close

sampah

Kebijakan Lingkungan

Jakarta Denda 50 Juta bagi Perusahaan Buang Sampah Sembarangan

Kepala Dinas Kebersihan DKI Unu Nurdin mengatakan, pihaknya akan melakukan sosialisasi terkait denda bagi warga dan perusahaan yang buang sampah sembarangan.

Menurut Nurdin, penegakan terhadap Peraturan Daerah Nomor Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah itu perlu disosialisasi terlebih dahulu, supaya masyarakat tidak kaget. “Bisa kaget nanti toh, denda itu bukan tujuan utama,” kata dia di Jakarta, Kamis (14/11/2013).

Ia melanjutkan, untuk membangun kesadaran masyarakat perlu waktu yang panjang, salah satunya butuh pendekatan yang banyak agar terbangun kesadaran tersebut.

“Kalau pengawasan, nanti petugas akan patroli kali dibantu dengan Satpol PP dan unsur TNI. Namun kami masih hitung berapa personil yang turun dan operasionalnya,” tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Gubernur Joko Widodo nampaknya mulai kesal dengan ulah warga yang seenaknya membuang sampah sembarangan, khususnya di sungai. Ia pun mengatakan akan memberikan sanksi tegas.

Pria yang akrab disapa Jokowi itu mengatakan akan menerapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah secara ketat, sehingga warga tidak bisa lagi sembarangan membuang sampah.

“Itu dendanya sebesar Rp 500 ribu untuk masyarakat, sementara kalau perusahaan Rp 50 juta jika buang sampah sembarang,” tegasnya.[]

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

TRASHED, Ketika Sampah Menjadi Bencana

Sampah adalah permasalahan kita. Jika kita masih berpikir sampah adalah masalah orang lain, pikirkanlah kembali pendapat itu. Ini adalah kutipan pendapat yang kuat dari Karina Kartika Sari Dewi Soekarno.

“Saya senang bisa pulang kampung,” ujar Karina Kartika Sari Dewi Soekarno dalam acara makan siang bersama jurnalis di Erasmushuis, Jakarta Selatan (7/11/2013). Kartika merupakan putri termuda dari mendiang Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Masa kecilnya dihabiskan di kota mode dunia, Paris.

Kartika berkisah sejak tiga tahun lalu dia tinggal di Jakarta karena harus mengikuti pekerjaan suaminya. Selama di Indonesia dia dan keluarganya kerap melancong. Dia pun mengisahkan tentang kesan keindahan tempat-tempat di Indonesia, namun sekaligus juga kesan kesedihan tatkala menyaksikan sampah.

Menurutnya, sampah plastik telah bertebaran di mana-mana sementara jumlah tempat sampah tampaknya tak mencukupi. Kartika berujar, “Bencana itu adalah soal sampah.”

Siang itu, Erasmushuis bekerja sama dengan Kartika Soekarno Foundation menayangkan cuplikan film dokumenter Trashed yang disutradarai oleh Candida Brady dan dibintangi oleh pesohor asal inggris, Jeremy Irons. Sebagian dari kita mungkin masih ingat salah satu penampilan Jeremy di film The Man in the Iron Mask atau dalam Die Hard with a Vengeance bersama Bruce Willis.

Film Trashed bercerita tentang ulah manusia yang tak bertanggung jawab dengan membuang sampah dan limbah secara berlebihan. Akibatnya, timbulnya krisis sampah global, meningkatnya biaya lingkungan, kesehatan, dan masalah kemanusiaan. Pemutaran perdana film ini digelar pada Cannes Film Festival 2012, dan mendapat nominasi sebagai film dokumenter terbaik pada Raindance Film Festival.

Kartika berharap film ini menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang sampah plastik,  sehingga ada perubahan dalam gaya hidup modern. “Saya berharap film ini dapat memberikan dampak yang kuat terhadap pemangku kepentingan, dan masyarakat.”

“Permasalahan yang disampaikan dalam film ini merupakan masalah sampah global. Bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara lain,” ujar  Wouter Plomp selaku perwakilan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Wouter yang duduk di samping Kartika pun mengingatkan, “Jangan lupa untuk datang ke Erasmus Huis untuk menyaksikan pemutaran perdana Trashed.”

