close

April 2014

Green Style

Desainer Ini Ciptakan Dapur Ramah Lingkungan

Menurut desainer muda Radek Rozkiewicz, dapur Australia terlalu besar dan boros. Akibatnya, energi dan bahan makanan sering terbuang sia-sia. Ia pun merancang dapur ramah lingkungan yang bisa dipindahkan dengan mudah dan tidak menggunakan listrik maupun air dari pipa atau keran langsung. Harganya kurang dari 1.000 dollar atau Rp 10,7 juta.

Rozkiewicz juga meminta agar warga Australia mempertimbangkan hidup tanpa kulkas. Karena menurutnya kulkas adalah salah satu alat yang memicu pemborosan makanan.

“Rancangan ini mandiri, jadi tak ada sistem pembuangan sampah atau daur ulang, dan tak ada air, gas atau listrik…luas seluruhnya 1,4 meter…” jelasnya.

Rozkiewicz mendapat gagasan membuat dapur macam ini karena menurutnya dapur di keluarganya sendiri terlalu boros. Ia meminta agar warga Australia mencoba hidup tanpa air yang mengalir lewat pipa dan lebih bergantung pada cara alami untuk menentukan kapan bahan makanan harus diolah.

“Makanan yang paling cepat kadaluwarsa, yaitu buah dan sayuran, terletak di bagian paling bawah kulkas. Tak bisa terlihat langsung hanya dengan membuka pintu kulkas. Lagipula, kapasitas [dapur kami] jauh melebihi tingkat kecepatan konsumsi. Makanan di sini cukup untuk delapan orang, padahal keluarga kami cuma tiga orang,” katanya.

Berkat dapur rancangannya ini, Rozkiewicz memenangkan penghargaan  Young Green Innovator of the Year, atau Perintis Ramah Lingkungan Muda, pada Festival Sustainable Living Festival.

“Alasan kenapa kita punya dapur-dapur besar, adalah kenyamanan. Mesin pencuci piring membuat hidup lebih mudah, microwave memudahkan menghangatkan makanan, padahal banyak gizi yang terbuang dalam proses itu,” katanya.

Dalam rancangan Rozkiewicz, tak ada yang tersembunyi. Semua bahan makanan terlihat. Makanan yang perlu disimpan di tempat gelap, seperti kentang, disimpan dalam tas-tas yang digantung. Kompor yang digunakan adalah kompor kecil yang biasa digunakan untuk berkemah.

Untuk mencuci piring, Ia menggunakan wadah dari stainless steel, dan untuk mendinginkan, digunakan wadah tembikar kecil yang memiliki lubang-lubang kecil.

Rancangannya dikhususkan untuk mereka yang tak makan daging. Bagi mereka yang mengkonsumsi daging, disarankan membeli daging pada hari yang sama daging itu akan dimakan.

“Tembikar yang tidak dilapisi akan mendingin saat menyerap air. Jadi, saat anda mencuci piring dan mengeringkannya di atas rak yang terletak di atas wadah tembikar ini. Airnya akan menetes, jatuh ke wadah tembikar, dan wadah itu akan menyerap kelembaban ini dan mendingin,” jelas Rozkiewicz.

Air yang akan digunakan untuk memasak dan mencuci harus dibawa dari tempat lain ke dapur rancangannya, karena tak ada keran di dapur ini. Dapur tersebut dilengkapi sistem kompos yang bisa mendaur ulang sampah.

Saat ini Rozkiewicz tengah merancang dapur ramah lingkungan yang bisa dilengkapi listrik dan air yang mengalir.

sumber: radioaustralia.net.au

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Kurangi Emisi, Berikan Indonesia Keuntungan Finansial

Kepala Badan Pengelola Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation atau yang disingkat REDD+ Heru Prasetyo mengatakan Norwegia sepakat dengan empat argument yang diajukan Indonesia mengenai REDD+.

“Empat argument itu adalah Ekonomi dan Finansial, Pemerintah atau tata kelola, peningkatan kesejahteraan dan Keadilan dan hak masyarakat. Pihak Norwegia menyambut positif,” ujar Heru kepada wartawan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (22/4).

Empat argumen itu, pertama, kata Heru, bila Indonesia berhasil mengurangi emisi maka akan ada keuntungan ekonomi dan finansial yang diberikan. Problemnya, lanjut dia, didalam diskusi global saat ini hal itu masih lesu.

