close
Perubahan Iklim

Emisi Gas Rumah Kaca Melonjak Drastis

Ilustrasi | Foto: google.com

Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi dominan, dan sebagai pangsa terbesar dalam campuran energi (energi mix) telah meningkatkan potensi emisi gas rumah kaca.

Koordinator Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI) Mida Saragih menegaskan, Kebijakan Presiden SBY yang tertuang dalam Peraturan Presiden tentang Kebijakan Energi Nasional No. 5 Tahun 2006  yang mengandalkan 85% kebutuhan energi nasional dari bahan bakar fosil pada masa mendatangan adalah kebijakan yang  keliru. Sebab, eksploitasi energi fosil tersebut dapat meningkatkan emisi dari sektor energi, berkontribusi  dalam kenaikan suhu global dan ini praktis bertubrukan dengan komitmen politik Presiden SBY dalam implementasi penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.”

Pemerintah nasional mencatat, eksploitasi dan penggunaan bahan bakar fosil bakal meningkatkan pelepasan Gas Rumah Kaca (di antaranya carbon dioxide (CO2), methane (CH4), dan nitrous oxide (N2O). Berdasarkan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup (2010), sumbangan emisi Gas Rumah Kaca dari eksploitasi dan pemanfaatan energi adalah 22% dari emisi total nasional (KLH, 2010).  Bahkan Bappenas merilis data, energi mix dapat meningkatkan kosentrasi CO2 lebih dari 1.150 Mt CO2 pada tahun 2025 (Bappenas, 2011). Meski demikian, bukannya menjalankan kebijakan yang lebih arif, produksi energi primer di Indonesia telah berkembang pesat dalam lima tahun terakhir, utamanya batubara dan gas alam (lihat tabel).

Tabel. Produksi Bahan Bakar Fosil 2007 dan 2012

Energi Primer Produksi 2007 Ekspor 2007 Produksi 2012 Ekspor 2012
Batubara (juta ton) 203 170 386 304
Minyak Bumi (juta barrel) 348,35 135,28 314,67 110,15
Gas Alam (MSCF*) 2.805.540 1.398.965 3.174.639 1.377.894

*Milion Standard Cubic Feet

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melonjak drastis sejak masa pra-industri, terutama akibat pembongkaran dan pemanfatan bahan bakar fosil (IPCC 5th Assessment Report, 2013).

“Studi IPCC menyebutkan konsentrasi GRK bahkan sudah memecahkan rekor konsentrasi tertinggi, dalam rentang masa 800 ribu tahun terakhir. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir terus meningkat dari 275 s.d 285 ppm pada pra-industri, menjadi 391 ppm per tahun di 2011. Sementara emisi CO2 tahunan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah rata-rata 8,3 GtCo2 per tahun dalam rentang masa 2002-2011. Konsentrasi CO2 juga telah meningkat sebesar 40% sejak masa pra-industri, terutama dari emisi bahan bakar fosil. Maka itu, kami menghendaki energi fosil tetap di perut bumi, supaya terpenuhi syarat-syarat keselamatan sosial-ekologi. Kalau tidak demikian, upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan—bakal sia-sia,” pungkas Mida.

Menurut Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI), syarat-syarat keselamatan sosial-ekologi yang  terdiri dari tiga syarat pokok. Pertama adalah syarat keselamatan manusia (human security). Kedua, syarat keberlangsungan fungsi-fungsi ekosistem, dan ketiga syarat produktifitas masyarakat untuk menjamin keselamatan dan berlangsungnya fungsi ekosistem. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Syarat-syarat ini saling memilin satu dengan yang lain. Mengabaikan satu syarat di antara syarat yang lain—berarti bencana bagi satu kesatuan sosial-ekologi.

“Pemerintahan Presiden SBY dan Budiono hendaknya membuka mata dan telinga, serta memberikan perhatian besar untuk mengelola sumber-sumber energi alternatif, di antaranya melalui mikrohidro, tenaga surya, dan tenaga angin. Keselamatan sosial-ekologi harus terwujud,” tutup Mida.

Desakan-desakan tersebut tertuang di dalam Aksi Teatrikal Damai bertajuk, “Menolak Solusi Energi Palsu, Biarkan Energi Kotor Tetap di Perut Bumi”, yang berlangsung hari ini (22/ 10) di Bundaran HI, Jakarta.

Dukungan masyarakat internasional bagi perwujudan keadilan iklim serta penolakan terhadap penggunaan bahan bakar fosil atau energi kotor tidak hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di sejumlah negara yang terselenggara serentak pada 22 Oktober di Filipina, Bangladesh, dan India.

Bulan Aksi Global merupakan inisiatif bersama dari Kampanye Global untuk Menuntut Keadilan Iklim, saat ini terselenggara berkat kerjasama Friends of the Earth International, 350.org, Oil Change International, GAIA Internasional, Food and Water Europe / Global Frackdown, Internasional Rivers Network, Jubilee South – Asia/Pacific Movement on Debt and Development, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia (CSF-CJI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), LDC Watch,  dan jaringan lain, gerakan-gerakan yang memberi perhatian khusus pada keadilan iklim (rilis)

 

Leave a Response