close

batangtoru

Sains

Babak Baru Perseteruan Konservasi Orangutan Batangtoru

Penulis: Dyna Rochmyaningsih

Organisasi konservasi berbasis di Swiss PanEco melakukan sikap yang dianggap diluar dari kebiasaan bulan lalu. Selama bertahun-tahun, mereka sangat menentang rencana Indonesia membangun dam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sumatera Utara, sebuah proyek yang katanya menjadi ancaman bagi eksistensial tak kurang dari 800 orangutan Tapanuli yang tersisa (Pongo tapanuliensis), spesies yang baru diakui dan berusaha diselamatkan mati-matian oleh PanEco. Tetapi pada tanggal 23 Agustus, organisasi ini mengumumkan kemitraan untuk mengurangi dampak bendungan dengan perusahaan yang membangunnya dan pemerintah Indonesia.

Ahli biologi Regina Frey, pendiri dan presiden PanEco, mengatakan dia hanya membuat yang terbaik dari situasi yang buruk. “Proyek ini menjadi agenda utama pemerintah … dan akan diimplementasikan dalam hal apa pun. Sangat masuk akal untuk mengubah strategi kami, ”kata Frey kepada majalah Science. Orangutan sekarang memiliki pemerintah dan perusahaan “di pihak mereka,” anggota dewan Carel van Schaik, seorang ahli primata di Universitas Zurich di Swiss, menulis dalam sebuah pernyataan.

Tetapi beberapa ilmuwan dan konservasionis merasa dikhianati. Sebuah kelompok internasional bernama Aliansi Para Peneliti dan Pemikir Lingkungan Hidup (ALERT) menyebut kemitraan baru itu “Sebuah kasus klasik dari greenwashing yang agresif,” dan mengatakan PanEco telah ditekan ke dalam perjanjian oleh perusahaan, PT North Sumatra Hydro Energy (PT NSHE) yang berpusat di Jakarta dan pemerintah Indonesia, dengan ancaman kehilangan izin untuk beroperasi di Indonesia.

“Memalukan bahwa PanEco menyerah pada intimidasi perusahaan bendungan,” tulis Mighty Earth, sebuah kelompok konservasi di Washington, D.C. Tekanan serupa juga membuat PanEco memecat dua peneliti asingnya awal tahun ini, kata anggota ALERT.

Namun baik PanEco dan PT NSHE menyangkal ada pengaruh jahat dalam keputusannya. Pembangunan bendungan 510 megawatt, senilai US$1,6 miliar, bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina, dimulai pada 2017. Tetapi lokasinya di ekosistem Batang Toru mengancam habitat orangutan Tapanuli, yang ditemukan pada 1997 oleh konservasionis Belanda Erik eijaard. Dalam sebuah makalah 2017, para peneliti menunjukkan bahwa kera ini cukup berbeda secara morfologis dan genetik dari dua spesies orangutan yang dikenal, Sumatra dan Borneo, sehingga disebut spesies baru. Jalan Raya Trans-Sumatera dan Sungai Batang Toru membagi spesies, yang paling langka dari kera besar, menjadi tiga subpopulasi dari 581, 162, dan 24 individu, kata ahli primata Serge Wich dari Liverpool John Moores University di Inggris.

Peneliti Indonesia yang bekerja sama dengan PT NSHE mengatakan bendungan itu tidak terlalu mengancam. Sebuah survei baru-baru ini oleh para ilmuwan di Fakultas Kehutanan IPB Bogor menyimpulkan bahwa dam akan membanjiri kurang dari 0,1% dari habitat kera sepanjang 1051 kilometer persegi – dan “hanya akan membuat gangguan kecil,” kata dosen senior IPB Haryanto Putro .

Sebuah survei 2018 yang dipimpin oleh Yanto Santosa, juga dari IPB menunjukkan bahwa lebih dari 50% sarang orangutan di konsesi PT NSHE telah ditinggalkan dan hanya 17 kera yang berkeliaran di area itu.

“Ini menunjukkan bahwa lokasi pembangunan bendungan bukan habitat utama Orangutan Tapanuli,” tulis Santosa. Perusahaan juga akan membangun jembatan ramah orangutan untuk menghubungkan subpopulasi, kata Agus Djoko Ismanto, penasihat lingkungan senior PT NSHE, dan akan melakukan tindakan lain seperti menanam pohon buah-buahan sebagai makanan orangutan.

“Jadi kami benar-benar membantu konservasi orangutan,” kata Ismanto, yang mengatakan tim IPB sepenuhnya independen: “Saya tidak pernah memengaruhi pekerjaan mereka.”

Tetapi pendiri ALERT William Laurance dari James Cook University di Cairns, Australia, mengatakan genangan hanya satu masalah. Jalan yang dibuka untuk konstruksi dan pemeliharaan adalah ancaman yang sangat berbahaya karena mereka membuka habitat kera bagi pemburu liar, penebang liar, penambang, dan perambah, ”kata Laurance. Jumlah sarang yang ditingglakan tidak ada artinya, Wich menambahkan. Orangutan sering berpindah-pindah, jadi menemukan setengah dari sarang yang ditinggalkan bukanlah hal yang aneh, katanya.

Pengalaman lebih jauh ke utara di ekosistem Leuser Sumatra menunjukkan bahwa koridor jembatan berfungsi baik untuk kera tetapi tidak untuk orangutan, ia menambahkan, “Mereka tidak menyukai hal-hal baru.” Para ilmuwan ALERT mengatakan pembangunan bendungan harus dibatalkan sama sekali. May menyebut kepergian dua ilmuwan PanEco, keduanya mengkritik blak-blakan pembangunan bendungan: Gabriella Fredriksson dan Graham Usher, yang mendirikan stasiun penelitian orangutan PanEco di Batang Toru pada tahun 2006.

Frey mengatakan keputusan itu dibuat “dengan persetujuan bersama” karena keduanya “menemukan terlalu sulit untuk memulai strategi baru dengan keyakinan penuh. “Tetapi Fredriksson, dalam pesan teks ke Majalah Science, menulis,” Kami telah dipecat dan disimpan dalam kegelapan.”