Heru mengatakan argument itu terjadi dikarenakan pada awal pengenalan REDD+ ada anggapan bahwa program itu akan membawa uang ke daerah. Hal itu perlu dikoreksi, sebab pasar belum terbentuk. Bila dipaksakan akan stress sendiri.

Lalu yang kedua, terkait efisiensi dari penerapan peraturan. Menurut Heru, kehadiran REDD+ adalah memperbaiki pemerintah soal efisiensi serta transparansi dan melihat apakah UU lingkungan hidup di Indonesia diimplementasikan dengan baik.

“Kemudian kekuasaan yang berbagi antara pusat dan daerah,” ujar dia.

Heru mengatakan argument ketiga merupakan suatu keputusan yang sangat fundamental dalam pelaksanaan Redd+. Jika itu terlaksana keadilan dan hak bisa didorong.

“Keempat argument itu setelah disepakati oleh Norwegia langsung di implementasikan di lapangan,” ucap dia.

Heru mengatakan pihaknya menerapkan 5 elemen dalam penerapan strategi nasional REDD+.

Pertama, Institusi harus ditingkatkan kapasitasnya. Lalu kedua regulasi dan Hukum harus ditegakkan. Kemudian keterlibatan dari seluruh stakeholder harus dilakukan.

“Keempat, kita harus berubah pikiran kita dari eksploitasi terhadap aset menjadi lebih menjaga untuk anak cucu kita,” ujar Heru.

Terakhir, perlunya dasar-dasar itu dibangun seperti peta yang baik, data yang jujur dan transparansi.

Di tempat yang sama, Seketaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan REDD+ harus menjadi jalan reformasi yang menjunjung hak-hak masyarakat adat.

“Karena mereka memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam. Serta kehidupan sosial budaya. Hal itu diatur oleh hukum adat dan lembaga adat dalam mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat,” ujar Abdon.

Ia mengatakan REDD+ bukanlah tujuan melainkan sebuah cara untuk membuka dialog terbuka antara pemerintah dengan masyarakat adat yang selama ini tertutup. “Kita ingin Norwegia lebih mempertajam prioritas dan pendanaan,” ujar Abdon.

Sebelumnya Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Tine Sundtoft, akan datang ke Jakarta sore ini, Selasa (22/4/2014), kunjungan ini dalam rangka memperkuat kemitraan Indonesia-Norwegia dalam pelestarian hutan dan penurunan emisi yang berkelanjutan. Serta, untuk memastikan ketersediaan karbon dunia dan memastikan lingkungan hidup yang sehat bagi generasi yang akan datang.

Kunjungan kerja Sundtoft ke Indonesia pada 22-25 April 2014 ini menjadi bentuk penguatan kerjasama dan koordinasi yang baik sejak kedua negara menandatangani Letter of Intent (LoL) pada Mei 2010.

Sumber: beritasatu.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Perambah Hutan TNGL Cuma Dapat Hukuman Percobaan

Forum Konservasi Orangutan Sumatera (FOKUS) menyesalkan vonis hukuman percobaan terhadap para terdakwa kasus perambahan kawasan hutan TNGL di wilayah Aceh Tenggara. Terdakwa adalah dua pejabat pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tenggara dan satu orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggara.

Ketiga terdakwa tersebut terbukti bersalah melanggar Pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 50 ayat (3) huruf a dn b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, Pengadilan Negeri Kutacane baru-baru ini telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan penjara selama enam bulan dan denda sebesar tiga juta masing-masing terhadap Ir Khairul Anwar, Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Kab. Aceh Renggara, Drs Rajadun, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kab Aceh Tenggara, dan Rahmat Hidayat, anggota DPRK Kab. Aceh Tenggara.

Dengan vonis hukuman percobaan ini berarti ketiga terdakwa tidak perlu ditahan alias BEBAS kecuali apabila dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terdakwa sebelum lewat masa percobaan satu tahun melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

Ketua FOKUS, Panut Hadisiswoyo, menyatakan bahwa sungguh ironis upaya proses hukum tindak pidana kehutanan di Indonesia yang terkesan hanya basa-basi. Vonis ini membuktikan bahwa penegak hukum tidak berkomitmen untuk menerapkan Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan hutan dan kawasan konservasi. Langkah-langkah  yang dilakukan pihak BBTNGL sudah sangat tepat mengingat kasus perambahan di kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara semakin meningkat.

