close

banjir

Ragam

Pemilu 2014 Pilih Pemimpin Pro Rakyat dan Pro Pelestarian!

Banjir yang melanda Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Semarang, Manado, dan lain-lain pada awal 2014 ini menyadarkan bahwa sumber daya alam Indonesia salah urus selama ini. Bencana ekologis ini harus menjadi alarm pembaharuan ke depan, karena menurut catatan WALHI sedang terjadi peningkatannya secara tajam. Jika pada tahun 2012, banjir dan longsor terjadi sebanyak 475 kali dengan korban jiwa mencapai 125 orang, pada tahun 2013, secara akumulatif peristiwa bencana ekologis mencapai 1.392 kali atau meningkat hampir 300 persen. Bencana tersebut melanda 6.727 desa/kelurahan yang tersebar pada 2.787 kecamatan di 419 kabupaten/kota atau 34 propinsi, dan telah menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.

Sayangnya, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II -yang masa kerjanya tersisa kurang dari satu tahun- membuka tahun 2014 dengan menerbitkan peraturan yang tidak berpihak pada keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. PP 1/2014 dan Permen ESDM 1/2014 yang mengendorkan (relaksasi) batas waktu larangan ekspor mineral mentah tak hanya membebaskan dari hukuman (impunity) tapi juga melanggengkan perusahaan ekstraktif mengeruk kekayaan mineral Indonesia.

Tahun 2014 juga dibuka dengan kegembiraan semu melalui pelepasan 7.000 ha kawasan hutan Mesuji dari Register 45, Lampung. Menjadi semu karena pelepasan dilakukan tanpa skema distribusi lahan yang jelas dan berkeadilan sehingga potensial memicu konflik horisontal. Padahal, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan fenomena meningkatnya konflik agraria beberapa tahun terakhir.

Pada 2010 tercatat sedikitnya 106 konflik agraria, kemudian meningkat menjadi 163 konflik pada tahun 2011, dan menjadi 198 konflik pada tahun 2012. Peningkatan besar-besaran terjadi pada 2013 dengan konflik agraria tercatat sejumlah 369 kasus pada kawasan seluas 1.281.660.09 hektar dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Sehingga, berita Mesuji tersebut seakan meresonansi penggusuran Suku Anak Dalam dari kawasan hidup mereka di Padang Salak Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi, 7 Desember 2013 karena sengketa hak lahan dengan perusahaan sawit PT Asiatic Persada.

Ketimpangan perlakuan negara kepada penduduk lokal dengan korporasi eksploitatif sejatinya merupakan hal jamak hingga saat ini. Lihatlah kebijakan pengalokasian ruang kawasan hutan sebagai misal. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 yang ditetapkan oleh Permenhut 49/2011 menjabarkan bahwa dari total 41,69 juta hektar penggunaan kawasan hutan, 41,01 juta hektar atau 99,5% diperuntukkan bagi perusahaan, seperti HPH, HTI, pelepasan kebun, pinjam pakai tambang. Hanya 0,21 juta hektar atau 0,5% yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal/adat dan atau usaha kecil, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat.

Padahal, HPH/HTI kinerjanya sangat buruk terbukti dengan semakin berkurangnya jumlah dan luas perusahaan HPH dan semakin menguatnya fenomena monopsoni pada bisnis HTI. Bahkan, ditengarai 34 juta hektar kawasan HPH/HTI saat ini merupakan kawasan open access. Fenomena open access ini terjadi pula pada 30 juta hektar hutan lindung Indonesia karena ketidakhadiran pengelola di tingkat lapangan.

Pada 2013 Indonesia dan Uni Eropa menandatangani perjanjian Forest Law Enforcement, Governance, and Trade – Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) antara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa. Sesuai dengan EU Timber Regulation (EUTR) 995/2010, FLEGT VPA ini akan membuka lebih luas pasar Eropa bagi kayu legal Indonesia. FLEGT VPA ini berpeluang meningkatkan sumbangsih kehutanan terhadap perekonomian nasional yang semakin melemah pada satu dekade terakhir.

Meski demikian, harus dipastikan agar pembukaan pasar Eropa ini tidak justru membuka ruang perusakan hutan melalui eksploitasi kayu yang tak lestari. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai salah satu instrumen terkait FLEGT VPA, harus direvisi agar menjadi instrumen yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable forest management (SFM).