Beberapa ilmuwan mencurigai adanya hubungan antara keberangkatan dua ilmuan PanEco dan kunjungan ke Frey oleh politisi dan mantan aktivis lingkungan Emmy Hafild — yang mendukung bendungan — dan mantan menteri lingkungan Sonny Keraf.

“Pemahaman kami Hafild mengancam mengancam PanEco atas nama PT NSHE bahwa jika mereka tidak memecat Gabriella dan Graham, akan sangat sulit bagi mereka untuk terus beroperasi di Indonesia,” kata Amanda Hurowitz, direktur program kera besar di Mighty Bumi. “Itu seharusnya tidak terjadi dalam demokrasi,” kata Wich. “Ini benar-benar hari yang gelap untuk konservasi Indonesia.”

Hafild membantah versi peristiwa itu. “Saya hanya mengingatkan mereka tentang konsekuensi jika mereka terus menentang bendungan,” katanya. PanEco diizinkan melakukan penelitian dan konservasi di Indonesia, kata Hafild, tetapi tidak melakukan advokasi.

“Jika staf saya melakukan kampanye yang melanggar perjanjian saya dengan pemerintah Indonesia,” tambahnya, “tentu saja saya akan memecat mereka.” Frey mengatakan pertemuan dengan Hafild, yang katanya adalah teman lama, “sangat ramah. ”

Para ilmuwan mengklaim telah ada bentuk tekanan lain juga. Meijaard mencurigai PT NSHE berada di belakang siaran pers yang bertajuk “Listrik untuk Peradaban,” dari Simanboru, sebuah komunitas Pribumi, yang menuduhnya dan yang lainnya menjalankan “kampanye hitam” untuk mempengaruhi debat dengan argumen palsu.

Dia juga percaya bahwa perusahaan itu memicu protes baru-baru ini di Jakarta untuk menuntut deportasi Fredriksson dan Ian Singleton, ilmuwan PanEco lainnya. Ismanto mengatakan klaim itu tidak berdasar

“Mereka menuduh saya melakukan begitu banyak hal buruk,” katanya. “Mereka hanya mengada-ada.” Dia mempertanyakan peran ilmuwan asing dalam perdebatan, namun: “Indonesia telah merdeka selama beberapa dekade dan orangutan adalah bagian dari kekayaan alam kita,” katanya. “Kami tidak membutuhkan bule untuk melindungi mereka.”

Penulis, Dyna Rochmyaningsih adalah jurnalis sains berbasis di Deli Serdang, Indonesia. Tulisan ini dimuat dalam bahasa Inggris di sciencemag.or

read more
Flora Fauna

PanEco Jalin Kerjasama dengan PLTA Batangtoru Untuk Konservasi Orangutan

Medan – Masyarakat di Kecamatan Sipirok, Marancar dan Batangtoru (Simarboru), Kabupaten Tapanuli Selatan, menyambut positif kerjasama PLTA Batangtoru dengan NGO dari Swiss, PanEco, untuk kegiatan konservasi Orangutan di ekosistem Batangtoru.

Abdul Gani Batubara, tokoh masyarakat di Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, mengatakan, Selasa (27/8/2019), mereka senang dengan informasi kerjasama itu, demi percepatan pembangunan PLTA Batangtoru, sekaligus untuk menyelamatkan Orangutan Tapanuli di daerah mereka.

“Itu berarti pembangunan proyek energi terbarukan PLTA Batangtoru bisa berjalan, dan konservasi Orangutan di daerah kami semakin bagus dan berkelanjutan,” katanya.

Yayasan PanEco yang berpusat di Swiss, dan perusahaan energi PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE), memang telah menjalin kerjasama yang didukung Pemerintah Indonesia untuk mengamankan masa depan Orangutan Tapanuli serta habitatnya di ekosistem Batangtoru Tapanuli, Sumatera Utara.

Salah satu tujuan kerja sama itu adalah menerapkan strategi konservasi yang komprehensif di areal lebih dari 200.000 hektare habitat Orangutan tersebut, melalui suatu pendekatan multi-pihak.

Strategi baru ini akan mencakup pembangunan koridor hutan untuk menghubungkan habitat terfragmentasi, merestorasi hutan bekas tebangan, dan meningkatkan perlindungan kawasan yang saat ini belum dilindungi.

“Di seluruh dunia, ada tren dan tekanan publik kuat untuk mengubah ‘bisnis seperti biasa’ dengan pendekatan pembangunan baru dan lebih berkelanjutan. Kolaborasi ini menawarkan suatu peluang menarik untuk mengembangkan solusi model untuk mencapai tujuan dalam pembangunan berkelanjutan di daerah lain di dunia,” kata Presiden PanEco, Regina Frey, dalam keterangan resmi tertulis yang diterima waspadaaceh, Selasa (27/8/2019).

Sedangkan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno mengatakan, sangat menyambut baik kemitraan baru itu. Dia mengatakan, akan melakukan yang terbaik untuk mendukung sepenuhnya dengan berkontribusi pada solusi masalah administrasi dan teknis.

“Saya menghargai semangat inklusif dari kolaborasi ini, merangkul pemerintah di semua tingkatan, LSM, kelompok masyarakat dan kearifan lokal terhadap lingkungan, termasuk satwa liar, ilmuwan, dan perusahaan melalui pendekatan lintas pemangku kepentingan,” ungkapnya.

Direktur Komunikasi PT NSHE, Firman Taufick mengatakan bahwa kemitraan itu terjadi atas dasar saling pengertian tentang perlunya kerjasama antara sektor bisnis dan berbagai pemangku kepentingan. Firman Taufick menilai hal itu sangat penting untuk menemukan solusi bersama.

Profesor Carel van Schaik, seorang pakar Orangutan dunia yang juga menjabat sebagai anggota dewan PanEco menambahkan, tanpa adanya proyek PLTA baru ini, spesies Orangutan Tapanuli yang hanya tersisa kurang dari 800 individu dalam populasi terfragmentasi, menghadapi masa depan suram.