Panut menambahkan bahwa Luas kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara adalah ± 380,000 ha dengan areal terbuka seluas ± 11.000 ha. Areal terbuka tersebut menunjukkan telah terjadinya degradasi kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara dan terjadi akibat adanya aktivitas illegal dalam kawasan berupa illegal logging dan perambahan. Kawasan TNGL merupakan zona inti dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan kawasan strategis nasional dan merupakan habitat bagi berbagai keanekaragaman hayati penting seperti orangutan sumatera, badak sumatera, gajah sumatera, harimau sumatera dan lain-lain.

TNGL juga telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2004. Namun saat ini TNGL telah ditetapkan oleh IUCN dan World Heritage Centre sebagai situs warisan dunia terancam (world heritage site in danger) akibat meningkatnya kegiatan ilegal yang mengancam keberlangsungan dan perlindungan kawasan TNGL dan ekosistemnya. Akibat maraknya perambahan kawasan TNGL di Aceh Tenggara, kini hampir setiap tahunnya bencana alam terjadi seperti tanah longsor dan banjir bandang yang mengakibatkan kerugian materi dan jiwa di Kabupaten Aceh Tenggara.

Panut menambahkan bahwa saat ini penegakan hukum merupakan salah satu kata kunci untuk mendukung keberhasilan program upaya konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Pihak BBTNGL harus selayaknya melakukan banding atas vonis hukuman percobaan ini. Panut menegaskan bahwa dengan adanya proses hukum yang tegas terhadap oknum-oknum Pejabat Pemerintahan tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku-pelaku tindak pidana kehutanan lainnya khususnya di kawasan TNGL.

Sebagai kawasan konservasi, TNGL dapat lebih optimal untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang akan memberikan kelangsungan jasa ekologi penting seperti perlindungan sumber air, pengatur iklim lokal, pencadangan karbon, pencegah bencana alam, dsb.  [rel]

read more
Flora Fauna

COP Desak Angkasa Pura Batalkan Rencana Kebun Binatang

Rencana PT. Angkasa Pura 2 membangun kebun binatang sebagai bagian dari bandara (airport zoo) di Jambi menuai pro dan kontra. Dimana Airport zoo ini berpotensi besar memperburuk penderitaan satwa liar. Kebun binatang seharusnya dibangun sebagai benteng terakhir upaya penyelamatan satwa liar di luar habitatnya.

“Pembangunan kebun binatang berdampingan dengan airport menjadi rencana konyol. Dimana pihak PT. Angkasa Pura 2 akan mengaplikasikan dengan mimpi menggabungkan bandara dan kebun binatang menjadi satu lingkup. Pembangunan kebun binatang tidak hanya cukup mengumpulkan satwa dan menjadikannya tontonnan namun ada kaidah kesejahteran satwa yang patut diperhatikan dalam upaya pengelolaan kebun binatang. Ketika kesejahteraan satwa masih menjadi masalah di kebun binatang di Indonesia pembangunan bandara dengan konsep penggabungan dengan kebun binatang dikhawatirkan akan memperburuk potensi penderitaan satwa di kebun binatang tersebut,” kata Kordinator Konservasi Ex Situ COP, Daniek Hendarto.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi disebutkan bahwa Kebun Binatang adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama sebagai lembaga konservasi yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis satwa berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa dalam rangka membentuk dan mengembangkan habitat baru, sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis melalui kegiatan penyelamatan, rehabilitasi dan reintroduksi alam dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat.

“Bandara dengan pengabungan kebun binatang dikhawatirkan akan menimbulkan stres dari dampak suara gemuruh dan bising pesawat. Langkah yang bijak dilakukan adalah PT. Angkasa Pura 2 membatalkan rencana ini dan mendukung upaya program konservasi yang sudah ada di Kebun Binatang Jambi. Misalnya membantu upaya meningkatkan kesejahteraan satwa yang ada di Kebun Binatang Jambi tanpa perlu membangun lokasi baru atau bahkan mendatangkan koleksi satwa baru,”ujar Daniek Hendarto.