Karena, sampai saat ini SVLK justru nyaris setiap tahun diperburuk kualitasnya melalui perubahan regulasi sehingga justru meloloskan juga perusahaan kehutanan yang tak layak SFM. Bahkan, terdapat juga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi yang beroleh sertifikat SVLK. Pun, SVLK dan pasar Eropa harus didorong untuk mendukung hasil hutan produksi unit usaha masyarakat lokal.

Sepanjang 2013, Indonesia melaksanakan 152 pemilu kepala daerah. Berdasarkan citra satelit dan data pilkada serta perijinan 2000-2008, Prof. Burgess, dkk menemukan bahwa ada fenomena peningkatan deforestasi 57% setahun setelah pilkada di Indonesia. Kajian ICW (2013) juga menunjukkan meningkatnya dana-dana bantuan sosial di kementerian-kementerian yang dipimpin menteri yang berasal dari partai politik. Fenomena ini akan menjadi peringatan akan potensi meningkatnya korupsi termasuk pada sektor pngelolaan dan pengolahan sumber daya alam pada tahun politik 2014.

Harapan sejatinya hadir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 45/2011 yang membuka ruang negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan diputuskannya bahwa kawasan hutan yang sah dan mengikat adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan, tak cukup hanya ditunjuk sebagaimana terjadi pada sebagian besar kawasan hutan Indonesia, memastikan persetujuan masyarakat terhadap Berita Acara Tata Batas menjadi faktor kunci. Putusan MK 35/2012 yang menegaskan eksistensi hutan adat juga memastikan bahwa komunitas adat pun menjadi entitas penting dalam tatakelola kehutanan Indonesia.

Namun demikian, tindak lanjut pemerintah terhadap kedua Putusan MK tersebut sangat minim. Pengukuhan kawasan hutan di Kabupaten Barito Selatan yang diproses sepanjang 2013 bahkan tidak menambah luas pengukuhan satu hektar pun. Demikian juga, hutan adat yang ditetapkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi belum ada sama sekali. Padahal, pemerintah sangat diharapkan mengeluarkan kebijakan transisi sebagai terobosan mengingat banyaknya tumpang tindih klaim dan ijin di dalam klaim hutan adat.

Harapan juga hadir melalui inisiatif KPK bersama UKP4 yang memelopori sinergitas antar lembaga negara melalui Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian atau Lembaga Negara (NKB 12 K/L) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. Meski judulnya mengenai pengukuhan, dokumen yang ditandatangani pada 11 Maret 2013 -sehingga kerap disebut sebagai Supersemar Kehutanan- ini pada dasarnya merupakan reformasi secara substantif tatakelola sumberdaya alam Indonesia. Program Indonesia Memantau Hutan yang didorong KPK sebagai open government sektor kehutanan juga diharapkan mampu mendorong transparansi tata kelola serta partisipasi publik yang semakin massif pada pembaharuan tatakelola kehutanan Indonesia.

Pada saat yang sama, jaringan masyarakat sipil semakin menunjukkan perannya dalam mengawal kejadian yang mengancam kelestarian hutan dan sumber daya alam kita. Eyes on the Forest (EoF) di Riau dan Koalisi Anti Mafia Hutan banyak memberi masukan pada proses penegakan hukum yang dilakukan KPK, seperti kasus Azmun Jafar dan rangkaiannya yang kini telah menyeret Gubernur Riau Rusli Zainal ke persidangan pengadilan tindak pidana korupsi. Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) juga banyak membantu proses penegakan hukum dan pembaruan kebijakan yang diinisiasi UKP4.

Kita semua sebentar lagi diberi kesempatan membuat pilihan agar jejak tersebut bisa lebih banyak lagi memberikan keberpihakan kepada rakyat. Kami memberikan catatan di atas agar kita semua tidak melupakannya. Karenanya, mari menggunakan kekuatan kita melakukan perubahan memasuki tahun yang baru dan menyongsong era yang baru pasca Pemilu 2014.

Pilih pemimpin pro rakyat dan pro kelestarian! Demikian siaran pers bersama dari Walhi, ICW, TI, WWF dan Yayasan Kehati.

Sumber: hijauku.com

read more
Green Style

Peneliti LIPI: Biopori Kurang Efektif Cegah Banjir

Pada 20 Desember 2013 silam, Walikota Bandung Ridwan Kamil meluncurkan Gerakan Sejuta Biopori di Kota Kembang. Gerakan ini dibuat untuk mengurangi risiko banjir, menabung air tanah, mengelola sampah organik, dan menyuburkan tanah.

