close

sawit

Ragam

Kebijakan Konversi Hutan, Kelapa Sawit, dan Lingkungan

Semakin besarnya permintaan pasar akan CPO di dunia membuat produktifitas kelapa sawit semakin berkembang pesat. Perkebunan sawit menjadi investasi yang sangat besar, sehingga peningkatan luas perkebunan kelapa sawit terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil CPO terbesar di dunia. Dengan kondisi ini, maka pasar dunia melihat Indonesia adalah negara yang produktif sebagai penghasil CPO di dunia bersama dengan negara tetangga Malaysia. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa potensi ini menjadi kekuatan ekonomi di Indonesia.

Hasil penelitian Jefri Gideon Saragih yang merupakan ketua Departemen Kampanye Sawit Watch yang pernah dimuat di Insist Press, edisi Desember 2011 menemukan bahwa ada banyak fungsi lain dari kelapa sawit. Penemuan baru ini kemudian membuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit kini mulai diolah untuk berbagai jenis barang dan kebutuhan sehari hari manusia.

Secara garis besar, kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak. Minyak kelapa sawit dari daging buah mesocarp dan minyak inti sawit dari biji atau kernel. Minyak kelapa sawit digunakan terutama untuk produk makanan, minyak goreng, shortening, margarine, pengganti lemak susu dan pengganti mentega coklat/cocoa butter.

Masih dari hasil penelitian yang sama, produktifitas tanaman kelapa sawit untuk menghasilkan tandan buah segar jauh lebih tinggi atau bisa mencapai 10 kali dibandingkan produktifitas vegetables oil yang lain, seperti minyak bunga matahari atau jarak. Oleh karena itu pulalah bahwa perkebunan kelapa sawit terus meningkat sesuai dengan permintaan pasar yang ada. Hal semacam ini harus terus dilihat dan dicermati untuk bisa melihat seimbangnya suplay and demand yang ada.

Karena dengan permintaan yang cenderung meningkat akan membuat kebutuhan kelapa sawit untuk industri semakin meningkat. Selain dari minyaknya, setiap bagian dari kelapa sawit juga dapat dipergunakan untuk hal lain.

Terbesar di Dunia
Hingga akhir tahun 2010, Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai negara penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 21,3 juta ton. Dari jumlah itu, hampir 6 juta ton dipakai untuk konsumsi domestik sedangkan diekspor ke beberapa negara Eropa, China, India dan lain-lain. Bahkan menurut majalah Info Sawit edisi akhir tahun 2010, bisnis CPO Indonesia menghasilkan keuntungan hingga 9,11 miliar dolar Amerika (Sumber: Penelitian Departemen Kampanye Sawit Watch, 2011).

Keuntungan yang menggiurkan secara ekonomi ini tentu saja akan memacu peningkatan produksi kelapa sawit. Dan hal ijin pendirian perkebunan kelapa sawit layak menjadi sorotan, karena menjamurnya perkebunan kelapa sawit di seluruh belahan tanah air. Bahkan perkembangan industri kelapa sawit sering sekali mengorbankan kondisi lingkungan hidup yang ada. Seperti pemberian perijinan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit sangat mengkhawatirkan, dari tahun ketahun tanpa melihat situasi lingkungan dan berkurangnya luas tutupan hutan di Indonesia.

Melihat angka tutupan hutan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan secara khusus di kawasan Pulau Jawa yang hanya mencapai angka 6, 90 persen, diikuti Bali dan Nusa Tenggara 16, 04 dan yang masih terbilang bagus adalah Papua dengan 79,62 persen. Namun, angka-angka ini bisa terus meningkat jika masalah perijinan konversi hutan tidak ditekan dan akan berdampak pula pada kondisi lingkungan di Indonesia. Masalah ini harusnya menjadi perhatian yang kemudian akan mempengaruhi untuk lebih baiknya kondisi hutan di Indonesia (Sumber: Penelitian Forest Watch Indonesia, 2009).

Berikut ini, berdasarkan data Sawit Watch, setidaknya mulai tahun 1998 sampai tahun 2011, setidaknya 500-800 ribu hektar hutan, lahan gambut dan lahan kelola masyarakat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Perluasan kebun sawit dengan alasan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja serta pengentasan kemiskinan tentu saja memberikan dampak negatif terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan di Indonesia karena tidak direncanakan dan diawasi dengan baik oleh pemerintah.

Bahkan parahnya lagi konversi hutan lindung, hutan produksi, dan kawasan taman nasional yang seharusnya tidak bisa dikeluarkan ijin untuk perkebunan kelapa sawit bisa keluar ijinnya. Nah, tentu saja ini merupakan kondisi yang sangat buruk di Indonesia yang semakin mempertanyakan masalah perijinan yang begitu longgar dan sangat tidak
selektif dan berdasarkan kepentingan tertentu.

Berikut data dari Sawit Watch yang dikeluarkan tahun 2009: Luas Perkebunan yang berada di kawasan yang tidak bisa dikonversi adalah sebagai berikut : kawasan Hutan Lindung ijin yang dikeluarkan sebanyak 143 ijin dengan luas
kawasan 260.192.0, untuk hutan Produksi ijin sebanyak 437 dengan luas 2.753.747.5, dan parahnya lagi kawasan taman nasional yang seharusnya tidak bisa diganggu sama sekali juga terjadi 10 ijin yang dikeluarkan pemerintah dengan luas kawasan 6.749.9. Jadi total kawasan yang tidak bisa dikonversi tetapi diberikan ijin oleh pemerintah seluas 3.020. 689.4 hektar.