Kebun binatang adalah bisnis yang sarat modal dan banyak kebun binatang gagal mengaplikasikan konsep kesejahteraan satwa dengan tujuan mengejar keuntungan.

“Kebun binatang di Indonesia masih memiliki permasalahan dengan kesejahteraan satwa koleksinya. Sudah sepantasnya pihak Kementrian Kehutanan menghentikan pengeluaran ijin lembaga konservasi baru. Saatnya Kementrian Kehutanan bersama Perhimpunan Kebun Binatang Indonesai (PKBSI) melakukan audit kepada seluruh kebun binatang di Indonesia dan memberikan standar serta pembinaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan satwa,”jelas Daniek Hendarto.[rel]

read more
Green Style

Hari Bumi, Bola Dunia Menggelinding di Aceh

Puluhan aktivis lingkungan di Aceh menggelar aksi memperingati hari bumi sedunia, Selasa (22/4) di Banda Aceh. Massa aksi yang sempat berjalan kaki di Jalan Daud Beureuh menuju ke Simpang Lima Banda Aceh dengan menggelindingkan bola bumi raksasa setinggi 3 meter yang terbuat dari goni.

Pada aksi tersebut tidak hanya diikuti oleh aktivis lingkungan, tetapi juga ikut dimeriahkan oleh seniman, mahasiswa serta beberapa komunitas lainnya. Pada aksi memperingati hari bumi sedunia ini menyampaikan pesan-pesan untuk penyelamatan lingkungan. Diantaranya ada yang berperan theaterikal manusia berlumpur, bertopeng satwa liar seperti gajah, harimau dan juga kupu-kupu.

Massa aksi juga berjalan kaki sepanjang 1 kilometer dengan menggelindingkan bola bumi raksasa dan membuat jalan menjadi padat merayap sampai menuju samping Masjid Raya Baiturrahman. Kendati demikian pihak kepolisian bisa mengantisipasinya sehingga bisa mengurai kemacetan dengan mengalihkan arus lalu-lintas ke arah lainnya.

Koordinator Aksi, Andri Munazir pada wartawan mengajak seluruh rakyat Aceh untuk menjaga kelestarian lingkungan, perlindungan satwa dan juga mencegah pencemaran lingkungan. Karena bila tidak dijaga, maka tidak tertutup kemungkinan bencana akan menimpa bumi ini.

“Masyarakat itu harus sadar bagaimana cara melestarikan dan menghargai alam dan lingkungan sekitar kita, penting untuk menjaga keseimbangan siklus dan ekosistem di alam, jangan kita biarkan pemanasan global mengancam kita,” kata Andri Munzir.

Sementara itu, seorang Pengamat Lingkungan, T M Zulfikar yang ikut hadir langsung pada aksi tersebut meminta kepada Pemerintah Aceh agar Sumber Daya Alam (SDA) tidak dijadikan sebagai nilai bargaining untuk kekuasaan. “Setelah mendapat kekuasaan menjadikan politik dagang sapi untuk menguasai SDA, agar ini tidak perlu terjadi,” ujar T M Zulfikar.

Dikatakannya, selama ini banyak pihak kecendrungan kurang peduli terhadap lingkungan dan disibukkan dengan situasi politik kekuasaan. Padahal lingkungan cukup baik menjadi sorotan utama, karena perebutan kekuasaan tidak terlepas dari perebutan SDA.

“Bencana akibat ulah tangan manusia semakin meningkat, menjadi banjir misalnya di Aceh Tenggara dan beberapa tempat lainnya justru pemerintah tidak memperdulikannya,” tukas dia.

Oleh karena itu dia menghimbau kepada Pemerintah Aceh agar bisa memandang bumi, lingkungan, untuk kepentingan masa depan anak cucu untuk kehidupan setelah kita dan bumi ini pinjaman dari pendahulu kita.

Sumber: merdeka.com

read more
Hutan

Kerajaan Norwegia Dukung Kemitraan Berkelanjutan Indonesia

Kelestarian hutan Indonesia sangat penting karena hutan yang menutupi hampir setengah dari total wilayah darat negara kita ini adalah sumber kekayaan alam dan penyerap karbon dioksida yang sangat efektif. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia setelah Brazil dan Congo. Sayangnya, deforestasi dan degradasi lahan, serta perubahan tata guna lahan, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia karena lemahnya daya serap karbon dioksida. Oleh sebab itu, pendekatan pembangunan yang berpihak pada lingkungan tidak dapat ditawar lagi.

