegiatan olahraga, termasuk program pelatihan sepakbola, Coke Kicks.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Sampah Perkotaan Negara Miskin Capai 10 Miliar Ton

Sampah perkotaan di negara-negara Asia dan negara-negara miskin di Afrika akan berlipat ganda pada 2030. Setiap tahun, kota-kota dunia memproduksi 7-10 miliar ton sampah. Sementara sebanyak 3 miliar penduduk dunia tidak memiliki tempat pembuangan sampah yang layak.

Hal ini terungkap dari laporan terbaru Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Asosiasi Sampah Padat Internasional atau International Solid Waste Association (ISWA) yang dirilis Senin, 7 September 2014.

Laporan berjudul “Global Waste Management Outlook” ini menyebutkan, pertumbuhan populasi, urbanisasi dan terus meningkatnya konsumsi dunia menjadi penyebab utama peningkatan jumlah sampah di perkotaan.

Yang memprihatinkan, volume sampah perkotaan diperkirakan akan berlipat ganda (naik dua kali lipat) di negara-negara Asia dan negara-negara miskin di Afrika pada 2030.

Menurut Direktur Eksekutif UNEP, Achim Steiner, jika mau beraksi secara sistematis menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), dunia akan bisa mengubah masalah sampah menjadi sumber ekonomi masyarakat. “Namun dunia akan menderita kerugian akibat sampah 5-10 kali lipat jika mereka tidak beraksi,” ujar Steiner.

Masalah sampah masih menjadi masalah sistemik di negara-negara berkembang. Pendidikan masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan masih sangat kurang sehingga mereka masih banyak yang suka membuang sampah sembarangan. Ditambah lagi sistem pengelolaan sampah yang masih serampangan masih terus berlangsung.

Harapan mengemuka. Banyak komunitas yang saat ini telah mengelola sendiri sampah mereka dengan konsep Bank Sampah, menerapkan prinsip 3R secara sederhana. Inspirasi ini harus terus digaungkan bersama dengan edukasi yang terus menerus mulai dari level pendidikan pra sekolah, baik pendidikan umum maupun agama.

Jutaan lapangan kerja ramah lingkungan (green jobs) bisa tercipta dari sektor ini. Manfaat ekonomi dari pengelolaan sampah bisa mencapai ratusan miliar dolar. Mengelola sampah dengan baik juga akan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.

Laporan ini menyeru agar dunia menciptakan solusi yang terintegrasi atas masalah sampah perkotaan ini, termasuk perbaikan pengumpulan dan pembuangan sampah, mencegah produksi sampah dan memaksimalkan aksi penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycling). Kisah sukses pengelolaan sampah dari berbagai negara juga bisa ditemukan dalam laporan ini.

Sumber: hijauku.com

read more
Green Style

Ratusan Relawan Langsa Kumpulkan Sampah Kota

Sebanyak 100 relawan lintas batas batas institusi meliputi Polres Langsa, SMU 3, STIKES Bustanul Ulum Langsa, Mapala Cagar Monisa, Pema Unsam, Polhut Kota Langsa, LP2M, dan masyarakat Kuala Langsa menggelar kegiatan pembersihan sekaligus pendataan sampah di lokasi Kawasan Eskosistem Mangrove Kuala Langsa, Minggu (12/4).

Koordinator Kegiatan, Ratno Sugito mengatakan, kegiatan pendataan sampah ini merupakan bagian dari kegiatan peringatan Hari Bumi yang dilakukan Pemko Langsa dan lintas batas komunitas dan LSM yang ada di Kota Langsa.

Selain itu, kata Ratno, hasil dari pendataan sampah ini dapat menjadi bahan rujukan atau pertimbangan Pemko Langsa dalam mengambil kebijakan ke depan, terkait dengan pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove.

Dikatakan, kegiatan kampanye bersama berbasis edukasi dan penelitian ini baru pertama sekali dilakukan di Langsa yang mendukung program Pemko menjadikan Kota Langsa sebagai kota hijau (green city).

Dari hasil pengutipan, para relawan berhasil mengumpulkan sampah sebanyak 107 Kg dari kantong 33 yang dibagi dalam tiga katagori. “Katagori sampah industri, sampah harian, sampah laut, dan sampah obat-obatan,” kata Ratno.

Ratno mengatakan, hasilnya juga akan dibahas dalam seminar tentang pelestarian mangrove yang akan dilaksanakan di hari puncak peringati hari bumi pada 25 April 2015. “Kita berharap bisa melahirkan rekomendasi yang menjadi landasan kebijakan Pemko dalam melestarikan Kawasan Ekosistem Mangrove,” pungkas Ratno.

Sementara itu, Ketua Panitia Hari Bumi, Sayed Zahirsyah mengatakan, Pemko Langsa, Lembaga Pengelola Pesisir Meuseuraya (LP2M), dan lintas komunitas di Langsa sedang menyiapkan acara puncak peringati Hari Bumi 2015 dengan mengagendakan rencana kedatangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya.

“Kami berharap semua pihak ikut mendukung suksesnya kegiatan ini, karena hajat ini adalah untuk kepentingan masyarakat di seluruh pantai timur Aceh,” pungkas Sayed Zahirsyah. (rel)

read more
1 2 3 4
Page 1 of 4