Acara pemutaran perdana film tersebut digelar pada Senin, 11 November 2013 yang turut dihadiri Jeremy Irons.  Pemutaran perdana tersebut sekaligus membuka acara festival film dokumenter Erasmusindocs yang diselenggarakan pada 12-16 November 2013 di Erasmus Huis, Jakarta.

Berikut cuplikan filmnya.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Ragam

Siswa SMP buat Pupuk Organik dari Sampah Buah

Sekelompok pelajar SMP 1 Rangkas Bitung, Provinsi Banten, membuat pengolahan sampah bonggol pisang menjadi mikroorganisme lokal, salah satu jenis Pupuk organik cair (POC). POC  adalah larutan dari pembusukan berbagai bahan organik, seperti sisa-sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia, yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur.

Pembuatannya terbilang mudah juga. Mikroorganisme lokal merupakan larutan hasil fermentasi yang berasal dari pembusukan yang mudah terurai. Dengan adanya mikroorganisme lokal, maka akan memudahkan petani menggunakan pupuk cair bersifat organik, sehingga penggunaan pupuk kimia dapat dikurangi.

Biaya yang dibutuhkan pun murah. Bahan bisa didapat dari macam-macam buah yang hampir busuk—pisang, pepaya, mangga, mentimun— serta campuran gula merah dan air kelapa.

Kelebihan POC di antaranya adalah cepat mengatasi defisiensi hara dan tidak masalah dalam pencucian hara.

Para pelajar yang melakukan pengembangan ide pemanfaatan ini ialah Raditya Maulidhan Nugraha, Pieter Edward Riwu, dan Ria Yuliati.

Melalui proyek ini ketiganya di bawah pendampingan guru mereka Corina Margaretha, masuk sebagai salah satu nominator Kompetisi Anak dan Remaja Bumiku Rumahku untuk Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan.

Sampah bonggol pisang yang mereka olah ke pupuk menjadi berguna dan punya nilai ekonomi.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Sains

Desainer Ini Membuat Plastik dari Kumbang Mati

Mungkin suatu hari nanti kita akan makan dengan sendok dan cangkir dibuat dengan kerang kumbang mati? Desainer Belanda Aagje Hoekstra berharap begitu. Lulusan Utrecht School of Arts baru-baru memamerkan karyanya di Eindhoven Design Week Belanda yang terbuat dari kerang yang bersumber dari kumbang yang mati.

Hoekstra mengatakan bioplastik yang dibuatnya memberikan ” kehidupan kedua ” untuk produk dari tanah pertanian, mengubahnya menjadi bahan yang tahan air dan tahan panas hingga 200 derajat Celcius.

Di Belanda larva kumbang dibiakkan untuk industri makanan hewan tetapi mereka berubah menjadi kumbang. Setelah bertelur kumbang mati, sehingga peternakan serangga di Belanda menghasilkan 30 kilogram kumbang mati setiap minggu.

Untuk mengambil sisa kumbang, Hoekstra mengupas mereka hingga hanya tinggal kerang, yang terdiri dari polimer alami yang disebut kitin. Hoekstra mengubah kitin menjadi kitosan, yang terjadi pada tingkat molekuler. Kitosan kemudian dapat dirubah menjadi plastik dengan panas, dicetak dengan pola yang khas.

” Saya ingin menjaga struktur kumbang dalam plastik sehingga Anda tahu di mana mereka berasal,” kata Hoekstra.

Sejauh ini, Hoekstra telah menciptakan beberapa potongan perhiasan dengan bahan ini menarik  dan ini bukan satu-satunya contoh bioplastik dari serangga yang dapat dilihat. Mungkin ada sedikit faktor menjijikan di sini , tapi mengingat dampak positif yang ditimbulkan ini patut diapresiasi. Bioplastik serangga merupakan langkah cerdas pintar penggunaan kembali benda-benda terbuang.

Sumber: treehugger.com

read more
Ragam

Pencemaran adalah Masalah Hidup dan Mati

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan 3 juta orang tewas setiap tahun di seluruh dunia oleh polusi udara luar ruangan dari kendaraan dan emisi industri dan 1,6 juta tewas di dalam ruangan karena penggunaan bahan bakar padat. Sebagian besar korban terdapat di negara-negara miskin.

Penyakit yang dibawa melalui air bertanggung jawab atas 80 persen dari penyakit dan kematian di negara berkembang, membunuh seorang anak setiap delapan detik . Setiap tahun 2,1 juta orang meninggal akibat penyakit diare yang berhubungan dengan air yang buruk.

