close

energi

Energi

Indonesia Harus Fokus Kembangkan Energi Surya Secara Efisien

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi surya sebagai energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pemerintah perlu fokus pada upaya mengembangkan sel surya komponen panel surya dengan efisiensi tinggi. Serta merencakan kebijakan yang mendukung aplikasinya.

Rosari Saleh, dosen dan peneliti sel surya di Universitas Indonesia mengungkapkan hal itu dalam perbincangan dengan Kompas.com usai kuliah inagurasi sebagai anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rabu (20/11).

Menurut Rosari, untuk mengembangkan sel surya dengan efisiensi tinggi, Indonesia bisa melakukan dengan mengimpor produk negara maju yang punya efisiensi tinggi serta memproduksi barang dengan kualitas yang sama di dalam negeri. “Tiru gaya Cina saja,” cetus Rosari.

Pada saat yang sama, pemerintah bisa mendukung peneliti untuk mengembangkan produk sel surya yang diimpor sehingga memiliki efisiensi lebih tinggi. Langkah tersebut lebih efektif daripada harus memulai mengembangkan sel surya dari nol.

“Untuk produksi, saya yakin sumber daya manusia kita sudah bisa. Mahasiswa-mahasiswa kita bahkan sudah bisa karena pada dasarnya mereka sudah memahami komponen sel surya dan cara kerjanya,” jelas Rosari.

Panel surya yang telah dihasilkan bisa dijual kepada masyarakat. Namun agar terserap dan masyarakat bisa memakainya, perlu dukungan pemerintah dalam memberikan subsidi pembelian sel surya.

“Agar masyarakat bisa membeli panel surya dengan harga lebih murah,” katanya.

Mekanismenya, pemerintah bisa memberi subsidi perusahaan yang telah menghasilkan sel surya saat ini. Dengan demikian, harga jual sel surya lebih murah. “Misalnya masyarakat beli dengan tiga perempat harga sebenarnya, seperempatnya disubsidi pemerintah,” ujarnya.

Rosari mengatakan, efisiensi sel surya memang saat ini masih rendah. Namun, aplikasinya untuk memanen tenaga surya yang melimpah perlu dimulai saat ini. Walaupun efisiensi masih rendah, jumlah energi yang bisa dihemat besar.

“Memang efisiensinya rendah. Taruhlah efisiensinya cuma 10 persen, tetapi kalau dipakai banyak orang, kita bisa hemat kebutuhan energi kita sampai tahun 2050. Kita tidak pusing lagi dengan harga minyak,” jelasnya.

Rosari mengatakan, energi surya adalah salah satu cara untuk mewujudkan otonomi energi, dimana masyarakat mampu menghasilkan energi untuk kebutuhannya.

Pengembangan surya sebagai energi terbarukan adalah keharusan. Indonesia terletak di khatulistiwa dengan energi surya yang melimpah namun belum banyak dimanfaatkan. Sementara, Indonesia sudah tidak bisa lagi bergantung pada minyak.

Sumber: KOMPAS.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Kelompok Masyarakat Sipil Menentang Solusi Batubara Bersih

Masyarakat sipil Indonesia menyayangkan KTT Perubahan Iklim COP-19 sedang berlangsung di Warsawa, Polandia, karena konferensi tersebut menjadi arena cuci tangan sejumlah negara supaya dapat terus mengandalkan batubara untuk pembangunan.

Pemerintah Polandia menggalang dukungan eksploitasi batubara, melalui Konferensi Batubara, yang berlangsung di sela-sela KTT Perubahan Iklim. Pemerintah Polandia mengatakan negosiasi mesti terus bergerak dan maju,  dan pada saat yang sama Rekomendasi Konferensi Batubara tersebut adalah batubara bersih (clean coal energy).

Batubara bersih upaya aplikasi pengembangan pembangkit listrik dari batubara yang diklaim sangat efisien, dengan menggunakan Supercritical Boiler dan Ultra Supercritical Boiler. Kedua teknologi tersebut telah dipropagandakan di banyak negara salah satunya Indonesia. Para pendukungnya mengatakan teknologi ini telah dipergunakan di ladang-ladang minyak dan gas lepas pantai.

Koordinator Nasional Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI) Mida Saragih, menegaskan negara-negara khususnya Pemerintah Polandia perlu memahami pentingnya perwujudan keselamatan manusia, utamanya di negara-negara sumber produksi batubara seperti Indonesia. Kontribusi emisi karbon dari tambang batubara semestinya membuka mata Polandia dan negara-negara lainnya untuk mengurangi, bahkan menyetop pemanfaatan batubara. Untuk perwujudan keselamatan manusia, mereka tidak semestinya mengundang dan bekerjasama dengan negara-negara serta perusahaan asing, terlebih untuk terus menerus mengeksploitasi bahan bakar fosil.

