close

November 2013

Energi

Menara BCA, Si Jangkung, Melengkung, Ramah Lagi Untung

Gedung  ramah lingkungan mampu menghemat listrik, air, bahan baku, dan mengurangi emisi gas rumah kaca serta memajukan bisnis lokal, namun tetap nyaman dan menguntungkan. Dengan Peraturan Gubernur tahun 2012, Jakarta menjadi kota pertama di Asia Pasifik yang mewajibkan pembangunan gedung ramah lingkungan.

Selain tingginya yang 230 meter dan 57 lantai terlihat menonjol di antara gedung di sekitarnya, Menara BCA ini tak tampak istimewa, cuma gedung pencakar langit berlapis kaca  yang berpendar tertimpa cahaya, seperti gedung-gedung lain di Jakarta. Arsitekturnya juga biasa saja, sebuah kolom raksasa berlapis kaca kebiruan,  dan halamannya tidak disesaki oleh rimbun pohon dan bunga, tidak juga tanaman gantung  dan merambat yang menjuntai memenuhi dinding. Banyak gedung lain yang dibangun lebih artistik, berpuntir, melengkung, ada pula menyerupai mainan Lego yang tak selesai disusun anak-anak, bahkan halamannya dipenuhi bunga-bunga indah.

Mencari apa yang luar biasa dari yang terlibat biasa saja pada pencakar langit yang satu ini, perlu menelisiknya  lebih dalam.  Menara BCA di kawasan Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat ini adalah gedung pertama di Indonesia yang meraih sertifikat GREENSHIP EB Platinum, alias gedung ramah lingkungan berkategori paling prestisius.  Sertifikat  ini diberikan tahun 2012  oleh Green Building Council indonesia (GBCI), sebuah lembaga sertifikasi gedung ramah lingkungan yang pertama di Indonesia.

Tahun 2011, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menetapkan GBCI sebagai lembaga sertifikasi resmi  untuk gedung ramah lingkungan di seluruh Indonesia dan kembali  bekerjasama ketika pada 5 Juni 2013 lalu, KLH  meluncurkan Kerangka Kerja 10 Tahun Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan di Indonesia atau Sustainable Consumption and Production (SCP). Program yang menjadi prioritas SCP adalah Green Procurement, Green Industry,  Green Tourism, dan Green Building.

Menara BCA telah melalui lebih dari satu tahun proses sertifikasi yang meliputi berbagai parameter antara lain kesesuaian tapak, efisiensi dan konservasi energi, konservasi air, sumber dan siklus material, kualitas udara dan kenyamanan ruang, dengan penilaian tertinggi pada efisiensi dan konservasi energi.

Apa keunggulan yang dimiliki Menara BCA yang tak dimiliki gedung lain? Melalui  proses sertifikasi dinyatakan gedung yang selesai dibangun tahun 2007 ini, mampu menghemat konsumsi energi listrik sebesar 35% dari pemakaian pada gedung sejenis, atau setara penurunan emisi gas karbon dioksida (CO2) sebesar 6.360 ton per tahun.  Hampir semua lampunya memakai LED-light emitting diode, yang mampu menghemat listrik  hingga  70% dibandingkan lampu lain berdaya  sama, dan memasang lampu tabung T5 yang dilengkapi sensor cahaya untuk mengukur tingkat pencahayaan saat ruangan gelap atau terang.  Memakai lampu hemat energi juga meringankan kerja penyejuk udara atau AC, karena suhu ruangan tidak bertambah dari panas cahaya lampu.

Penyejuk ruangan Menara BCA diatur pada suhu 25°Celcius, atau lebih tinggi dua derajat dibandingkan kebanyakan gedung lain di Jakarta, tetapi tetap nyaman. Kuncinya adalah pemakaian kaca ganda pada jendela untuk mengurangi kehilangan suhu dan mempertahankannya  lebih lama di dalam ruangan.  Kaca selimut gedung memakai teknologi insulated glazing atau biasa juga disebut double glazing, yang diisi udara atau gas di antara lapisannya untuk meneruskan panas dari luar ke bagian lain gedung dimana panas itu ingin dilepaskan, tetapi tidak meneruskannya ke dalam ruangan. Elevator pintar yang dipasang cukup sekali menekan tombolnya, maka pengunjung gedung akan ditunjukkan elevator ke lantai yang dituju dengan lebih sedikit pemberhentian. Semakin sedikit perhentian, berarti operasi elevator itu semakin hemat energi.

