close

January 2014

Galeri

FOTO: Hujan Abu Sinabung

Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo Sumatera Utara masih saja erupsi mengeluarkan debu panas. Rumah penduduk, rumah ibadah dan lahan pertanian kini tertutup abu tebal dari Sinabung. Masyarakat pun terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Kontributor Greenjournalist.net, Ratno Sugito mengunjungi lokasi terdekat erupsi untuk melakukan koordinasi bantuan.

read more
Kebijakan Lingkungan

KAFT Beri Masukan Pembangunan Berkelanjutan ke Gubernur Aceh

Keluarga Alumni Fakultas Teknik (KAFT) Universitas Syiah Kuala, pada Jumat malam (24/1/2014) menyerahkan Pokok-pokok Pikiran kepada Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah di Pendapa Gubernur. Pokok-pokok pikiran yang diberi judul “Penerapan Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Mendukung Pembangunan yang Berkelanjutan”, diserahkan dalam acara Pelantikan DPP KAFT Unsyiah Periode 2013-2018.

Wakil Sekretaris Umum Bidang Advokasi Lingkungan DPP KAFT, Ir. T. M. Zulfikar, M.P, kepada media memberikan siaran pers tentang isi pokok pikiran tersebut. Ia mengatakan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan kesepakatan global yang dihasilkan oleh kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlanjutan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi mendatang.

KAFT Unsyiah menyampaikan beberapa pokok pikiran untuk dapat menjadi masukan dan saran kepada Pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh dalam menjalankan roda pembangunan di Aceh menuju masyarakat  yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Beberapa masukan tersebut kami rangkum sebagai berikut:

1. Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Aceh
Konsep pembangunan berkelanjutan seharusnya diletakkan sebagai kebijakan, karena dalam pengamatan kita selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali di Aceh dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam.  Pengelolaan sumber daya alam di Aceh yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.

Pembangunan berkelanjutan di Aceh perlu dilakukan karena dorongan berbagai hal, salah satunya adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan. Pengalaman negara maju dan negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan selain mendorong kemajuan juga menyebabkan kemunduran karena dapat mengakibatkan kondisi lingkungan rusak sehingga tidak lagi dapat mendukung pembangunan. Pelaksanaan pembangunan akan berhasil baik apabila didukung oleh lingkungan (sumber daya alam) secara memadai.

2. Selamatkan Lingkungan Aceh Dari Perubahan Iklim dan Bencana Berkepanjangan
Sebagian orang berpendapat, “Untuk apa memikirkan masalah lingkungan hidup? ‘itukan isu global yang masih jauh. Bukankah isu itu adalah miliknya negara-negara maju? Masih banyak yang harus diperhatikan dan diselesaikan sebelum kita mulai peduli dengan lingkungan hidup.” Ternyata, semakin lama semakin jelas bahwa masalah lingkungan jauh lebih dekat dari apa yang dikira sebagian orang tersebut.  Saat ini isu lingkungan bukan lagi milik negara-negara maju, tetapi sudah harus menjadi kepedulian kita semua, termasuk kita di Provinsi Aceh.

Sekilas berbagai persoalan lingkungan sudah mulai menjadi pembicaraan banyak orang. Tidak hanya sebatas diskusi kecil, tetapi sudah masuk pada pertemuan-pertemuan besar, mulai dari lokakarya, workshop, bahkan seminar-seminar mulai dari tingkat lokal, nasional maupun internasional. Salah satu yang dibahas diantaranya adalah masalah isu perubahan iklim (climate change). Kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin intensif, walaupun semakin pendek periodenya, merupakan bukti nyata bahwa perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan kita. Kekeringan panjang serta banjir dan berbagai bencana yang berkepanjangan di banyak tempat di Aceh telah menyebabkan kerugian di banyak sektor.

Untuk itu dalam upaya mengurangi kerusakan lingkungan dan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, sudah saatnya Pemerintah Aceh untuk segera melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan Pembangunan Aceh, terutama memastikan kembali apakah seluruh kebijakan pembangunan Aceh yang sedang dan akan dilakukan sudah mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Guna Mendukung Pembangunan Yang Berwawasan Lingkungan
Dalam mendukung Pembangunan  Yang Berwawasan Lingkungan, sebenarnya persoalan lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, namun sangat terkait oleh perilaku manusia terutama dalam memenuhi kebutuhannya. Guna memberikan solusi teknologi, KAFT Unsyiah dengan segala keterbatasan yang ada, tentu akan terus berusaha mengkaji dan menerapkan teknologi yang ramah lingkungan sebagai bentuk kontribusi kepada bangsa dan negara ini.

Berbagai hal yang bisa dijadikan kajian diantaranya mengenai konsepsi kota hijau (green city) dan perlunya penerapan teknologi penunjangnya. Kita semua pastinya tahu bahwa situasi aktual yang terjadi hampir sebagian besar masyarakat kita bahkan dunia tinggal di perkotaan. Kota telah menjadi sumber dampak lingkungan yang masif. Penerapan teknologi ramah lingkungan termasuk perubahan perilaku masyarakat perkotaan akan membawa dampak yang signifikan bagi perbaikan lingkungan. Konsep green city tentunya tidak lepas dari pendekatan pengelolaan sampah dan limbah yang mendekati zero waste. Disini dibutuhkan berbagai teknologi seperti daur ulang limbah cair dan sampah, energi bersih sampai dengan teknologi material ramah lingkungan.