Kerajaan Norwegia, dalam kerangka kerja REDD+ memberikan dukungan pada Pemerintah Republik Indonesia sebagai sebuah mekanisme untuk memperlambat perubahan iklim. Mekanisme REDD+ adalah insentif positif bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya sebagai paru-paru dunia karena fungsinya sebagai penyimpan karbon yang ditangkap dari udara.

REDD+ juga merupakan sebuah konsensus global, dimana Indonesia berkomitmen untuk turut serta di dalamnya, tidak hanya untuk melestarikan sumberdaya alamnya tetapi juga berpihak pada kepentingan kesehatan lingkungan dunia. Indonesia, melalui REDD+, memiliki komitmen untuk secara sukarela mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 41% pada tahun 2020 dengan bantuan internasional.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Jalan Terjal Penegakan Hukum Lingkungan di Aceh

Pria berperawakan kecil ini sepertinya gelisah. Sebagai kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, ia sering mendapat teror. Dalam sebuah acara pertemuan dengan aktivis lingkungan, Kepala BKSDA Aceh, Genman Hasibuan menyampaikan keluh kesahnya perihal ancaman yang menimpa dirinya dan staf. Teror ini tak ayal membuat stafnya takut turun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Bahkan ia sempat berucap,“ Kalau saya ga kuat terima teror, saya kabur saja.”

BKSDA mengatakan mereka sebenarnya bersungguh-sungguh dalam menegakan hukum lingkungan namun tantangan yang dihadapi juga sangat berat dalam pro justicia. Terakhir, saja dalam pengungkapan kasus pembunuhan dan pengambilan gading gajah yang terjadi Kaway XVI, Aceh Barat, staf BKSDA sampai tidak berani turun ke lapangan mengumpulkan data.

“Masyarakat menganggap staff KSDA-lah yang melaporkan masyarakat ke polisi dalam kasus pengambilan gading gajah tersebut sehingga staf tidak berani ke lapangan,”ujar Genman, Senin (14/4/2014) di kantor BKSDA.
Genman juga menceritakan contoh kasus rencana penyitaan hewan liar dari Ketua DPRK Nagan Raya di Jeuram. Sewaktu staf BKSDA hendak menyita hewan tersebut, Ketua DPRK meminta agar Kapolres langsung yang menyita hewan yang dalam penguasaannya.

“ Saya konsultasikan hal ini dengan kepolisian di Polda dan mereka siap menyitanya. Namun kita terbentur dengan biaya operasional sehingga sampai hari ini belum dilakukan penyitaan,” cerita Genman.

Namun demikian sebenarnya sudah banyak aksi penegakan hukum yang dilakukan tapi nyatanya belum memberikan efek jera kepada pelakunya. Selalu saja masih ada masyarakat yang tertangkap karena membunuh atau menguasai hewan liar. Misalnya dalam kasus pembunuhan gajah di Aceh Barat. Sekitar setahun sebelumnya, di Kabupaten Aceh Jaya juga sempat muncul kasus pembunuhan gajah yang terkenal dengan nama “Papa Genk”. Kasus ini menjadi heboh karena sempat menarik perhatian Presiden SBY dan memantik petisi ribuan orang agar kasus tersebut diusut tuntas. Belasan warga kampung ditangkap dan diadili di PN Calang. Uniknya, terdakwa mengaku tidak tahu bahwa membunuh gajah merupakan pelanggaran hukum. Sebelum menjalankan aksinya, warga melakukan musyawarah bersama di Balai Desa.

Kini muncul lagi kasus pembunuhan gajah yang disertai pengambilan gading gajah di Kaway XVI, kabupaten Aceh Barat. Polres setempat sudah menangkap 11 orang tersangka dan dari penyidikan diketahui bahwa para tersangka sudah sering memburu gajah untuk diambil gadingnya.

Akhirnya yang terjadi adalah banyak orang yang masuk penjara karena kasus hewan liar namun persoalan konflik satwa di lapangan tidak selesai juga. Dampaknya negatifnya BKSDA semakin dibenci oleh segelintir orang yang tidak senang bahkan teror semakin meningkat terhadap staf BKSDA. Menurutnya citra buruk ini sama sekali tidak menguntungkan penyelidikan.

