close
Hutan

Mengapa Hutan Rusak?

Ilustrasi hutan Leuser | Foto: Tunkalai

Oleh: Saminoudin B Tou (Ahli Kehutanan, tinggal di Banda Aceh)

Saya sering mendapat pertanyaan begini, kenapa hutan terus rusak? Apa tugasnya orang kehutanan? Bukankah presiden itu alumni ilmu kehutanan?

Pertanyaan itu merupakan ungkapan kekecewaan melihat kondisi hutan yang terus memburuk. Saya sering bercanda menjawabnya, kita belum tahu kapan itu bisa dihentikan. Karena para pejabatnya semua masih sibuk rapat ke sana ke mari.

Pastinya belum ada harapan membaik. Tekanan terhadap hutan datang dari segala arah. Ibarat perang, kita semakin jelas melihat tanda-tanda kekalahan dan mungkin hanya bisa memperlambat lajunya saja.

Kalau orang belajar ilmu kehutanan, doktrin pertama pengelolaan hutan adalah prinsip kelestarian. Secara teknis, kelestarian itu diwujudkan dalam sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan. Salah satu variabel yang menentukan kelestarian itu adalah luas.

Luas kawasan hutan yang dikelola harus bersifat permanen. Karena harus diawali dengan perencanaan.

Kondisi kawasan hutan yang berkurang baik luasan maupun kualitas tutupannya, mengindikasikan hutan itu tidak lestari. Kalau dikelola dengan benar seharusnya luasnya tetap dan volumenya akan meningkat.

Siapa pun yang diberi kewenangan mengelola hutan, baik swasta, BUMN, atau yang lain, tidak akan berhasil selama areal yang dikelola tidak berkepastian hukum.

Beberapa perguruan tinggi kehutanan yang pernah diberi konsesi, juga gagal mengelola konsesinya. Padehal dari segi ilmu merekalah yang paling kredibel.

Kawasan hutan yang diberikan konsesinya tidak bisa dikuasai sepenuhnya karena harus berebut dengan masyarakat dan kepentingan-kepentingan lain. Itulah yang membuat rencana sistem pengaturan hasil tidak bisa dijalankan.

Kawasan hutan adalah wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Wilayah itu tidak bisa dialihkan fungsinya untuk keperluan lain selain kepentingan kehutanan. Kecuali yang tidak ditetapkan sebagai hutan tetap.

Sekarang secara statistik, kawasan hutan tidak banyak berubah. Tapi fakta di lapangan kawasan hutan itu sudah banyak yang diduduki atau dikuasai masyarakat. Bentuk tutupannya pun bukan lagi berupa hutan.

Ada pendapat, kita tidak perlu kawasan hutan yang penting hutannya. Lepaskan saja kawasan yang sudah bukan hutan lagi itu. Pertahankan saja yang ada hutannya.

Kalau ditelaah sejarahnya, dulu kawasan yang sudah tidak berhutan itu juga bertutupan hutan lebat. Kemudian mengalami degradasi dan deforestasi.

Sekarang UU Penataan Ruang hendak dijadikan alat untuk melakukan pemutihan terhadap pelanggaran terhadap pendudukan kawasan hutan. Karena ada klausul yang memungkinkan rencana tata ruang wilayah bisa direvisi.

Kalaupun kawasan yang tidak berhutan lagi itu dikeluarkan, tidak ada yang bisa menjamin perambahan atau penguasaan kawasan hutan tidak akan terjadi lagi. Sejarah sudah membuktikan itu.

Ketika menangani planologi kehutanan saya sering didesak agar dilakukan tata batas. Orang mengira kalau sudah ditata batas masalahnya selesai, hutannya akan aman. Kenyataanya, tidak sama sekali!

Jangankan hutan, kebun saja yang dipagar keliling, lengah sedikit saja diloncati orang pagarnya. Ada orang beranggapan semua yang ada di bumi ini milik Tuhan, bebas diambil. Begitulah parahnya kondisi sosial kita.

Mungkin sudah sangat sering orang mendengar visi ini: “Hutan Lestari Rakyat Sejahtera”. Bagi saya ini bukan visi, tapi jargon. Kalau visi harus jelas dan terukur.

Tidak ada hubungan kelestarian hutan dengan kesejahteraan rakyat. Justru rakyat yang sejahtera bisa jadi lebih merusak hutan, karena kebutuhannya akan hasil hutan yang lebih besar.

Hutan tidak akan lestari manakala tidak ada kepastian dan ketaatan kepada hukum. Hutan lestari karena hukum ditaati. Hukum tidak ditaati karena penegakannya yang lemah.

Memang ada orang yang suka kalau negeri ini penegakan hukumnya lemah. Termasuk juga negara asing, yang berpura-pura baik, tapi sebetulnya juga hendak melemahkan…![]

Tags : hutan

Leave a Response