Meskipun memang sebuah gerakan yang baik, namun peneliti hidro-geologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Edi Prasetyo Utomo punya pendapat lain. Lubang resapan biopori tak terlalu efektif mengurangi risiko banjir.

“Biopori memang baik untuk membasahi tanah pertanian. Supaya tanaman tetap mendapat air. Namun penyerapannya (biopori) kecil, dimensi kecil,” ujar Edi di LIPI Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (23/1).

Pada saat peluncuran Gerakan Sejuta Biopori, Ridwan Kamil pun sudah menyadari hal tersebut sebagai solusi jangka panjang. Ia mengatakan akan membuat danau untuk menampung air. Biopori ia galakkan karena biaya rendah dan bisa dibuat oleh siapa saja.

Edi pun mendukung gerakan tersebut karena punya manfaat baik. Apalagi ia tinggal di Bandung, dan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya pun terdapat banyak lubang resapan biopori (LRB).

Namun untuk mengurangi risiko banjir, ada cara lain yang lebih efektif meskipun butuh biaya lebih tinggi daripada membuat LRB. Cara yang ia maksud adalah membuat kolam infiltrasi.

Kolam infiltrasi adalah kolam berukuran 21x13x3 m3, dengan tiga sumur injeksi berkedalaman 12 meter. Kapasitas tampungnya mencapai 400 m3/hari. Air hujan yang turun akan ditampung, alih-alih dibuang ke saluran drainase. Sehingga tercipta cadangan air tanah yang bisa digunakan pada musim kemarau.

“Bagaimanapun juga kolam ini lebih baik daripada biopori untuk pencegahan banjir dan menabung air. Biayanya lumayan, Rp 100 juta. Namun ada pula yang ukuran lebih kecil, Rp 3 juta. Kalau dibagi dengan 10 rumah tangga saya rasa tetap low cost. Kalau dinilai (skala 0-10), biopori nilainya 7, yang kolam 9,” ujar Edi.

“Konsep ini sangat baik diterapkan di berbagai institusi pemerintah sipil dan non sipil,” tambahnya.

Rekayasa air tanah dengan konsep ini sudah memenuhi baku mutu air bersih menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, kelas I (air baku untuk air minum. Edi mengatakan kalau konsep ini sudah dilakukan dibeberapa tempat selain LIPI, salah satunya di wilayah Depok. Namun untuk kawasan Jakarta, baru kompleks gedung Sasana Widya Sarwono yang menggunakan kolam infiltrasi sebagai salah satu solusi mengatasi banjir.

Sumber: beritasatu.com

read more
Perubahan Iklim

Perubahan Iklim Bukan Penyebab Utama Banjir

Perdebatan tentang perubahan iklim telah mengalihkan perhatian kita dari penyebab sebenarnya dari bencana banjir, sekelompok ilmuwan terkemuka telah memperingatkan.

Pembetonan, penebang pohon, dan perluasan kota telah membuat banjir jauh lebih buruk, dan kita perlu untuk bertindak atas pengetahuan itu, kata mereka.

Hubungan yang tepat antara pemanasan global dan banjir sedikit sekali pengaruhnya, dan mereka yang terus menghembuskan isu ini telah mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya yaitu pembangunan yang berlebihan, seperti dikatakan para pakar sebuah makalah penelitian.

Perdana Menteri Inggris David Cameron telah memicu perdebatan ini ketika puncak banjir melanda Inggris baru-baru ini dengan menyatakan bahwa ia ‘sangat’ mencurigai kehancuran itu disebabkan oleh perubahan iklim.

Namun, Menteri Lingkungan Owen Paterson menolak untuk mendukung pandangan ini dan Kantor Meteorologi setempat mengatakan tidak ada bukti bahwa banjir musim dingin disebabkan oleh pemanasan global buatan manusia.

Makalah penelitian, yang diterbitkan dalam Jurnal Hydrological Sciences, baru-baru ini mengatakan: “Ada kehebohan seperti kekhawatiran tentang hubungan antara rumah kaca dan banjir yang menyebabkan masyarakat kehilangan fokus pada hal-hal yang sudah kita ketahui dengan pasti tentang banjir dan bagaimana untuk mengurangi dan beradaptasi dengannya.”