Dari data-data diatas menunjukan ketidakkonsistenan pemerintah dalam memberikan ijin untuk konversi hutan menjadi perkebunan. Kondisi kawasan yang seharusnya dilindungi secara undang-undang bisa juga dilanggar dan memberikan ijin yang secara struktur hukum lebih rendah dibanding Undang-undang namun tetap dijalankan. Hal ini menjadi catatan buruk bagi kinerja pemerintah dalam hal pemberian ijin penggunaan kawasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Apalagi jika kawasan itu merupakan kawasan lahan yang dilindungi.

Melihat permasalahan yang begitu kompleks ini, sebaiknya pemerintah melihat lebih jeli tentang pemberian ijin terhadap perkebunan kelapa sawit. Memang benar secara ekonomi perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mempunyai peranan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun, yang tidak kalah penting menjadi pertimbangan adalah tentang kebijakan yang berpihak pada kondisi lingkungan untuk jangka waktu yang panjang.

Semoga saja pihak terkait melihat masalah lingkungan satu poin penting untuk kebijakan konversi hutan menjadi perkebunan, secara khusus perkebunan sawit.[]

Penulis adalah Mahasiswa Magister Administrasi Publik UGM Yogyakarta
Sumber : www.analisadaily.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Kampanye Hitam Kelapa Sawit Harus Dilawan

Potensi pengembangan kelapa sawit di Aceh sangat besar, selain banyak lahan yang masih kosong, tanaman tersebut juga dapat ditanam di lahan kritis, sehingga memberikan dampak yang besar bagi peningkatan perekonomian Aceh. Selama ini, banyak para pakar mengklaim bahwa  tanaman kelapa sawit merusak lingkungan dan merusak mengganggu keseimbangan alam.

Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpian Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Asmar Arsjad, dalam Workshop Industri Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan, yang diselenggarakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Rabu (2/4) di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.

Asmar Arsyad mengatakan, isu kelapa sawit banyak menyerap air dan mengganggu keseimbangan lingkungan hanya diisukan oleh para pakar untuk kepentingan negara-negara asing sebagai  pemasok minyak kedelai, minyak matahari dan berbagai minyak goreng lainnya yang dapat menggantikan minyak kepala sawit. Di Indonesia termasuk Aceh, katanya, kepala sawit telah berkembang dan menjadi komoditi andalan sebagai penyumbang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Aceh, katanya, perkebunan kepala sawit telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, dan hingga kini lebih dari setengah kabupaten/kota di Aceh memiliki perkebaunan sawit.

Ia mengatakan, kampanye lingkungan yang mengatakan kelapa sawit merusak lingkungan hanya diisukan untuk kepentingan dagang negara-negara eropa, dimana mereka ingin mengambil keuntungan dengan kampanye negatif terhadap perkebunan kopi di Aceh dan Indonesia. Untuk skala Aceh, ujar Asmar Arsyad berharap masyarakat memahami mamfaat tananam kelapa sawit mendukung perekonomian masyarakat Aceh dari sektor perkebunan sawit.

Selain menyerap tenaga kerja, katanya, perkebunan kelapa sawit juga banyak menciptakan industri lain dengan bahan baku kelapa sawit.”Saya melihat lebih banyak mamfaat ketimbang pengaruh buruk terhadap kerusakan lingkungan akibat pengembangan budidaya kelapa sawit,” ujar Asmar Arsyad.

Pakar Lingkungan Universitas Syiah Kuala, Dr Mahidin ST MT mengatakan, banyak mamfaat dari tanaman kelapa sawit. Namun, masyarakat salah mengelola kelapa sawit paska panen. Akibat pengelolaan yang salah, maka menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, seperti pembuangan ampas yang salah, dan manfaat pelepah dan cangkang kelapa sawit yang kurang maksimal.

Bila proses pengolahan kelapa sawit dilakukan dengan benar, katanya, maka perkebunan kelapa sawit tidak membawa dampak buruk bagi lingkungan. “Dari hasil penelitian yang dilakukan, budidaya kelapa sawit secara besar-besaran tidak menyebabkan banjir dan tanah longsor, juga tidak banyak menyerap air,” ujar Mahidin, staf pengajar di Universitas Syiah Kuala itu.

Ia berharap, masyarakat Aceh ikut membudidayakan tanaman kelapa sawit masing-masing kepala keluarga, dengan cara itu dapat mendongkrak perekonomian masyarakat. Ia juga mengimbau agar warga mengelola bio-massa (ampas padat) secara benar sehingga tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

Sementara itu, wartawan senior, Nurdin Syam mengatakan, kampanye negatif yang dilancarkan oleh pihak asing harus mampu dilawan dengan kampanye positif oleh petani dan pengusaha kepala sawit. Pengusaha sawit harus mampu meyakinkan pihak asing dan pembeli luar negeri bahwa budidaya kelapa sawit tidak merusak lingkungan. Dalam workshop itu juga dihadiri pengusaha kelapa sawit dari Aceh dan Sumatera Utara.[]

Sumber: Serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Diduga Rusak Lingkungan, Eropa Blokir CPO Indonesia

Produk sawit Indonesia terus mendapatkan tekanan di luar negeri, khususnya di negara Eropa. Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan,Nus Nuzulia Ishak,mengungkapkan, ada 3 negara di Uni Eropa yang menyuarakan isu negatif tentang sawit Indonesia.

