close
Hutan

Mencegah Bencana Melalui Kearifan Lokal

Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia kerap dilanda berbagai bencana alam yang datang silih berganti. Longsor dan banjir sudah menjadi langganan di negeri kita ini. Korban harta benda dan jiwa sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Bencana seperti ini seakan tak pernah lagi mengenal waktu.

Jika kita melihat ke masa lalu, tentunya bencana alam tidak terjadi pada setiap saat, melainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang lama menjadi faktor terjadinya bencana ketika itu. Akan tetapi pada masa sekarang, dengan intensitas hujan rendah sekalipun, bencana selalu datang mengancam jiwa dan harta manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum, penyebab utama terjadinya bencana alam itu karena kerusakan hutan. Kerusakan itu akibat ulah dan sikap dari beberapa manusia yang melakukan penebangan pepohonan secara membabi buta tanpa memikirkan kehidupan alam itu sendiri dan  kehidupan orang banyak.

Harus diakui, dari sejumlah aksi penebangan itu, banyak pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Keterlibatan itu, tentunya ada yang secara langsung maupun secara tidak langsung. Umumnya, pihak yang terlibat langsung adalah dari sekelompok masyarakat, baik yang tinggal di wilayah yang berdekatan dengan gunung maupun dari luar, sedangkan pihak yang tidak secara langsung adalah kalangan dari pengusaha dan oknum penegak hukum.

Salah-satu penyebab keterlibatannya masyarakat melakukan aksi perambahan dan penebangan hutan adalah karena mereka tidak memiliki pekerjaan/pengangguran, sehingga jalan tersebut menjadi salah satu yang harus dilalui agar mendapatkan pemasukan untuk kebutuhan sehari-harinya. Pemasukan itu didapatkan melalui penjualan kayu-kayu.

Sedangkan keterlibatan pihak yang secara tidak langsung dilakukan melalui pembayaran jasa bagi masyarakat dan aparat penegak hukum saat para pengusaha membuka lahan-lahan perkebunan dengan skala yang besar. Iming-iming dengan bayaran dana yang besar serta dilibatkan dalam usaha perkebunan membuat masyarakat dan oknum aparat penegak hukum tergiur untuk melakukakan aksi tersebut.

Meskipun berbagai antisipasi kerusakan hutan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti moratorium loging (penghentian pembalakan) dan penyusunan aturan melalui pembuatan undang-undang pada tingkatan pusat dan Perda di tingkat daerah, tetapi persoalan itu rasanya tak bisa dituntaskan. Ancaman penjara dan berbagai sanksi berat lainnya yang diatur dalam aturan tersebut, bukan menjadi penghalang bagi perusak lingkungan dalam melaksanakan aksinya.

Dalam lima tahun terakhir saja, berapa banyak undang-undang tentang masalah ini lahir. Begitu juga dengan sejumlah peraturan-peraturan tentang hal menjaga kelestarian alam telah dirumuskan secara bagus dalam menanggulangi  persoalan ini. Namun hasilnya nihil. Aksi perusakan hutan juga tak pernah berhenti.

Namun demikian, kita juga tidak putus asa untuk terus melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan hutan ini, sehingga ancaman bencana tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Karena itu, menurut saya untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan, maka perlu dilakukan melalui para pemangku adat yang ada di setiap desa-desa di berbagai wilayah Indonesia. Pelaksanaan itu tentunya bukan dengan memakai hukum formal, tetapi lebih kepada penyelesaiannnya melalui penggunaan kearifan lokal (local wisdom) yang ada di daerah masing-masing di Indonesia.

Tentunya, metode ini lebih mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebab, peraturan ini sudah mendarah daging bagi masyarakat, dan juga karena dirumuskan melalui kesepakatan dan ketentuan secara bersama-sama.

Pada kearifan lokal ini, penerapan hukum yang diutamakan adalah hukum adat. Bagi masyarakat di desa-desa ini, hukum adat itu lebih besar dampaknya dibandingkan dengan hukum formal.

Jika hukum formal hanya mendapat sanksi berupa penjara dan membayar denda perkara, maka hukum adat akan memberikan sanksi untuk para pelaku melalui sanksi sosial seperti mengusir para pelanggar kearifan lokal itu dari lingkungan para warga kampung/desa, serta bahkan dikucilkan dari masyarakat.

Tentunya, agar kearifan lokal ini berjalan maksimal maka pemerintah juga perlu memberikan wewenang lebih besar untuk pelaksananya. Selama ini, ketika ada beberapa tempat atau daerah yang memberlakukan kearifan lokal dalam menyelesaikan masalah seperti merusak hutan dan memotong kayu-kayu besar, sejumlah pihak selalu melawan karena mereka berdalih bahwa ada hukum formal yang menyelesaikannya.

Padahal, jika kearifan lokal ini dikedepankan dalam menyelesaikan masalah seperti, maka tentunya hasil yang didapatkan akan lebih bagus dan baik bahkan selesai hingga ke akar masalah.