Gedung ini juga memberikan sejumlah fasilitas pendukung gaya hidup ramah lingkungan seperti penambahan parkir sepeda, pancuran atau shower bagi pesepeda untuk membersihkan badan, penambahan aerator pada wastafel, alat pengukur kualitas udara, pelatihan internal bagi penghuni gedung, pengukuran real performance chiller, pengolahan air bekas wudhu sebagai bahan outdoor AC. Selain itu, buangan air per orang per hari sebanyak  40 liter, dibandingkan buangan rata-rata di perkantoran yang mencapai 50 liter. Ada lagi, seluruh bagian lantai di luar ruangan dibuat berpori sehingga mampu menyerap  100 persen air yang jatuh dan dipakai kembali untuk berbagai keperluan di dalam kantor.

Studi yang dilakukan Danida dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) pada beberapa gedung tahun 2012 semakin mempertegas keuntungan menjadi gedung ramah lingkungan.  Studi itu misalnya menyimpulkan bahwa Gedung Kementerian PU mampu menghemat pemakaian energi sebesar 56%,  mengurangi emisi CO2 sebesar 947 ton/tahun dan menghemat air 17,2% dibandingkan dengan konsumsi pada gedung biasa, setelah mengikuti sertifikasi. Mereka juga menemukan bahwa Gedung PT Dahana di Subang tidak memakai air bersih dari perusahaan daerah air minum (PAM) tetapi 100 persen memanfaatkan air dari sumber alternatif yaitu sungai, hujan, dan kondensat AC.

Penghematan biaya energi terutama tagihan listrik adalah salah satu keunggulan gedung ramah lingkungan. Studi Danida lebih lanjut memaparkan, pada gedung ECCHI (Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia) milik Kementerian  ESDM,  mampu menekan tagihan listrik Rp 22,3 juta/tahun, kampus ITSB (Institut Teknologi dan Sains Bandung) menghemat Rp 237 juta/tahun, Sinarmas Land Plaza Office di Serpong mencapai Rp 542 juta/tahun, Gedung Pekerjaan Umum Rp 642 juta/tahun, sedangkan Menara BCA menghemat pembayaran listrik Rp 5,6 miliar/tahun.

Faktor kesehatan di dalam ruangan juga tercakup di dalam sertifikasi karena karena sekitar 90% hidup manusia berada dalam ruangan.  Menurut guru besar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Haryoto Kusnoputranto, ruangan yang memiliki kualitas udara buruk akan menimbulkan gejala gangguan kesehatan yang dikenal sebagai Sick Building Syndrom (SBS),  antara lain ditandai dengan sakit kepala, pusing, batuk, sesak napas, bersin, pilek, iritasi mata, pegal-pegal,  bahkan sering dijumpai adanya gejala depresi.  Untuk memenuhi standar kesehatan itulah, beberapa bangunan yang bersertifikat ini memiliki sensor karbon dioksida di dalam ruangan, untuk mengatur konsentrasi CO2 agar tak melebihi standar dalam ruangan sebesar 1000 ppm, serta mengatur sirkulasi udara.

Asal bahan baku pembangun gedung juga menjadi faktor penting untuk menilai apakah gedung itu ramah lingkungan karena berkaitan dengan banyaknya jejak karbon yang ditinggalkan, yang berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim. Kampus ITSB misalnya, semua kayunya berasal dari kayu bersertifikat secara legal sesuai aturan pemerintah tentang asal kayu. Gedung EECCHI milik Kementerian EDSM memilih parket bambu sebagai pengisi lantainya, yang dengan mudah diperoleh di dalam negeri. Barang-barang produksi lokal itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan para pengusaha nasional yang memproduksinya, dan banyak mengurangi jejak karbon (carbon footprint) dibandingkan mengimpor dari luar negeri. Naning Adiwoso mengungkapkan, bahwa persyaratan pemakaian produk dalam negeri untuk bangunan ramah lingkungan akan mencapai 70 persen.