“Dengan adanya Pemerintah Indonesia dan PT NSHE yang mendukung, kini ada potensi besar untuk mencari strategi konservasi baru yang akan menjamin perlindungannya serta habitat di ekosistem Batangtoru, dalam jangka panjang,” jelasnya.

Seperti diketahui Yayasan PanEco suatu organisasi lingkungan berpusat Swiss, memiliki rekam jejak panjang dalam konservasi alam dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, sejak tahun 1970-an.

Pada tahun 1999, PanEco bekerja sama dengan mitra lokal di Indonesia, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK), membentuk Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP). Penelitian lapangan di Tapanuli Selatan sejak tahun 2000 dalam rangka program ini, menjadi dasar pada tahun 2017 ditemukan spesies baru Orangutan (Pongo tapanuliensis).

Dengan pemikiran tersebut, NSHE dan PanEco memasuki babak baru untuk membangun kemitraan dengan strategi konservasi jangka panjang yang komprehensif demi melindungi ekosistem Batangtoru secara utuh dan masa depan Orangutan Tapanuli.

Untuk tujuan itu, sebuah Nota Kesepahaman (MOU) telah ditandatangani, yang didukung sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia.

Orang Asing Ditantang Masyarakat

Munculnya suara-suara minor dari pihak yang keberatan atas adanya kerjasama antara PanEco dengan PT NSHE terkait konservasi Orangutan dan ekosistem Batangtoru, sebaiknya pihak-pihak yang bersuara miring itu datang menjumpai tokoh adat dan tokoh masyarakat di Simarboru untuk berdiskusi.

Justru tokoh masyarakat mempertanyakan keberadaan orang asing, Glenn, yang mengaku dari Mighty Earth itu. Glenn juga mengaku protesnya terkait pembangunan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Batangtoru, telah mendapat dukungan politisi asing, seperti bekas Dubes Amerika di Indonesia.

“Siapa itu Glenn dan apa dia pernah benar-benar hidup di hutan Batangtoru bersama Orangutan? Apalagi dubes-dubes itu, mana dia kenal Orangutan. Mereka itu orang asing yang mau mengatur negeri ini, jadi harus kita luruskan mereka,” ujar Abdul Gani Batubara, tokoh masyarakat yang baru-baru ini bersama lima orang tokoh adat melakukan aksi demo simpatik di depan Kedutaan Inggris Raya dan Kedutaan Belanda di Jakarta.

Abdul Gani Batubara menantang orang asing yang bernama Glenn dan bekas dubes lainnya, untuk hidup bersama warga mereka dan bersama Orangutan yang sering datang ke kebun mereka, untuk beberapa waktu saja sehingga orang asing itu benar-benar mengenal kehidupan warga dan mengenal Orangutan.

“Mari datang dan hidup bersama kami, baru diskusi soal Orangutan Tapanuli. Mereka saya kira, Tapanuli itu ada di mana saja malah nggak tahu. Silahkan datang dan berdiskusi dengan kami,” lanjut Abdul Gani Batubara didampingi tokoh adat, Edward Siregar, Raja Luat Sipirok gelar Sutan Parlindungan Suangkupon. (sulaiman achmad)

Sumber: waspada.com

read more
Ragam

Menjaga Batang Toru, Menjaga Kehidupan

Tiada lagi kegelapan. Pagi telah datang. Sinar mentari pun tak lagi sungkan menerabas dedaunan yang menghiasi ranting-ranting pepohonan tinggi yang menjulang dengan diameter batang sekira semeter. Udara pun terasa ringan dihirup. Segar tanpa polusi layaknya udara di kota-kota besar yang dihasilkan dari asap kemacetan.

Pagi itu, kedatangan kami tak hanya disambut dengan kesejukan alam hutan tropis Batang Toru. Sambutan meriah justru diberikan melalui alunan suara sejumlah satwa liar, seperti siamang (Symphalangus syndactylus), cuitan beragam jenis burung, hingga vokal ayam hutan yang terdengar melengking dari kejauhan.

Suara-suara itu seakan menjadi harmoni alami tanpa notasi yang kaku dari ekosistem hutan yang lokasinya menghampar di atas 142 hektare wilayah tiga kabupaten di Tapanuli, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah di Provinsi Sumatra Utara. Inilah destinasi alami yang siap menjadi barang langka untuk dijumpai oleh orang kota.

“Kalau siamang biasa melakukan (suara) itu di pagi hari. Biasanya dikenal sebagai morning call. Mereka melakukannya hingga menjelang siang,” kata Arrum Harahap, salah satu staf dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang menjadi pemandu dalam perjalanan menyusuri hutan Batang Toru, belum lama ini.

Siamang merupakan salah satu primata yang umum dijumpai di Sumatra. Satwa ini, kata Arrum, tergolong ke dalam jenis hewan arboreal atau hewan yang aktivitasnya banyak dilakukan di pepohonan. Mereka biasanya hidup secara berkelompok. “Suara-suara itu biasanya menjadi penanda batas wilayah kekuasaan mereka,” jelasnya.

Godaan satwa liar dari penghuni hutan Batang Toru itu seakan menjadi pemuas dahaga di tengah pencarian orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Ya, satwa primata ini telah menjadi primadona baru dari penghuni hutan Batang Toru ini. Utamanya, sejak November 2017 ketika spesies primata ini dipublikasi dan diklaim sebagai spesies baru dalam jajaran orangutan di Indonesia.

Spesies baru

Merujuk hasil riset kolaborasi yang dilakukan YEL, Sumatran Orangutan Conservations Programme (SOCP), PanEco, serta Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), orangutan yang bermukim di Batang Toru ini diklaim berbeda dengan orangutan yang ada di Aceh maupun Kalimantan.

Berdasarkan riset tersebut, dijelaskan, orangutan Tapanuli ini dinyatakan sebagai spesies kera besar terbaru di dunia dan hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru. Tapi, sangat sulit untuk bisa melihat langsung orangutan ini. Hewan ini sifatnya lebih suka menyendiri, berbeda dengan siamang yang terbiasa melakukan morning call ataupun yang terbiasa hidup secara komunal, kata Arrum menjelaskan.