Sementara koordinator JATAM, Hendrik Siregar, biaya dari batubara dari hulu ke hilir sangat mahal terhadap manusia dan lingkungan yang belum tentu setiap negara mampu mengantisipasi resiko yang begitu mahal diakibat oleh sumber energi kotor dari batubara.

Delegasi masyarakat dari negara-negara ASEAN, plus dari India, China, dan Bolivia yang bertemu di Bangkok dalam Forum Equitable and Low Carbon Society, pada tanggal 18-19 November 2013—juga menentang solusi palsu batubara bersih, karena tidak menjawab akar persoalan.

Pasalnya, pilihan dari penanganan perubahan iklim global saat ini hanya ada dua, pertama kesungguhan negara-negara untuk menurunkan emisi karbon dan kedua, membangun kapasitas untuk menjalankan adaptasi dan mitigasi yang merujuk pada prinsip keadilan.[]

Sumber: jatam.org

read more
Energi

Indonesia Dapat Dana untuk Sektor Transportasi Berkelanjutan

Disela-sela Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-19 dari Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Warsawa, Polandia, Delegasi Republik Indonesia mendapatkan kabar gembira. Proposal untuk pelaksanaan sistem transportasi kota yang berkelanjutan sebagai bentuk penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (Sustainable Urban Transport Initiative – Nationally Appropriate Mitigation Action / SUTRI NAMA) yang disampaikan oleh Kementerian Perhubungan telah disetujui untuk mendapatkan pendanaan di bawah NAMAs Facility dari Pemerintah Inggris dan Pemerintah Jerman.

NAMAs Facility adalah pendanaan yang diberikan kepada negara berkembang untuk mendukung pelaksanaan kegiatan yang diusulkan menjadi aksi mitigasi di bawah NAMAs oleh negara berkembang yang bersangkutan.

Proposal dari Indonesia yang dikenal sebagai SUTRI NAMA ini disetujui untuk didanai bersama dengan proposal NAMAs dari Chile, Kosta Rika dan Kolombia dari 43 proposal NAMAs yang diajukan.

“Indonesia bersama dengan Kolombia menjadi negara pertama yang mendapat support dari dunia internasional untuk kegiatan transportasi. Ini menjadi bukti bahwa dunia internasional menghargai usaha mitigasi Indonesia di sektor transportasi,” ujar Wendy Aritenang, Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Lingkungan.

Wendy Aritenang mewakili Delegasi Republik Indonesia memaparkan SUTRI NAMA bersama dengan program NAMAs terpilih lainnya dalam side event Uni Eropa bertajuk “Financing the Implementation of Transformational NAMAs through Europe Union NAMA Facility” pada akhir minggu kemarin.

Sektor transportasi menyumbang hingga 23 persen emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2005 berdasarkan data dalam Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), selain itu hingga 90 persen dari konsumsi energi nasional terjadi di transportasi darat yang didominasi oleh kendaraan pribadi. Oleh karena itu, pengembangan sistem transportasi massal menjadi pilihan aksi mitigasi nasional yang memiliki manfaat ganda yaitu mengurangi kemacetan, mengurangi konsumsi BBM yang pada glirannya akan mengurangi subsidi energi.

Kementerian Perhubungan telah membuat rancangan makro (grand design) yang memasukkan transportasi massal sebagai kerangka kerja transportasi urban nasional dalam lingkup NAMAs. Kerangka kerja transportasi tersebut juga masuk dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

Program SUTRI NAMA ini akan dilakukan di tiga kota percontohan yaitu Medan, Menado dan Batam, dan diharapkan nantinya bakal diterapkan di berbagai kota besar di Indonesia.

Wakil dari UK-Germany NAMAs Facility, Norbert Goriβen mengatakan bahwa pelaksanaan SUTRI NAMA relatif sederhana, namum memberikan dampak penurunan emisi GRK yang besar “Kami melihat komitmen yang kuat dari Kementerian Perhubungan untuk mengubah sistem transportasi yang akan berpengaruh terhadap kota dan kehidupan masyarakat di kota tersebut,” kata Goriβen yang merupakan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Jerman.[rel]

read more
Energi

Biofuel Bisa Picu Penggundulan Hutan

Seperti dilansir Softpedia (14/11), dalam sebuah makalah baru dalam jurnal Environmental Research Letters, peneliti dari University of California, mengatakan bahwa biofuel berpotensi menyebabkan lebih banyak kerusakan lingkungan daripada yang diakibatkan bahan bakar fosil. Menurut penyelidikan para ilmuwan dari universitas tersebut produksi biofuel secara massal akan membuat laju deforestasi tak terkendali untuk menyediakan bahan mentah industri biofuel.