Menjadi lebih ramah lingkungan, memang tidak otomatis lebih murah. Pengelola Grand Indonesia mengatakan bahwa nilai investasi awal pembangunan Menara BCA sebesar Rp 700  miliar, ternyata naik beberapa persen karena adanya tambahan dan penyesuaian beberapa peralatan yang ramah lingkungan.

Menurut Direktur Grand Indonesia Sawitri Setiawan, tambahan investasi itu akan segera kembali dalam beberapa tahun dan tidak mengurangi minat para calon  penyewa atau tenant. Rupanya para penyewa jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti pengelola gedung agar mendapatkan sertifikat ramah lingkungan. “Mereka sangat concern dengan green building,” katanya, ”Sehingga kami yakin proses sertifikasi ini menguntungkan.” Buktinya, dari tingkat hunian (occupancy rate) 85% pada tahun 2010, setelah sertifikat GREENSHIP diraih malah naik menjadi 95% di tahun 2012 atau lima  persen lebih tinggi dibandingkan tingkat hunian rata-rata kantor di Jalan Thamrin. Padahal, tarif sewa Menara BCA yang US$ 20/m2/bulan dan biaya pemeliharaan US$7/m2/bulan juga tidak tergolong murah bahkan salah satu yang termahal di Jakarta.

Soal kemauan penyewa yang menjadi dorongan sertifikasi gedung, juga diakui Ketua GBCI Naning Adiwoso. “Mereka tidak mau menyewa kalau bangunannya tidak hijau. Kasus seperti ini banyak terjadi di Jakarta, dan mereka biasanya pindah mencari gedung lain,” katanya.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto saat mengomentari sertifikat Gold yang diperoleh gedung kementeriannya juga mengakui adanya  kenaikan biaya pembangunan sebesar 15%. “Dengan umur gedung yang mampu bertahan 40 sampai 50 tahun, maka dalam jangka panjang biayanya jauh lebih murah,” katanya.  Kenaikan biaya sertifikasi juga diakui GBCI, tetapi mereka memastikan investasi itu akan kembali dalam lima tahun karena berbagai  penghematan yang berhasil dilakukan.

Sayangnya sampai awal Agusut 2013, hanya tiga gedung  di Indonesia yang meraih Platinum yaitu Menara BCA, Kantor Pusat PT  Dahana di Subang, dan Kantor Kementerian Pekerjaan Umum di kawasan Blok M, Jakarta Selata. Tiga gedung lain berhasil meraih kategori Gold yakni Sampoerna Strategic Square di Jalan Jenderal Sudirman,  German Center di Serpong dan kampus ITSB di Bekasi.  Jumlah ini belum sampai satu persen dibandingkan 700 gedung tinggi di Jakarta,  apalagi di Indonesia. Negeri tetangga seperti  Singapura telah memiliki  memiliki 11 ribu gedung bersertifikat ramah lingkungan.

Data yang dipaparkan GBCI menyebutkan bahwa  perkiraan  total luas gedung komersial di Jakarta tahun 2012 mencapai 9,44 juta m2.  Jika gedung-gedung ini mampu mengurangi pemakaian listrik sebesar 15% saja dari 250 kWh/m2/tahun sesuai  Standar Nasional Indonesia (SNI), maka dalam satu tahun saja emisi karbon berkurang sebesar 315.414 ton.  Pengurangan volume karbon sebesar itu, setara dengan  kompensasi karbon atau carbon offset yang dihasilkan  oleh penanaman empat juta pohon.

Pembangunan dan sertifikasi gedung ramah lingkungan di Jakarta, sejalan dengan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang disusun Pemda Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta  tahun 2012, yang menetapkan target pengurangan CO2 sebesar  5,5 juta ton/tahun pada 2030, melalui program konservasi energi dan gedung hijau terutama pada sektor komersial, yaitu gedung-gedung milik swasta.

Untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2020 dan 2030, sekaligus  membangun kota yang lebih sehat dan hemat energi, Gubernur Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau.  Aturan di era Gubernur Fauzi Bowo itu, mulai diberlakukan bulan April 2013 dan  mewajibkan pembangunan gedung baru dengan luas lantai di atas 5.000 meter persegi untuk mengadopsi konsep hijau atau gedung ramah lingkungan, sedangkan gedung lama wajib melakukan audit energi setiap limat tahun.  “Untuk kawasan  Asia Pasifik, peraturan gubernur ini yang pertama, dimana pemerintah provinsi mewajibkan pengembang membangun gedung ramah lingkungan,” tutur Pandita, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengawasan Struktur Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Bidang Pengawasan Pembangunan Provinsi DKI Jakarta.