Umumnya suara negatif dilakukan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM).”Hanya dari NGO (non government organization) yang melakukan kampanye hitam. Ada di Perancis tidak boleh menggunakan CPO dengan menggunakan label. Jadi kita mapping juga di Brussel (Belgia) dan Roma (Italia),” ungkap Nus Jumat (21/3/2014).

Nus menyebut, cara ketiga negara menyudutkan produk sawit Indonesia juga bermacam-macam, dari mulai isu tidak ramah lingkungan sampai kesehatan.”Kampanye anti sawit di Belgia banyak ditemukan di sektor makanan dengan menggunakan isu dampak negatif kesehatan, lingkungan hidup. Di beberapa supermarket banyak ditemukan beberapa produk yang menggunakan label anti sawit seperti No oil Palm, Zero Percent oil Palm dan Palm Oil Free,” tuturnya.

“Lalu yang lainnya Perancis. Roma ada tekanan kampanye soal deforestasi dan lingkungan jadi sudah macam-macam isunya. Kemudian petaninya tidak sejahtera,” imbuhnya.

Nus mengatakan, yang dituduhkan ketiga negara tersebut kepada sawit Indonesia tidak benar. Tuduhan ketiga negara itu lebih disebabkan karena perang dagang. Oleh sebab itu harus dilawan.”Saya kira kita harus membangkitkan dan memberikan perspekif positif kepada pelaku usaha di luar negeri bahwa kita tidak melanggar HAM tidak melanggar apapun yang mereka tuduhkan. Makanya kita lakukan promosi dalam rangka membangun image. Kita harus counter (serang balik), ini perang dagang,” cetusnya.

RI Melawan
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan Uni Eropa bakal kesulitan mendapatkan bahan baku pengganti minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) apabila mereka terus melakukan ‘kampanye hitam’. Larangan atau hambatan CPO di Uni Eropa justru akan memicu inflasi bagi negara-negara di Eropa.

“Masyarakat Eropa sudah paham betul mereka tidak mungkin tidak mengonsumsi sawit, baik secara teknis maupun nonteknis. Eropa akan terjadi inflasi tinggi bila tidak menggunakan sawit. Produktivitas sawit 9 kali lebih banyak bila dibandingkan kedelai,” tuturnya.

Bayu menjelaskan,ekspor CPO Indonesia ke Eropa cukup besar. Bahkan Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton.”Indonesia jadi supplier terbesar ke Eropa,” imbuhnya.

Dia meminta Uni Eropa bisa menghilangkan kampanye hitam atas sawit Indonesia. Alasannya Indonesia adalah negara terbesar penghasil sawit bersertifikat ramah lingkungan dan berkelanjutan di dunia (RSPO).”Hasilnya kita sudah bisa meyakinkan sawit kita itu sustainable. Dari 8,2 juta ton sawit yang bersertifikat berkelanjutan di dunia, 4,8 juta ton diantaranya diproduksi di Indonesia. Jadi Indonesia adalah produsen sawit bersertifikat berkelanjutan terbesar di dunia,” jelasnya.

Bayu juga menyampaikan kembali keseriusan dan komitmen penuh pemerintah Indonesia dalam menerapkan sustainable palm oil.”Indonesia sudah memiliki Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yaitu suatu peraturan pemerintah yang wajib diberlakukan kepada industri dan petani sawit agar memproduksi minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan melalui penerapan sertifikasi.”

Menurut Bayu, melalui implementasi ISPO, pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan akan pentingnya produksi minyak sawit yang berkelanjutan. Selain ISPO, ada lagi sistem sertifikasi lainnya seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diterapkan sejak 2004.

Rencananya, pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan RSPO untuk menyusun kesesuaian standar yang dapat dijadikan acuan standar global mengenai minyak sawit berkelanjutan.

Untuk menanggapi perlakuan diskriminatif terhadap minyak sawit, Bayu mengusulkan agar dikembangkan tidak hanya sustainable palm oil, tetapi juga sustainable vegetable oil, bagi semua jenis minyak nabati termasuk rapeseed, minyak kedelai, minyak zaitun, minyak biji matahari, dan minyak nabati lainnya.

Dia mengemukakan pula bahwa bila tetap mendapatkan tolakan dari Uni Eropa maka Indonesia akan banyak menyerap sawit untuk konsumsi di dalam negeri.”Kami tegaskan, rencana kebijakan biofuel di Indonesia yang akan memprioritaskan konsumsi minyak sawit sebagai biofuel di dalam negeri, apabila minyak sawit terus mendapatkan tantangan masuk ke pasar UE,” katanya. []

Sumber: medanbisnisdaily.com

read more
Energi

Limbah Cair Sawit Potensial Sebagai Energi Alternatif

Limbah cair kelapa sawit atau yang dikenal dengan palm oil mill effluent (POME) ternyata berpotensi menghasilkan gas metan dan berguna untuk sumber energi listrik alternatif.

“Jumlah POME di Kalimantan Timur sangat banyak karena luas perkebunan sawit sudah lebih dari 1 juta hektare, tetapi hingga kini POME belum dikelola maksimal padahal manfaatnya sangat besar untuk pembangkit listrik,” ujar Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak di Samarinda, Minggu.

Apabila POME dikelola dengan maksimal, maka hal itu mampu menjawab kekurangan energi listrik di Kaltim akibat suplai bahan baku yang rendah.