Sebagai contoh misalnya, dapat kita lihat pelaksanaan kearifan lokal di Kemukiman Lutueng, Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Warga di sana diwajibkan untuk menjaga kelestarian hutan, terutama hutan lindung. Jika ada diantara masyarakat yang melanggar, mereka akan diberikan sanksi. Sanksi yang diberikan berupa sanksi adat dan tergantung kesalahahan. Misalnya, bila ada warga yang memotong kayu maka si pelaku akan ditangkap dan wajib membayar denda senilai harga kayu yang ditebang sesuai dengan pasar, dan semua kayu tebangan menjadi milik gampong setempat untuk digunakan bagi kepentingan gampong, dan sanksi yang lebih beratnya adalah dikucilkan dari masyarakat setempat.

Sedangkan bagi masyarakat dari luar yang merusak kawasan hutan itu maka sanksi yang diberikan juga sesuai dengan yang telah disepakati oleh Imum Mukim (posisinya di atas kepala desa, red)  dan para warga. Hal ini sudah dilakukan sejak dari dulu, dan  bahkan sekarang sudah ditulis dalam sebuah reusam (peraturan) di tingkat kemukiman, dan dampak dari adanya kearifan lokal itu, bencana alam tidak pernah terjadi.

Lalu, apakah para masyarakat penjaga hutan itu digaji. Jawabannya tidak, karena itu sudah kesepakatan, maka itu harus dilaksanakan dan wajib dipatuhi. Namun demikian, sebagai upaya apresiasi terhadap masyarakat di sana dan banyak pengangguran, para petua gampong/petua gle (Kepala desa/ ketua gunung) hanya membenarkan bagi masyarakat mengambil hasil dari dalam hutan itu misalnya rotan, ikan,  madu dan buah jernang dan kayu alin (gaharu).

Lantas, apakah masyarakat tidak boleh berkebun? Bukan. Mereka tetap dibenarkan untuk berkebun, namun tidak dilakukan pada hutan lindung, tapi lebih kepada hutan desa yang telah diatur dalam undang-undang. Pembukaan perkebunan yang dilakukan warga tidak sesuka hati, namun juga tetap berpedoman pada kearifan lokal  yang telah berlaku. Misalnya, tanaman yang dibenarakan ditanami adalah kopi, karet, coklat, durian, duku dan tanaman produktif lainnya yang tidak merusak lahan.

Sedangkan tanaman yang disukai oleh satwa-satwa liar seperti, sawit dan lainnya, itu tidak dibenarkan demi untuk mencegah terjadinya konflik marga satwa dengan manusia serta dapat merusak tanah di areal hutan.

Selain itu, bagi masyarakat yang menebang pohon pada lahan kebun yang akan digarapnya, maka maka si calon pemilik lahan wajib menggantikannnya dengan cara menanam baru sebanyak 10  (sepuluh) batang pohon lainnya. Dan, selama kearifan lokal berjalan, Kemukiman Lutueng merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki hutan terindah yang ada di Kabupaten Pidie yang memiliki debit air terbagus.

Proteksi Sejak Dini
Mencegah lebih baik daripada mengobati, peribahasa itu yang selama ini digunakan para warga di sana untuk mencegah terjadinya bencana melalui terjadinya bencana. Sehingga tidaklah heran di kawasan ini, jarang kita mendengar terjadinya bencana berupa banjir bandang dan longsor menerjang.

Karena itu, hal tersebut perlu digalakkan oleh pemerintah pusat, sehingga bencana yang disebabkan oleh lingkungan teratasi dan tidak pernah terjadi lagi. Dengan terjaganya hutan itu, tentunya persolaan bencana lain seperti krisis air, banjir bandang dan longsor, Insya Allah tidak lagi terjadi di negara kita ini.

Dalam konteks agama, Islam juga sangat menganjurkan hambanya untuk selalu menjaga lingkungan dan menjaga kelestarian alam, sehingga kita dapat memanfaatkan hasilnya dengan baik dan tentunya juga kita akan terbebas dari bencana besar. Menjaga alam ini merupakan bagian dari cara manusia untuk berhubungan dengan makhluk lainnya.

Dengan  terjaganya alam ini, tentunya manusia yang diberikan rabb (tuhan) sebagai khalifah bisa memanfaatkan hasil yang terdapat dalam alam dengan baik. Dengan alam lestari, masyarakat juga dapat mengambil hasil alam yang terdapat di dalam hutan misalnya madu, ikan, buah-buahan, rotan dan berbagai hasil lainnya bisa dinikmati dengan sangat baik.

Saya yakin, kearifan-kearifan lokal seperti ini ada di berbagai tempat di negeri kita. Dan jika pemerintah mendorong lembaga-lembaga untuk menjalakan kearifan lokal ini. Negara kita ke depan akan terbebas dari berbagai bencana yang menghantui.[multazam]

Penulis, Teuku Multazam adalah anggota Green Journalist Aceh

 

Tags : hutan

Leave a Response