Kewajiban membangun gedung ramah lingkungan di Jakarta  memang ampuh mempengaruhi semua pengelola dan pemilik gedung, karena menurut Naning dari GBCI, sampai Juni 2013 sudah terdaftar 100 gedung yang menyatakan keinginan mendapatkan sertifikat GBCI, 80 persen diantaranya di Jakarta. Bila aturan ini tidak ditaati, maka Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak akan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan dan Sertifikat Laik Fungsi. “Alangkah baiknya, gubernur di daerah lain mengikuti langkah Jakarta untuk menciptakan gedung yang hemat energi dan mengurangi dampak pemanasan global,”kata Naning.

Merasa tidak cukup dengan peraturan saja, Pemprov Jakarta juga bergerak cepat melakukan audit energi selama triwulan ke-3 tahun 2012. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta Andi Baso kepada para jurnalis, hasil monitoring terhadap 31 bangunan yang melakukan penghematan penggunaan AC, listrik, dan air di setiap gedung Pemda menggembirakan. Pemakaian listrik rata-rata menurun 5,5 persen, dan biaya tagihan listrik rata-rata turun  4 persen. Sedangkan pada triwulan IV pemakaian listrik menurun rata-rata 1,8 persen, dan 0,6 persen untuk tagihannya.  Dari audit itu, Pemprov memperkirakan mereka dapat menghemat biaya listrik sekitar Rp 400 juta dalam satu triwulan. Uang sebanyak itu dapat dipakai untuk melakukan berbagai macam proyek padat karya, untuk memberikan pekerjaan kepada warga miskin Jakarta.

Biaya sertifikasi gedung ramah lingkungan atau audit energi di Indonesia relatif rendah, berkisar  Rp 75 juta sampai Rp 150 tergantung luas dan jenis gedung, dibandingkan sekitar Rp 1 miliar di Singapura.   Sebagai lembaga sertifikasi gedung ramah lingkungan satu-satunya di Indonesia GBCI tidak menyebutnya biaya sertifikasi tetapi donasi. “Kalau kita sebut biaya sertifikasi, maka nilanya jauh di atas itu. Dan biaya sertifikasi yang mahal bisa membuat inisiatif gedung ramah lingkungan ini tidak akan menarik banyak peminat,” kata Naning.

Agar makin banyak yang berminat mendaftarkan gedungnya untuk disertifikasi, GBCI telah melobi Kementerian Keuangan agar memberikan insentif kepada para pengembang yang telah mengantongi sertifikat ramah lingkungan GREENSHIP , mulai dari Platinum sampai  Perunggu.   Salah satu insentif yang diusulkan adalah pengurangan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), yang diyakini mampu mendorong semangat para pengembang membangun gedung yang lebih ramah lingkungan di seluruh Indonesia.

Sumber: ekuator.com

read more
Tajuk Lingkungan

Jadilah Aktivis Lingkungan Sejati

Sepertinya bukan kebetulan jika gerakan lingkungan hidup menjadi bulan-bulanan banyak pihak saat ini. Karena memang selama ini gerakan ini dianggap menggangu keyamanan ‘business as usual’ penguasa ekonomi dan politik.

Misalkan, publik Inggris pernah disuguhkan dengan berita perdebatan antara aktivis lingkungan dengan pembuat film, “What the Green Movement Goes Wrong”. Selanjutnya di negeri sendiri, gerakan lingkungan khususnya Greenpeace, sering mengalami ‘serangan balik’ dari pihak-pihak yang terganggu dengan kampanye mereka. Bahkan pernah Greenpeace ditantang berdebat oleh seorang akademisi ditambah lagi bantahan dari staf Presiden terkait data yang digunakan dalam publikasinya.

Label Anti Ilmu Pengetahuan
Murray Bookchin (1989) pernah menyatakan bahwa gerakan lingkungan menjadi gerakan yang paling radikal abad ini. Sehingga paska perang dingin, kapitalisme meletakkan gerakan lingkungan dalam list musuh yang perlu diwaspadai. Meski tidak dapat dipungkiri banyak juga muncul model developmentalisme yang didukung oleh korporasi untuk memoderasi gerakan lingkungan.

