close

gajah

Flora Fauna

14 Kanguru Mati, Hashim Mau Jadikan Ragunan Bonbin Kelas Dunia?

Sebanyak 14 Kanguru ditemukan tewas di Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta Selatan pada hari Rabu (27/11) kemarin. Kanguru berjenis Wallaby abu-abu dari Papua tersebut mati mengenaskan karena digigit oleh anjing liar yang berhasil menyelinap masuk ke kandang mereka.

Diketahui hanya empat ekor kanguru saja yang berhasil selamat dari serangan anjing liar tersebut. Empat ekor itu terdiri dari satu betina dan tiga jantan dalam kondisi mengenaskan, tubuh binatang Australia tersebut sudah terlihat sangat ringkih. Alhasil, hanya 4 kanguru saja yang selamat dari total 18 koleksi yang dimiliki oleh Ragunan.

“Hasil pemeriksaan post mortem para dokter hewan di sini (Taman Margasatwa Ragunan) kematian kanguru disebabkan adanya sejumlah luka gigitan di sekitar leher, kaki dan perut sehingga terjadi pendarahan serius hingga kematian,” kata Kepala Badan Layanan Umum Daerah Taman Margasatwa Ragunan, Bambang Triyono, Kamis (28/11).

Bambang menjelaskan, para anjing pembunuh tersebut diduga milik warga sekitar. “Diduga anjing itu lepas dan menerobos masuk ke kawasan TMR,” ujarnya.

Mendapati belasan kanguru tersebut mati, tambah Bambang, petugas langsung menyisir ke seluruh kawasan dan berhasil menangkap 3 ekor anjing. “Ketiga anjing itu sekarang berada di Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI) untuk dilakukan observasi selama 14 hari,” paparnya.

Mencermati kasus tersebut, apa bisa jika Ragunan dijadikan kebun binatang yang berkualitas? Sebab, belum lama ini Ketua Dewan Pengawas Taman Margasatwa Ragunan, Hashim Djojohadikusumo berangan-angan tinggi ingin merombak Ragunan menjadi bonbin yang bertaraf dunia. Dia pun berjanji akan membenahi Ragunan hingga lebih baik dari kebun binatang di luar negeri, bahkan mengalahkan kebun binatang Singapura.

Hashim diketahui juga telah melakukan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Dalam pertemuan tersebut, keduanya membahas nasib Ragunan ke depannya. Hashim dan Jokowi pun akhirnya sepakat memiliki mimpi menjadikan Ragunan sebagai kebun binatang bertaraf internasional. Jokowi berjanji akan menindaklanjuti permintaan Hashim untuk memperbarui Ragunan, sebab dia juga mengakui karena Ragunan masih banyak kekurangan.

“Kita mau adakan temu publik, dengan masyarakat, LSM, kita diskusi. Masyarakat DKI ini maunya apa dengan Ragunan? Kita mau bikin yang berkelas Internasional seperti di Singapura, San Diego, atau seperti di Washington? Terus kita akan buka masukan dari masyarakat,” kata Hashim di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (22/8).

Menanggapi hal itu, Jokowi berjanji akan memperhatikan seluruh hewan yang ada di dalam Ragunan. Menurutnya, seluruh hewan tersebut harus sejahtera dan gemuk. “Itu yang akan kita perbaiki semuanya harus gemuk-gemuk. Jangan sampai kayak gubernurnya,” kata Jokowi.

Tak hanya berjanji untuk membuat hewan-hewannya menjadi gemuk, Hashim juga berjanji akan menaikkan tarif tiket masuk guna meningkatkan fasilitas Ragunan. Selain itu pihak manajemen bonbin juga akan meningkatkan kesejahteraan karyawan yang selama ini dirasa masih kurang.

“Lalu fasilitas-fasilitas kesejahteraan pegawai juga harus ditingkatkan. Harga tiket 4 ribu sejak 2003, sudah hampir 10 tahun. Kita sudah tahu kenaikan inflasi berapa, kenaikan BBM sudah berapa kali, tapi harga tiket tetap sama,” ujarnya lagi.

Kini dengan adanya kejadian belasan kanguru yang mati tersebut, bisakah Hashim tetap mewujudkan impiannya menjadikan Ragunan menjadi bonbin bertaraf dunia?

sumber : merdeka.com

read more
Ragam

Pawang Rusa Diterkam Harimau yang Dilepaskannya

Muhammad Jalil (55), warga Desa Lhok Puntoi, Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat Daya, juga dikenal sebagai pawang rusa, berusaha melepas seekor Harimau yang terjerat jaring Babi di kebun kacang tanah di Desa Suka Damai, kecamatan yang sama, Sabtu (23/11/2013), sekira pukul 11.30 WIB, siang tadi.

