close

teuku multazam

Perubahan Iklim

Emisi Gas Rumah Kaca Melonjak Drastis

Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi dominan, dan sebagai pangsa terbesar dalam campuran energi (energi mix) telah meningkatkan potensi emisi gas rumah kaca.

Koordinator Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI) Mida Saragih menegaskan, Kebijakan Presiden SBY yang tertuang dalam Peraturan Presiden tentang Kebijakan Energi Nasional No. 5 Tahun 2006  yang mengandalkan 85% kebutuhan energi nasional dari bahan bakar fosil pada masa mendatangan adalah kebijakan yang  keliru. Sebab, eksploitasi energi fosil tersebut dapat meningkatkan emisi dari sektor energi, berkontribusi  dalam kenaikan suhu global dan ini praktis bertubrukan dengan komitmen politik Presiden SBY dalam implementasi penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.”

Pemerintah nasional mencatat, eksploitasi dan penggunaan bahan bakar fosil bakal meningkatkan pelepasan Gas Rumah Kaca (di antaranya carbon dioxide (CO2), methane (CH4), dan nitrous oxide (N2O). Berdasarkan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup (2010), sumbangan emisi Gas Rumah Kaca dari eksploitasi dan pemanfaatan energi adalah 22% dari emisi total nasional (KLH, 2010).  Bahkan Bappenas merilis data, energi mix dapat meningkatkan kosentrasi CO2 lebih dari 1.150 Mt CO2 pada tahun 2025 (Bappenas, 2011). Meski demikian, bukannya menjalankan kebijakan yang lebih arif, produksi energi primer di Indonesia telah berkembang pesat dalam lima tahun terakhir, utamanya batubara dan gas alam (lihat tabel).

Tabel. Produksi Bahan Bakar Fosil 2007 dan 2012

Energi Primer Produksi 2007 Ekspor 2007 Produksi 2012 Ekspor 2012
Batubara (juta ton) 203 170 386 304
Minyak Bumi (juta barrel) 348,35 135,28 314,67 110,15
Gas Alam (MSCF*) 2.805.540 1.398.965 3.174.639 1.377.894

*Milion Standard Cubic Feet

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melonjak drastis sejak masa pra-industri, terutama akibat pembongkaran dan pemanfatan bahan bakar fosil (IPCC 5th Assessment Report, 2013).

“Studi IPCC menyebutkan konsentrasi GRK bahkan sudah memecahkan rekor konsentrasi tertinggi, dalam rentang masa 800 ribu tahun terakhir. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir terus meningkat dari 275 s.d 285 ppm pada pra-industri, menjadi 391 ppm per tahun di 2011. Sementara emisi CO2 tahunan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah rata-rata 8,3 GtCo2 per tahun dalam rentang masa 2002-2011. Konsentrasi CO2 juga telah meningkat sebesar 40% sejak masa pra-industri, terutama dari emisi bahan bakar fosil. Maka itu, kami menghendaki energi fosil tetap di perut bumi, supaya terpenuhi syarat-syarat keselamatan sosial-ekologi. Kalau tidak demikian, upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan—bakal sia-sia,” pungkas Mida.

Menurut Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI), syarat-syarat keselamatan sosial-ekologi yang  terdiri dari tiga syarat pokok. Pertama adalah syarat keselamatan manusia (human security). Kedua, syarat keberlangsungan fungsi-fungsi ekosistem, dan ketiga syarat produktifitas masyarakat untuk menjamin keselamatan dan berlangsungnya fungsi ekosistem. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Syarat-syarat ini saling memilin satu dengan yang lain. Mengabaikan satu syarat di antara syarat yang lain—berarti bencana bagi satu kesatuan sosial-ekologi.

“Pemerintahan Presiden SBY dan Budiono hendaknya membuka mata dan telinga, serta memberikan perhatian besar untuk mengelola sumber-sumber energi alternatif, di antaranya melalui mikrohidro, tenaga surya, dan tenaga angin. Keselamatan sosial-ekologi harus terwujud,” tutup Mida.