Berkaitan dengan cara mematahkan gerakan lingkungan juga masih menggunakan metode lama yakni dengan melabelkan gerakan lingkungan sebagai ‘anti-ilmu pengetahun’ ataupun ‘anti-kemajuan’. Dengan jalan mengambil salah satu-dua contoh ‘kesalahan’ yang disebarluaskan untuk membangun opini publik. Maksudnya jelas untuk merobohkan citra gerakan lingkungan yang selama tiga dekade menjadi memberikan kontribusi bagi penyelamatan bumi.

Film dokumenter “What the Green Movement Got Wrong” mengambil sampel hubungan antara pelarangan DDT diseluruh dunia dengan banyaknya korban meninggal akibat malaria. Pelarangan DDT diklaim sebagai dampak dari kampanye aktivis lingkungan, Greenpeace. Namun dalil ini dengan mudah dipatahkan oleh George Monbiot, aktivis lingkungan radikal, karena memang tidak pernah ada pelarangan DDT diseluruh dunia. DDT sendiri tidak pernah masuk dalam Annex B Konvensi Stockholm tentang POP. Jadi hal tersebut hanya cerita fiksi yang disusun oleh para kolaborator korporat (Guardian 04/10/10).

Federasi organisasi lingkungan terbesar, Friends of the Earth (FOE), dalam film tersebut, juga dilabelkan sebagai anti ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan oleh posisi FOE selama selama ini menolak keras pangan dari produk genetically modified organisms (GMO) dengan basis prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle).

Dalam prinsip tersebut, ketidakpastian ilmu pengetahuan menganai dampak sebuah program seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda langkah proteksi terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia (Prinsip 15 dari Deklarasi Rio). Dengan demikian, alam dan kesehatan manusia diberikan porsi yang harus diuntungkan dalam program yang masih diperdebatkan.

Argumen terpenting dari FOE terkait GMO terkait dengan relasi kuasa korporasi dengan rakyat. Jika pangan GMO yang diproduksi oleh korporasi disebarluaskan maka rakyat sedang meletakkan lehernya ditali gantungan kuasa korporasi atas kehidupan. Korporasi kemudian akan berubah menjadi tuhan dalam menentukan siapa yang layak hidup, dengan jalan memberikan suplai pangan, dan siapa yang harus mati atas nama keuntungan.

Dengan demikian perdebatan yang belangsung bukan lagi dalam ranah ilmu pengetahuan ilmiah dan teknis yang diklaim sebagai wilayah yang ‘bebas kepentingan’. Tetapi meluas kedalam perdebatan ekonomi politik yakni relasi kuasa negara-modal-rakyat.

Ditempat berbeda, Indonesia, aktivis Greenpeace pernah ditantang berdebat mengenai hasil penelitian ilmiah tentang ‘kejahatan lingkungan’ satu korporasi. Namun sayangnya tantangan ini tidak pernah terealisasi. Sepertinya, ada ketidakpercayaan diri dari para aktivis Greenpeace untuk berdebat dengan seorang doktor dari IPB. Padahal di dunia nyata, keabsahan temuan seorang doktor tidaklah lebih superior dari intuisi penyelamatan ibu pertiwi dan keadilan lingkungan dari seorang yang tidak berpendidikan sekalipun.

Membuka Kontradiksi Kapitalisme-Alam
James O’Connor (1988) menyatakan bahwa alam berkontradiksi dengan modal, kemudian dikenal kotradiksi kedua dari kapitalisme. Kontradiksi ini melihat bahwa produksi tanpa batas dari kapitalisme membawa kehancuran lingkungan hidup. Sedangkan, kontradiksi pertama sendiri terletak pada hubungan buruh dengan modal. Dengan demikian, keuntungan kaum kapitalis sebenarnya diperoleh selain dari nilai lebih kaum buruh ditambah dari eksternalisasi biaya lingkungan dan sosial.

Selain kontradiksi diatas, terdapat juga perbedaan mendasar dalam pijakan berpikir para korporatis dengan aktivis gerakan lingkungan. Jika korporatis mungkin juga termasuk komprador-nya melihat nilai alam secara intrumental semata. Dimana alam dipandang sebagai alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia yang tanpa batas. Sehingga sumber daya yang terbatas jumlahnya sudah semestinya diberikan nilai ekonomis.