Ironisnya, setelah berhasil dilepas, Harimau yang sudah terkena jaring sejak Jumat (22/11/2013) malam, kemudian menerkam Muhammad Jalil sehingga korban mengalami luka pada bagian muka dan punggung. Korban pukul 12.00 WIB, Sabtu siang tadi, ditangani oleh dokter di Ruang IGD RSUD Teungku Peukan, Abdya.

Informasi diperoleh, jaring babi yang kemudian menjerat Harimau itu, dipasang oleh Tgk Nasir, warga Desa Seuneulop sebagai pengaman areal tanaman kacang tanah miliknya di kawasan Desa Suka Damai. Tidak diyana, yang terjerat justru binatang buas, Harimau pada Jumat (22/11/2013) malam. Informasi tersebut segerara menarik perhatian besar masyarakat, kemudian berduyun-duyun menuju lokasi.

“Ribuan warga menonton di lokasi sejak Jumat malam hingga Sabtu siang. Namun warga tidak berani mendekat, melainkan menonton dari jarak jauh sekitar ratusan meter,” ungkap Jasman, Kadis Sosial, Transmigrasi dan Tenaga Kerja Abdya, juga warga Manggeng.

Warga tidak berani mendekat, karena menurut Jasman, di lokasi terdapat dua ekor harimau. Harimau yang satu lagi tidak terjerat jaring, tapi tetap bertahan di sekitar lokasi mengawasi rekannya yang sudah terjerat jaring babi. Diantara warga yang datang ke lokasi, adalah Muhamad Jalil, warga Desa Lhok Pontoi, juga dikenal sering bertindak sebagai Pawang Rusa.

Tiba di lokasi, Muhammad Jalil segera mendekati Harimau yang tidak berdaya itu. Pawang Rusa tersebut, kemudian meminta izin kepada Harimau untuk melepas “sang nenek” dari jaring yang menjerat. Keberanian Muhammad Jalil, berhasil melepas binatang buas tersebut dari jaring yang menjerat. Tapi, ironisnya, setelah terlepas sang Harimau justru menerkam korban sehingga mengalami luka-luka pada bagian muka dan punggung. Sementara Harimau, kemudian lari masuk ke dalam semak-semak sekitar lokasi kebun kacang tanah tersebut.

Sedangkan korban Muhammad Jalil yang berlumuran darah akhir ditolong masyarakat yang sedari Sabtu pagi tadi sudah berkumpul di sekitar lokasi Harimau yang terkena jaring babi. Korban segera dilarikan oleh masyarakat bersama personel Polsek dan Koramil Manggeng ke Puskesmas Manggeng. Korban selanjutnya dibawa dengan ambulanS ke RSUD Teungku Peukan Abdya.()

Sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Membangun Komunikasi dengan Gajah

Kondisi Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) kini diambang kepunahan. Sebuah badan dunia The World Conservation Union (IUCN) menetapkan status Gajah Sumatera  dalam kondisi kritis , terancam punah. Jika dicermati, disamping  rusaknya habitat gajah, ada sisi menarik lainnya yang dapat diamati, yaitu terganggunya komunikasi dan koordinasi antara manusia dan  gajah. Hal ini menjadi agak unik.

Komunikasi antara manusia dengan gajah terjadi melalui sinyal yang diberikan. Gajah sering merespon dan mengenal suara manusia ketika di usir oleh masyarakat. Sebaliknya, manusia mengetahui keberaadaan gajah dengan adanya suara. Menurut pakar gajah dari WWF Riau, Syamsuardi dalam Persentasi Materi Konflik Gajah, Sabang 26 Juli 2013 lalu, disebutkan dalam konflik gajah dibeberapa tempat menunjukkan bahwa ketika gajah diusir dengan meriam, mercon dan cara pengusiran lain, maka gajah melihat dan merespon  sistem komunikasi manusia itu dengan merekamnya.

Gajah dapat merespon pengusiran hal tersebut dengan baik dengan indikator gajah tidak kembali lagi. Jika gajah kembali lagi, maka sistem pengusiran tidak lagi digubris oleh gajah tersebut.