Untuk melaksanakan strategi tersebut perlu dilaksanakan program dalam pengembangan teknologi lingkungan antara lain:
1.    Meningkatkan teknologi lanjutan, teknologi proses, teknologi produksi dan “re-engineering”.
2.    Kemitraan diantara institusi peneliti, perguruan tinggi dan swasta.
3.    Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna berwawasan lingkungan.
4.    Menciptakan iklim kondusif untuk penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi lingkungan.
5.    Mengembangkan penelitian dan teknologi sesuai dengan hasil evaluasi terhadap kinerja teknologi yang telah diterapkan.

Peran sektor swasta sangat penting dalam mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi lingkungan. Perlu berbagai masukan dari berbagai pihak yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam. Masing-masing perusahaan diharapkan dapat lebih meningkatkan pengelolaan lingkungan dengan terus menggunakan teknologi yang akrab lingkungan.

KAFT juga menyarankan beberapa kebijakan  agar pembangunan memungkinkan dapat berkelanjutan maka diperlukan berbagai kebijakan yang patut dipertimbangkan pelaksanaannya oleh Pemerintah, diantaranya sebagai berikut :
1.    Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi lingkungan (biogeofisik dan sosekbud) maka setiap daerah yang dibangun harus sesuai dengan zona peruntukannya, seperti zona perkebunan, pertanian, pertambangan, pertanian, peternakan, ekowisata dan lain-lain. Hal tersebut memerlukan perencanaan tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang baik, sehingga diharapkan akan dapat dihindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.

2.    Proyek-proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan perlu dikendalikan melalui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL dapat diperkirakan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan.

3.    Penanggulangan berbagai pencemaran, seperti pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan secara cermat audit lingkungan melalui tim independen.

4.    Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan.

5.    Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.

6.    Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

7.    Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.

8.    Pengembangan kerja sama luar negeri.

9.    Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya.[rel]

read more
Green Style

Pelajaran dari kota hijau Vaexjoe di Swedia

Pohon-pohon cemara, lumut dan makanan busuk menjadi bahan bakar Vaexjoe, Swedia, untuk menjadi kota berkelanjutan namun keterikatan orang pada mobil bisa menjadi rem bagi ambisi karbon-netral mereka.

Bersarang di antara danau-danau kemilau dan hutan pinus tebal di bagian selatan Swedia, Vaexjoe telah berjalan lebih jauh dalam penggunaan energi terbarukan, transportasi bersih dan konservasi energi serta memromosikan diri sebagai “Kota Eropa Terhijau.”

“Kami mulai sangat dini,” kata Henrik Johansson, anggota dewan lokal, kepada kantor berita AFP.

“Politisi kami menyadari pada 1960-an bahwa jika kota ingin berkembang, danau-danau harus dibersihkan–danau-danau ini tercemar akibat limbah industri kain pada abad ke-18 dan perluasan kota,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemulihan perairan paling tercemar, Danau Trummen — yang terkenal dengan baunya yang berbahaya sejak abad ke-18– menjadi katalis bagi proyek-proyek lingkungan yang lebih ambisius.

“Ketika saya kecil, kau tidak akan bermimpi berenang di danau itu, tapi sekarang kau bisa melakukannya,” kata pejabat lingkungan berusia 39 tahun itu.

“Perubahan yang sangat jelas itu tinggal dalam pikiran orang-orang– itu menunjukkan bahwa jika kau benar-benar ingin melakukan sesuatu dan menetapkan hati untuk itu, kau akan berhasil,” tutur dia.

Dalam tahun 1990an, sebelum pemanasan global menjadi berita utama, kota itu mengumumkan rencana untuk meninggalkan bahan bakar fosil pada 2030 dan mengurangi separuh emisi karbon dalam waktu kurang dari dua dekade.

Kedua rencana itu termasuk di antara “tujuan hijau” utama yang juga mendorong para petani lokal bergerak ke sistem organik dan semua orang mengurangi konsumsi kertas serta menggunakan sepeda atau transportasi publik.

Hari ini emisi karbon dioksida Vaexjoe sudah hampir separuh dari tingkat emisi karbon mereka pada 1993 — salah satu tingkat terendah di Eropa dengan 2,7 ton per orang — dan hampir setengah dari rata-rata emisi karbon yang sudah rendah di Swedia.

Tahun 1970an Vaexjoe membangun pemanas distrik dan sistem pembangkit–memompa panas dan air panas dari satu ketel pusat ke seluruh kota.

Perusahaan energi milik pemerintah kota ini juga menjadi perintis peralihan penggunaan bahan bakar minyak ke biomassa — yang dihasilkan dengan membakar limbah dari industri kehutanan.

Dalam pembangkit yang berada di luar kota, direktur perusahaan energi pemerintah kota Bjoern Wolgast, mengambil segenggam penuh ranting kusut, lumut, dan kulit pohon dan menghirup aroma tajam pinus saat ekskavator membawa tumbuhan material berdebu ke dekat sabuk ban berjalan.

“Ini benar-benar energi terbarukan — hutan-hutan Swedia masih memroduksi lebih banyak dari yang kami ambil,” katanya. “Dan kami kirim lagi abunya untuk menyuburkan hutan,” tambah dia.

Sekarang hampir 90 persen dari sekitar 60.000 penduduk kota itu mendapatkan pemanas dan air hangat dari pembangkit yang juga memasok sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik itu. Berkat serangkaian penyaring, emisi karbon dari pembangkit itu hampir bisa diabaikan — hanya seperduapuluh dari batas nasional.