Untuk itu dia ingin agar perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di kabupaten dan kota di Kaltim segera membantu rakyat sekitarnya, yakni melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR) bekerjasama dengan PLN membangun pembangkit listrik bersumber dari pome.

Dia juga mengakui bahwa sudah ada beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah menunjukkann kepeduliannya dengan mengelola POME menjadi energi listrik alternatif (biodiesel) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sejumlah perusahaan tersebut yakni PT Rea Kaltim Plantations di Kembang Janggut, Kutai Kartanegara, kemudian PT Telen Group di Talisayan, Kabupaten Berau, dan Group PT Sinar Mas dengan anak perusahaan PT Astra dan PT Smart di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

Dia menyebutkan bahwa PT Rea Kaltim Plantations pada 2014 membangun pembangkit listrik tenaga biodiesel atau POME berkekuatan 8 mega watts, sedangkan PT PLN akan dibangunkan jaringan listrik dengan alokasi anggaran sebesar Rp53 miliar untuk kebutuhan listrik bagi masyarakat Kembang Janggut.

Ini berarti melalui pola kerjasama perusahaan kelapa sawit dengan PLN, maka akan ada ratusan rumah penduduk di sejumlah desa akan teraliri listrik.

Gubernur juga berharap kepada bupati yang di kawasannya terdapat lahan kelapa sawit agar mengajak perusahaan sawit membangun pembangkit listrik tenaga POME. Dorongan bupati sangat penting agar pengusaha sawit terpacu untuk membangunkan pembangkit listrik dari bahan baku yang sudah tersedia di lahan milik pengusaha.

Sumber: antaranews.com

read more
Hutan

Produsen Ternama Ikut Merusak Hutan Hujan Indonesia

Procter & Gamble, produsen Head & Shoulders , menggunakan sumber minyak kelapa sawit dari perusahaan yang terkait perusakan habitat orangutan di Indonesia, membuat mereka menjadi bagian dari skandal perusakan hutan hujan. Hal tersebut terungkap dalam temuan sebuah penyelidikan panjang yang dilakukan oleh Greenpeace. Dalam temuan tersebut, diungkapkan bahwa kebijakan pembelian yang dimiliki P&G saat ini, juga menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka juga terkait kebakaran hutan dan perusakan habitat satwa seperti harimau sumatera yang mendorong spesies langka ini menuju kepunahan .

Minyak kelapa sawit adalah bahan yang umum untuk membuat deterjen, shampoo, kosmetik dan barang-barang rumah tangga lain yang diproduksi oleh P & G.

“Produsen Head & Shoulders harus berhenti membawa kehancuran hutan hujan ke dalam produk perawatan tubuh kita. Mereka harus membersihkan tindakan mereka dan menjamin pelanggan bahwa produk ini ramah. Procter & Gamble harus mengikuti jejak perusahaan pengguna minyak sawit lainnya seperti Unilever, Nestle dan L’ Oréal, yang telah berjanji untuk membersihkan rantai pasokan mereka , ” kata Kepala Kampanye Hutan Indonesia, Bustar Maitar, dari Greenpeace Internasional.

Greenpeace menemukan bahwa habitat orangutan sedang dihancurkan di konsesi perkebunan kelapa sawit yang menjadi bagian dari rantai pasokan P&G. Lahan yang digunakan untuk kelapa sawit adalah milik BW Plantation Group, sebuah perusahaan yang terhubung rantai pasokan P&G, yang juga berhubungan dengan kematian dan kuburan orangutan di dekat Taman Nasional Tanjung Puting. Dalam kasus lain, Greenpeace mendokumentasikan pembukaan hutan yang sedang berlangsung dalam konsesi dari dua produsen yang diketahui langsung memasok ke P&G.

“Kami sudah berhadapan dengan P&G selama delapan bulan terakhir dengan isu bagaimana mereka mengekspos konsumen untuk perusakan hutan. Alih-alih segera mengambil tindakan, perusahaan ini malah hanya melakukan pencitraan hijau (greenwashing). Saatnya P & G berkomitmen 100% untuk perlindungan hutan dan berhenti membuat pelanggan menjadi bagian dari kepunahan harimau sumatera,”kata Wirendro Sumargo, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki kebijakan yang kuat untuk memutus deforestasi dari produk mereka dapat terkait dengan praktek ilegal di wilayah berisiko tinggi, seperti Provinsi Riau di Sumatra . Contohnya adalah konsesi PT Rokan Adi Raya, yang merupakan bagian dari habitat harimau ditambah lahan gambut yang dalam, serta terkait dalam pembukaan hutan skala besar dan kebakaran yang tidak terkendali tahun lalu. Pada Juni 2013, lebih dari 150 titik api tercatat dalam konsesi ini. Banyak dari pemasok kelapa sawit P&G berasal dari Dumai, pelabuhan utama provinsi Riau.

“Greenpeace percaya kelapa sawit harus membuat kontribusi nyata terhadap pembangunan Indonesia. Produsen minyak sawit progresif yang tergabung dalam Palm Oil Inovasi Group, membuat komitmen ambisius seperti pemain minyak sawit besar lainnya seperti GAR dan Wilmar, membuktikan bahwa ada bisnis kelapa sawit yang lebih bertanggung jawab. Tidak ada alasan bagi perusahaan seperti P&G, Reckitt Benckiser dan Colgate Palmolive untuk segera mengatasi tindakannya terhadap deforestasi,” kata Bustar Maitar.