Dan, selama perjalanan sehari menyusuri hutan Batang Toru, sungguh disayangkan kami tidak bisa menjumpai secara langsung penghuni primadona dari rimba di utara Sumatra ini. “Butuh kesabaran dan waktu lama kalau ingin bertemu orangutan,” kata Andayani Ginting, manajer camp research orangutan dari YELSOCP, saat dijumpai di Pandan, Sibolga.

Sejak bergabung dalam penelitian orangutan Tapanuli di Batang Toru pada Maret 2018, Anda, demikian Andayani akrab disapa, bercerita sudah mengalami 115 kali perjumpaan. Dari perjumpaan sebanyak itu, alumnus Fakultas Kehutanan IPB ini mengaku orangutan yang ditemukan itu memiliki rentang usia antara delapan sampai 40 tahun.

Dalam mengukur usia orangutan, kata Anda, umumnya dilihat dari aspek fisik, seperti jenggot, pipi yang berbentuk cipet atau pipi yang melebar. Kalau dia sudah punya jenggot tapi belum punya cipet, bisa diperkirakan umurnya 15-20 tahun. Kalau sudah punya jenggot dan cipet, usianya sekitar 30-40 tahun, katanya.

Berdasarkan data yang dirilis International Union for Conservation (IUCN), orangutan Tapanuli ini tergolong daftar merah yang masuk ke dalam daftar spesies ‘sangat terancam punah’ (critically endangered). Wilayah sebaran orangutan Tapanuli ini, masih merujuk data riset, hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru dengan luasan kurang dari 110 ribu hektare atau kurang dari 0,23 persen luas Pulau Sumatra.

Populasi mereka terpecah ke dalam dua kawasan utama, yakni blok barat dan timur. Lalu, juga ada populasi kecil mereka di Cagar Alam Sibual-buali di sebelah tenggara Blok Barat, kata Dana Tarigan, direktur eksekutif Wahana Lingkungan HIdup Sumatra Utara (Walhi Sumut), saat berbincang di tempat terpisah.

Dana mengatakan, saat ini populasi orangutan Tapanuli terus terancam dengan jumlah yang kurang dari 800 individu. Orangutan Tapanuli ini, kata dia, memiliki kemiripan secara taksonomi, genetika, morfologi, ekologi, serta perilaku dengan orangutan Kalimantan, Pongo pygmaues, dan berbeda dengan orangutan Sumatra, Pongo abelii. Mengapa bisa demikian? Itulah yang masih terus diteliti sama kawan-kawan YEL, katanya.

Dengan kondisi faktual orangutan yang makin terancam keberadaannya, Dana mengajak banyak pihak untuk turut peduli kepada kelangsungan hutan di Batang Toru. Dengan peduli dan menjaga hutan di Batang Toru ini, dia mengaku, sudut pandangnya tidak hanya sebatas mendukung kelestarian orangutan.

Tapi, dengan menjaga hutan Batang Toru maka kita turut melindungi habitatnya yang di dalamnya ada manusia yang bergantung kehidupannya kepada hutan tersebut serta orangutan itu sendiri, katanya [Mohammad Akbar, Redaktur Republika].

Sumber: republika.co.id

read more
Energi

Pembangkit listrik Energi Terbarukan Dapat Melindungi Keanekaragaman Hayati

Mengenakan masker adalah cara pejalan kaki di Jakarta – dan mungkin juga di kota-kota berpolusi tinggi lainnya di dunia – melindungi diri mereka dari gas-gas berbahaya yang menyebabkan polusi udara seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen dioksida dan nitrogen oksida, yang sebagian besar diproduksi oleh kendaraan.

Gas-gas ini merupakan ancaman yang tidak terlihat bagi kehidupan manusia, tetapi penelitian menunjukkan bahwa polusi udara juga memiliki efek buruk pada tanaman dan hewan.

Partikel berbahaya yang dipancarkan dari pembangkit listrik, mobil, dan lokasi pertambangan dengan mudah dibawa ratusan kilometer jauhnya dari sumber aslinya mencemari area alami yang masih asli, ujar Sara Slavikova, salah seorang pendiri greentumble.com, sebuah situs web yang mempromosikan perlindungan dan kelestarian lingkungan.

Slavikova mengatakan Panther Florida yang terancam punah di Taman Nasional Everglades dan tanaman di Taman Nasional Pegunungan Great Smoky, keduanya di Amerika Serikat, sebagai contoh spesies bukan manusia yang terkena dampak. Panther memiliki reproduksi yang buruk karena tingginya kadar merkuri di udara. Partikel logam berat ini diterbangkan ke taman dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan pembakaran sampah di kota-kota terdekat. Daun pada tanaman mengalami karena peningkatan ozon permukaan tanah, yang dihasilkan ketika emisi buatan manusia bercampur.

“Polusi ini sangat memengaruhi fungsi seluruh ekosistem dengan mengurangi kapasitas tanaman untuk menyerap karbon dan menahan air di dalam tubuh mereka,” katanya.

Bagaimana binatang dan tumbuhan liar bisa lepas dari polusi udara?

Mengenakan masker wajah jelas bukan jawaban. Tidak ada cara lain yang efektif selain melacak sumber asli pencemaran dan menerapkan langkah-langkah pencegahan.

Menurut para ahli, aktivitas manusia yang menyebabkan polusi udara termasuk kegiatan rumah tangga, industri dan pertanian, serta transportasi dan limbah. Penyebab utama pencemaran udara dapat bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi seperti yang telah ditemukan oleh para ahli, produksi energi merupakan sumber utama pencemaran udara di banyak negara.

“Pembangkit listrik tenaga batu bara adalah kontributor utama, sementara generator diesel menjadi “tertuduh” di daerah off-grid. Proses industri dan penggunaan pelarut, dalam industri kimia dan pertambangan, juga mencemari udara, ”sebagaimana dikutip dari worldenvironmentday.global.