Di sisi lain, gerakan lingkungan memperluas cara pandang instrumental ini dengan menambahkan pendekatan nilai inheren dan intrinsik dari alam. Nilai inheren melihat alam tidak semata-mata sebuah entitas yang harus ditaklukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi menjadi ruang komtemplasi yang memiliki symbol spritualitas. Sedangkan nilai intrinsik memandang alam memiliki nilai dari dan untuk dirinya sendiri meskipun tanpa keberadaan manusia. Dengan demikian, manusia memiliki kewajiban moral untuk menghormati-nya terlepas dari memiliki fungsi atau tidak dalam kehidupan manusia.

Kemudian, pertanyaannya: akankah kontradiksi dan perbedaan cara pandang ini direkonsiliasi dalam ranah diskusi ilmiah yang bias instrumentalis? Mungkin jawabannya sulit, jika bukan mustahil.

Selanjutnya, sebenarnya tantangan dari akademisi IPB tersebut ditujukan secara terbuka bagi seluruh gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Hal positif dari menerima tantangan ini, paling tidak, dapat membuka kontradiksi dan memperjelas siapa kawan dan siapa lawan dari gerakan lingkungan di Indonesia. Karena tentu saja tidak ada orang yang bisa netral di dalam kereta yang sedang bergerak, seperti judul film Howard Zinn.

Penulis, Agung Wardana, saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Murdoch University

 

 

read more
Galeri

Rawa Tripa

read more
Galeri

Nasib Orang Utan

 

read more
Perubahan Iklim

Migrasi Kepiting Akibat Pemanasan Global

Jerman –  Dampak pemanasan global tak hanya menyebabkan es di kutub mencair, perubahan iklim, tapi juga berpengaruh kehidupan satwa liar termasuk kepiting.

Pakar biologi kelautan di Alfred Wegener Institute AWI meneliti hal tersebut. Daniela Storch merupakan pakar biologi kelautan. Di Alfred Wegener Institute AWI, utara Jerman ia mengeksplorasi dampak perubahan iklim terhadap larva kepiting.

“Alfred Wegener Institute memiliki fasilitas luar biasa. Kita berada di laboratorium mikroskop, di mana tersedia instrumen terbaik bagi riset. Jika meneleiti larva di bawah mikroskop, kita dapat mengukur parameternya seperti detak jantung dan aktivitasnya. Dan itu hanya ada di AWI,“ ujarnya.

Kepiting berpindah

Selain es dan iklim, satwa liar juga mengalami perubahan. Bagi beberapa jenis kepiting, habitat perairan endemiknya menjadi lalu hangat akibat perubahan iklim.

Daniela Storch-menjelaskan lebih lanjut: “Ada kepiting yang sudah bermigrasi. Seperti yang saya teliti ini, dulu 10-20 tahun yang lalu ada di Laut Utara, tapi kini di sana hampir tidak ada lagi, karena mereka berpindah jauh ke utara, hingga ke kutub, dan itu sudah sampai pada batasnya, tidak bisa pergi lebih jauh ke utara, jika suhu terlalu hangat, mereka akan musnah.”

Mengancam ekosistem

Juga di belahan bumi selatan, beberapa jenis kepiting bermigrasi ke perairan lebih dingin. Dampaknya fatal. Kepiting raja yang diteliti Daniela Storch di laboratorium ini, habitatnya makin mendekat ke Kutub Selatan. Seluruh ekosistem di Antartika terancam, karena kepiting raja tidak memiliki musuh alami di sana.

Pakar biologi, Daniela Storch menceritakan: “Dalam beberapa tahun terakhir telah ditemukan kepiting raja di laut dalam kawasan Antartika. Di sana ada spesies lain yang sensitif, yang dapat dijarah oleh kepiting raja–predator puncak, yang akan memusnahkan spesies lain.”

Seperti dilansir sebelumnya, para peneliti dari Alfred Wegener Institute tidak dapat menghentikan perubahan iklim. Tapi mereka dapat menjamin, bahwa kita dapat memahami dengan lebih baik dan mengambil tindakan penanggulangan. Untuk itulah mereka melakukan penelitian – hari demi hari.