Polusi yang membunuh ribuan ikan di Danau Kankaria di Ahmadabad, India | Foto: bbc.news.uk

Tanah yang terkontaminasi merupakan masalah di negara-negara industri , di mana bekas pabrik dan pembangkit listrik meninggalkan limbah seperti logam berat dalam tanah. Hal ini juga dapat terjadi di negara berkembang, kadang-kadang digunakan untuk pestisida. Pertanian dapat mencemari tanah dengan pestisida, pupuk nitrat dan lumpur dari hewan ternak . Dan ketika kontaminasi mencapai sungai itu merusak kehidupan biota perairan dan bahkan dapat membuat zona mati di lepas pantai seperti di Teluk Meksiko.

Masalah kronis
Kita sering berpikir tentang kontaminasi bahan kimia seperti yang terjadi di Bhopal India. Tapi masalahnya lebih luas. Sebuah studi mengatakan 7-20 persen kanker disebabkan udara yang buruk dan polusi di rumah dan tempat kerja.

WHO khawatir tentang bahan kimia yang menetap dalam tubuh terutama pada orang muda mengatakan, ” Kita melakukan percobaan skala besar dengan kesehatan anak-anak”. Beberapa bahan kimia buatan manusia, seperti phthalates dan nonilfenol – produk turunan spermisida, kosmetik dan deterjen – disalahkan sebagai penyebab perubahan alat kelamin dari beberapa hewan.

Spesies yang terkena dampak termasuk beruang kutub – bahkan Arktik pun tidak kebal. Bahan kimia memanjat rantai makanan, dari ikan ke mamalia dan kemudia manusia.

Sekitar 70.000 bahan kimia tersedia di pasar, 1.500 bahan yang baru muncul setiap tahunnya. Setidaknya 30.000 bahan kimia ini diperkirakan tak pernah secara komprehensif diuji dampak risikonya untuk orang.

Tantangan utama adalah kehidupan modern yang terus menuntut hal-hal baru demi kelangsungan hidup yang lebihe nyaman. Di satu sisi kita memegang prinsip kehati-hatian dalam produksi barang namun disisi lain kita mau tidak mau melakukan trade off dalam hal lain.

Pestisida DDT sangat merusak bagi liar dan dapat mempengaruhi sistem saraf manusia tetapi juga efektif terhadap malaria. Manakah yang lebih penting?

Komplikasi lain dalam menanggulangi pencemaran adalah bahwa pencemaran tidak menghormati batas-batas politik. Ada sebuah konvensi PBB tentang polusi udara lintas batas , tapi itu tidak dapat mencakup setiap masalah yang bisa timbul antara tetangga atau antara negara-negara yang tidak perbatasan.

Mungkin contoh terbaik adalah perubahan iklim – negara-negara di seluruh dunia berbagi satu atmosfer – sehingga mempengaruhi seluruh dunia.

Untuk satu dan semuanya
Salah satu prinsip yang seharusnya berlaku di sini sangat sederhana – Pencemar membayar (Polluter pays).

Kadang-kadang jelas siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus membayarnya. Tapi ini bukan jalan keluar yang mudah dengan hanya meminta dana dari pencemar. Apakah kita semua senang membayar biaya atas polusi yang kita hasilkan?

Salah satu cara lain adalah merancang produk untuk didaur ulang atau merancang produk yang lebih tahan lama.

Generasi sebelumnya bekerja pada asumsi bahwa membuang limbah adalah cara yang tepat untuk menyingkirkannya. Jadi kita membuang sampah nuklir dan bahaya potensial lainnya di kedalaman laut dan yakin mereka tidak akan tersebar.

Kita sekarang berpikir bahwa metode pembuangan seperti itu terlalu riskan. Salah satu penulis mengatakan,” Tidak ada tempat untuk ‘pergi’  dan tidak ada orang yang seperti ‘yang lain’ “. Jadi tanya dampaknya terjadi untuk siapa, dampak pencemaran menimpa kita semua pada akhirnya.