“Menyalahkan perubahan iklim atas bencana banjir membuat isu global yang tampaknya keluar dari kontrol lembaga regional atau nasional. Komunitas ilmiah perlu menekankan bahwa masalah kerugian banjir terutama tentang apa yang kita lakukan pada lanskap dan yang akan menjadi kasus untuk dekade yang akan datang.

Sumber: pikiranrakyat.com

read more
Ragam

Ruang Hijau, Banjir dan Kesehatan Mental

Banjir kembali melanda Jakarta. Banjir juga melanda Manado dan kota-kota lain di Indonesia. Masalah ini terus berulang seolah menjadi momok yang tak bisa diatasi. Padahal, sudah banyak konsep pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang kita baca dan temui. Sebagaimana kemarau, masalah banjir tidak lepas dari konsep mengelola air.

Sudah merupakan siklus alam bahwa air hujan ditampung dan diserap oleh tanah kemudian dialirkan dari hulu ke hilir. Namun saat fungsi peresapan tanah dan pengaliran air terganggu atau dirusak, terutama di daerah aliran sungai, bencana menjadi hal yang tidak dapat dielakkan.

Salah satu kelemahan aplikasi kebijakan yang menonjol adalah kurangnya atau ketiadaan ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah ruang dimana vegetasi tumbuh dengan dengan subur sehingga wilayah tersebut selain bisa mengurangi polusi juga bisa menyerap air.

Di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, rata-rata luas ruang terbuka hijau di Indonesia masih dibawah 10% dari 30% ruang terbuka hijau publik dan privat yang disyaratkan oleh pemerintah.

Tidak hanya di pusat kota, lahan-lahan lain di daerah aliran sungai seperti di perbukitan dan lereng gunung di sekitar Jakarta, banyak yang telah mengalami alih fungsi. Lereng gunung dan perbukitan banyak yang gundul. Di wilayah lindung, vila-vila dibangun. Bantaran sungai menjadi lokasi perumahan, aturan jarak minimal perumahan dan bantaran sungai tidak dipatuhi, memersempit dan merusak aliran sungai mengganggu aliran dan resapan air.

Sungai-sungai di Indonesia juga menjadi lokasi pembuangan sampah terpanjang di dunia oleh warga yang tidak disiplin menjaga kebersihan. Perilaku menjaga kebersihan ini seharusnya bisa ditanamkan melalui pendidikan menciptakan rasa malu. Sementara di pusat kota, mal-mal dan jalan aspal dibangun mengurangi wilayah resapan air. Sehingga tidak heran jika air yang seharusnya bisa dikelola dan diserap, menjadi liar, mengalir ke mana-mana, merusak pemukiman warga.

Masalah banjir – sebaqaimana kemarau – memicu stres tidak hanya pada mereka tergenang air, namun pada masyarakat luas. Saat banjir atau hujan besar kemacetan sering kita temui. Aktivitas keluarga, kerja dan bisnis menjadi terganggu.

Penelitian terbaru dari European Centre for Environment and Human Health menyimpulkan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) tidak hanya mampu mencegah banjir dan memerbaiki kualitas udara, namun juga bisa meningkatkan kesehatan mental secara signifikan dan berkelanjutan.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology ini menyatakan, pindah ke wilayah yang lebih hijau akan meningkatkan kesehatan mental dalam jangka panjang. Menurut tim peneliti dari University of Exeter Medical School, yang menjadi lokasi ECEHH, memerluas ruang terbuka hijau di perkotaan – dalam bentuk taman dan kebun – akan membawa manfaat signifikan bagi kesehatan masyarakat.

Temuan ini adalah hasil analisis jangka panjang atas British Household Panel Survey, kuisener yang diisi oleh 1000 responden yang tinggal di Inggris Raya. Para peneliti menfokuskan penelitian pada dua kelompok masyarakat yaitu mereka yang pindah ke wilayah yang lebih hijau dan mereka yang pindah ke wilayah yang lebih gersang.

Hasilnya, para peneliti menemukan, rata-rata mereka yang pindah ke wilayah yang lebih hijau akan mengalami peningkatan kesehatan mental secara langsung. Peningkatan kesehatan mental ini akan berlangsung setidaknya dalam 3 tahun setelah mereka pindah ke wilayah yang lebih hijau. Sementara penduduk yang pindah ke wilayah yang lebih padat dan gersang akan mengalami stres bahkan sebelum mereka pindah ke wilayah tersebut.