BKSDA berharap penanganan konflik satwa liar dengan masyarakat bukan hanya menjadi tugas BKSDA semata namun juga melibatkan pemerintah setempat. Ada dimensi ekonomi didalamnya dimana banyak warga yang dalam rangka mencari nafkah membuka kebun hingga jauh masuk ke habitat hewan liar. BKSDA mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten yang memiliki konflik satwa liar agar ikut menangani persoalan tersebut dengan mengedepankan sosial ekonomi masyarakat.

Penegakan Hukum Lingkungan
Society of Indonesian Environmenal Journalist (SIEJ) pada tanggal 17 April 2014 lalu mengadakan Workshop Penegakan Hukum untuk Kasus-kasus Keanekaragaman Hayati. Dalam workshop yang dihadiri oleh puluhan jurnalis dan aktivis lingkungan ini ternyata secara garis mengungkapkan hal senada seperti yang disampaikan oleh BKSDA. Penegakan hukum lingkungan masih merupakan barang langka walaupun untuk beberapa kasus sudah dibawa ke meja hijau. Pelaksana Harian Yayasan Leuser International (YLI) Dr. Ir Syahrul, M.Sc, menceritakan temuan organisasinya.

Dr. Syahrul menjelaskan YLI banyak menemukan jerat hewan liar di wilayah kerjanya hutan Leuser. Ada berbagai jenis jerat antara lain Jerat Lobang untuk menangkap hewan besar seperti badak, harimau, rusa, kambing hutan, dll. Jerat ini sering dijumpai di hutan primer yang masih hutan. Kemudian Jerat Lontar untuk menangkap hewan besar dengan memakai alat pelontar.

Selain itu ada jerat penangkap burung yang sering dijumpai di pinggir kawasan hutan terutama dekat areal ladang dan kebun masyarakat, menggunakan burung jinak sebagai umpan

YLI juga menemukan bekas kamp pelaku aktifitas illegal, seperti pemburu kayu dan pemburu hewan langka. “ Kami telah menemukan 69 kasus kejahatan terhadap satwa,” ujar Dr. Syahrul. Temuan ini dilaporkan kepada pihak terkait namun sejauh ini tidak diketahui bagaimana kelanjutannya.

Hakim bersertifikasi lingkungan dari Pengadilan Tinggi Aceh, Wahidin, SH,MH memberikan pemaparan dari sudut hukum. Ia lebih banyak berbicara dari segi  Aspek Prosedural dan Kebijakan Pemidanaan pelanggar hukum lingkungan. Wahidin mengambil kesimpulan bahwa masih lemahnya penegakan hukum lingkungan disebabkan oleh peran publik belum tumbuh karena minimnya informasi mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi serta lemahnya pengawasan dari pihak terkait.

Ada yang unik dari pemaparan pemateri yang disampaikan oleh Pemateri kedua, M. Ali Akbar, SH, MH, yang menjabat Ketua Satuan Khusus (Kasatsus) Tipikor Kejaksaan Tinggi Aceh. Ia banyak menyinggung tentang modus operandi pelanggaran hukum lingkungan, minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum lingkungan dan minimnya Jaksa serta hakim yang bersertifikasi lingkungan dan peran korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan. Ia menekankan tentang peran saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan kasus lingkungan.

Saksi ahli dihadirkan agar daya “cengkeram” penuntut semakin kuat. Namun lucunya pihak lawan menghadirkan saksi ahli dari institusi yang sama, dengan keahlian yang sama, alat bukti yang sama namun dengan hasil yang berbeda. Hal ini dikhawatirkannya bisa mempengaruhi keyakinan hakim.

Kasus pembakaran hutan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya dengan terdakwa PT. Kallista Alam menjadi contoh ‘kekonyolan’ kehadiran saksi ahli dari institusi yang sama untuk pihak yang berlawanan. Saksi ahli yang dibawa jaksa dan terdakwa sama-sama dari Institut Pertanian Bogor, saksi ahli terdakwa malah membawa sprint (surat perintah-red) dari rektornya. Padahal kejaksaan sendiri adalah institusi negara yang notabene juga sama dengan IPB yang merupakan institusi negara juga. Ini seperti pemerintah “lawan” pemerintah.