Namun apakah Vaexjoe benar-benar “Kota Terhijau Eropa” masih jadi perdebatan dan slogan itu juga mengganggu sebagian penduduk lokal, termasuk pemilik restoran ekologis Goeran Lindblad.

“Mengapa kita masih bertahun-tahun di belakang kota lain di negeri ini dalam mendaur ulang sisa makanan?” tanya Lindblad, satu di antara yang pertama memulai daur ulang makanan dua tahun lalu.

Namun ketika dewan lokal mulai mengumpulkan limbah organik, upaya itu berlangsung sangat cepat.

Dua per tiga rumah tangga mendaftar secara sukarela — dengan imbalan biaya lebih rendah — dan sekarang armada bus biogas kota beroperasi di hampir sepenuhnya dengan gas produksi lokal dari makanan busuk dan limbah.

“Sulit membandingkan kota-kota dengan ukuran berbeda tapi menurut saya ini termasuk salah satu yang paling hijau di Eropa — mereka maju dan ambisius,” kata Cristina Garzillo, ahli pembangunan berkelanjutan pada jaringan pemerintah lokal ICLEI di Freiburg, Jerman.

Ryan Provencher, insinyur berusia 39 tahun, pindah dari Texas ke Swedia lebih dari satu dekade lalu dan menggambarkan apa yang terjadi di kota itu sebagai perubahan sesungguhnya ke revolusi hijau.

“Kami mendaurulang hampir semuanya. Saya hanya menggunakan mobil dua kali sepekan dan lebih suka lari atau bersepeda untuk kerja,” katanya.

Provencher tinggal bersama istri dan tiga anaknya di rumah paling ramah lingkungan Vaexjoe yang disebut positive house (rumah positif), yang mengirimkan lebih banyak energi kembali ke jaringan dari yang digunakan karena seluruh atapnya tertutup panel surya dan dilengkapi dengan perangkat penghemat energi.

Ia menyebut perbandingan kehidupannya di Vaexjoe dengan kehidupan di Waco, tempat orangtuanya tinggal, seperti “malam dan siang.”

“Bahan bakar sangat murah di sana sehingga tidak ada orang yang berpikir dua kali untuk mengendarai mobil,” katanya.

Namun seperti penduduk Waco, warga Vaexjoe juga sangat suka mobil dan sekitar 60 persen di antaranya menggunakan mobil, kondisi yang membuat upaya mencapai tujuan kota untuk meninggalkan bahan bakar fosil sulit dicapai.

“Kami tergantung pada perubahan nasional dan tentang mobil dan perusahaan bahan bakar membuat alternatif bahan bakat tersedia. Kami tidak bisa memaksa orang menyingkirkan mobil mereka,” kata Johansson. []

Sumber: antaranews.com

read more
Ragam

Pemilu 2014 Pilih Pemimpin Pro Rakyat dan Pro Pelestarian!

Banjir yang melanda Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Semarang, Manado, dan lain-lain pada awal 2014 ini menyadarkan bahwa sumber daya alam Indonesia salah urus selama ini. Bencana ekologis ini harus menjadi alarm pembaharuan ke depan, karena menurut catatan WALHI sedang terjadi peningkatannya secara tajam. Jika pada tahun 2012, banjir dan longsor terjadi sebanyak 475 kali dengan korban jiwa mencapai 125 orang, pada tahun 2013, secara akumulatif peristiwa bencana ekologis mencapai 1.392 kali atau meningkat hampir 300 persen. Bencana tersebut melanda 6.727 desa/kelurahan yang tersebar pada 2.787 kecamatan di 419 kabupaten/kota atau 34 propinsi, dan telah menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.

Sayangnya, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II -yang masa kerjanya tersisa kurang dari satu tahun- membuka tahun 2014 dengan menerbitkan peraturan yang tidak berpihak pada keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. PP 1/2014 dan Permen ESDM 1/2014 yang mengendorkan (relaksasi) batas waktu larangan ekspor mineral mentah tak hanya membebaskan dari hukuman (impunity) tapi juga melanggengkan perusahaan ekstraktif mengeruk kekayaan mineral Indonesia.

Tahun 2014 juga dibuka dengan kegembiraan semu melalui pelepasan 7.000 ha kawasan hutan Mesuji dari Register 45, Lampung. Menjadi semu karena pelepasan dilakukan tanpa skema distribusi lahan yang jelas dan berkeadilan sehingga potensial memicu konflik horisontal. Padahal, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan fenomena meningkatnya konflik agraria beberapa tahun terakhir.

Pada 2010 tercatat sedikitnya 106 konflik agraria, kemudian meningkat menjadi 163 konflik pada tahun 2011, dan menjadi 198 konflik pada tahun 2012. Peningkatan besar-besaran terjadi pada 2013 dengan konflik agraria tercatat sejumlah 369 kasus pada kawasan seluas 1.281.660.09 hektar dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Sehingga, berita Mesuji tersebut seakan meresonansi penggusuran Suku Anak Dalam dari kawasan hidup mereka di Padang Salak Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi, 7 Desember 2013 karena sengketa hak lahan dengan perusahaan sawit PT Asiatic Persada.

Ketimpangan perlakuan negara kepada penduduk lokal dengan korporasi eksploitatif sejatinya merupakan hal jamak hingga saat ini. Lihatlah kebijakan pengalokasian ruang kawasan hutan sebagai misal. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 yang ditetapkan oleh Permenhut 49/2011 menjabarkan bahwa dari total 41,69 juta hektar penggunaan kawasan hutan, 41,01 juta hektar atau 99,5% diperuntukkan bagi perusahaan, seperti HPH, HTI, pelepasan kebun, pinjam pakai tambang. Hanya 0,21 juta hektar atau 0,5% yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal/adat dan atau usaha kecil, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat.