Lebih tepatnya, mereka berpendapat bahwa, biofuel dapat membuat jutaan hektar hutan di Brasil lebih cepat gundul dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang ditujukan baik untuk makanan atau untuk biofuel.

Selain itu, akibat lain dari hilangnya hutan yang menjadi paru-paru dunia ini akan membuat emisi karbon dioksida dilepas ke udara tanpa diserap pepohonan dan menyebabkan manusia dan alam akan lebih menderita oleh pemanasan global.

Untuk menyelidiki bagaimana deforestasi yang disebabkan penggunaan biofuel secara masal akan mempengaruhi lingkungan, para peneliti telah membuat skenario mengenai potensi perkembangan di wilayah hutan hujan Brasil. Para ilmuwan memutuskan bahwa investigasi mereka harus fokus pada Brasil karena fakta bahwa, selama beberapa tahun terakhir, negara ini berminat dalam memproduksi bahan bakar biodiesel.

Skenario ini dibuat sebagai bagian dari studi yang mengonversi sekitar 22,5 juta hektar lahan menjadi perkebunan kelapa sawit untuk menghasilkan 29 miliar galon biodiesel.

Para peneliti juga mengkalkulasi berapa banyak tanah yang berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dari hutan hujan yang dibersihkan secara khusus untuk tujuan tersebut.

Dari skenario tersebut, diketahui jika orang-orang di industri kelapa sawit memilih untuk membuka hutan untuk mendirikan perkebunan baru, maka jumlah total emisi karbon terkait dengan proses pengolahan biodiesel mulai dari produksi hingga hasil akhir akan sama dengan yang dihasilkan bahan bakar fosil, bahkan mungkin melampaui emisi bahan bakar fosil.

“Jika pemerintah Brasil tetap melanjutkan kebijakan yang mendorong konversi lahan sensitif seperti hutan mereka, maka mereka juga harus mempertimbangkan konsekuensi terkait kebijakan mengurangi kerusakan permanen pada lingkungan,” kata Dr Sonia Yeh, penulis dari proyek penelitian ini.

Sumber: merdeka.com

read more
Energi

Subsidi BBM Enam Kali Lipat dari Subsidi Energi Terbarukan

Taifun Haiyan baru saja memporakporandakan Filipina. Korban jiwa diperkirakan mencapai puluhan ribu orang. Hampir tidak ada bangunan di lokasi bencana yang selamat. Kota-kota yang diterjang topan Haiyan bagaikan tempat pembuangan sampah raksasa. Sisa bangunan, peralatan rumah tangga hingga mobil berserakan, bagai mainan anak-anak.

Saat bencana melanda, terkadang kita lupa bertanya, apa penyebabnya. Konsensus ilmiah mengenai pemanasan global telah tercapai. IPCC juga telah menegaskan bahwa manusia adalah pemicu pemanasan global dan perubahan iklim. Krisis iklim inilah yang telah memicu cuaca ekstrem seperti yang terjadi di Filipina. Bahkan tahun lalu konsentrasi emisi gas rumah kaca telah mencetak rekor baru.

Namun upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terkendala oleh ketergantungan (addiction) negara terhadap bahan bakar fosil, bahkan ketika mereka sudah mengetahui – melalui bukti-bukti ilmiah – bahwa pembakaran bahan bakar fosil adalah penyumbang utama emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.

Bukti ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil ini adalah besarnya fasilitas subsidi yang diberikan terhadap bahan bakar fosil. Yang mengerdilkan upaya mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim, menguras anggaran belanja pemerintah sekaligus mencabut nyawa, merusak iklim dan lingkungan sekitar. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Time to change the game” yang dirilis oleh Overseas Development Institute (ODI), Kamis, (7/11/2013).

Subsidi bahan bakar fosil juga gagal dinikmati oleh mereka yang paling memerlukan yaitu masyarakat miskin. Sehingga memangkas subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan skenario yang saling menguntungkan bagi iklim dan anggaran negara. Aksi ini juga akan menekan kenaikan emisi, mengundang investasi serta mengurangi tekanan pada kebutuhan pendanaan pemerintah.