“Ini menjadi kendala, kita akan membahasnya lebih lanjut untuk kepentingan di masa mendatang,” ujar M. Ali Akbar, SH, MH. Sebagai informasi, kasus perdata pembakaran lahan Rawa Tripa dengan tergugat PT Kalista Alam telah diputuskan PN Meulaboh dengan memberikan denda kepada PT Kalista sekitar Rp.300 miliar.

Minim Anggaran
Anggaran operasional penegakan hukum lingkungan sangat minim, misalnya anggaran BKSDA Aceh. Genman menyebutkan, anggaran BKSDA tidak mencukupi untuk melakukan berbagai kegiatan dengan maksimal. Saat ini saja, anggaran untuk penyitaan hewan liar telah habis. “ Kami sudah melakukan tiga kali penyitaan, dan tiga kali pelepasan hewan liar. Anggaran sudah habis, memang segitu dianggarkan,” kata Genman.

Selain itu BKSDA juga kekurangan Sumber Daya Manusia dimana mereka hanya memiliki 117 orang staff, 34 diantaranya merupakan polhut dan sebagian diantaranya yang bekerja sebagai Pawang Gajah hanya lulusan SMP. Jika dibagi maka setiap staf mengawasi kawasan 1260 hektar dan anggaran untuk mengelolanya sebesar Rp.2.240/hektar.

Jalan Terjal Penegakan Hukum Lingkungan  
Ada banyak hal yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sebut saja seperti yang disampaikan oleh aktivis perlindungan satwa Ratno Sugito. Ia meminta agar perusahaan perkebunan harus ikut bertanggung jawab atas kematian hewan liar karena merekalah habitat hewan liar menjadi lenyap.  Belum lagi terkait dengan penyitaan hewan liar, dimana mereka ditempatkan karena butuh ruang yang luas dan anggaran yang besar untu memberi makan hewan-hewan tersebut.

Munawar Kholis dari Flora Fauna International (FFI) mengusulkan dibentuknya Rescue Centre, tempat penampungan sementara hewan-hewan yang disita dari masyarakat. Namun juga diutarakannya, Rescue Centre membutuhkan biaya yang besar. Apalagi sebagian satwa memang sudah tidak mungkin dilepaskan kembali karena perilakunya yang sudah berubah sehingga harus dipelihara di Rescue Centre selamanya.

Secercah harapan diujung jalan terjal setidaknya masih ada. Salah satunya adalah penegakan hukum dengan perspektif multi doors (multi pihak). Artinya sebuah kasus lingkungan, namun bisa saja tersangka digugat dari berbagai peraturan perundangan yang lain. Misalnya saja dari pajak perusahaan, perizinan, UU Perkebunan dan sebagainya.

Penegakan hukum satwa liar terus dilakukan mesti tantangan yang dihadapi cukup besar.  Ini adalah jalan terjal penuh tantangan.[m.nizar abdurrani]

read more
Hutan

Literatur ‘abu-abu’ Kontribusi Hutan terhadap Jasa Lingkungan

Hutan dan pohon menopang pertanian untuk produksi pangan dalam ruang dan waktu. Sebagian besar sistem produksi pangan skala kecil – yang mencukupi kebutuhan pangan populasi global – berada dalam mosaik tutupan pohon dan pertanian. Pertumbuhan populasi saat ini dan penyesuaian kebutuhan akan kenaikan tren konsumsi tidak hanya menyebabkan budidaya intensifikasi namun juga ekspansi lewat konversi hutan primer untuk konsumsi, pangan dan produksi pakan ternak. Meningkatnya kekhawatiran akan keberlanjutan praktik budidaya modern membutuhkan berpikir ulang bagaimana kita memanfaatkan alam bagi kelangsungan hidup.