Padahal, HPH/HTI kinerjanya sangat buruk terbukti dengan semakin berkurangnya jumlah dan luas perusahaan HPH dan semakin menguatnya fenomena monopsoni pada bisnis HTI. Bahkan, ditengarai 34 juta hektar kawasan HPH/HTI saat ini merupakan kawasan open access. Fenomena open access ini terjadi pula pada 30 juta hektar hutan lindung Indonesia karena ketidakhadiran pengelola di tingkat lapangan.

Pada 2013 Indonesia dan Uni Eropa menandatangani perjanjian Forest Law Enforcement, Governance, and Trade – Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) antara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa. Sesuai dengan EU Timber Regulation (EUTR) 995/2010, FLEGT VPA ini akan membuka lebih luas pasar Eropa bagi kayu legal Indonesia. FLEGT VPA ini berpeluang meningkatkan sumbangsih kehutanan terhadap perekonomian nasional yang semakin melemah pada satu dekade terakhir.

Meski demikian, harus dipastikan agar pembukaan pasar Eropa ini tidak justru membuka ruang perusakan hutan melalui eksploitasi kayu yang tak lestari. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai salah satu instrumen terkait FLEGT VPA, harus direvisi agar menjadi instrumen yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable forest management (SFM).

Karena, sampai saat ini SVLK justru nyaris setiap tahun diperburuk kualitasnya melalui perubahan regulasi sehingga justru meloloskan juga perusahaan kehutanan yang tak layak SFM. Bahkan, terdapat juga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi yang beroleh sertifikat SVLK. Pun, SVLK dan pasar Eropa harus didorong untuk mendukung hasil hutan produksi unit usaha masyarakat lokal.

Sepanjang 2013, Indonesia melaksanakan 152 pemilu kepala daerah. Berdasarkan citra satelit dan data pilkada serta perijinan 2000-2008, Prof. Burgess, dkk menemukan bahwa ada fenomena peningkatan deforestasi 57% setahun setelah pilkada di Indonesia. Kajian ICW (2013) juga menunjukkan meningkatnya dana-dana bantuan sosial di kementerian-kementerian yang dipimpin menteri yang berasal dari partai politik. Fenomena ini akan menjadi peringatan akan potensi meningkatnya korupsi termasuk pada sektor pngelolaan dan pengolahan sumber daya alam pada tahun politik 2014.

Harapan sejatinya hadir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 45/2011 yang membuka ruang negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan diputuskannya bahwa kawasan hutan yang sah dan mengikat adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan, tak cukup hanya ditunjuk sebagaimana terjadi pada sebagian besar kawasan hutan Indonesia, memastikan persetujuan masyarakat terhadap Berita Acara Tata Batas menjadi faktor kunci. Putusan MK 35/2012 yang menegaskan eksistensi hutan adat juga memastikan bahwa komunitas adat pun menjadi entitas penting dalam tatakelola kehutanan Indonesia.

Namun demikian, tindak lanjut pemerintah terhadap kedua Putusan MK tersebut sangat minim. Pengukuhan kawasan hutan di Kabupaten Barito Selatan yang diproses sepanjang 2013 bahkan tidak menambah luas pengukuhan satu hektar pun. Demikian juga, hutan adat yang ditetapkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi belum ada sama sekali. Padahal, pemerintah sangat diharapkan mengeluarkan kebijakan transisi sebagai terobosan mengingat banyaknya tumpang tindih klaim dan ijin di dalam klaim hutan adat.

Harapan juga hadir melalui inisiatif KPK bersama UKP4 yang memelopori sinergitas antar lembaga negara melalui Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian atau Lembaga Negara (NKB 12 K/L) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. Meski judulnya mengenai pengukuhan, dokumen yang ditandatangani pada 11 Maret 2013 -sehingga kerap disebut sebagai Supersemar Kehutanan- ini pada dasarnya merupakan reformasi secara substantif tatakelola sumberdaya alam Indonesia. Program Indonesia Memantau Hutan yang didorong KPK sebagai open government sektor kehutanan juga diharapkan mampu mendorong transparansi tata kelola serta partisipasi publik yang semakin massif pada pembaharuan tatakelola kehutanan Indonesia.

Pada saat yang sama, jaringan masyarakat sipil semakin menunjukkan perannya dalam mengawal kejadian yang mengancam kelestarian hutan dan sumber daya alam kita. Eyes on the Forest (EoF) di Riau dan Koalisi Anti Mafia Hutan banyak memberi masukan pada proses penegakan hukum yang dilakukan KPK, seperti kasus Azmun Jafar dan rangkaiannya yang kini telah menyeret Gubernur Riau Rusli Zainal ke persidangan pengadilan tindak pidana korupsi. Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) juga banyak membantu proses penegakan hukum dan pembaruan kebijakan yang diinisiasi UKP4.

Kita semua sebentar lagi diberi kesempatan membuat pilihan agar jejak tersebut bisa lebih banyak lagi memberikan keberpihakan kepada rakyat. Kami memberikan catatan di atas agar kita semua tidak melupakannya. Karenanya, mari menggunakan kekuatan kita melakukan perubahan memasuki tahun yang baru dan menyongsong era yang baru pasca Pemilu 2014.