Menurut data International Energy Agency (IEA) terakhir, subsidi untuk produsen bahan bakar fosil jumlahnya mencapai $523 miliar pada 2011. Jumlah ini hanyalah satu bagian kecil dukungan pemerintah untuk aktivitas yang mengeksploitasi sumber daya alam yang nilainya mencapai $1 triliun.

Data IEA menyatakan, setiap $1 yang dikeluarkan untuk mendukung energi terbarukan, pemerintah memberikan subsidi untuk energi fosil sebesar $6. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memerkirakan, setiap negara anggotanya menghabiskan dana $55-90 miliar per tahun dalam berbagai bentuk subsidi bahan bakar fosil.

Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen untuk mencegah krisis iklim yang destruktif seperti di Filipina dan mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2 derajat Celcius, tidak ada jalan lain selain membuat mereka yang mengeluarkan emisi karbon membayar lebih mahal dan menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk dipakai bagi kepentingan yang lebih tepat sasaran.

Sumber: hijauku.com

read more
Sains

Bangunan Ramah Lingkungan Topik Utama Pameran Teknologi

China Hi Tech Fair (CHTF) 2013) akan segera digelar pada 16-21 November di Shenzhen, Provinsi Guangdong. Tahun ini, CHTF 2013 akan menambah kategori baru yakni Bangunan Ramah Lingkungan. Kategori yang khusus dirancang untuk mendemonstrasikan teknologi konservasi energi, tanah, air, bahan-bahan bangunan, dan perlindungan lingkungan untuk kepentingan konstruksi bangunan.

Mengadopsi konsep “Siklus Penuh Bangunan Ramah Lingkungan”, kategori ini berhasil menarik minat sejumlah perusahaan konstruksi bangunan ramah lingkungan terkemuka di Cina, termasuk Shenzhen Institute of Building Research, Jun Yi An Lian, Green Light Nano Materials, Bao De Sheng Bio Wood, M-Match, Kressdorf, Dehou, dan Green Boat, untuk memamerkan teknologi dan produk inovatif mereka yang mencakup rantai industri lengkap dari konservasi energi pada bangunan ramah lingkungan.

Patut dicatat bahwa Kategori Bangunan Ramah Lingkungan awalnya tercetus melalui acara Green Home, di mana produk-produk dan teknologi penelitian inovatif di sektor bangunan ramah lingkungan diintegrasikan untuk mendemonstrasikan pencapaian dari tren bangunan ramah lingkungan.

Konsep tentang bangunan hijau (termasuk konservasi energi, air, tanah, bahan-bahan bangunan, dan perlindungan terhadap lingkungan) akan dipresentasikan di sini.

Selain itu pengunjung pun akan dapat mempelajari konsep ini dengan terlibat langsung pada sejumlah pemaparan pameran ini. Selain Pameran Bangunan Ramah Lingkungan, CHTF 2013 akan menghadirkan sejumlah forum berskala besar, seperti KTT Energi Baru dan Penghematan Energi serta KTT Gardu Listrik Pintar.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Energi

Menara BCA, Si Jangkung, Melengkung, Ramah Lagi Untung

Gedung  ramah lingkungan mampu menghemat listrik, air, bahan baku, dan mengurangi emisi gas rumah kaca serta memajukan bisnis lokal, namun tetap nyaman dan menguntungkan. Dengan Peraturan Gubernur tahun 2012, Jakarta menjadi kota pertama di Asia Pasifik yang mewajibkan pembangunan gedung ramah lingkungan.

Selain tingginya yang 230 meter dan 57 lantai terlihat menonjol di antara gedung di sekitarnya, Menara BCA ini tak tampak istimewa, cuma gedung pencakar langit berlapis kaca  yang berpendar tertimpa cahaya, seperti gedung-gedung lain di Jakarta. Arsitekturnya juga biasa saja, sebuah kolom raksasa berlapis kaca kebiruan,  dan halamannya tidak disesaki oleh rimbun pohon dan bunga, tidak juga tanaman gantung  dan merambat yang menjuntai memenuhi dinding. Banyak gedung lain yang dibangun lebih artistik, berpuntir, melengkung, ada pula menyerupai mainan Lego yang tak selesai disusun anak-anak, bahkan halamannya dipenuhi bunga-bunga indah.

Mencari apa yang luar biasa dari yang terlibat biasa saja pada pencakar langit yang satu ini, perlu menelisiknya  lebih dalam.  Menara BCA di kawasan Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat ini adalah gedung pertama di Indonesia yang meraih sertifikat GREENSHIP EB Platinum, alias gedung ramah lingkungan berkategori paling prestisius.  Sertifikat  ini diberikan tahun 2012  oleh Green Building Council indonesia (GBCI), sebuah lembaga sertifikasi gedung ramah lingkungan yang pertama di Indonesia.