Program Lingkungan PBB memperingatkan bahwa polusi udara membahayakan planet ini dan semakin berdampak mematikan pada kehidupan, dan menyerukan kepada negara-negara untuk mengambil langkah-langkah untuk mengantarkan masa depan yang lebih hijau, lebih bersih, dan lebih berkelanjutan.

Dengan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati menjadi isu yang semakin mendesak, perhatian internasional telah mulai berfokus pada pengembangan pembangkit listrik.

Ketika energi diproduksi untuk memenuhi permintaan daya yang meningkat, sumber energi terbarukan seperti air sungai adalah solusi yang tepat untuk memerangi polusi udara.

Dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam, yang semuanya merupakan sumber energi tak terbarukan, air adalah sumber energi terbarukan dan lebih bersih serta ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan karbon dioksida (CO2). Ini telah mendorong peningkatan preferensi untuk menggunakan tenaga air untuk menghasilkan energi di banyak negara, termasuk AS dan Cina.

Sebuah laporan dari International Hydropower Association (IHA) mengatakan bahwa kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga air yang terpasang di seluruh dunia meningkat menjadi “1.267 gigawatt (GW) pada 2017, termasuk 153 GW penyimpanan yang dipompa”.

“Selama tahun ini, 21,9 GW kapasitas ditambahkan, termasuk 3,2 GW penyimpanan yang dipompa,” ditulis dalam 2018 Hydropower Status Report-nya, tersedia di hydropower.org.

IHA mengatakan bahwa dengan menghasilkan listrik dari tenaga air alih-alih batu bara, dunia mencegah hingga 4 miliar ton gas rumah kaca dan menghindari kenaikan 10 persen dalam emisi global dari bahan bakar fosil dan industri pada tahun 2017. “Itu juga menghindari 148 juta ton udara partikulat yang berpolusi, 62 juta ton sulfur dioksida, dan 8 juta ton nitrogen oksida tidak terpancarkan, ”katanya.

Semakin banyak pembangkit listrik tenaga air yang dibangun untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, semakin baik bagi lingkungan. Karena pembangkit listrik tenaga air tidak berkontribusi terhadap polusi udara, udara akan menjadi lebih bersih dan kualitas udara akan meningkat untuk memungkinkan tidak hanya orang menghirup udara segar dan sehat, tetapi juga tanaman dan hewan liar untuk berkembang secara alami.

Karena tenaga air bergantung pada air sebagai sumber energi terbarukan, operator pembangkit tenaga air juga harus fokus pada konservasi lingkungan. Jika pembangkit listrik tenaga air dibangun di hutan, pohon-pohonnya harus dilestarikan karena mereka berkontribusi signifikan terhadap sumber air. Deforestasi berkontribusi terhadap berkurangnya curah hujan dan meningkatnya limpasan, yang dapat menguras pasokan air alami. Ini, pada gilirannya, mengancam keberlanjutan catu daya. Singkatnya, melestarikan hutan berkontribusi signifikan untuk mempertahankan pasokan listrik Singkatnya, melestarikan hutan berkontribusi signifikan untuk mempertahankan pasokan listrik, sambil melestarikan habitat alami untuk keanekaragaman hayati spesies tanaman dan hewan endemik.

Pengembangan PLTA Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, telah mengambil langkah nyata dan strategis untuk meningkatkan upaya pengurangan emisi, perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Misalnya, perusahaan menanam pohon untuk memastikan keberlanjutan sumber airnya, terutama untuk memperingati Hari Bumi setiap tahun pada tanggal 22 April. Perusahaan juga melatih staf konservasi untuk melindungi habitat orangutan di hutan konservasi terdekat sesuai dengan kearifan lokal.

Melindungi keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan di dunia mengarah ke ekosistem yang lebih sehat dan lebih produktif dalam hal spesies, habitat, dan keanekaragaman genetik, dan karenanya lebih mampu beradaptasi dengan tantangan seperti perubahan iklim, menurut PBB.

“Kualitas air yang kita minum, makanan yang kita makan, dan udara yang kita hirup semuanya tergantung pada menjaga dunia alami dalam kesehatan yang baik,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. Dia juga menggarisbawahi bahwa keanekaragaman hayati sangat penting untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan dalam mengatasi perubahan iklim.

Ekosistem yang sehat, kata Guterres, “menyediakan 37 persen dari mitigasi yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu global”. Dia juga memperingatkan bahwa tren negatif saat ini dalam keanekaragaman hayati dan ekosistem diproyeksikan akan merusak kemajuan menuju 80 persen dari target SDG. “Kami tidak bisa membiarkan ini terjadi.”

read more
Flora Fauna

Menjelajahi Hutan Batang Toru, Mencari Sosok Orangutan Tapanuli

Tapanuli Selatan – Awal Mei, saya berkesempatan menjelajahi Hutan Batang Toru atau yang lebih dikenal dengan Harangan Tapanuli. Bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), saya menjelajag=hi hutan itu selama 4 hari untuk berjumpa dengan kera besar terlangka: orangutan Tapanuli. Perjalanan bermula dari Desa Es Kalangan II, Tapanuli Tengah, yang kami datangi dengan menggunakan mobil pick-up milik YEL dari kantornya di Kota Pandan, dengan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam melewati jalanan yang belum beraspal dan berliku tajam.

Perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki melewati perkebunan karet dan aren milik warga setempat di perbatasan hutan. Terdapat beberapa persawahan yang dikelilingi bukit kecil di sekitarnya. Hutan Batang Toru adalah bentang hutan yang melintasi tiga kabupaten di Sumatera Utara, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Hutan ini memiliki curah hujan yang tinggi, sehingga jalur penelusuran yang perlu dilintasi sangat sulit untuk dilalui, terutama karena sifatnya yang basah, dipenuhi lumpur dan tanah liat.

Medan yang dilintasi juga terbilang terjal dan menanjak, meski bukan berupa gunung. Kami sangat tertolong dengan keberadaan para porter perkasa yang bertugas untuk membawakan barang keluar-masuk hutan. Mereka sanggup membawa barang seberat 30 kg sambil berjalan menembus hutan dengan sangat cepat, sembari sesekali menenggak tuak yang mereka bawa dari desa tempat mereka tinggal.