Pilih pemimpin pro rakyat dan pro kelestarian! Demikian siaran pers bersama dari Walhi, ICW, TI, WWF dan Yayasan Kehati.

Sumber: hijauku.com

read more
Perubahan Iklim

Memahami Banjir Jakarta

Jakarta sudah dilanda banjir sejak ribuan tahun silam, jauh sebelum kota ini diberi nama Batavia dan dikuasai oleh penjajah Belanda. Pada abad ke-5 ketika Jakarta yang kita kenal sekarang ini berada dibawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, kota ini telah kerap terendam banjir pada saat puncak musim hujan. Apa yang tertulis pada Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Jakarta Utara pada tahun 1878, merupakan salah satu bukti otentik bahwa wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta ini sudah mengalami banjir sejak dahulu kala.

Salah satu keterangan dalam prasasti yang dibuat pada masa kerajaan Tarumanagara ini, menjelaskan bahwa Raja Purnawarman pernah menggali Kali Chandrabhaga (Kali di daerah Bekasi) dan Kali Gomati (Kali di daerah Tangerang) sepanjang sekitar 24 km untuk mengatasi banjir di wilayah kerajaannya. Prasasti tersebut mengungkapkan bahwa pada masa itu Jakarta telah pernah mengalami banjir, dan Raja Purnawarman berusaha mengatasinya dengan menggali kali antara Bekasi dan Tangerang. (Zaenuddin HM, 2013).

Tercatat beberapa banjir besar pernah terjadi di Jakarta, antara lain pada tahun 1621, 1654, 1872, 1893, 1909, sampai banjir besar yang terjadi pada tahun 2002, 2007, 2013, dan juga tahun ini. Meskipun Jakarta telah mengalami banjir sejak dulu, namun kini intensitasnya semakin tinggi dan wilayah yang tergenang juga semakin luas. Dengan demikian kerugian serta dampaknya semakin buruk dari tahun ke tahun.

Sejak ratusan tahun lalu, banjir selalu menimbulkan kerugian yang besar bagi Jakarta dan penghuninya. Salah satu banjir terbesar yang terjadi di Jakarta pada masa penjahan Belanda terjadi pada tahun 1872, banjir itu menyebabkan pintu air di depan daerah yang sekarang berdiri Masjid Istiqlal, jebol. Sungai Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Begitu juga Gedung Harmonie, gedung dimana kaum elit Belanda bersosialisasi dan berpesta, ikut terendam. Banjir itu juga menyebabkan Rijswijk (Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda) tidak dapat dilalui kendaraan, termasuk kawasan yang sekarang menjadi Lapangan Banten juga terendam banjir.

Banjir yang teramat parah itu menyebabkan Batavia lumpuh. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1893 , banjir besar kembali melanda Batavia, pada tahun itu intensitas curah hujan begitu tinggi sehingga belasan sungai-sungai yang melintasi Jakarta tidak sanggup menampung air limpasannya. Hujan deras yang disertai angin kencang juga mengakibatkan banyak pohon tumbang. Di antaranya di Kwitang, Kebon Sirih, Petojo dan Tanah Abang. Banjir kala itu juga menyebabkan berjangkitnya wabah penyakit seperti kolera dan pes, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa penduduk Batavia. (Zaenuddin HM, 2013)

Seiring dengan waktu kerugian akibat banjir yang terjadi di Jakarta dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, wilayah yang tergenang banjir pun mengalami perluasan, jika dulu hanya wilayah utara dan barat Jakarta saja yang mengalami banjir, maka saat ini hampir seluruh wilayah Jakarta hampir tidak ada yang luput dari banjir.

Banjir besar yang terjadi pada tahun 2007, menggenangi 89 kelurahan yang ada di Jakarta dengan luas wilayah yang tergenang sekitar 454,8 km2, atau lebih dari 60% wilayah Jakarta. Banjir ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Jakarta dan mengakibatkan kerugian hingga mencapai 5,2 triliun, menelan korban 80 jiwa, dan memaksa sekitar 320 ribu orang warga Jakarta mengungsi karena rumahnya tergenang atau bahkan tenggelam oleh banjir.

Banjir yang terjadi baru-baru ini —(per 20 Januari) menggenangi 89 kelurahan yang ada di Jakarta, dengan luasan wilayah yang terkena dampak sekitar 17,4% dari total wilayah Jakarta, dan sampai saat ini telah memakan korban jiwa sebanyak 11 orang.
Penyebab Banjir Jakarta

Banjir yang kerap melanda Jakarta pada musim penghujan disebabkan oleh multi faktor. Penyebab banjir di Jakarta antara lain adalah penurunan tanah yang rata-rata mencapai 10 cm pertahun, bahkan di beberapa wilayah di bagian utara Jakarta laju penurunan tanah mencapai 26 cm pertahun, penurunan tanah ini terjadi akibat penyedotan air tanah yang begitu masif untuk kepentingan rumah tangga dan industri.

Hilangnya Hutan Bakau di pesisir Jakarta juga merupakan salah satu faktor penyebab banjir, wilayah dimana sekarang berdiri banyak perumahan mewah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), dulunya merupakan hutan bakau yang menghalangi limpasan air laut ke darat di saat terjadi pasang air laut (rob).

Kondisi 13 sungai yang melintasi Jakarta yang sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan juga memperburuk banjir di ibu kota, sungai-sungai tersebut mengalami pendangkalan dan penyempitan, bantaran sungainya dipenuhi oleh bangunan-bangunan baik yang berizin maupun tidak berizin, sungai yang dangkal dan sempit tidak lagi mampu menampung curahan air hujan.