Sumber : beritalingkungan.com

read more
Flora Fauna

Habitatnya Hilang, Orangutan Makan Madu Milik Petani

Hutan tempat hidup orangutan telah berubah jadi kebun sawit, tak pelak perubahan pola hidup orangutan terjadi. Dalam lima tahun terakhir, setiap Desember-Januari, memasuki panen madu, mereka turun mencari makan dengan mengambil tikung buatan petani.

Petani madu di Desa Ujungpandang dan Kapuas Raya, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), resah. Setiap menjelang panen madu tiba, orangutan di sekitar desa mulai turun dari perbukitan, dan masuk ke danau. Mereka merusak tikung atau tempat lebah bersarang buatan petani.

Hutan tempat hidup orangutan telah berubah jadi kebun sawit, tak pelak perubahan pola hidup orangutan terjadi. Dalam lima tahun terakhir, setiap Desember-Januari, memasuki panen madu, mereka turun mencari makan dengan mengambil tikung buatan petani.

Perilaku orangutan ini diduga kuat karena habitat Pongo pygmaeus-pygmaeus itu sudah tergerus perkebunan sawit. Citraland satelit menunjukkan, perkebunan sawit skala besar yang sudah beroperasi di sekitar Kecamatan Bunut Hilir adalah PT Bumi Tani Jaya dan PT Borneo Estate Sejahtera.

Saat ini, petani bersiap memanen madu. Namun gangguan orangutan membuat panen terancam gagal. “Kami hanya perlu perhatian pemerintah bagaimana mengatasi persoalan ini agar petani tak melulu dirugikan,” kata Mas’ud, Kepala Dusun Kubu, Desa Ujungpandang, ketika dikonfirmasi dari Pontianak, Rabu (30/10/13).

ikung atau sarang lebah buatan petani yang kerab dirusak orangutan. Mereka mengambil inti madu untuk dimakan | Foto: Edhu/WWF-Indonesia Panda

Dia mengatakan, orangutan tahu musim panen madu jatuh pada Desember hingga Januari setiap tahun. Si Pongo itu turun dari bukit dan masuk ke Danau Miuban, tempat para petani memasang tikung. Fenomena ini sudah terjadi sejak lima tahun terakhir, pasca-perkebunan sawit masuk ke wilayah itu.

Danau Miuban merupakan hamparan luas tempat petani madu Desa Ujungpandang dan Kapuas Raya memasang tikung. “Memang, kami tidak mendata jumlah kerusakan tikung. Yang pasti, dari enam pemilik tikung, pasti ada yang dimakan orangutan setiap hari,” kata Mas’ud.

Menurut dia, dalam banyak hal orangutan sangat pandai. Satwa ini tahu kapan waktu pas turun dari perbukitan dan masuk ke kawasan danau mencari madu. Bahkan, orangutan tahu madu berkualitas. Si Pongo hanya makan inti madu. Keadaan ini menyebabkan kerugian besar bagi petani.

Sisi lain, warga masih sangat awam soal penanganan orangutan. “Di sini warga belum sepenuhnya paham soal hukum, kecuali hukum rimba. Jadi mereka tak pernah pikir panjang. Maunya orangutan itu dimusnahkan karena dianggap hama. Kami sudah coba mengusir dengan meriam karbit dan pengasapan. Tapi tak mempan.”

Mas’ud berharap, orangutan itu tidak lagi mengganggu tikung petani. Upaya ini sudah diutarakan Mas’ud dalam ajang pertemuan tahunan antara Dinas Kehutanan Kapuas Hulu dengan petani madu di Putussibau. “Masalah dengan orangutan ini sudah saya sampaikan tapi tak ditanggapi serius.”

Guna menekan laju kematian orangutan seperti terjadi dua tahun terakhir di Wajok dan Peniraman, Kabupaten Pontianak, Siti Chadidjah Kaniawati Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar,  segera mengambil langkah taktis. Dia menurunkan tim dari Seksi Konservasi Wilayah II Sintang. “Saya sudah koordinasikan dengan Kepala Seksi Sintang dan staf setempat agar persoalan ini diatasi secepat mungkin. Setidaknya tim segera cek lokasi kejadian konflik dan melakukan tindakan semestinya.”[]

Sumber: mongabay.co.id

 

read more
Perubahan Iklim

Krisis Iklim: Bangladesh Berisiko Tertinggi

Bangladesh – Bumi hanya satu. Dampak perubahan iklim dirasakan oleh semua negara. Baik negara produsen emisi gas rumah kaca terbesar, maupun negara yang tingkat emisinya tidak tertangkap radar. Miliaran manusia di negara-negara ini terancam akibat krisis iklim.