Sepanjang perjalanan, saya sesekali berhenti untuk menghela napas, mengisi air minum di mata air terdekat, dan membersihkan sepatu boots karet dari lumpur yang menempel. Meski sebelumnya terbiasa memasuki hutan, namun medan ini saya kira membutuhkan stamina lebih dan persiapan fisik yang matang untuk ditaklukkan. Baca juga: Orangutan Tapanuli Perlu Dilindungi, Mengapa? Untungnya di dalam hutan terdapat spot yang cukup landai, yaitu spot penjaringan dan meranti, yang menjadi lokasi kami menghabiskan makan siang dan beristirahat sejenak.

Hutan seluas kurang lebih 150.000 hektar ini menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar terlangka yang baru diresmikan sebagai spesies baru pada tahun 2017 lalu. Induk dan anakan orangutan tapanuli yang dijumpai di sekitar camp. Selain orangutan, terdapat banyak hewan lain yang juga tercatat sebagai spesies rentan dalam daftar IUCN, antara lain harimau sumatera, tapir, trenggiling, gibbon, siamang, binturong, beruang malaya, dan lain-lain.

Kamp Mayang Setelah menghasbiskan enam jam berjalan kaki dari desa, sampailah kami di Camp Mayang. Kamp yang berlokasi di tengah hutan ini merupakan stasiun monitoring yang dikelola oleh YEL dan SOCP. Kamp yang didirikan sejak tahun 2006 ini terdiri dari lima bangunan pondokan tripleks, ditutupi daun rumbia kering dan terpal berwarna biru. Salah satu pondokannya digunakan sebagai ruang rapat dan koordinasi. Terdapat pula dapur umum serta dua bilik di tepi sungai yang dipergunakan sebagai ruangan mandi dan toilet.

Di kamp ini, peneliti melakukan monitoring orangutan tapanuli, pemantauan fauna via camera trap, pengamatan fenologi (pengamatan pengaruh ilkim dan lingkungan), serta pemetaan melalui pengindraan jauh. “Pengamatan orangutan yang dilakukan disini termasuk perilakunya, khususnya induk dan anaknya”, ujar Sheila Kharismadewi Silitonga, Koordinator Riset Camp Mayang.

Monitoring orangutan dilakukan dengan mengikuti individu yang sebelumnya sudah pernah ditemui. Diantaranya, terdapat beberapa yang sangat sering dijumpai dan bahkan diberi nama khusus, seperti Betta, Bintang, dan Pixel. Pada pagi hari, suasana camp diwarnai oleh lulungan dan teriakan berbagai primata, termasuk gibbon dan siamang. Bahkan suara panggilan orangutan pun sayup-sayup dapat terdengar. “Orangutan pernah ada yang bersarang di sekitar camp, tapi itu pun tidak lama dan sekarang jarang keliatan di sekitar sini”, tambahnya.

Di hutan, saya menanti kesempatan untuk bertemu orangutan langka itu. Ketika ada ranting pohon yang bergoyang dan menimbulkan suara keras, saya menengadah dan mencari-cari wajah sang orangutan dengan binokuler. Sayang, berhari-hari mencari, saya tidak menemukan satu pun orangutan Tapanuli. Begitu pula primata lainnya, seperti siamang dan gibbon, meski suaranya dapat saya dengar dari kejauhan. Peneliti mengungkapkan, primata yang hidup di pepohonan dengan ketinggian hingga 15 meter itu bisa mudah dijumpai saat musim buah. Saat saya datang, musim buah sudah lewat sehingga orangutan pun sulit dijumpai

Saya mengikuti tim peneliti melakukan monitoring. Sayangnya, dalam kegiatan itu, saya juga tak bertemu dengan orangutan Tapanuli. Saya harus puas mendengarkan suaranya saja setiap pagi.

Pesona Air Terjun Bulu Boltak
Harangan Tapanuli juga memiliki banyak spesies flora langka, misalnya Balanophora, tumbuhan parasit yang belum banyak dipelajari, serta berbagai buah-buahan hutan.

Tidak jauh dari lokasi Camp Mayang, terdapat Air Terjun Bulu Boltak. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 20 meter, dan mengisi sebuah kolam air berkedalaman sekitar 12 meter di bawahnya.

Area sekitar air terjun dikelilingi oleh batuan berlumut yang licin dan dikerumuni hamparan tumbuhan pakis liar. Saya beberapa kali terpeleset, meski sudah sangat berhati-hati.

Staf Pengindraan Yayasan Ekosistem Lestari, Jhon Ferry Manurung, mengatakan bahwa Air Terjun Bulu Boltak merupakan salah satu pemasok cadangan air untuk PLTA Sihaporas. Akses menuju air terjun ini dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari camp.

Meski berjarak relatif dekat, namun jalur menuju air terjun sangat sulit dilalui dengan kemiringan lereng yang terbilang curam, dilengkapi oleh perakaran pohon yang membelit, batuan kecil yang tajam, serta tekstur tanah liat yang lengket dan licin.

Kondisi ini turut berperan dalam menjaga kondisi air terjun agar tetap asri dan tidak banyak terjamah manusia.

Lingkungan hutan yang terjaga dengan baik salah satunya disebabkan oleh perilaku masyarakat sekitar yang menjaga hutan tersebut.

Masyarakat Desa Es Kalangan II kebanyakan mengandalkan perkebunan karet, kopi, coklat dan aren sebagai bahan dasar tuak sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian lagi juga menanam padi untuk keperluan konsumsi pribadi.

Beberapa penduduk juga memiliki kebun buah, terutama mangga dan durian, yang mereka pasarkan ke kota terdekat, seperti Pandan dan Sibolga. Mereka mengandalkan aliran sungai-sungai kecil di sekitar hutan untuk irigasi perkebunan yang mereka miliki.

Selain itu, terdapat ikatan emosional tersendiri dengan hutan Batang Toru, yang menghubungkan desa mereka dengan Tapanuli Utara, yang menurut penuturan mereka sendiri, merupakan tanah leluhur mereka sejak sebelum masuknya koloni Belanda.