Berkurang dan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air karena disulap menjadi perumahan mewah dan pusat-pusat perbelanjaan besar juga berkontribusi memperburuk banjir yang terjadi di ibu kota. Air hujan tidak bisa lagi langsung terserap tanah, karena daerah resapan air dan ruang terbuka hijau sudah berubah menjadi hutan-hutan beton. Hal ini diperparah lagi dengan buruknya pengelolaan sampah dan rendahnya kesadaran dalam mengelola sampah. Jakarta menghasilkan sekita 6,000 ton sampah setiap hari, dimana 2,000 ton diantaranya berakhir di sungai-sungai ini.

Gelombang tinggi di perairan Jakarta dan air pasang rob yang terjadi bersamaan dengan turunnya hujan membuat Jakarta semakin dikepung air, ketika kondisi ini terjadi, banjir di Jakarta akan semakin buruk. Air dari 13 sungai di Jakarta tertahan dan tidak bisa langsung mengalir ke laut, justru air dari pasang rob menambah debit air yang menggenangi Jakarta. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya secara masif hutan bakau di Jakarta yang seharusnya berfungsi menahan limpasan air dari pasang rob, berubah menjadi permukiman mewah dan pusat perbelanjaan.

Kerusakan wilayah hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane, akibat perubahan hutan di wilayah Bogor dan Cianjur, menjadi perkebunan teh dan rumah-rumah peristirahatan kalangan berpunya di Indonesia meningkatkan aliran permukaan (run off). Hal ini membuat air hujan yang turun di kawasan tersbut tidak dapat diserap oleh tanah secara maksimal dan langsung meluncur ke kawasan di hilir sehingga menyebabkan semakin buruknya banjir di Jakarta.

Perubahan iklim juga tidak bisa dibantah berkontribusi secara signifikan terhadap banjir di Jakarta. Perubahan iklim berdampak pada berubahnya pola cuaca dan kenaikan permukaan air laut, meningkatkan intensitas terjadinya cuaca ekstrem, seperti curah hujan yang sangat tinggi, dan gelombang tinggi di perairan Jakarta. Menurut salah satu hasil penelitian, mulai tahun 2016 banjir di Jakarta akibat air pasang rob akan semakin meningkat dari tahun ke tahun dan akan berpotensi menenggelamkan wilayah utara Jakarta pada tahun 2025 ( Brinkman, 2007).

Mengacu pada laju perubahan iklim saat ini, maka bisa dipastikan banjir di Jakarta pada tahun-tahun mendatang akan lebih sering terjadi dan wilayah yang terkena dampaknya akan semakin meluas. Kecuali jika ada langka-langkah nyata yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.[]

Sumber : greenpeace.prg

read more
Flora Fauna

Ilmuwan Brazil Temukan Spesies Lumba-Lumba Sungai

Para peneliti dari Brasil telah menemukan spesies baru lumba-lumba di sungai yang ada sejak akhir Perang Dunia Pertama 1918. Lumba-lumba ini dinamakan Araguaia sesuai dengan nama sungai tempat ditemukannya. Spesies yang ditemui ini adalah yang kelima diketahui dari jenisnya di seluruh dunia. Temuan ini sudah diterbitkan dalam jurnal sains, Plos One.

Seperti dilansir dari laman BBC, Kamis, 23 Januari 2014, para peneliti mengatakan, lumba-lumba ini terpisah dari spesies sungai Amerika Selatan lainnya, selama lebih dari dua juta tahun lalu. Ilmuwan meyakini ada sekitar 1.000 makhluk hidup yang tinggal di lembah sungai Araguaia.

Lumba-lumba sungai merupakan makhluk paling langka di dunia. Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), hanya ada empat spesies yang dikenal, dan tiga diantaranya berada dalam daftar merah, yang berarti mereka terancam punah. Salah satu spesies yang paling dikenal , lumba-lumba Sungai Yangtze atau Baiji diyakini telah punah sekitar 2006.

Lumba-lumba Araguaia hanya punya sedikit keterkaitan dengan sepupu jauh mereka yang hidup di laut. Perbedaan mencoloknya adalah, mereka mempunyai paruh panjang yang digunakan untuk berburu ikan di lumpur dasar sungai. Ada juga beberapa perbedaan, yaitu dari jumlah gigi dan ukuran gigi yang lebih kecil.

Amerika Selatan adalah rumah bagi lumba-lumba sungai Amazon, yang juga dikenal sebagai lumba-lumba merah muda atau Boto. Lumba-lumba jenis ini dikenal sebagai yang paling cerdas dari semua spesies sungai.

Para ilmuwan meyakini Araguaia punya kemiripan dengan lumba-lumba yang ada di Amazon, meskipun spesies ini sudah terpisah 2 juta tahun lalu.

“Yang kami temukan ini sangat mirip dengan yang lain. Temuan ini sesuatu yang tak terduga,” kata pemimpin peneliti, Thimas Hrbek dari Federal University of Amazonas, Brasil. Ia melanjutkan, sungai Araguaia adalah tempat dimana orang-orang biasa datang dan melihat sepanjang waktu, dan lumba-lumba adalah mamalia besar. “Masalahnya adalah tidak ada yang benar-benar nampak, dan ini sangat menarik.”