Bangladesh yang menjadi negara paling berisiko terkena dampak perubahan iklim. Bangladesh diperkirakan akan menderita dampak ekonomi terbesar akibat krisis iklim dibanding negara-negara lain pada 2025. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Climate Change Vulnerability Index 2014 yang diluncurkan oleh Maplecroft.

Negara dengan risiko perubahan iklim terbesar kedua adalah Guinea-Bissau, diikuti oleh Sierra Leone (ke-3), Haiti (ke-4), Sudan Selatan (ke-5), Nigeria (ke-6), Kongo (ke-7), Kamboja (ke-8), Filipina (ke-9) dan Ethiopia (ke-10). Negara-negara tersebut menjadi 10 negara dari 193 negara yang dianalisis oleh Maplecroft yang paling banyak menderita kerugian ekonomi akibat perubahan iklim.

Di luar ke-10 negara tersebut, negara-negara penting lain yang masuk dalam kategori negara berisiko ekstrem (extreme risk) meliputi: India (ke-20), Pakistan (ke-24) dan Viet Nam (ke-26). Sementara Indonesia (ke-38), Thailand (ke-45), Kenya (ke-56) dan China (ke-61), semuanya masuk dalam ketegori negara berisiko tinggi (high risk).

Menurut Maplecroft, sebanyak 31% perekonomian dunia digerakkan oleh negara-negara yang memiliki tingkat risiko perubahan iklim tinggi dan ekstrem pada 2025. Hasil analisis ini naik 50% dibanding level risiko saat ini dan telah naik dua kali lipat sejak pertama kali Maplecroft meneliti risiko perubahan iklim pada 2008.

Dalam perhitungan Climate Change Vulnerability Index (CCVI), terdapat 67 negara dengan nilai kegiatan ekonomi mencapai $44 triliun yang akan terancam oleh krisis iklim. Mereka akan didera oleh kondisi yang terkait iklim seperti badai, banjir dan kekeringan yang semakin sering dan ekstrem.

Produk Domestik Bruto China misalnya, akan naik menjadi $28 triliun pada 2025, sementara PDB India akan meningkat menjadi $5 triliun. PDB dua negara ini menyumbang 23% nilai kegiatan ekonomi (output) dunia.

Kerugian akibat perubahan iklim di India terungkap saat India baru-baru ini diterjang Siklon Phailin. Kerugian yang ditimbulkan oleh siklon ini mencapai $4,15 miliar akibat kerusakan di sektor energi dan pertanian. Lebih dari 1 juta ton padi hancur sementara sejumlah infrastruktur penting seperti jalan, pelabuhan, jalur kereta api dan fasilitas komunikasi rusak berat menggangu operasi dan sistem pasokan industri.

“Banyak merek-merek penting dunia yang berinvestasi di negara-negara ini sehingga semakin banyak perusahaan dan bisnis yang terpapar risiko terkait iklim yang ekstrem mengganggu operasi, sistem pasokan dan basis konsumen mereka,” ujar James Allan dari Maplecroft. “Siklon Phailin telah menunjukkan pentingnya perusahaan memonitor frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem ini terutama di negara yang memiliki infrastruktur dan logistik yang buruk.”

Menurut Maplecroft, jika negara-negara dengan tingkat risiko yang ekstrem dan tinggi mampu mengurangi dampak ekonomi dari krisis iklim ini mereka akan bisa meningkatkan dan membuka peluang investasi – manfaat ekonomi yang dicari-cari oleh semua negara, termasuk Indonesia.

Untuk itu perlu kebijakan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melakukan mitigasi dan adaptassi perubahan iklim. Selain kategori negara, menurut Maplecroft kategori kota yang paling berisiko ditempati oleh kota Dhaka, Mumbai, Manila, Kolkata dan Bangkok – sementara kota dengan risiko paling rendah adalah kota London dan Paris.

Sumber : hijauku.com

read more
1 15 16 17 18
Page 17 of 18