Desakan-desakan tersebut tertuang di dalam Aksi Teatrikal Damai bertajuk, “Menolak Solusi Energi Palsu, Biarkan Energi Kotor Tetap di Perut Bumi”, yang berlangsung hari ini (22/ 10) di Bundaran HI, Jakarta.

Dukungan masyarakat internasional bagi perwujudan keadilan iklim serta penolakan terhadap penggunaan bahan bakar fosil atau energi kotor tidak hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di sejumlah negara yang terselenggara serentak pada 22 Oktober di Filipina, Bangladesh, dan India.

Bulan Aksi Global merupakan inisiatif bersama dari Kampanye Global untuk Menuntut Keadilan Iklim, saat ini terselenggara berkat kerjasama Friends of the Earth International, 350.org, Oil Change International, GAIA Internasional, Food and Water Europe / Global Frackdown, Internasional Rivers Network, Jubilee South – Asia/Pacific Movement on Debt and Development, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia (CSF-CJI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), LDC Watch,  dan jaringan lain, gerakan-gerakan yang memberi perhatian khusus pada keadilan iklim (rilis)

 

read more
Sains

Subhanallah, Peneliti Temukan Listrik dari Virus

Virus tidak selamanya diciptakan sebagai parasit (pengganggu,red) untuk makhluk hidup. Tetapi terkadang juga dapat memberikan manfaat  bagi makhluk lainnya. Salah-satu fungsi yang bisa didapatkan dari makhluk ciptaan Allah SWT itu adalah untuk bidang teknik kelistrikan, yaitu kemampuan untuk memproduksi energi listrik.

Meskipun jumlah daya yang dihasilkan tidak terlalu besar, tetapi dapat membantu menggerakkan beberapa fasilitas di dalam rumah untuk kebutuhan sehari-hari.

Dilansir BBC, pada Awal 2013, tim peneliti dari Universitas California menemukan salah satu penghasil sumber energi listrik berasal dari virus. Virus itu bernama M13 bacteriophage hanya bertugas menyerang bakteria, serta memiliki sifat yang jinak terhadap manusia.

Dan hasilnya, tim peneliti berkesimpulan, listrik yang dihasilkan itu dapat menutup dan menaiki pintu tangga.

Menurut Seung-Wuk Lee, salah seorang peneliti dari Universitas California mengatakan,  daya yang dihasilkan memang tidak besar, tetapi bisa digunakan untuk menggerakan pintu tangga.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, keuntungan menggunakan virus sebagai sumber energi adalah mereka dapat mengatur dirinya sendiri menjadi film yang tertata dan bisa menggerakkan generator. Dengan menggunakan elektroda sebesar perangko dan film yang terbuat dari virus, generator listrik dapat terciptakna namun dengan menggunakan material piezoelevtric  yang berfungsi untuk mengkonversi energi.

Pola yang diterapkan adalah memalui cara penyusunan sistem generator dengan memasang lapisan film yang terdapat virus di tiap lapisannya.  Tim peneliti itu menemukan, dengan 20 lapisan film dapat menghasilkan efek piezoelectric sangat kuat.

Sedangkan untuk proses pengeluaran dayanya itu dimulai ketika jemari menyentuh elektroda, virus kemudian terkonversi menjadi listrik.

Namun demikian, tim peneliti dari California itu masih memerlukan beberapa penelitian dan analisis lebih lanjut. Akan tetapi langkah  utama yang dilakukan itu sangat menjanjikan terhadap pengembangan pembangkit listrik ke depannya.

Bagi ummat Islam, tentunya dengan adanya penemuan salah satu sumber listrik dari virus ini dapat memberikan pengetahuan dan mampu menambah keyakinan bagi kita, bahwa setiap Allah menciptakan makhluk  sekecil apapun pasti ada manfaatnya.  Dan, hal tersebut termaktub dalam al-quran surat Al Baqarah ayat 26 yang artinya,

“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberiNya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. Al Baqarah : 26)

Semoga dengan ulasan data yang didapatkan dari situs BBC, dapat memberikan sedikit manfaat dan ilmu baru untuk kita. (Waallahu’alam bishawab)

(Teuku Multazam/bbc)

read more
Ragam

Green Journalist Resmi Luncurkan Portal Lingkungan

Lembaga Green Journalist Aceh, Minggu (20/10/2013) meluncurkan portal lingkungan yang diberi nama www.greenjournalist.net, di Dhapu Kupi, Banda Aceh. Acara peluncuran tersebut dihadiri oleh Plt Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh Teuku Muhammad Zulfikar serta jurnalis dari media cetak dan online.

