close
Hutan

Pesona Pulau Bunta yang Terabaikan

Salah seorang wisatawan lokal yang mengunjungi Pulau Bunta sedang beristirahat | Foto: Afifuddin Acal

Pulau Bunta, sebuah desa terpencil yang ada di Aceh. Pulau yang memiliki keindahahan alam yang eksotis, pantai yang bersih bak permadani terbentang luas. Juga banyak menyimpan Sumber Daya Alam (SDA), baik itu kekayaan laut dengan berbagaimacam jenis ikan, juga SDA lainnya seperti kepala yang dijadikan kopra. Namun, mirisnya belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Pulau Bunta memiliki luas 125 hektar yang ditumbuhi ribuan pohon kelapa yang diapit oleh pulau Batu dan ujung Pancu, Lhok Keutapang, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Dari pulau Bunta, kita juga bisa menikmati gemerlapan cahaya lampu perumahan Jacky Chen yang ada di Kecamatan Kreung Raya di Kabupaten yang sama.

Ada banyak kisah dan objek yang bisa dinikmati di pulau tersebut. Selain bisa menikmat keindahan sunset pada petang hari. Kita juga bisa mengunjungi beberapa objek lainnya seperti Mon Na Laba (Sumur Keuntungan) yang konon katanya menyimpan sejarah yang menarik.

“Kisah Mon Na Laba itu ceritanya sebagai bukti dua kelompok yang berseteru mengaku yang pertama menemukan pulau tersebut, dan sumur itu bukti kelompok yang menemukan pulau itu,” kata pemandu, Ariadi.

Untuk bisa mencapai ke Pulau Bunta. Anda membutuhkan lebih kurang 45 menit menyeberang laut dari Banda Aceh dengan menggunakan perahu nelayan dan membayar sewa Rp 450 ribu pulang-pergi dengan kapasitas 10 orang penumpang.

Mirisnya, walaupun memiliki keindahan alam dan SDA yang melimpah diberikan oleh sang pencipta, Pulau Bunta yang terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar belum mendapat sentuhan pemerintah yang maksimal. Pulau yang semestinya bisa mendongkrak perekonomian masyarakat melalui pariwisata dan SDA, terkendala dengan minimnya fasilitas publik.

Meskipun ada pelabuhan di tempat itu, namun tidak dapat digunakan lagi oleh warga karena sudah dangkal.  Untuk bisa mendarat, kita harus  rela berbasah-basah turun ke dalam air sepinggang pria dewasa untuk bisa mencapai ke daratan. Tentu ini akan menyulitkan bila kita membawa sejumlah barang dan peralatan lainnya untuk kebutuhan logistik selama di Pulau Bunta.

“Kami butuh perhatian dari pemerintah untuk membangun fasilitas,” tukas Ariadi.

Ada sejumlah fasilitas memang sudah tersedia di desa Pulau Bunta. Dari mushalla, tempat pengajian dan sejumlah rumah. Akan tetapi bangunan-bangunan tersebut kotor dimakan rayap tanpa terurus. semua warga yang dulunya tinggal di lokasi itu, saat ini memilih untuk tinggal di daratan, karena akibat dari minimnya fasilitas pendukung.  Sedikitnya saat ini ada 8 keluarga yang masih tinggal di Bunta, akan tetapi semua anak dan istrinya tetap berada di Banda Aceh.

“Ini tidak terurus karena sulitnya transportasi untuk menuju Pulau Bunta dan minimnya fasilitas umum,” tandasnya.

Tidak hanya itu tantangan yang dialami oleh warga. Kehadiran tamu tak diundang yaitu hama babi hutan menjadi momok besar bagi warga. Kenapa tidak, setiap mereka ingin bercocok tanam, mereka harus bergelut dengan babi yang siap setiap saat menghabisi tanaman yang mereka tanam.

Pulau Bunta boleh dikatakan menjandi syurga bagi hama yang paling dibenci oleh petani. Kenapa tidak, dengan sedikitnya orang berada di tempat itu, buah kelapa yang melimpah jatuh dari pohonnya, menjadi keberuntungan bagi hama yang menjadi musuh para petani. Padahal, bila babi dapat dibasmi, buah kepala itu bisa dijadikan kopra dan yang tidak dikutip bisa tumbuh kembali nantinya.

“Mau bercocok tanam disini, babi banyak kali, mestinya ini butuh perhatian dari pemerintah untuk dibasmi,” tuturnya.[]

Leave a Response