Tim peneliti menghilangkan faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan jenis pekerjaan dan fokus pada dampak ruang terbuka hijau. Menurut Dr Ian Alcock yang memimpin penelitian ini, dampak dari temuan ini sangat penting: “Kita menemukan bahwa penduduk yang pindah ke wilayah yang lebih hijau akan mengalami peningkatan kesehatan mental yang signifikan. Dan ini berdampak dalam jangka panjang. Temuan ini sangat penting untuk menjadi masukan bagi para ahli tata ruang agar memerkenalkan RTH-RTH baru di kota-kota mereka,” tuturnya.

Kerusakan lingkungan, banjir dan stres harus diatasi. Dimulai dengan memerluas, memertahankan, menjaga ruang hijau, terutama di daerah aliran sungai.

Sumber: Hijauku.com

read more
Hutan

Cara Abdullah Menangkal Banjir dan Longsor

Merasa terusik karena lingkungan di sekitar desanya gersang dan panas serta kekhawatiran akan banjir dan longsor, Abdullah tergerak untuk menghijaukan desanya, Desa Papandangan, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Abdullah mengawalinya dengan menanam 2.000 pohon sengon. Dia tidak berkecil hati meskipun warga sekitar mencibirnya. Maklum, ketika itu warga sibuk membabat hutan untuk menanam cokelat dan cengkeh yang memiliki nilai ekonomis dan masa depan yang lebih tinggi.

Sampai hari ini, Abdullah telah berhasil menghijaukan lebih dari 200 hektar lahan kritis di hutan desanya. Berkat usahanya itu, dia beberapa kali mendapat penghargaan sebagai tokoh penyelamat lingkungan tingkat provinsi dan nasional.

Abdullah mengisahkan, tujuh tahun lalu kondisi Desa Papandangan dan sekitarnya gersang dan gundul. Hutan hanya ditumbuhi alang-alang dan rumput. Ketika musim hujan datang, banjir dan longsor selalu terjadi.

Namun sejak lima tahun terakhir, desa itu tidak pernah lagi kebanjiran. Ribuan pohon yang ditanam Abdullah telah berhasil menahan air. Warga tidak lagi waswas desa mereka bakal diterjang banjir. Suhu udara pun lebih sejuk dan bersahabat.

Berbagai jenis pohon kini tumbuh di hutan desa. Ada pohon durian, mangga, duku, dan berbagai jenis buah lainnya. Belum lagi tanaman pohon lain yang bernilai ekonomis.

Menurut Abdullah, ada sejumlah pengusaha yang menawarkan harga tinggi untuk membeli lahan tersebut. Bagi Abdullah, harga yang ditawarkan cukup fantastis, yakni Rp 400 juta per hektar. Namun, ayah lima anak itu tidak tergoda.

“Pohonnya masih kecil. Nanti kalau yang membeli itu menebang secara serampangan, sia-sia usaha saya menanaminya,” kata Abdullah tentang alasannya menolak menjual lahan itu.

Dia baru mau menjual kayu-kayu itu jika pohonnya sudah cukup umur untuk ditebang, dan dia menggantinya dengan pohon baru. Dengan begitu, katanya, lingkungan tidak rusak.

Lelaki kelahiran 31 Desember 1960 itu bersyukur karena dia kini tidak lagi bekerja sendirian. Warga desa yang semula mencibirnya sudah tertarik mengikuti jejak Abdullah. Mereka malah belajar dari dia dan menanam pohon apa saja di desanya.

“Saya saja sudah tanam 2.000 pohon sengon, 300 pohon nato, 400 pohon jati putih, dan 100 pohon mahoni. Belum lagi kelompok saya yang juga sudah menanam pohon jumlahnya puluhan ribu,” beber Abdullah.

Yang dikeluhkan Abdullah saat ini adalah sulitnya pengadaan bibit pohon. Menurut Abdullah, selain memerlukan kesabaran dan waktu yang lama, membuat bibit pohon kayu siap tanam bukanlah perkara mudah di tengah tingginya permintaan warga desa untuk menanam pohon guna membenahi kerusakan lingkungan di desa masing-masing.

Pada Agustus 2013 lalu, Abdullah dinobatkan sebagai tokoh penyelamat lingkungan tingkat nasional di Bogor, Jawa Barat. Akhir tahun 2013 lalu, Abdullah kembali dianugerahi penghargaan oleh Pemerintah Provinsi Sulbar dan Pemkab Polewali Mandar sebagai tokoh penyelamat lingkungan.