Peningkatan masalah akibat degradasi sumber daya dan keanekaragaman hayati memberikan jalan bagi penelitian untuk menindaklanjutinya dengan menyelidiki alternatif-alternatif upaya produksi pangan bagi kecukupan konsumsi dari populasi serta meminilasir kerusakan ekosistem rentan ini. Menggabungkan keanekaragaman hayati, mengikutsertakan jasa ekosistem dan pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka bentang alam memiliki manfaat multiguna yaitu salah satu cara meningkatkan keberlanjutan dalam sistem makanan kita. Kesadaran yang semakin meningkat tentang kerusakan lingkungan telah menyebabkan peningkatan eksponensial terkait penelitian pertanian dalam dua dekade terakhir. Meskipun kita masih jauh dari konsensus dan pemahaman tentang bagaimana mengimplementasikan konservasi sumber daya dalam proses pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup.

Upaya tradisional terhadap pertanian yang berkelanjutan demi ketahanan pangan dan konservasi keanekaragaman hayati terkadang disebut sebagai tujuan yang tumpang tindih. Intensifikasi yang berkelanjutan untuk pertanian dan konsep serupa lain terkadang gagal untuk mengintegrasikan proses alam yang lebih besar yang menghubungkan produktivitas dan komponen alami bentang alam lain. Konservasi keanekaragaman hayati, di lain pihak, telah dikritisi karena menghiraukan kebutuhan akan penghidupan untuk produksi hutan bagi mereka dengan inisiatif konservatif. Meski bukan sepenuhnya konsep baru, “pendekatan bentang alam” adalah pemenuhan bagi inisiatif baru yang menyerukan rekonsiliasi produksi pangan dan konservasi dari sumber modal alami. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menyatukan dan memberikan suatu garis besar tentang apa yang kita ketahui mengenainya, pendekatan tertentu mana yang telah berhasil dan mana yang gagal – dan dengan alasan apa.

Merasionalkan bukti

Sebuah tinjauan sistematis yang sedang berjalan bertujuan untuk mempersatukan bukti-bukti yang ada tentang bagaimana hutan dan pepohonan berkontribusi terhadap produksi pangan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini akan dilakukan dalam konteks jasa ekosistem – dan tindakan yang merugikan – yang keduanya akan meningkatkan atau menghalangi budidaya tanaman pangan.

Beragam program penelitian dan pengembangan sedang dilakukan untuk mempromosikan integrasi pepohonan dengan bentang alam produktif demi tujuan konservasi dan penghidupan dengan jangkauan luas. Contohnya, pekerjaan yang telah dilakukan dalam Pendekatan Ekosistem Berbasis Pepohonan (Tree-Based Ecosystem Approaches) menunjukkan bahwa pepohonan di bentang alam pertanian secara keseluruhan memiliki dampak positif baik bagi ketahanan pangan maupun penghidupan atau sekuestrasi karbon. Pertanian hijau sepanjang tahun dan bentuk agroforestri lain memiliki potensi bagi penyediaan barang ekosistem dan jasa in situ (di lokasi tersebut) saat terjadi penurunan kebutuhan akan sumber daya alam. Sebagai tambahan, pengetahuan yang didapat lewat kehutanan dan penelitian agronomis sedang diaplikasikan oleh beragam intervensi pengembangan untuk meningkatkan Ekosistem Berbasis Adaptasi untuk Mitigasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan (Ecosystem Based Adaptation to Climate Change Mitigation and Food Security) bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Beberapa kantong bukti tersedia namun masih tersebar; jika disatukan, mereka bisa menawarkan sebuah ilmu pengetahuan yang kaya dan tersedia untuk para pembuat kebijakan sekiranya hendak berpikir ulang tentang kebijakan guna mencapai tujuan ketahanan pangan dan konservasi secara beriringan.

Bagaimana Anda bisa membantu

Apakah Anda sedang melakukan proyek yang menguji apakah keberadaan pohon memiliki efek terhadap produksi pangan dan pengelolaan sumber daya alam? Apakah Anda sedang melakukan penelitian tentang sistem pertanian, intensifikasi yang berkelanjutan, pertanian yang cerdas-iklim atau sistem berbasis pohon yang serupa dalam konteks luas ketahanan pangan dan nutrisi? Jika ya, hubungi kami dengan literatur yang relevan dalam bentuk dokumen proyek, bagian buku atau lainnya. Anda juga bisa berbagi ide tentang bagaimana studi ini menurut Anda bisa relevan untuk para peneliti, praktisi pembangunan dan pembuat kebijakan.

Sumber: cifor.org

read more
1 2 3 4 5 10
Page 3 of 10