Tahun 2011, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menetapkan GBCI sebagai lembaga sertifikasi resmi  untuk gedung ramah lingkungan di seluruh Indonesia dan kembali  bekerjasama ketika pada 5 Juni 2013 lalu, KLH  meluncurkan Kerangka Kerja 10 Tahun Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan di Indonesia atau Sustainable Consumption and Production (SCP). Program yang menjadi prioritas SCP adalah Green Procurement, Green Industry,  Green Tourism, dan Green Building.

Menara BCA telah melalui lebih dari satu tahun proses sertifikasi yang meliputi berbagai parameter antara lain kesesuaian tapak, efisiensi dan konservasi energi, konservasi air, sumber dan siklus material, kualitas udara dan kenyamanan ruang, dengan penilaian tertinggi pada efisiensi dan konservasi energi.

Apa keunggulan yang dimiliki Menara BCA yang tak dimiliki gedung lain? Melalui  proses sertifikasi dinyatakan gedung yang selesai dibangun tahun 2007 ini, mampu menghemat konsumsi energi listrik sebesar 35% dari pemakaian pada gedung sejenis, atau setara penurunan emisi gas karbon dioksida (CO2) sebesar 6.360 ton per tahun.  Hampir semua lampunya memakai LED-light emitting diode, yang mampu menghemat listrik  hingga  70% dibandingkan lampu lain berdaya  sama, dan memasang lampu tabung T5 yang dilengkapi sensor cahaya untuk mengukur tingkat pencahayaan saat ruangan gelap atau terang.  Memakai lampu hemat energi juga meringankan kerja penyejuk udara atau AC, karena suhu ruangan tidak bertambah dari panas cahaya lampu.

Penyejuk ruangan Menara BCA diatur pada suhu 25°Celcius, atau lebih tinggi dua derajat dibandingkan kebanyakan gedung lain di Jakarta, tetapi tetap nyaman. Kuncinya adalah pemakaian kaca ganda pada jendela untuk mengurangi kehilangan suhu dan mempertahankannya  lebih lama di dalam ruangan.  Kaca selimut gedung memakai teknologi insulated glazing atau biasa juga disebut double glazing, yang diisi udara atau gas di antara lapisannya untuk meneruskan panas dari luar ke bagian lain gedung dimana panas itu ingin dilepaskan, tetapi tidak meneruskannya ke dalam ruangan. Elevator pintar yang dipasang cukup sekali menekan tombolnya, maka pengunjung gedung akan ditunjukkan elevator ke lantai yang dituju dengan lebih sedikit pemberhentian. Semakin sedikit perhentian, berarti operasi elevator itu semakin hemat energi.

Gedung ini juga memberikan sejumlah fasilitas pendukung gaya hidup ramah lingkungan seperti penambahan parkir sepeda, pancuran atau shower bagi pesepeda untuk membersihkan badan, penambahan aerator pada wastafel, alat pengukur kualitas udara, pelatihan internal bagi penghuni gedung, pengukuran real performance chiller, pengolahan air bekas wudhu sebagai bahan outdoor AC. Selain itu, buangan air per orang per hari sebanyak  40 liter, dibandingkan buangan rata-rata di perkantoran yang mencapai 50 liter. Ada lagi, seluruh bagian lantai di luar ruangan dibuat berpori sehingga mampu menyerap  100 persen air yang jatuh dan dipakai kembali untuk berbagai keperluan di dalam kantor.

Studi yang dilakukan Danida dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) pada beberapa gedung tahun 2012 semakin mempertegas keuntungan menjadi gedung ramah lingkungan.  Studi itu misalnya menyimpulkan bahwa Gedung Kementerian PU mampu menghemat pemakaian energi sebesar 56%,  mengurangi emisi CO2 sebesar 947 ton/tahun dan menghemat air 17,2% dibandingkan dengan konsumsi pada gedung biasa, setelah mengikuti sertifikasi. Mereka juga menemukan bahwa Gedung PT Dahana di Subang tidak memakai air bersih dari perusahaan daerah air minum (PAM) tetapi 100 persen memanfaatkan air dari sumber alternatif yaitu sungai, hujan, dan kondensat AC.

Penghematan biaya energi terutama tagihan listrik adalah salah satu keunggulan gedung ramah lingkungan. Studi Danida lebih lanjut memaparkan, pada gedung ECCHI (Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia) milik Kementerian  ESDM,  mampu menekan tagihan listrik Rp 22,3 juta/tahun, kampus ITSB (Institut Teknologi dan Sains Bandung) menghemat Rp 237 juta/tahun, Sinarmas Land Plaza Office di Serpong mencapai Rp 542 juta/tahun, Gedung Pekerjaan Umum Rp 642 juta/tahun, sedangkan Menara BCA menghemat pembayaran listrik Rp 5,6 miliar/tahun.