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Mengapa Hujan Tetap Turun Meski Cuaca Dimodifikasi?

Sejak Selasa (14/1/2014), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memulai langkah teknologi modifikasi cuaca untuk mengurangi curah hujan dan mencegah banjir di Jakarta.

Hingga Jumat (17/1/2014), sudah empat hari sejak upaya modifikasi cuaca itu mulai dilakukan. Namun, hujan rupanya tetap turun. Bukan hanya sekadar turun, melainkan juga deras, dan dampak banjir tetap tak terelakkan.

Warga Jakarta lalu bertanya-tanya, dan tecermin di media sosial seperti Twitter. “Katanya modifikasi cuaca tapi kok tetap hujan :P,” begitu kicauan Maharani, salah satu pengguna Twitter. Nah, mengapa? Ada dua kemungkinan, belum optimal atau memang kurang efektif.

Belum optimal
F Heru Widodo, Kepala Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan BPPT, mengatakan, ada dua penjelasan terkait pertanyaan tersebut. Menurut Heru, saat ini memang sedang musim hujan sehingga mau tak mau, hujan memang turun di Jakarta.

Kedua, terkait konsep modifikasi cuaca, Heru mengatakan bahwa prinsip “menghalau hujan” bukanlah menghilangkan hujan sama sekali. “Jakarta tetap akan hujan, tetapi intensitas dan durasinya berkurang. Kalau tidak hujan, nanti kemarau, Jakarta bisa kekeringan,” katanya.

Dengan dua teknologi, yaitu teknologi powder yang dilakukan dengan menebar garam serta teknologi flare atau ground based generator (GBG), teknik modifikasi cuaca diperkirakan bisa mengurangi hujan hingga 35 persen.

Ketiga, terkait dengan keterbatasan. Salah satu kendala yang dialami tim modifikasi cuaca saat ini adalah minimnya jumlah pesawat untuk operasional. “Saat ini kita cuma punya satu pesawat,” kata Heru.

Dengan hanya satu pesawat, frekuensi penebaran awan masih terbatas. Padahal, saat ini wilayah Indonesia diliputi oleh massa uap air yang banyak serta terus bergerak dari wilayah barat menuju Jakarta.

“Dengan tiga pesawat kita bisa terbang lima sampai enam kali sehari ke berbagai lokasi. Bahkan, jika diperlukan, kita bisa gunakan dua pesawat sekaligus di satu lokasi,” ungkap Heru saat dihubungi, hari ini.

Memang kurang efektif
Zadrach, pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), punya pendapat berbeda tentang hujan yang masih turun di Jakarta setelah modifikasi cuaca. Menurutnya, keberhasilan dari teknik modifikasi cuaca memang sulit dipastikan.

“Modifikasi itu kan intinya mencegah awan jatuh ke tempat kita. Kita tebar garam agar awan cepat jadi hujan. Tapi kenyataannya kita tidak bisa mengontrol pergerakan awan,” terangnya.

Zadrach menambahkan, penebaran garam memang mempercepat awan menjadi hujan, tetapi di sisi lain juga memperlama durasi hujan.

“Jadi misalnya, yang harusnya hujan satu jam, karena kita cloud seeding, jadi satu setengah jam. Akhirnya ketika sampai Jakarta masih hujan,” urai Zadrach.

Zadrach sendiri menilai bahwa, selain mahal, efektivitas upaya modifikasi cuaca juga sulit diukur. Di sisi lain, saat ini juga tidak pernah ada studi serius yang benar-benar mengukur efektivitas modifikasi cuaca.

Menurut Zadrach, satu-satunya solusi penanganan banjir adalah mengukur jumlah air yang jatuh ke permukaan dan berupaya mengaturnya. Modifikasi cuaca bukan solusi.

Zadrach juga mengkritik upaya modifikasi cuaca. “Tujuannya apa? Apakah hanya sekadar agar hujan tidak di Jakarta? Bagaimana kalau hujan memang tidak turun di Jakarta, tetapi turun di tempat lain dan mengakibatkan banjir di sana?” tanyanya.