Dengan menganalisis sampel DNA dari puluhan lumba-lumba di kedua sungai, tim menyimpulkan makhluk sungai Araguaia memang spesies baru. “Dalam ilmu Anda tidak pernah bisa yakin tentang apa pun,” kata Hrbek.

Ilmuwan melihat DNA mitokondria yang pada dasarnya melihat garis keturunan, dan tidak ada pembagian garis keturunan. “Kelompok-kelompok yang kami lihat, haplotype, jauh lebih erat berhubungan satu sama lain daripada mereka kelompok di tempat lain. Agar hal ini terjadi, kelompok harus terisolasi satu sama lain untuk waktu yang lama,” ujarnya.

Para peneliti kemudian mengusulkan bahwa spesies baru lumba-lumba ini disebut dengan Araguaian Boto.

Mereka memperkirakan ada sekitar 1.000 makhluk yang hidup di sungai tersebut mengalir ke utara selama lebih dari 2.600 kilometer untuk mencapai Amazon.

Para peneliti prihatin tentang masa depan lumba-lumba baru, tampaknya memiliki tingkat keragaman genetik yang sangat rendah. Mereka juga khawatir dengan perkembangan manusia.

“Sejak tahun 1960-an aliran sungai Araguaia mengalami tekanan antropogenik yang signifikan karena kegiatan pertanian dan peternakan, dan pembangunan bendungan hidroelektrik,” kata mereka dalam studinya.

Salah satu kekhawatiran populasi lumba-lumba Araguaian Boto adalah sumber makanan spesies ini berupa ikan-ikan kecil. Dan peneliti yakin, nelayan tak akan suka jika harus berebut makanan dengan lumba-lumba ini karena akan mengurangi jumlah tangkapan ikan nelayan. Karena itulah, ia mendesak agar spesies ini dikategorikan sebagai spesies “Terancam Punah” dalam Daftar Merah.

Sumber: tempo.co

read more
Energi

Peneliti UGM Produksi BBM dari Limbah Biomassa

Riset selama dua tahun terakhir, yang dilakukan oleh Profesor Arief Budiman bersama delapan mahasiswa S3 dan S2 bimbingannya, menghasilkan temuan teknologi menarik. Pengajar Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada itu menemukan cara memproduksi bensin dan minyak tanah dari bahan sisa-sisa tanaman perkebunan, hutan dan pertanian alias biomassa.

“Kami sedang menyempurnakan riset ini agar bisa diaplikasikan di industri energi terbarukan,” kata Arief kepada Tempo di kampus Fakultas Teknik UGM pada Jumat, (10/1/2014).

Arief menguji teknologinya ini ke biomassa dari sisa-sisa tanaman yang berstruktur pejal, seperti tandan kelapa sawit, ranting dan cabang kayu hutan produksi serta ampas sisa perasan tebu atau bagasse. Dalam catatannya, aktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan menghasilkan 20 juta ton tandan kosong selama 2014.

Sementara kegiatan penebangan kayu di hutan produksi biasanya hanya mengambil 40-60 persen dari komponen pohon saja. Jumlah biomassa berstruktur pejal lebih besar lagi apabila ditambah dengan sisa kayu perkebunan dan ampas perasan tebu di pabrik gula yang kerap terbuang percuma. “Batang padi sisa panen petani juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan,” kata dia.

Dia memperkirakan saat ini Indonesia memiliki bahan limbah tandan kelapa sawit dan kayu hutan serta perkebunan sekitar 98 juta ton per tahun. Teknologi hasil penelitiannya menemukan cara memerah bensin dari biomassa dengan hasil 10 persen dari bahan. “Dari 98 juta ton biomassa bisa didapatkan 9,8 juta ton minyak atau 235.000 barrel per hari, jadi 20 persen dari kebutuhan BBM nasional,” kata dia.

Secara ringkas, teknologi pengubahan biomassa menjadi bahan bakar minyak ini terbagi dalam tiga tahap. Menurut Arief, bahan biomassa di tahap awal diolah dalam proses bernama pirolisis. Tahapan ini berupa mengonversi biomassa padat menjadi gas, cairan dan arang atau char lewat pemanasan dengan oksigen minim pada suhu 500-an derajat celcius.

Cairan hasil proses pirolisis, yang berwarna hitam pekat seperti kopi kental, merupakan bio-oil. Bahan ini sebenarnya berpotensi menjadi beragam produk jadi berbahan minyak seperti bensin, minyak tanah, oli hingga biodiesel alias solar. “Saya lebih fokus ke bensin karena ini yang paling dibutuhkan saat ini,” kata akademikus yang menekuni riset energi terbarukan sejak 1997 ini.

Menurut Arief bio-oil kemudian dimasukkan dalam peralatan lain untuk menjalani proses cracking atau perengkahan. Perengkahan dalam suhu 700 derajat celcius dilakukan dengan melibatkan zat katalis untuk membuat proses pemecahan rantai molekul lebih efektif. “Banyak zat katalis yang potensial dipakai, salah satu yang kami manfaatkan ialah zeolit,” kata Arief.

Cairan hasil dari proses perengkahan tersebut kemudian menjalani proses distilasi atau pemisahan zat dengan membedakan titik didih. Hasilnya, dua jenis cairan, yakni gasolin alias bensin dan kerosin atau minyak tanah. Gasolin berupa cairan berwarna kuning keemasan, sementara kerosin, kuning kehitaman.