Hutan Indonesia menghilang setara dengan luas sembilan kolam renang Olimpiade setiap menitnya, dengan minyak sawit menjadi pendorong terbesar dari kerusakan hutan. Melalui kampanye global yang diluncurkan hari ini, Greenpeace menuntut Procter & Gamble agar mengakhiri perannya dalam perusakan hutan.

Sumber: hijauku.com

read more
Hutan

Kisah Perempuan Suku Anak Dalam Mendapatkan Tanahnya

Di Indonesia minyak sawit merupakan sumber perekonomian, tetapi sekaligus sebagai salah satu pemicu deforestasi atau kerusakan hutan. Bulan Desember tahun lalu, perusahaan pedagang minyak sawit terbesar di dunia, Wilmar Internasional telah berkomitmen untuk menghentikan perdagangan minyak sawit kotor yang terhubung dengan deforestasi atau konflik sosial, sebuah harapan bagi hutan hujan Indonesia, dan itu juga adalah tanggung jawab yang  harus dijalankan oleh seluruh pemasok minyak sawit. Tetapi, seperti yang disaksikan langsung oleh Annisa Rahmawati, Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Ganda – pemasok Wilmar – terlibat dalam konflik sosial dan  lingkungan.

Apakah Ganda akan bertindak untuk menyelesaikan masalah ini?

Maya, 23 tahun, adalah perempuan dari Suku Anak Dalam, masyarakat adat yang tinggal di Sumatera, Indonesia. Ia telah menikah dan memiliki seorang putra, yang dirawatnya dalam tenda terpal, rumah mereka. Usianya tidak terpaut jauh dengan saya, tapi hanya dalam hitungan bulan, hidupnya berubah menjadi kisah tentang kehilangan dan ketidakpastian.

Tanggal 12 Desember tahun lalu, Maya dan ibunya yang sedang sakit lari masuk ke hutan ketika gerombolan pria bersenjata sekitar 1000 orang menembaki ternak peliharaan dan dinding rumah mereka. Maya bercerita pada saya, betapa takutnya ia. Serangan brutal itu berlangsung selama setengah hari. Ketika Maya kembali keesokan harinya, ia mendapati rumah dan hampir seluruh desanya sudah dihancurkan, rata dengan tanah.

Apa yang terjadi membuat Maya terguncang. Dengan paksa, Maya digusur karena tanah tempat ia tinggal – tanah yang dimiliki sejak jaman nenek moyangnya, dirampas oleh sebuah perusahaan minyak sawit.

Sekitar 1.500 masyarakat Suku Anak Dalam sekarang tinggal terpencar di kamp-kamp pengungsian dan di Balai Adat Melayu Jambi. Seperti Maya, mereka berhadapan  langsung dengan kekerasan dan sekarang tinggal di tenda-tenda darurat di pinggir jalan, di hutan atau hidup bertahan di dalam perkebunan kelapa sawit.

Saya terbang dari Jakarta, melintasi perkebunan kepala sawit sejauh mata memandang, bermaksud bertemu Maya dan kelompoknya karena kegigihan dan keberanian mereka mempertahankan hak hidup di atas tanah moyang mereka. Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat Suku Anak Dalam berhadapan dengan penganiayaan – bahkan sejak sebelum Maya lahir. Perusahaan dibalik pengusiran dan penggusuran  yang terjadi baru-baru ini adalah : PT.Asiatic Persada.

Minyak Sawit kotor
PT Asiatic Persada adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah banyak berpindah kepemilikan sejak didirikannya, dengan jaringan yang cukup kompleks. Pemilik perusahaan ini adalah Ganda Group, pemasok untuk pedagang minyak sawit internasional Wilmar.

Komitmen Kebijakan Nol Deforestasi Wilmar yang diumumkan pada bulan Desember lalu mendapat sambutan positif dari banyak pihak termasuk Greenpeace, sebagai sebuah kemenangan bagi hutan dan konsumen. Kebijakan Wilmar termasuk komitmen yang spesifik  untuk menghormati hak masyarakat adat dan menyelesaikan konflik tanah yang terjadi di konsesi pemasok mereka.

Mengapa kami mengklaim ini sebagai kabar baik? Karena minyak sawit, merupakan sumber minyak nabati yang stabil dan murah, dimana produknya hampir bisa dipastikan berada dalam banyak produk yang sehari-hari kita pakai mulai dari sabun cuci hingga coklat –  sekitar 50% produk yang Anda jumpai di Supermarket mengandung minyak sawit atau turunannya. Jika pedagang minyak sawit  besar seperti Wilmar – yang menyumbang lebih dari sepertiga minyak sawit  global – menghentikan pencucian minyak sawit kotor yang berasal dari perusakan hutan, konflik dan pembersihan lahan gambut, maka ini akan dapat mentransformasi seluruh rantai pasok industri dari perkebunan sampai perusahaan yang membuat coklat, shampoo dan sabun cuci yang Anda gunakan.

Dan Maya, yang terjebak di tengah konflik lahan kelapa sawit, sekarang hidup tanpa tempat tinggal, ingin kisahnya didengar. Tergerak oleh perjuangannya, saya  ingin meneruskan gaung kisahnya  hingga ke ruang pertemuan tempat para pembuat keputusan di Jakarta ataupun di Singapura.