Faktor kesehatan di dalam ruangan juga tercakup di dalam sertifikasi karena karena sekitar 90% hidup manusia berada dalam ruangan.  Menurut guru besar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Haryoto Kusnoputranto, ruangan yang memiliki kualitas udara buruk akan menimbulkan gejala gangguan kesehatan yang dikenal sebagai Sick Building Syndrom (SBS),  antara lain ditandai dengan sakit kepala, pusing, batuk, sesak napas, bersin, pilek, iritasi mata, pegal-pegal,  bahkan sering dijumpai adanya gejala depresi.  Untuk memenuhi standar kesehatan itulah, beberapa bangunan yang bersertifikat ini memiliki sensor karbon dioksida di dalam ruangan, untuk mengatur konsentrasi CO2 agar tak melebihi standar dalam ruangan sebesar 1000 ppm, serta mengatur sirkulasi udara.

Asal bahan baku pembangun gedung juga menjadi faktor penting untuk menilai apakah gedung itu ramah lingkungan karena berkaitan dengan banyaknya jejak karbon yang ditinggalkan, yang berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim. Kampus ITSB misalnya, semua kayunya berasal dari kayu bersertifikat secara legal sesuai aturan pemerintah tentang asal kayu. Gedung EECCHI milik Kementerian EDSM memilih parket bambu sebagai pengisi lantainya, yang dengan mudah diperoleh di dalam negeri. Barang-barang produksi lokal itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan para pengusaha nasional yang memproduksinya, dan banyak mengurangi jejak karbon (carbon footprint) dibandingkan mengimpor dari luar negeri. Naning Adiwoso mengungkapkan, bahwa persyaratan pemakaian produk dalam negeri untuk bangunan ramah lingkungan akan mencapai 70 persen.

Menjadi lebih ramah lingkungan, memang tidak otomatis lebih murah. Pengelola Grand Indonesia mengatakan bahwa nilai investasi awal pembangunan Menara BCA sebesar Rp 700  miliar, ternyata naik beberapa persen karena adanya tambahan dan penyesuaian beberapa peralatan yang ramah lingkungan.

Menurut Direktur Grand Indonesia Sawitri Setiawan, tambahan investasi itu akan segera kembali dalam beberapa tahun dan tidak mengurangi minat para calon  penyewa atau tenant. Rupanya para penyewa jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti pengelola gedung agar mendapatkan sertifikat ramah lingkungan. “Mereka sangat concern dengan green building,” katanya, ”Sehingga kami yakin proses sertifikasi ini menguntungkan.” Buktinya, dari tingkat hunian (occupancy rate) 85% pada tahun 2010, setelah sertifikat GREENSHIP diraih malah naik menjadi 95% di tahun 2012 atau lima  persen lebih tinggi dibandingkan tingkat hunian rata-rata kantor di Jalan Thamrin. Padahal, tarif sewa Menara BCA yang US$ 20/m2/bulan dan biaya pemeliharaan US$7/m2/bulan juga tidak tergolong murah bahkan salah satu yang termahal di Jakarta.

Soal kemauan penyewa yang menjadi dorongan sertifikasi gedung, juga diakui Ketua GBCI Naning Adiwoso. “Mereka tidak mau menyewa kalau bangunannya tidak hijau. Kasus seperti ini banyak terjadi di Jakarta, dan mereka biasanya pindah mencari gedung lain,” katanya.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto saat mengomentari sertifikat Gold yang diperoleh gedung kementeriannya juga mengakui adanya  kenaikan biaya pembangunan sebesar 15%. “Dengan umur gedung yang mampu bertahan 40 sampai 50 tahun, maka dalam jangka panjang biayanya jauh lebih murah,” katanya.  Kenaikan biaya sertifikasi juga diakui GBCI, tetapi mereka memastikan investasi itu akan kembali dalam lima tahun karena berbagai  penghematan yang berhasil dilakukan.