Sumber: bbc.co.uk

read more
Tajuk Lingkungan

Buanglah Sampah Pada Tempatnya…

Coba anda perhatikan baik-baik setiap melewati tong sampah, bak sampah atau tempat sampah apapun disekitar anda. Dari kejauhan anda akan melihat bahwa tempat sampah tersebut seolah-olah sudah penuh, saat sudah dekat ternyata bukan tempat sampahnya yang penuh namun sampah berserakan diluar tempatnya. Bukankah masyarakat yang membuang sampah memang tujuannya ke dalam tong sampah namun mengapa banyak diantara mereka dengan kesadaran penuh malah membuang ke luar tong sehingga mengotori lingkungan sekitar. Kelihatan hal ini sepele.

“Nanti kan tukang sampahnya bisa memungutnya kembali,” kata orang-orang. Persoalan lain adalah kebiasaan membuang tidak pada tempat yang disediakan, hal ini merupakan mentalitas jelek masyarakat yang terbentuk bertahun-tahun.

Kota Banda Aceh dapat menjadi contoh buruk kebiasaan membuang sampah. Ibu kota Provinsi Aceh ini mempunyai penduduk sekitar 217.940 jiwa. Produksi sampah rata-rata per orang adalah 0,2 kg/hari, suatu perkiraan yang moderat.

Anda mungkin mengatakan tidak menghasilkan sampah sebanyak ini setiap hari, tapi ada pihak-pihak seperti industri, rumah makan, pertokoan dan lain sebagainya yang bisa  menghasilkan sampah jauh lebih besar dari angka di atas. Anda tinggal mengalikan saja maka diperoleh sampah setiap harinya yaitu hasilnya 43.588 kg atau 43,588 ton/hari ! Ini baru hitungan yang menunjukkan berat sampah, belum lagi jika kita memperhitungan ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah sebanyak itu. Sebuah jumlah yang luar biasa besar. Ini barulah perkiraan sederhana, perlu penelitian yang mendalam berapa sebenarnya sampah yang diproduksi setiap hari, termasuk volumenya.

Sedikit bermain dengan matematika, mari kita menghitung kembali waktu yang dibutuhkan untuk membereskan sampah yang berserakan di luar tong sampah yang disediakn. Paling tidak 5-10 menit waktu petugas tersita untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, memasukkan kembali sampah kedalam tempatnya. Banyak waktu terbuang yang sebenarnya dapat digunakan petugas kebersihan untuk mengerjakan hal-hal lain. Perhitungan sederhana ini adalah asumsi penulis, yang sebenarnya sekedar untuk memberikan gambaran yang mendekati kenyataan. Ingat, disini yang dibicarakan adalah jumlah sampah yang sangat banyak, pengumpulan sampah yang dilakukan setiap hari dan banyaknya ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah.

Pada negara-negara yang sudah maju pengelolaan sampahnya seperti Malaysia, Singapura ataupun Jepang, masyarakat sudah memberikan kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah walaupun hal-hal yang mereka lakukan terlihat sepele. Jepang misalnya, masyarakatnya sudah terlatih untuk mengemas sampah di tingkat rumah masing-masing sesuai dengan jenisnya. Sampah kaca, kertas, plastik, elektronik dan sebagainya dipisahkan. Kemudian pada hari-hari tertentu mereka membuang sampah sesuai jenisnya misal; sampah kaca dibuang hari Selasa, plastik hari Rabu dan seterusnya. Mungkin terdengar menggelikan bagi orang Aceh, tapi hal seperti ini sangat penting di Jepang. Pengaturan sampah yang mulai dilakukan dari rumah memudahkan pemerintah untuk mengelola jutaan ton sampah-sampah dalam proses selanjutnya.

Daur ulang, penggunaan ulang dan pemulihan (recycle, reuse & recovery) merupakan prinsip-prinsip utama pengelolaan sampah. Jika prinsip-prinsip ini dapat dijalankan maka pemerintah akan dengan mudah melakukan kegiatan pengelolaan sampah sesuai dengan jenisnya. Seperti kertas apakah di daur ulang, atau elektronika yang diambil komponen-komponen yang masih berguna untuk digunakan kembali dan sebagainya.

Manajemen pengelolaan sampah di Indonesia umumnya atau Aceh khususnya masih jauh dari apa yang kita sebutkan pada negara maju. Sampah plastik, kertas, beling, puntung rokok, bercampur aduk dibungkus dalam satu wadah. Bahkan banyak sampah tidak ditempatkan dalam bungkusan, cuma menuangkan saja ke bak sampah. Membuang sampah pun pada waktu yang sembarangan, kadang pagi, kadang sore. Walhasil program manajemen sampah yang telah disusun sedemikian canggih tidak akan pernah berhasil. Sebuah cerita lucu tentang pengelolaan sampah pasca tsunami menarik disimak.