Sekarang adalah tugas kita untuk memastikan komitmen yang diambil, diterjemahkan dalam aksi yang nyata di lapangan. Bagaimanakah cara agar pemasok minyak sawit seperti Ganda mencapai persyaratan sosial dan perlindungan hutan sebagaimana yang  dikomitmenkan oleh pelanggannya?

Sejarah singkat tentang mengapa tidak bertanam kelapa sawit
Suku Anak Dalam, telah menetap di kawasan Jambi selama berabad-abad, mereka mendapatkan segala kebutuhannya dari hutan. Komunitas mereka kecil, egaliter dan dikenal dengan gaya hidup nomaden dan subsisten.

Tapi pohon kelapa sawit yang menguntungkan, komoditas dengan permintaan yang terus bertambah dari pasar yang berkembang seperti di China, India dan Eropa, termasuk Indonesia sendiri – telah mengubah semuanya. Kemudian masuklah PT Asiatic Persada. Sejak awal beroperasi, perusahaan ini sudah berhadapan dengan perlawanan dari masyarakat lokal dan kelompok-kelompok adat. Berbagai kelompok ini termasuk yang didampingi oleh LSM lokal telah mencatat sejarah panjang intimidasi, pembongkaran dan penggusuran paksa – yang seringkali diback-up oleh pihak kepolisian atau militer – sejak tahun 1987, 2002, 2008, 2010, 2011 dan baru-baru ini pada tahun 2013.

Insiden yang baru-baru ini terjadi pada bulan Desember tahun lalu, berkaitan dengan re-klaim lahan sebesar 3.550 hektar oleh Suku Anak Dalam di kawasan PT Asiatic Persada, lahan yang diakui pemerintah sebagai milik sah Suku Anak Dalam.

Konsesi PT Asiatic Persada tercatat seluas 40.000 hektar didirikan pada tahun 1985  yang sebelumnya bernama PT Bina Desa Utama – lebih dari sepertiganya adalah habitat harimau. Sejak saat itu, kepemilikannya telah berpindah lima kali ke perusahaan termasuk Cargill, pedagang minyak sawit internasional (Januari-November 2006) dan Wilmar (2006-2013).

Ketika Wilmar menjual PT Asiatic Persada ke Ganda Group, proses mediasi yang melibatkan perusahaan, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya tengah berlangsung. Ganda mengabaikan hasil proses ini dan ini bukanlah satu-satunya masalah di perkebunan yang di miliki oleh Ganda Group.

Kebakaran di lahan perkebunan baru-baru ini juga terjadi lagi, mengancam hubungan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Singapura yang dalam beberapa tahun terakhir, ikut terkena dampak asap yang berasal dari kawasan perkebunan di Kalimantan dan Sumatera. Salah satu konsesi Ganda turut terlibat: PT Patiware, anggota RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil). Berdasarkan data titik api dari NASA diidentifikasi ada  beberapa titik api disebagian besar wilayah lahan gambut.  Hasil wawancara Greenpeace juga menunjukan adanya keluhan masyarakat terhadap  pencemaran air sungai yang diduga dari operasi perusahaan tersebut.

Saat ini kelapa sawit yang dipanen dari tanah leluhur Maya masuk dalam rantai pasok minyak sawit Indonesia dan kemungkinan besar juga masuk di pasar global; sulit untuk diketahui dimana berakhirnya karena perusahaan-perusahaan yang ada tidak menjamin keterlacakann produk mereka hingga tingkat perkebunan.

Kisah Maya menunjukan betapa pentingnya perusahaan-perusahaan seperti Ganda untuk membersihkan operasi mereka dan memenuhi komitmen sebagaimana yang tertulis dalam kebijakan baru Wilmar. Greenpeace telah mempertanyakan hal ini pada Ganda dan menyampaikan bukti-bukti pendukung, dan saat ini kami sedang menunggu tanggapan Ganda.

Hal ini juga penting bagi Wilmar untuk menunjukan kesungguhan mereka dalam menjalankan kebijakannya. Sementara ini, Wilmar mengklaim tidak membeli dari PT Asiatic Persada, tetapi mereka membeli dari Ganda Group. Komitmen untuk tidak berbisnis dengan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia harus ditegakkan dalam semua lini operasi mereka.

Konsumen internasional seperti Unilever, Nestle dan Procter&Gamble harus menekan semua pemasok, termasuk Wilmar, untuk menjalankan komitmen Nol Deforestasi  dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab untuk setiap masalah yang dihadapi oleh rantai pasokannya.

Sumber: greenpeace.org

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Tolak Tawaran Lahan 5000 hektar dari PT SPS

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bakal menolak proposal mediasi PT Surya Panen Subur (SPS) yang mengusulkan 5 ribu hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU)-nya di wilayah Aceh untuk areal konservasi. Pihak KLH lebih memilih ganti rugi sesuai gugatan ketimbang menyetujui usulan konservasi sebagian lahan HGU.

Sinyal penolakan itu disampaikan Asisten Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLH, Sisilia, usai mengikuti sidang mediasi gugatan KLH kepada PT SPS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, (13/2/2014). “Soalnya, proposal SPS tidak menjawab gugatan,” tandasnya.

Kuasa hukum PT SPS, Rivai Kusumanegara, menilai penolakan proposal konservasi 5 ribu hektar oleh pihak KLH dan lebih membahas ganti rugi uang dan pemulihan lahan terbakar kiranya tidak bijak dan sulit diterima akal, karena yang patut membayar ganti rugi tersebut adalah siapa yang melakukan pembakaran.