“Ada tugu (patok) batunya itu, dulu hutan ini masuk kawasan Tapteng, dari nenek moyang dulu-dulu,” ujar Bang Gabe, warga desa yang juga menjadi porter pembawa barang untuk YEL.

Pria humoris yang akrab disapa Ayah Lena ini juga menuturkan bahwa jika hutan terganggu, maka masyarakat setempatlah yang bertanggung jawab atasnya, dan akan mendapat gangguan balasan dari alam.

“Kalau harimau sampai masuk ke desa-desa ini, artinya ada warga yang punya dosa, berbuat kesalahan apa itu dia, jadi harimau pun minta tumbal,” tutupnya.[]

Sumber: kompas.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Proyek PLTA Batangtoru Munculkan Ancaman Kerusakan Lingkungan

Medan – Ekosistem Batangtoru di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) diprediksi banyak aktivis lingkungan dan para ahli baik dari dalam maupun luar negeri, ke depan bakal menghadapi ancaman kerusakan serius. Setelah diobrak-abrik perusahaan tambang dan aktivitas illegal logging, saat ini kawasan seluas 168.658 hektare (ha) tersebut dihadapkan dengan ancaman proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang sumber baku utamanya menggunakan air Sungai Batangtoru, di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tak hanya itu, warga lokal yang menentang pembangunan PLTA dan bendungan senilai USD1,6 miliar tersebut, semakin meluas menurut laporan dari sebuah misi pencarian fakta. Banyak dari masyarakat yang awalnya mendukung, kini bergabung dengan penentang lama dari kelompok lingkungan lokal dan internasional. Mereka bersatu menyerukan agar proyek yang didanai oleh Tiongkok tersebut, dihentikan.

Meski ditentang keras, namun North Sumatera Hydro Energy (NHSE) selaku pengembang proyek masih kukuh untuk menyelesaikan proyek pada 2022 seperti yang direncanakan. Sikap tak acuh perusahaan menyusul penolakan yang baru-baru ini dikeluarkan pengadilan Sumut atas gugatan yang dilayangkan oleh Walhi terkait proyek ini. Di mana, dalam gugatannya LSM lingkungan terbesar di Indonesia ini menentang pemerintah daerah karena mengabaikan bahaya lingkungan ketika mengeluarkan izin untuk proyek, dan telah menimbulkan kecemasan serius bagi penduduk setempat.

“Saya tidak ikut dalam addendum Amdal 2016,” tegas Onrizal dalam diskusi sekaligus konferensi pers di hadapan sejumlah wartawan lokal dan dari Jakarta, yang digagas Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Koalisi Penyelamatan Orangutan, di Hotel Wisata Indah Sibolga, Sumut, Selasa (30/4).

Selain Onrizal, hadir juga narasumber lainnya, yakni Hardi Baktiantoro (Founder & Principal Center for Orangutan Protection/COP), Panut Hadiswoyo (Founding Director – OIC), Puji Rianti (Peneliti dari Institut Pertanian Bogor/IPB), dan Burhanuddin (Manager Area Batangtoru Yayasan Ekosistem Lestari/YEL) serta tim dari YEL dan Sumatera Orangutan Conservation Program (SOCP).

Onrizal mengaku, dirinya memang pernah dilibatkan sebagai tim ahli untuk penyusunan Amdal mengenai izin PLTA Batangtoru. Namun keterlibatannya tersebut hanya untuk Amdal yang disahkan pada 2014. Setelah Amdal tersebut disahkan, Onrizal meyakinkan dirinya tidak pernah terlibat lagi. “Namun ternyata saya baru tau ada addendum Amdal 2016, dan nama saya dicatut di dalamnya termasuk tandatangan saya. Makanya saya keberatan,” ujarnya.

Keberatan Onrizal tentu bukan tanpa alasan, terlebih dalam dokumen amdal 2016 tak menyebutkan apapun tentang Orangutan atau harimau. Sementara dalam dokumen amdal 2014, yang dia tahu menyebutkan kedua spesies itu. “Sudah jelas orangutan bukan satu-satunya spesies terancam punah, ada juga harimau Sumatera di sana. Dokumen amdal yang baru tak mencantumkan orangutan atau harimau. Ada juga spesies yang dilindungi lain hilang [dari dokumen baru],” tegas Onrizal.

Onrizal sendiri bersama Walhi telah mengajukan laporan kepada Kepolisian Sumut sebanyak tiga kali atas tuduhan pemalsuan tanda tangan, tetapi polisi menolak. Alasan pertama penolakan, karena polisi memerlukan surat kuasa untuk memproses laporan. Kedua kali, polisi mengatakan, Onrizal perlu mengajukan laporan langsung, sebagai pihak pengadu. Ketiga kali, Onrizal mengajukan laporan langsung, tetapi polisi mengatakan mereka perlu amdal asli dan bukan salinan, serta bukti tanda tangan palsu untuk mendapatkan izin lingkungan.

“Itu tidak mungkin karena bukan saya yang membuat dokumen amdal terbaru. Tugas polisi mencari bukti. Alih-alih, kami disuruh mencari bukti dan dokumen asli sendiri,” kata Onrizal.

Perkembangan hukum atas kasus pemalsuan tandatangan dokumen Amdal untuk syarat pembangunan PLTA Batangtoru telah membawa dorongan baru yang kontroversial, dengan banyaknya penduduk setempat sekarang yang bergabung dengan koalisi penentang proyek. Mereka mengintensifkan upaya untuk membujuk pemerintah Indonesia dan mitranya dari Tiongkok, maupun mitranya dari Indonesia untuk menghentikan proyek.

Masuk ke dalam kontroversi, awal bulan ini The International Union for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah dan badan ahli masyarakat sipil terkemuka dalam konservasi spesies, secara terbuka menyerukan moratorium pada semua proyek yang berdampak pada “Orangutan Tapanuli yang terancam punah.” Pesan tersebut secara khusus ditujukan untuk mendesak penghentian proyek NSHE.