Negara Turki menyumbangkan truk sampah, compactor, artinya truk ini sekaligus memadatkan sampah sebelum ditempatkan dalam baknya. Ternyata truk ini tidak dapat bertahan lama alias segera mengalami kerusakan di bagian compactor nya. Mesin menjadi cepat rusak karena terlalu banyak memadatkan sampah yang masih bercampur dengan material keras dan besar. Misalnya ada yang membuang besi, kayu dengan beragam ukuran, barang elektronik, sehingga mesin pemadat sampah tidak sanggup bekerja lagi. Akhirnya truk inipun digunakan secara manual kembali yaitu sekedar menampung sampah pada baknya. Padahal akan sangat banyak sampah yang dapat diangkut jika mesin compactor tetap berfungsi dengan baik.

Manajemen persampahan Aceh masih belum begitu efisien. Bagaimana mau mendaur ulang sampah kalau sampahnya saja bercampur aduk tidak karuan. Perlu waktu ratusan jam untuk memilah-milahnya yang pada akhirnya akan membutuhkan banyak waktu sehingga berimplikasi membutuhkan biaya yang lebih mahal. Belum lagi kalau kita membicarakan tentang teknologi daur ulang sampah yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Program manajemen pengelolaan sampah susah-susah gampang. Seorang ahli manajemen limbah pasca sarjana Unsyiah pernah menyatakan tidak setuju benar dengan program kompos sebagai cara utama penanggulangan sampah.

Sangat sedikit sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat diolah menjadi pupuk atau kompos. Hanya sampah organik seperti sayuran, ikan, sisa nasi ataupun sampah yang berasal dari makhluk hidup yang dapat menjadi kompos. Bagaimana dengan sisanya seperti sampah anorganik, besi, kayu, elektronik, kertas dan lain sebagainya? Ahli ini lebih setuju dengan manajemen sampah yang dimulai dari rumah warga. Pemilahan sampah, pembagian hari membuang sampah dan semacamnya oleh warga merupakan langkah strategis pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Sehingga sampah jutaan ton dapat menjadi barang yang berguna kembali sebanyak jutaan ton pula. Ini sebenarnya sangat sesuai dengan teori kekekalan massa yaitu massa tidak dapat dimusnahkan atau diciptakan. Yang dapat dilakukan manusia hanyalah mengubah bentuk massa atau benda.

Pemerintah Aceh kini sedang membangun Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah yang terletak di Desa Data Makmur kecamatan Blang Bintang Aceh Besar. TPA ini menerapkan sistem Sanitary Landfill, artinya setiap lapisan sampah yang terbentuk setiap hari akan segera ditutup dengan lapisan tanah setiap hari juga. TPA Sanitary Landfill dengan penanganan sesuai konsep tidak akan menimbulkan bau, tidak mengundang banyak lalat dan tidak kotor. TPA ini merupakan TPA regional yang menampung sampah dari daerah kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dengan Luas 200 ha, diharapkan TPA dengan teknologi tercanggih di Indonesia ini, akan mampu bertahan hingga 17 tahun. Sekali lagi, pertanyaan selanjutnya, apakah TPA ini akan efektif jika pengelolaan sampah di tingkat masyarakat masih seperti sekarang?

Secara pribadi saya ragu, karena system Sanitary Landfill mengharuskan sampah yang telah dikondisikan sesuai dengan jenis. Apalagi TPA Blang Bintang juga berencana akan mendaur ulang sampah sehingga dapat bermanfaat kembali dan mempunyai nilai ekonomis.

Slogan buanglah sampah pada tempatnya banyak kita baca dimana-mana. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah dimana tempatnya aliasnya tong sampahnya? Setelah ada tong sampah, apalagi yang harus kita lakukan? Jangan sampai sudah ada tong sampah masih juga membuang sampah di luar tempatnya. Kalau membuang sampah pada tempatnya saja kita belum bisa, bagaimana melakukan hal-hal lain yang lebih rumit. Maka dari itu buanglah sampah pada tempatnya, jangan di luarnya. [m.nizar abdurrani]

read more
1 2 3 4
Page 4 of 4