Pasalnya, pembakaran itu bukan dilakukan oleh PT SPS. Sebaliknya, SPS merupakan korban yang telah dirugikan akibat kebakaran itu. “PT SPS sudah sejak 2 tahun lalu sudah melakukan pemulihan tanaman dan perawatan yang diperlukan,” ungkapnya.

Menurut Rivai, upaya tersebut telah dilakukan pihak PT SPS karena lokasi terbakar adalah lahan usahanya. “Bisa dilihat di lapangan, di mana tanaman sawit dan pakis-pakisan (cover crop) di areal yang terbakar, kini tumbuh subur,” katanya.

Sejak awal, SPS sudah menyerahkan sejumlah bukti tertulis, saksi, maupun ahli dari akademisi dan balai penelitian
pemerintah yang menerangkan, SPS tidak pernah membakar lahan dan tidak terjadi kerusakan tanah berdasarkan hasil uji laboratorium.

“Jadi kami yakin pada saatnya kebenaran akan terungkap sepanjang proses hukum dijalankan secara obyektif tanpa ada tekanan atau intervensi pihak manapun,” tegas.

Rivai menilai, persoalan ini lebih bermuatan politis dibanding penegakan hukum, dengan mencermati upaya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing yang ingin mengkonservasi Rawa Tripa sejak 2011 lalu.

Sebagai jalan tengah dan komitmen untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hidup, maka PT SPS menawarkan kerjasama konservasi lebih dari 5 ribu hektar dari 12 ribu total HGU-nya. Namun tawaran tersebut ditolak KLH.

Dengan gugatan KLH bernilai Rp 302 milyar lebih, tuntutan pidana korporasi dan pribadi, serta upaya UKP4 pada tahun 2012 agar izin PT SPS dicabut, maka Rivai menilai pemerintah lebih mengutamakan isu yang digulirkan LSM asing daripada memberi keadilan bagi perseroan. Padahal, pengusaha sawit telah memberi pendapatan bagi negara, membuka ribuan kesempatan kerja, dan menggerakan roda perekonomian setempat, serta kemanfaatan bagi masyarakat Aceh.

“Kiranya ini akan menjadi catatan sejarah kelam bagi penegakan hukum dan iklim investasi di Indonesia,” pungkas Rivai.

Kuasa hukum KLH, Bobby Rahmat, mengatakan bahwa proses mediasi hampir rampung dilakukan dan hanya menyisakan 4 hari lagi untuk menjawab proposal mediasi yang diajukan PT SPS atas gugatan sebesar Rp 302 milyar lebih itu.

“Kalau nilai gugatan SPS sudah ada, tapi kan sejauh ini respon mereka dalam mediasi tidak menjawab gugatan,” ucapnya.

Sisilia menegaskan, saat ini sikap KLH di posisi menolak. Namun demikian, dirinya berjanji akan menyampaikan perkembangan hasil sidang mediasi hari ini kepada pimpinannya di KLH untuk diambil putusan menolak atau menerima proposal konservasi 5 ribu hektare lahan HGU yang diajukan PT SPS itu.

“Batas waktu 40 harinya sampai Senin-ya, Senin besok. Kalau Senin besok kami menyatakan deadlock antara penggugat dengan tergugat dan dinyatakan oleh hakimnya deadlock, maka kita ke pokok perkara. Tentunya kita maju,” tandas Sisilia.

Kasus gugatan KLH sebesar Rp Rp 302 milyar lebih kepada PT SPS bernomor 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel ini kembali bergulir dan sudah memasuki babak mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dipimpin Mediator Yuningtyas Upiek, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan ini, karena bukan termasuk wilayah hukumnya. []

Sumber: gatra

read more
Flora Fauna

Indonesia Sangat Prospek untuk Budidaya Zaitun

Meskipun teh bukan tanaman asli Indonesia, diperkenalkan penjajah Belanda pada abad 17 – kini teh menjadi minuman sehari-hari kita dan bahkan negeri ini masuk kedalam top 10 producers teh dunia. Demikian pula sawit yang diperkenalkan oleh Belanda di abad 19, kita malah menjadi producer no 1 di dunia. Bila dari para penjajah-pun yang referensinya tidak jelas kita bisa membangun industri besar, maka seharusnya kita bisa lebih mudah lagi belajar dan membangun industri yang lebih besar dengan petunjuk hidup kita yang sesungguhnya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Coba kita berpikir, kok bisa bangsa begini besar diajari untuk minum sesuatu yang sampai sekarang-pun belum jelas benar khasiatnya – yaitu daun teh, yang tanamannya-pun bukan asli kita dan tidak bisa tumbuh di sembarang tempat dari tanah kita. Mengapa tidak minum dari daun jambu misalnya, ataupun banyak dedaunan lainnya yang sebenarnya tidak kalah enak ?

Teh bisa menjadi minuman kita sehari-hari dan bahkan juga bangsa-bangsa lain di dunia, karena memang ada upaya yang massif untuk meng-industrialisasi-nya. Mulai dari penanaman-penanaman di area yang sangat luas, industri pengolahannya , kreatifitas pemasarannya, pencitraannya dlsb.

Belajar dari bagaimana tanaman teh dan sawit  yang begitu berhasilnya diadopsi di negeri ini, maka sudah seharusnya kita-pun bisa mengadopsi tanaman-tanaman yang referensi-nya jelas ada di Al-Qur’an untuk kita kembangkan secara massif di negeri ini.