Sumber: NGI/Kompas.com

read more
Ragam

Jakarta Banjir, 92 Persen Wilayahnya “Hutan Beton”

Banjir kali ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali kondisi struktural terkini bahwa ternyata 92 persen wilayah DKI Jakarta sudah dikonversi menjadi “hutan beton”. Dengan kata lain, ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang resapan hanya tersisa 8 persen.

Demikian data yang diungkapkan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, sebagaimana dilansir Kompas.com, Senin (13/1/2014).

Menurut Yayat, kondisi wilayah yang terbangun seluas 92 persen dari total luas wilayah DKI Jakarta 661,52 kilometer persegi patut diwaspadai. Ini artinya, Jakarta memiliki masalah serius mengenai tata ruang. Lahan terbuka terus tergerus dan kian menyusut akibat masifnya pembangunan fisik, terutama sektor properti. Akibatnya, Jakarta tidak mampu menampung air hujan dan luapan air sungai.

“Publik sejatinya sudah mengetahui bahwa masalah utama banjir di Jakarta hanya dua, yakni buruknya kondisi struktural, yakni tata ruang; dan kondisi non-struktural, yakni budaya dan perilaku masyarakat yang tidak kunjung berubah dalam membuang sampah dan kotoran lainnya,” jelas Yayat.

Jakarta, lanjut Yayat, sudah tidak sanggup lagi menampung ledakan penduduk. Tak mengherankan jika daya dukung lingkungan kian hari terus merosot. Pembangunan properti, terutama hunian jangkung (apartemen) dan klaster-klaster tertentu yang dilakukan secara sporadis, telah menggerus ruang terbuka Jakarta guna mengakomodasi permintaan.

Yayat pesimistis, meskipun Jakarta berencana menambah ruang terbuka hijau (RTH) 6 persen hingga 2030, rencana itu tak akan terwujud jika pengendalian tata ruang tidak diimplementasikan dengan baik disertai penegakan aturannya.

Menurut Asisten Sekda Bidang Pembangunan DKI Jakarta Wiriyatmoko, Jakarta harus mengejar target RTH menjadi 30 persen dari luas total wilayah.

“Sekarang baru mencapai hampir 10 persen,” kata Wiriyatmoko, Rabu (11/12/2013), seusai Rapat Paripurna pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta di Gedung DPRD DKI Jakarta.

RTH seluas 30 persen, lanjut Wiriyatmoko, adalah kewajiban Pemprov DKI dan pihak swasta dengan pembagian secara proporsional. Pembagian RTH tersebut yaitu 16 persen di lahan milik pemerintah dan 14 persen di lahan privat. Saat ini RTH Jakarta mendekati 10 persen sehingga harus ditambah lagi sebesar 6 persen.

“Ke depannya, gedung-gedung tinggi hanya diperbolehkan membangun 40 persen lahan yang dimilikinya. Sementara 60 persen sisa lahan diwajibkan untuk RTH,” tandasnya.
Sumber: kompas.com

read more
Tajuk Lingkungan

Nature-Deficit Disorder

Ada wabah penyakit baru yang semakin hari semakin banyak korbannya, penyakit ini adalah apa yang disebut Nature-Deficit Disorder (NDD) atau terjemahan bebasnya ketidak teraturan/kekacauan hubungan atau keterasingan manusia dengan alam sekitarnya. NDD inilah yang membuat manusia kini gagal menerima pesan-pesan dari alam, yang kemudian menyebabkan banjir, krisis pangan, wabah penyakit, kerusakan alam, kelangkaan air bersih dlsb.

Kita hidup di alam dan dari alamlah segala sumber kebutuhan hidup kita, tetapi kita yang hidup di jaman ini rata-rata gagal berkomunikasi dengannya. Seperti hidup bertetangga selama puluhan tahun tetapi kita tidak pernah menyapa tetangga kita, kita tidak tahu kalau tetangga lagi sakit, lagi membutuhkan sesuatu – sampai baru tersadar setelah mereka tidak ada.

Dalam berhubungan dengan alam juga demikian, umumnya penduduk perkotaan yang kini jumlahnya telah melebihi penduduk pedesaan – sangat rentan terhadap penyakit NDD tersebut. Padahal dua belas tahun lagi penduduk perkotaan di Indonesia jumlahnya dua kali lipat dari penduduk yang di desa.

Bayangkan bila 2/3 penduduk negeri ini terserang penyakit NDD – penyakit yang menyebabkan mereka gagal bergaul dengan harmonis dengan alam apalagi mengelolannya – maka bisa dibayangkan dampaknya pada kehidupan kita saat itu.