Sumber: sindonews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

PLTA Batang Toru Mengancam Keberadaan Orangutan dan Rusak Ekosistem

Medan – Pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dikhawatirkan mengancam spesies orang utan punah.

Melalui siaran persnya, Rabu (1/5/2019), Manager Harian Program Batang Toru Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Burhanuddin menyebutkan, pembangunan PLTA Batang Toru dapat mengancam ekosistem serta keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang ada di Batang Toru.

Pembangunan PLTA Batang Toru sendiri berkapasitas 510 Mega Watt (MW) yang bernilai Rp21 triliun, diakui Burhanuddin bisa mengakibatkan koridor atau perlintasan spesies langka orang utan dari blok Barat ke blok Timur dan blok Selatan terputus.

“Terputusnya koridor ini dikhawatirkan mengancam populasi dan perkembangbiakan orang utan yang diperkirakan jumlahnya mencapai 800 ekor,” tambahnya.

Lebih lanjut Burhanuddin menjelaskan, ancaman lain dari pembangunan PLTA Batang Toru adalah rusaknya ekosistem Batang Toru yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna langka seperti raflesia sp, kawasan hutan, harimau Sumatera, tapir, rangkong bertanduk, dan masih banyak lainnya.

“Bendungan PLTA berada dekat dengan daerah patahan tektonik dan apabila gempa dikhawatirkan kawasan sekitar terancam banjir yang berakibat fatal bagi kehidupan baik manusia maupun satwa liar di daerah tersebut,” ujarnya.

YEL mengaku peduli terhadap lingkungan dan apa yang mereka perjuangkan tersebut bukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tetapi semata untuk kepentingan semua pihak.

Sumber: news.trubus.id

read more
Flora Fauna

YEL : Tak Ada Kerjasama dengan NGO Terkait Penyelamatan Orangutan Batangtoru

Medan – Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) menyebut pihaknya melaksanakan aksi penyelamatan Orangutan di wilayah Batangtoru tanpa melibatkan atau kerjasama dengan NGO lain. Hal ini ditegaskan Staf Komunikasi YEL, Suryadi saat ditemui di Kantor YEL Jalan KH Wahid Hasyim, Senin (15/4/2019) sore.

Mengenai aksi penyelamatan orangutan ini, sebut Suryadi, konservasi orangutan yang dilakukan mereka khususnya di daerah Tapanuli, sebenarnya penelitian ini sudah lama dilakukan.

“Kalau kita spesifiknya bergerak di penelitian orangutan. Kalau YEL sendiri, kita ngasih tahu kalau secara ilmiah orangutan di sana diperkirakan lebih kurang sekitar 800 individu, misalkan kayak gitu. Terus yang terbagi dalam blok barat dan blok timur. Dengan sendirinya IUCN sudah membuat (pernyataan) itu terancam punah dan sebagai spesies baru juga sudah diumumkan di Kemen LHK,” bilang pria yang akrab disapa Adi itu.

YEL sendiri masih berfokus dalam melakukan riset. Bahkan mereka terus memantau pergerakan orangutan di sana sekaitan dengan berdirinya stasiun riset YEL di Batangtoru.

“Tapi kalau kegiatan buat petisi, kita sendiri gak pernah ya. Kita hanya menginformasikan saja. Ini ada orangutan, keadaannya seperti ini, kemungkinan untuk menjadi punah misalkan begitu (karena) ini salah satu kebanggannya Sumatera Utara, ancaman-ancamannya, mungkin itu salah satu, pembangunan PLTA itu bisa jadi salah satu ancamannya di luar penebangan-penebangan hutan ataupun pengrusakan hutan,” jelasnya.

Begitupun, dirinya tidak bisa memberikan komentar soal setuju atau tidaknya adanya pembangunan PLTA Batangtoru.

“Kalau statement itu bukan posisi saya untuk menjawab itu. Tapi pada prinsipnya kita yayasan konservasi dan saya bilang di awal tadi, ya kita hanya informasikan ada orangutan Tapanuli yang layak dilindungi. Alasannya kenapa? Karena orangutan itu, manusia membutuhkan orangutan. Dalam artian, untuk menjaga keseimbangan lingkungannya,” tukasnya.

Dirinya menjelaskan, dengan kondisi alam yang terfragmentasi itu, itu bisa terancam punah kalau adanya ancaman-ancaman seperti adanya pengrusakan hutan, bisa jadi karena ulah manusia itu juga.

Adi juga menuturkan, aksi penyelamatan orangutan ini dilakukan YEL tanpa ada kerjasama dengan NGO lainnya.

“Kalau kerjasama sepanjang yang saya ketahui gak ada, tapi kalau sama-sama kerja, ada mungkin. Jadi, kan ada banyak NGO yang banyak cara tujuannya masing-masing, dalam artian ini sama-sama untuk pelestarian orangutan. Sepanjang yang saya ketahui, YEL gak ada kerjasama khusus dengan NGO lain,” ungkapnya.

Dirinya juga tidak bisa menjawab soal akankah ada hubungan kerjasama dengan NGO lain untuk bersama-sama melakukan aksi penyelamatan ekosistem dan orangutan.

“Kalau itu yang menjadi pertanyaan, saya pikir bukan porsi saya menjawab itu,” jawabnya.

Seperti yang dikutip dari www.neraca.co.id, PLTA Batang Toru merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional‎ Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke luar Pulau Jawa. Proyek ini menggunakan energi baru terbarukan yang menjadi perhatian utama Presiden Jokowi dan Wapres Kalla berkaitan mengantisipasi perubahan iklim.

Pembangkit berteknologi canggih ini didesain irit lahan dengan hanya memanfaatkan badan sungai seluas 24 hektare (ha) dan lahan tambahan di lereng yang sangat curam seluas 66 ha sebagai kolam harian untuk menampung air. PLTA Batang Toru sangat efisien dalam penggunaan lahan, terutama jika dibandingkan dengan Waduk Jatiluhur di Jawa Barat yang membutuhkan bendungan seluas 8.300 Ha untuk membangkitkan tenaga listrik berkapasitas 158 MW.[]

Sumber: gosumut.com

read more