Sayangnya sampai awal Agusut 2013, hanya tiga gedung  di Indonesia yang meraih Platinum yaitu Menara BCA, Kantor Pusat PT  Dahana di Subang, dan Kantor Kementerian Pekerjaan Umum di kawasan Blok M, Jakarta Selata. Tiga gedung lain berhasil meraih kategori Gold yakni Sampoerna Strategic Square di Jalan Jenderal Sudirman,  German Center di Serpong dan kampus ITSB di Bekasi.  Jumlah ini belum sampai satu persen dibandingkan 700 gedung tinggi di Jakarta,  apalagi di Indonesia. Negeri tetangga seperti  Singapura telah memiliki  memiliki 11 ribu gedung bersertifikat ramah lingkungan.

Data yang dipaparkan GBCI menyebutkan bahwa  perkiraan  total luas gedung komersial di Jakarta tahun 2012 mencapai 9,44 juta m2.  Jika gedung-gedung ini mampu mengurangi pemakaian listrik sebesar 15% saja dari 250 kWh/m2/tahun sesuai  Standar Nasional Indonesia (SNI), maka dalam satu tahun saja emisi karbon berkurang sebesar 315.414 ton.  Pengurangan volume karbon sebesar itu, setara dengan  kompensasi karbon atau carbon offset yang dihasilkan  oleh penanaman empat juta pohon.

Pembangunan dan sertifikasi gedung ramah lingkungan di Jakarta, sejalan dengan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang disusun Pemda Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta  tahun 2012, yang menetapkan target pengurangan CO2 sebesar  5,5 juta ton/tahun pada 2030, melalui program konservasi energi dan gedung hijau terutama pada sektor komersial, yaitu gedung-gedung milik swasta.

Untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2020 dan 2030, sekaligus  membangun kota yang lebih sehat dan hemat energi, Gubernur Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau.  Aturan di era Gubernur Fauzi Bowo itu, mulai diberlakukan bulan April 2013 dan  mewajibkan pembangunan gedung baru dengan luas lantai di atas 5.000 meter persegi untuk mengadopsi konsep hijau atau gedung ramah lingkungan, sedangkan gedung lama wajib melakukan audit energi setiap limat tahun.  “Untuk kawasan  Asia Pasifik, peraturan gubernur ini yang pertama, dimana pemerintah provinsi mewajibkan pengembang membangun gedung ramah lingkungan,” tutur Pandita, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengawasan Struktur Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Bidang Pengawasan Pembangunan Provinsi DKI Jakarta.

Kewajiban membangun gedung ramah lingkungan di Jakarta  memang ampuh mempengaruhi semua pengelola dan pemilik gedung, karena menurut Naning dari GBCI, sampai Juni 2013 sudah terdaftar 100 gedung yang menyatakan keinginan mendapatkan sertifikat GBCI, 80 persen diantaranya di Jakarta. Bila aturan ini tidak ditaati, maka Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak akan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan dan Sertifikat Laik Fungsi. “Alangkah baiknya, gubernur di daerah lain mengikuti langkah Jakarta untuk menciptakan gedung yang hemat energi dan mengurangi dampak pemanasan global,”kata Naning.

Merasa tidak cukup dengan peraturan saja, Pemprov Jakarta juga bergerak cepat melakukan audit energi selama triwulan ke-3 tahun 2012. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta Andi Baso kepada para jurnalis, hasil monitoring terhadap 31 bangunan yang melakukan penghematan penggunaan AC, listrik, dan air di setiap gedung Pemda menggembirakan. Pemakaian listrik rata-rata menurun 5,5 persen, dan biaya tagihan listrik rata-rata turun  4 persen. Sedangkan pada triwulan IV pemakaian listrik menurun rata-rata 1,8 persen, dan 0,6 persen untuk tagihannya.  Dari audit itu, Pemprov memperkirakan mereka dapat menghemat biaya listrik sekitar Rp 400 juta dalam satu triwulan. Uang sebanyak itu dapat dipakai untuk melakukan berbagai macam proyek padat karya, untuk memberikan pekerjaan kepada warga miskin Jakarta.

Biaya sertifikasi gedung ramah lingkungan atau audit energi di Indonesia relatif rendah, berkisar  Rp 75 juta sampai Rp 150 tergantung luas dan jenis gedung, dibandingkan sekitar Rp 1 miliar di Singapura.   Sebagai lembaga sertifikasi gedung ramah lingkungan satu-satunya di Indonesia GBCI tidak menyebutnya biaya sertifikasi tetapi donasi. “Kalau kita sebut biaya sertifikasi, maka nilanya jauh di atas itu. Dan biaya sertifikasi yang mahal bisa membuat inisiatif gedung ramah lingkungan ini tidak akan menarik banyak peminat,” kata Naning.