Pimpinan redaksi www.greenjournalist.net, Muhammad Nizar mengatakan, kehadiran portal yang fokus pada lingkungan ini diharapkan bisa menjadi media alternatif untuk mempublikasikan tentang isu-isu lingkungan Aceh yang sudah menjadi perbincangan hangat di level Internasional. Apalagi selama ini,  lanjut dia, tantangan dalam pengelolaan alam di Aceh sudah semakin berat.

“Media menjadi ujung tombak pengawasan lingkungan. Portal ini menjadi penting karena isu lingkungan secara spesifik kurang mendapatkan tempat pada media-media besar. Kami sangat  gembira dengan peluncuran portal yang terfokus pada isu-isu lingkungan,”katanya.

Nizar menambahkan, jika ada rekan-rekan yang ingin mengirimkan tulisan ke situs www.greenjournalist.net, tulisannya harus fokus  pada lingkungan dan sesuai dengan standar jurnalistik.

Sementara Direktur Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan, kehadiran greenjournalist.net ini bisa menjadi media pilihan dalam memberitakan isu-isu terkini tentang  lingkungan. Sehingga nantinya media ini juga bisa menjadi referensi bagi masyarakat dalam dan luar luar  negeri untuk mengetahui tentang lingkungan di Aceh terkini.

Lahirnya media ini, lanjut dia, diharapkan bisa menjadi alat untuk mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam upaya merusak kelestarian lingkungan.

Disamping itu, T.Muhammad Zulfikar menambahkan, www.greenjournalist.net juga harus sering memberikatan tentang isu-isu faktual tentang lingkungan Aceh, sehingga ke depan lingkungan Aceh akan terjaga dengan baik, serta terhindar dari berbagai bencana. (Rilis)

read more
Kebijakan Lingkungan

Hutan dipangkas, Alam Mengamuk

Maraknya penebangan liar  (illegal loging) yang kerap terjadi di Aceh selama ini membuat  areal hutan semakin gundul, pepohonan, tumbuhan kian punah serta keanekaragaman fauna yang ada didalamnya sangat terganggu oleh aksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, hutan merupakan sebuah anugerah yang diberikan sang pencipta yang nilainya tidak terhitung.

Bahkan, hutan juga salah satu bagian sumber kehidupan manusia di muka bumi. Buruknya tatanan pengelolaan hutan di Aceh selama ini sangat terasa sehingga kita selalu menghadapi berbagai dampak bencana alam seperti, konflik  antara satwa dengan manusia, banjir dan tanah longsor. Ini merupakan indikasi bahwa alam mengamuk bukan hanya bagi pengambil nikmat tapi untuk semua manusia.  Kejadian seperti ini sesuai dengan lirik lagu berita untuk kawan karangan  Ebiet G Ade,

………..kawan coba dengar apa jawabnya
 ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
ditelan bencana tanah ini…………….

Lirik dari lagu tersebut nyaris identik dengan kondisi Aceh dewasa ini. Bencana datang tak henti-hentinya. Hampir tiap bulan sejumlah media massa lokal di Aceh selalu memberitakan terkait mengamuknya marga satwa seperti,  gajah, harimau, babi dan lain sebagainya. Ulah binatang ini menyebabkan sektor pertanian dan perumahan warga menjadi rusak.

Hingga kini konflik antara marga satwa dengan manusia tidak bisa dihindari lagi, bahkan yang paling ironi konflik ini menimbulkan korban jiwa bagi kedua belah pihak sehingga ini harus menjadi “PR”  bagi pemerintah Aceh untuk segera menanggulanginya. Belum lagi dengan persoalan banjir dan longsor, setiap hujan turun salah satu dari  bencana tersebut selalu akan terjadi di Aceh sehingga menimbulkankorban jiwa dan harta yang tak ternilai.