Lantas apa indikator penyakit NDD ini pada individual atau masyarakat secara keseluruhan ? Indikatornya mirip autism – dia ada disekitar kita tetapi dia asyik dengan dunianya sendiri. Demikian pula NDD ini, kita tahu ada banjir, ada krisis air bersih, ada kekurangan bahan makanan, ada pencemaran udara dlsb. – tetapi kita asyik dengan apa yang kita lakukan sendiri tanpa memperhatikan apa yang kita lakukan ini kaitannya dengan berbagi krisis tersebut.

Bahkan lebih parahnya lagi, kadang pemerintah atau otoritas negeri ini seolah berbuat sesuatu dengan upaya yang besar dan demonstratif – misalnya gerakan menanam 1.5 milyar pohon, tetapi lupa bertanya – apa yang sesungguhnya hendak diatasi dari gerakan yang massif tersebut.

Kalau misalnya saya list secara acak masing-masing kebutuhan kita yaitu : air, makanan, udara bersih, energi, kesehatan, lingkungan, keindahan, penghijauan, bebas banjir dlsb. Kemudian Anda dipersilahkan mengurutkan kembali berdasarkan prioritas kebutuhan Anda seperti apa kira-kira urutannya ?

Lantas perhatikan sekarang dengan tanaman-tanaman 1.5 milyar pohon yang digerakkan untuk ditanam, dan jutaaan tanaman-tanaman yang disediakan pemerintah-pemerintah daerah untuk di tanam di daerahnya. Mana di antara kebutuhan-kebutuhan dalam prioritas tersebut yang akan dipenuhi oleh milyaran pohon yang ditanam ?

Bila ternyata ada korelasi positif antara apa yang dilakukan secara besar-besaran ini dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan hidup kita – maka artinya kita belum terjangkit penyakit NDD. Tetapi sebaliknya, bila tidak ada korelasi antara apa yang kita lakukan secara besar-besaran dengan prioritas kebutuhan hidup kita – maka disitulah bukti penyakit NDD itu telah mewabah.

Lantas pertanyaannya bagaimana kita bisa mengobati penyakit NDD di masyarakat ini ? Sama dengan berbagai penyakit lainnya. Pegangan hidup kita Al-Qur’an dan Al-Hadits memberi panduan yang sempurna untuk kita bisa berhubungan secara harmonis dengan alam – yang didalamnya kita hidup dan tinggal.

Kita ditugaskan untuk memakmurkannya (QS 11:61) dan bukan merusaknya (QS 2: 205). Kita diberi manual mulai dari menangani bumi yang mati (QS 36 :33), sampai mencapai tingkat ultimate kemakmurannya ( QS 34 : 15). Kita diberi tahu tentang pohon-pohon mana yang diunggulkan dalam hal makanan dan disandingkan satu sama lain ( QS 13 : 4), kita diberi tahu mana yang memancarkan mata air ( QS 36 : 34) dan bahkan juga yang menghasilkan energi (QS 36 : 80 ; QS 56 : 71-72).

PetunjukNya itu disertai penjelasan yang detil dan pembeda dengan yang bukan petunjuk atau dengan yang batil (QS 2 : 185), dan petunjukNya  meliputi segala sesuatu ( QS 16 :89). Bahwasanya adanya penyakit NDD atau yang sejenis tersebut juga sudah diingatkanNya, tetapi Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang juga memberikan solusinya.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS 30 : 41).

Gejala-gejala atau symptoms tentang adanya penyakit ini sudah begitu jelas, maka hanya ada satu jalan untuk penyembuhannya yaitu kembali ke jalan yang benar – jalan yang ditunjukkanNya sendiri dalam setiap aspek kehidupan kita.

Negeri-negeri yang penduduknya tidak beriman dan tidak bertakwa, bisa saja mereka terkena penyakit NDD dan tidak tahu cara penyembuhannya. Tetapi negeri-negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa – mereka bisa mencegah penyakit ini, ataupun kalau sudah terlanjur sakit – mereka bisa mencari obatnya. Itulah sebabnya keberkahan hanya berlaku bagi negeri-negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa (QS 7 : 96), mudah-mudahan negeri ini bisa menjadi salah satunya – Amin.[]

Sumber: geraidinar.com

read more
1 2 3 4 5
Page 3 of 5