Agar makin banyak yang berminat mendaftarkan gedungnya untuk disertifikasi, GBCI telah melobi Kementerian Keuangan agar memberikan insentif kepada para pengembang yang telah mengantongi sertifikat ramah lingkungan GREENSHIP , mulai dari Platinum sampai  Perunggu.   Salah satu insentif yang diusulkan adalah pengurangan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), yang diyakini mampu mendorong semangat para pengembang membangun gedung yang lebih ramah lingkungan di seluruh Indonesia.

Sumber: ekuator.com

read more
Energi

Investasi Energi Bersih Semakin Kompetitif

Investasi di sektor energi bersih naik $1.3 triliun sejak 2006. Laporan Frankfurt School, UNEP dan Bloomberg New Energy Finance menunjukkan, kapasitas energi terbarukan dunia telah melampaui 1.470 Gigawatts (GW) pada 2012, naik 8,5% dibanding tahun sebelumnya. Dan dalam delapan tahun terakhir, jumlah negara yang memiliki target peralihan ke energi bersih bertambah tiga kali lipat dari 48 negara menjadi 140 negara – separuhnya adalah negara berkembang. Hal ini disampaikan oleh Achiem Steiner, Direktur Eksekutif United Nations Environment Program (UNEP), dalam berita yang dirilis UNEP, Senin (28/10).

Mengutip laporan terbaru dari Deutsche Bank, Achiem menyatakan, dalam 18 bulan ke depan, salah satu jenis energi bersih yaitu panel surya akan memasuki “tahap pertumbuhan ketiga” – yaitu tahap pertumbuhan dimana panel surya bisa digunakan (dan tetap kompetitif) dengan atau tanpa subsidi dari pemerintah.

Energi bersih yang semakin kompetitif membantu negara-negara maju untuk beralih ke energi terbarukan. Pada 2012, Jerman berhasil memenuhi separuh dari kebutuhan listriknya dari energi angin, surya dan energi bersih lain. Prestasi Spanyol lebih menggembirakan lagi, lebih dari 60% kebutuhan energi di Spanyol dipasok dari sumber energi terbarukan.

Di negara berkembang, sebuah negara kecil di Afrika, Cape Verde (Tanjung Verde) menargetkan penggunaan 100% energi terbarukan pada 2020. Revolusi energi bersih di Cape Verde menurut Achiem Steiner sudah dimulai sejak 2010 dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya di dua lokasi dan proyek tenaga angin di Cabeolica hasil kerjasama pemerintah dan swasta.

Cape Verde juga membangun pembangkit listrik mandiri (off-grid) di sebuah desa di kepulauan Monte Trigo yang akhirnya mampu memenuhi kebutuhan listrik mereka selama 24 jam dari pembangkit listrik tenaga surya.

Mongolia, tuan rumah Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2013, bekerja sama dengan Jepang meluncurkan proyek pembangunan pembangkit super yang akan memasok kebutuhan listrik di Asia dengan energi bersih (Asian Super Grid).

Menurut Achiem, kinerja energi bersih jauh melampaui perkiraan paling optimistis sekalipun. Pada 2000, International Energy Agency memerkirakan kapasitas energi angin dunia akan mencapai 34 GW pada 2010. Sementara Bank Dunia memerkirakan kapasitas energi angin China akan mencapai 9GW dan surya mencapai 500 MW pada 2020. Hasilnya, pada 2010, kapasitas energi angin dunia telah mencapai 200 GW (500% di atas perkiraan) dan China memiliki pembangkit angin berkapasitas 62GW dan surya 3GW pada 2011.

Laporan IEA terbaru berjudul “Technology Roadmap: Wind Energy – 2013 Edition” menyatakan, kapasitas energi angin tahun ini mencapai 300 Gigawatts (GW). IEA memerkirakan kapasitas ini akan naik delapan hingga sepuluh kali lipat pada 2050. Energi angin berpotensi memasok hampir seperlima (18%) energi dunia pada 2050, naik dari hanya 2,6% saat ini. Investasi di energi angin yang mencapai lebih dari $78 miliar pada 2012, akan terus meningkat hingga $150 miliar per tahun.

Komitmen politik untuk beralih ke energi bersih menurut Achiem penting. Hal ini termasuk upaya untuk mengurangi subsidi bahan bakar fosil serta polusi udara dan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim dan kesehatan. IMF memerkirakan jumlah subsidi bahan bakar fosil mencapai $2 triliun pada 2011, atau 2,5% dari Produk Domestik Bruto Dunia. “Tahun ini, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga keuangan, perusahaan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mulai beraksi serius untuk mengatasi realitas perubahan iklim,” tutur Achiem.

Sumber: hijauku.com

read more
1 4 5 6 7
Page 6 of 7