Tapi apa hendak dikata, “nasi telah menjadi bubur”, puisi ini memang tepat di arahkan ke kondisi alam di Aceh sekarang ini, berbagai macam bencana datang silih berganti akibat hutan tidak terjaga lagi. Padahal, banyak manfaat bila hutan terjaga dengan baik diantaranya, sebagai penyuplai oksigen, pencegah banjir, mengatur iklim, menjaga kesuburan tanah, pengatur tata air tanah, pelestarian keanekaragaman hayati dan berbagai macam manfaat lainnya.

Tapi sangat disayangkan mimpi seperti yang tersebut tidak bisa diwujudkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Greenomics Indonesia yang dirilis ke media massa menyebutkan bahwa angka kerusakan hutan di Aceh mulai 2005 hingga akhir 2009 mencapai 200, 329 hektare dari total seluruhnya 56.539 hektare. Greenomics juga memperkirakan Aceh kehilangan US$ 551,3 juta setiap tahunnya akibat kehilangan tutupan hutan.

Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengakui bahwa pencanangan “moratorium logging” atau pelarangan penebangan kayu yang diterapkan pertengahan 2007 berjalan maksimal tetapi hingga tahun 2010 aksi penebangan kayu secara ileggal  masih juga terjadi di hutan Aceh. Ini mengindikasikan bahwa realisasi perintah atas “Moratorium logging” tidak berjalan efektif. Bahkan ada di beberapa tempat tertentu aksi penebangan masih juga dilakukan tapi secara sembunyi-sembunyi.

Bila ini tidak segera di atasi secepat mungkin, bencana secara terus menerus tak hentinya-hentinya datang ke Aceh. Pemerintah Aceh harus segera bangkit dan mencari solusi untuk segera menanggulanginya, bukan hanya selalu beretorika dengan kampanye Visi Aceh Green tapi hutan Aceh akan secara perlahan-lahan akan musnah. Pemerintah Aceh segera lakukan “actionnya” bukan dengan kata-kata lama “tapuwoe keulayi maruwah ban sigob donya”. Buktikan nyalimu…[multazam]

read more
Hutan

Mencegah Bencana Melalui Kearifan Lokal

Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia kerap dilanda berbagai bencana alam yang datang silih berganti. Longsor dan banjir sudah menjadi langganan di negeri kita ini. Korban harta benda dan jiwa sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Bencana seperti ini seakan tak pernah lagi mengenal waktu.

Jika kita melihat ke masa lalu, tentunya bencana alam tidak terjadi pada setiap saat, melainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang lama menjadi faktor terjadinya bencana ketika itu. Akan tetapi pada masa sekarang, dengan intensitas hujan rendah sekalipun, bencana selalu datang mengancam jiwa dan harta manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum, penyebab utama terjadinya bencana alam itu karena kerusakan hutan. Kerusakan itu akibat ulah dan sikap dari beberapa manusia yang melakukan penebangan pepohonan secara membabi buta tanpa memikirkan kehidupan alam itu sendiri dan  kehidupan orang banyak.

Harus diakui, dari sejumlah aksi penebangan itu, banyak pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Keterlibatan itu, tentunya ada yang secara langsung maupun secara tidak langsung. Umumnya, pihak yang terlibat langsung adalah dari sekelompok masyarakat, baik yang tinggal di wilayah yang berdekatan dengan gunung maupun dari luar, sedangkan pihak yang tidak secara langsung adalah kalangan dari pengusaha dan oknum penegak hukum.

Salah-satu penyebab keterlibatannya masyarakat melakukan aksi perambahan dan penebangan hutan adalah karena mereka tidak memiliki pekerjaan/pengangguran, sehingga jalan tersebut menjadi salah satu yang harus dilalui agar mendapatkan pemasukan untuk kebutuhan sehari-harinya. Pemasukan itu didapatkan melalui penjualan kayu-kayu.