Karena sumber referensinya detil dan jelas, maka seharusnya tanaman-tanaman Al-Qur’an itu bisa jauh lebih cepat unggul menjadi industri ketimbang teh dan sawit. Zaitun misalnya yang saya ambilkan sebagai contoh, bisa segera kita industrialisasi dengan skala yang sangat besar karena beberapa faktor berikut :

1)     Teknologi pembibitannya yang sangat cepat – dengan micro cutting – selain sudah berhasil juga sudah kita sebar luaskan ilmunya.

2)     Zaitun InsyaAllah bisa tumbuh dengan baik di tanah kita secara umum karena kebutuhan suhu hidup dan  tumbuhnya berada di range 7 – 35 derajat Celcius. Hampir seluruh wilayah negeri ini berada di range suhu tersebut.

3)     Zaitun adalah pohon yang diberkahi (QS 24:35), karena yang disebut adalah “pohon” , maka apapun yang dihasilkan pohon ini juga diberkahi – seperti akar, daun, batang disamping tentu saja buahnya.

4)     Buah zaitun merupakan penghasil minyak makan terbaik dari sisi kwalitas maupun kwantitas. Dari sisi kwalitas Allah sendiri yang mengabarkannya melalui QS 24 : 35, sedangkan kwantitasnya dari data-data rendemen minyak buah zaitun yang berkisar antara 15 % sampai 22 %. Dalam resep pengobatan Nabi, minyak dari buah zaitun disebutkan mengobati 70 jenis penyakit.

5)     Yang belum banyak diketahui dan dielaborasi orang adalah daun zaitun yang menakjubkan. Sebuah zat yang disebut Oleuropein ternyata kandungan terbesarnya justru berada di daun zaitun, dia ada juga pada buahnya tetapi yang belum masak ( menurun pada buah yang sudah tua/masak). Oleuropein ini bersama dengan berbagai bioactive compounds lainnya di negara-negara Mediterranean terbukti efektif mencegah dan mengobati berbagai penyakit zaman ini seperti membakar lemak, menurunkan tekanan darah, menurunkan gula darah, mencegah cancer, mengencerkan darah yang terlalu kental , mencegah dan mengobati berbagi penyakit cardiovascular, mencegah dan mengobati berbagai penyakit degenerative dlsb. Sangat bisa jadi khasiat pengobatan daun zaitun tidak berbeda – atau saling melengkapi – dengan buahnya tersebut di atas.  Ini juga sejalan dengan tafsir bahwa yang disebut diberkaihi adalah “pohon” zaitun.

6)     Menanam dan memproses hasil-hasil dari pohon zaitun tidak harus dalam skala besar sebagaimana tanaman industri seperti teh dan sawit. Hanya pemodal besar yang bisa menangani industri teh dan sawit, sedangkan untuk zaitun – industri rumah tangga-pun bisa mengembangkannnya mulai dari tanamannya sampai produk akhir baik dari daun maupun buahnya.

7)     Bila dahulu belanda hanya berbekal 3-4 bibit sawit dari satu negara di Afrika Barat (Guinea) untuk memulai memperkenalkan sawit di Indonesia. Kini di komunitas kami sudah terhimpun ribuan (bakal) bibit zaitun yang berasal dari empat benua dari sejumlah negara seperti Syria, Gaza, Spanyol, Marocco, Mesir, Perancis dan bahkan juga dari bibit zaitun yang dikembangkan di Peru. Bibit-bibit inipun siap Anda kembangkan sendiri dengan cara yang link-nya saya sebutkan di atas.

Rakyat negeri ini – tidak harus konglomeratnya – secara rame-rame seharusnya bisa menggarap berbagai peluang dari pohon yang diberkahi ini. Peluang untuk menghasilkan minyak makan yang baik, peluang mengembangkan obat halal nan murah dan nyunnah (mengikuti Sunah), peluang di industri minuman (pengganti teh !) dan industri makanan – karena zaitun inilah  satu-satunya penyedap makanan yang disebut di Al-Qur’an (QS 23:20).

Untuk implementasinya, agar rakyat yang berminat dapat terus menerus meng-update ilmunya dan sekaligus menangkap peluangnya, maka kita harus melakukannya secara berjama’ah, dengan apa yang saya sebut Zaitun Indonesia Incorporated.

Bahkan sebagaimana teh dan sawit kita yang mendunia, kita juga ingin suatu saat kelak dunia mengenal Zaitun Indonesia atau Indonesian Olive (Oliveina) – yang karena karakter tanah dan iklimnya yang unique, bisa jadi berbeda dengan Mediterranean  Olive – yang kini merajai dunia.

Lebih lanjut, zaitun ini baru titik awal dari proses industrialisasi tanaman-tanaman Al-Qur’an. Kita pilih zaitun dahulu sebagi pionirnya karena yang sudah ketemu pembiakannya secara massal, sudah ketemu pula industrinya yang bisa dibangun sejak awal – bahkan mulai saat ini yaitu industri bibitnya, menyusul industri berbasis daunnya insyaAllah dalam dua tahun kedepan, dan puncaknya nanti akan dimulai dalam 4-5 tahun kedepan ketika zaitun-zaitun tersebut mulai berbuah – insyaAllah.

Sumber: geraidinar.com

read more
1 2 3
Page 2 of 3