Dia mengaku belum menguji tingkat efektivitas bensin dari bahan biomassa ini pada mesin, meskipun unsur kimiawinya sudah mirip seperti bensin dari bahan fosil. Arief masih mendalami kemungkinan efek tingkat keasaman yang tinggi dari bahan itu. “Kami akan kerja sama dengan peneliti di teknik mesin UGM,” kata Arief.

Dia juga menjelaskan ada satu teknologi lagi yang melengkapi hasil riset ini agar bisa teraplikasi secara mudah dalam industri. Dia merakit alat khusus yang berfungsi menyerap gas panas dari dua tabung baja tempat proses pirolisis dan perengkahan berlangsung. Fungsinya menyimpan limbah gas bersuhu tinggi untuk dimanfaatkan lagi dalam proses pirolisis atau perengkahan selanjutnya.

Arief menyebut alat tersebut berfungsi melakukan oksidasi parsial. Intinya menyimpan panas hasil proses di dua alat lain agar limbah gas tak terbuang dan mengurangi kebutuhan energi penaik suhu.

Dengan begitu, proses produksi bensin dari biomasaa ini miskin limbah. Sebabnya, arang hasil proses pirolisis atau biochar juga bisa dipakai untuk menyerap karbon tanah karena tekstur dalamnya yang berongga. “Bisa di tanam di lapisan tengah tanah dan membantu kesuburan karena menyerap karbon,” kata Arief.

Kalau ketiga peralatan tadi diintegrasikan, maka sudah layak jadi skema industri energi terbarukan. Kebetulan dia sudah membuat miniatur model industri yang memakai konsep pengintegrasian alat itu di laboratoriumnya. “Masih kami teliti lagi agar konsepnya matang,” kata dia.

Seorang mahasiswa S3 bimbingan Arief yang pernah berkunjung ke Brazil, Dani mengatakan model industri energi terbarukan yang terintegrasi sudah lazim dipraktikkan di negeri samba itu. Di sana semua pabrik gula memproduksi gula sekaligus etanol untuk bahan bakar kendaraan. “Kalau gula harganya naik, dipakai untuk produksi gula, tapi kalau turun, etanol yang diproduksi pabrik tebu di sana,” kata dia.

Semua proses riset teknologi mengubah biomassa jadi bensin ini dilakukan di laboratorium sederhana seluas separuh lapangan tenis. Dindingnya terbangun dari tumpukan batako tanpa pelapis semen tembok. Lokasinya ada di tebing pinggiran Kali Code yang meliuk tepat di belakang kompleks kampus Fakultas Teknik UGM.

Sumber: tempo.co

read more
Green Style

Peneliti LIPI: Biopori Kurang Efektif Cegah Banjir

Pada 20 Desember 2013 silam, Walikota Bandung Ridwan Kamil meluncurkan Gerakan Sejuta Biopori di Kota Kembang. Gerakan ini dibuat untuk mengurangi risiko banjir, menabung air tanah, mengelola sampah organik, dan menyuburkan tanah.

Meskipun memang sebuah gerakan yang baik, namun peneliti hidro-geologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Edi Prasetyo Utomo punya pendapat lain. Lubang resapan biopori tak terlalu efektif mengurangi risiko banjir.

“Biopori memang baik untuk membasahi tanah pertanian. Supaya tanaman tetap mendapat air. Namun penyerapannya (biopori) kecil, dimensi kecil,” ujar Edi di LIPI Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (23/1).

Pada saat peluncuran Gerakan Sejuta Biopori, Ridwan Kamil pun sudah menyadari hal tersebut sebagai solusi jangka panjang. Ia mengatakan akan membuat danau untuk menampung air. Biopori ia galakkan karena biaya rendah dan bisa dibuat oleh siapa saja.

Edi pun mendukung gerakan tersebut karena punya manfaat baik. Apalagi ia tinggal di Bandung, dan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya pun terdapat banyak lubang resapan biopori (LRB).

Namun untuk mengurangi risiko banjir, ada cara lain yang lebih efektif meskipun butuh biaya lebih tinggi daripada membuat LRB. Cara yang ia maksud adalah membuat kolam infiltrasi.

Kolam infiltrasi adalah kolam berukuran 21x13x3 m3, dengan tiga sumur injeksi berkedalaman 12 meter. Kapasitas tampungnya mencapai 400 m3/hari. Air hujan yang turun akan ditampung, alih-alih dibuang ke saluran drainase. Sehingga tercipta cadangan air tanah yang bisa digunakan pada musim kemarau.

“Bagaimanapun juga kolam ini lebih baik daripada biopori untuk pencegahan banjir dan menabung air. Biayanya lumayan, Rp 100 juta. Namun ada pula yang ukuran lebih kecil, Rp 3 juta. Kalau dibagi dengan 10 rumah tangga saya rasa tetap low cost. Kalau dinilai (skala 0-10), biopori nilainya 7, yang kolam 9,” ujar Edi.

“Konsep ini sangat baik diterapkan di berbagai institusi pemerintah sipil dan non sipil,” tambahnya.

Rekayasa air tanah dengan konsep ini sudah memenuhi baku mutu air bersih menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, kelas I (air baku untuk air minum. Edi mengatakan kalau konsep ini sudah dilakukan dibeberapa tempat selain LIPI, salah satunya di wilayah Depok. Namun untuk kawasan Jakarta, baru kompleks gedung Sasana Widya Sarwono yang menggunakan kolam infiltrasi sebagai salah satu solusi mengatasi banjir.

Sumber: beritasatu.com

read more
1 2 3 4 5 12
Page 3 of 12