Sedangkan keterlibatan pihak yang secara tidak langsung dilakukan melalui pembayaran jasa bagi masyarakat dan aparat penegak hukum saat para pengusaha membuka lahan-lahan perkebunan dengan skala yang besar. Iming-iming dengan bayaran dana yang besar serta dilibatkan dalam usaha perkebunan membuat masyarakat dan oknum aparat penegak hukum tergiur untuk melakukakan aksi tersebut.

Meskipun berbagai antisipasi kerusakan hutan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti moratorium loging (penghentian pembalakan) dan penyusunan aturan melalui pembuatan undang-undang pada tingkatan pusat dan Perda di tingkat daerah, tetapi persoalan itu rasanya tak bisa dituntaskan. Ancaman penjara dan berbagai sanksi berat lainnya yang diatur dalam aturan tersebut, bukan menjadi penghalang bagi perusak lingkungan dalam melaksanakan aksinya.

Dalam lima tahun terakhir saja, berapa banyak undang-undang tentang masalah ini lahir. Begitu juga dengan sejumlah peraturan-peraturan tentang hal menjaga kelestarian alam telah dirumuskan secara bagus dalam menanggulangi  persoalan ini. Namun hasilnya nihil. Aksi perusakan hutan juga tak pernah berhenti.

Namun demikian, kita juga tidak putus asa untuk terus melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan hutan ini, sehingga ancaman bencana tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Karena itu, menurut saya untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan, maka perlu dilakukan melalui para pemangku adat yang ada di setiap desa-desa di berbagai wilayah Indonesia. Pelaksanaan itu tentunya bukan dengan memakai hukum formal, tetapi lebih kepada penyelesaiannnya melalui penggunaan kearifan lokal (local wisdom) yang ada di daerah masing-masing di Indonesia.

Tentunya, metode ini lebih mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebab, peraturan ini sudah mendarah daging bagi masyarakat, dan juga karena dirumuskan melalui kesepakatan dan ketentuan secara bersama-sama.

Pada kearifan lokal ini, penerapan hukum yang diutamakan adalah hukum adat. Bagi masyarakat di desa-desa ini, hukum adat itu lebih besar dampaknya dibandingkan dengan hukum formal.

Jika hukum formal hanya mendapat sanksi berupa penjara dan membayar denda perkara, maka hukum adat akan memberikan sanksi untuk para pelaku melalui sanksi sosial seperti mengusir para pelanggar kearifan lokal itu dari lingkungan para warga kampung/desa, serta bahkan dikucilkan dari masyarakat.

Tentunya, agar kearifan lokal ini berjalan maksimal maka pemerintah juga perlu memberikan wewenang lebih besar untuk pelaksananya. Selama ini, ketika ada beberapa tempat atau daerah yang memberlakukan kearifan lokal dalam menyelesaikan masalah seperti merusak hutan dan memotong kayu-kayu besar, sejumlah pihak selalu melawan karena mereka berdalih bahwa ada hukum formal yang menyelesaikannya.

Padahal, jika kearifan lokal ini dikedepankan dalam menyelesaikan masalah seperti, maka tentunya hasil yang didapatkan akan lebih bagus dan baik bahkan selesai hingga ke akar masalah.

Sebagai contoh misalnya, dapat kita lihat pelaksanaan kearifan lokal di Kemukiman Lutueng, Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Warga di sana diwajibkan untuk menjaga kelestarian hutan, terutama hutan lindung. Jika ada diantara masyarakat yang melanggar, mereka akan diberikan sanksi. Sanksi yang diberikan berupa sanksi adat dan tergantung kesalahahan. Misalnya, bila ada warga yang memotong kayu maka si pelaku akan ditangkap dan wajib membayar denda senilai harga kayu yang ditebang sesuai dengan pasar, dan semua kayu tebangan menjadi milik gampong setempat untuk digunakan bagi kepentingan gampong, dan sanksi yang lebih beratnya adalah dikucilkan dari masyarakat setempat.

Sedangkan bagi masyarakat dari luar yang merusak kawasan hutan itu maka sanksi yang diberikan juga sesuai dengan yang telah disepakati oleh Imum Mukim (posisinya di atas kepala desa, red)  dan para warga. Hal ini sudah dilakukan sejak dari dulu, dan  bahkan sekarang sudah ditulis dalam sebuah reusam (peraturan) di tingkat kemukiman, dan dampak dari adanya kearifan lokal itu, bencana alam tidak pernah terjadi.

Lalu, apakah para masyarakat penjaga hutan itu digaji. Jawabannya tidak, karena itu sudah kesepakatan, maka itu harus dilaksanakan dan wajib dipatuhi. Namun demikian, sebagai upaya apresiasi terhadap masyarakat di sana dan banyak pengangguran, para petua gampong/petua gle (Kepala desa/ ketua gunung) hanya membenarkan bagi masyarakat mengambil hasil dari dalam hutan itu misalnya rotan, ikan,  madu dan buah jernang dan kayu alin (gaharu).

Lantas, apakah masyarakat tidak boleh berkebun? Bukan. Mereka tetap dibenarkan untuk berkebun, namun tidak dilakukan pada hutan lindung, tapi lebih kepada hutan desa yang telah diatur dalam undang-undang. Pembukaan perkebunan yang dilakukan warga tidak sesuka hati, namun juga tetap berpedoman pada kearifan lokal  yang telah berlaku. Misalnya, tanaman yang dibenarakan ditanami adalah kopi, karet, coklat, durian, duku dan tanaman produktif lainnya yang tidak merusak lahan.

Sedangkan tanaman yang disukai oleh satwa-satwa liar seperti, sawit dan lainnya, itu tidak dibenarkan demi untuk mencegah terjadinya konflik marga satwa dengan manusia serta dapat merusak tanah di areal hutan.

Selain itu, bagi masyarakat yang menebang pohon pada lahan kebun yang akan digarapnya, maka maka si calon pemilik lahan wajib menggantikannnya dengan cara menanam baru sebanyak 10  (sepuluh) batang pohon lainnya. Dan, selama kearifan lokal berjalan, Kemukiman Lutueng merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki hutan terindah yang ada di Kabupaten Pidie yang memiliki debit air terbagus.

Proteksi Sejak Dini
Mencegah lebih baik daripada mengobati, peribahasa itu yang selama ini digunakan para warga di sana untuk mencegah terjadinya bencana melalui terjadinya bencana. Sehingga tidaklah heran di kawasan ini, jarang kita mendengar terjadinya bencana berupa banjir bandang dan longsor menerjang.

Karena itu, hal tersebut perlu digalakkan oleh pemerintah pusat, sehingga bencana yang disebabkan oleh lingkungan teratasi dan tidak pernah terjadi lagi. Dengan terjaganya hutan itu, tentunya persolaan bencana lain seperti krisis air, banjir bandang dan longsor, Insya Allah tidak lagi terjadi di negara kita ini.

Dalam konteks agama, Islam juga sangat menganjurkan hambanya untuk selalu menjaga lingkungan dan menjaga kelestarian alam, sehingga kita dapat memanfaatkan hasilnya dengan baik dan tentunya juga kita akan terbebas dari bencana besar. Menjaga alam ini merupakan bagian dari cara manusia untuk berhubungan dengan makhluk lainnya.

Dengan  terjaganya alam ini, tentunya manusia yang diberikan rabb (tuhan) sebagai khalifah bisa memanfaatkan hasil yang terdapat dalam alam dengan baik. Dengan alam lestari, masyarakat juga dapat mengambil hasil alam yang terdapat di dalam hutan misalnya madu, ikan, buah-buahan, rotan dan berbagai hasil lainnya bisa dinikmati dengan sangat baik.

Saya yakin, kearifan-kearifan lokal seperti ini ada di berbagai tempat di negeri kita. Dan jika pemerintah mendorong lembaga-lembaga untuk menjalakan kearifan lokal ini. Negara kita ke depan akan terbebas dari berbagai bencana yang menghantui.[multazam]

Penulis, Teuku Multazam adalah anggota Green Journalist Aceh

 

read more
1 2
Page 2 of 2