Zona Aman Gajah
Saat ini, zona aman Gajah Sumatra adalah Taman Nasional dan zona lainnya seperti Pusat Latihan Gajah PLG, Unit Patroli Gajah (UPG). Areal ini dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan melalui  Undang-Undang  No 5 tahun 1990, PLG. UPG  ini terdapat hampir diseluruh Provinsi di Sumatera.

Zona aman lainnya bagi Gajah Sumatra adalah gajah yang berada di kantung habitat kecil dikelola oleh Lembaga Konservasi seperti yang dilakukan oleh WWF –  Indonesia bekerja sama dengan Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan,  disebut Flying Squad. Areal ini  berada  di Riau dan Lampung. Di Provinsi Aceh disebut Conservation Response Unit (CRU), dikelola oleh Flora Fauna International bekerja sama dengan Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan. Selebihnya, diluar kawasan ini maka gajah setiap saat akan berhadapan dengan maut.

Saat ini gajah terus mencoba masuk ke perkebunan yang sebenarnya memang merupakan lintasannya. Gajah akan terus belajar dari tindakan penanganan yang kita dilakukan. Kita juga seharusnya belajar dari tindakan yang dilakukan gajah. Apabila gajah bisa melewati tindakan penanganan manusia, maka perbaikan penanganan konflik  harus dilakukan oleh pengelola.

Pengurangan konflik manusia dan gajah memang tidak mudah bahkan berbahaya bagi para penghalaunya. Tetapi bagaimana pun usaha ini harus dilakukan secara terus menerus untuk melindungi gajah dan masyarakat. Tim penanganan konflik manusia dan gajah harus terus dilakukan, tentu dengan motivasi yang tinggi. Ketidaknya, keberhasilan suatu teknik pengusiran gajah bukan merupakan kelemahan teknik tersebut, hanya saja seringkali salah dalam penerapannya.

Tugas-tugas PLG, CRU atau flying Squad adalah untuk meminimalkan konflik manusia dengan gajah dengan tujuan utama mengembalikan gajah liar ke habitatnya, melaksanakan patroli rutin dan melindungi masyarakat sekitar hutan.

Keuntungan yang diperoleh dari  keefektifan pengusiran  gajah dapat menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat bahwa gajah liar dapat ditanggulangi.

Pendekatan ini digunakan sebagai entry point kepada masyarakat, mendayagunakan gajah captive sebagai upaya dalam mecegah konflik yang berkepanjangan.  Gajah-gajah PLG, flying squad dan CRU juga dapat digunakan sebagai salah satu obyek ekowisata. Usaha ini membantu dalam pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan tertentu.

Elephant Trail Konsep
Lintasan satwa atau Elephant Trail adalah rute migrasi tradisional yang dilakukan secara berulang sesuai dengan musim, baik saat kemarau, saat hujan, angin barat dan timur. Biasanya pola ini bergerak secara periodik dan digunakan gajah untuk makan, berkembang biak dan aktivitas sosial lainnya.

Jika diumpamakan dengan sebuah kawasan pemukiman manusia, di sana pasti sangat dibutuhkan jalan sebagai sarana transportasi. Demikian juga halnya dengan gajah. Hutan adalah rumah tempat gajah bermukim. Gajah-gajah itu membutuhkan jalan sebagai tempat melintas. Pemilihan jalan bagi gajah mereka sesuaikan dengan keberadaan alamiah punggungan bukit, lembah dan daerah yang cukup sumber airnya. Kondisi demikian  merupakan lintasan utama gajah.

Masalah muncul ketika tanaman hutan diganti dengan tanaman kebun oleh manusia. Lintasan gajah pun menjadi terbuka dan tidak lagi sesuai.

Prof. Emil Salim, memberikan contoh saat memberikan materi Lingkungan di WWF, 2012. Beliau menceritakan saat menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup dari tahun 1978 hingga 1983, era Presiden Soeharto. Saat itu Pemerintah Indonesia sedang menggalakan program pemerataan pembangunan melalui proyek transmigrasi. Proyek transmigrasi ini telah membuka lahan besar-besaran di Sumatera Selatan yang dahulunya adalah habitat gajah Sumatera.

Pada saat itu, Prof. Emil Salim merekomendasikan agar pembangunan tersebut  harus melihat dan mengkaji secara mendalam tentang lintasan gajah (Elephant Trail). Sayangnya, rekomendasi beliau tidak digubris.

Akibatnya, konflik antara manusia dan gajah secara terus-menerus melebar di Indonesia, dimana saat itu  ratusan gajah mengamuk.  Presiden Soharto akhirnya membentuk Tim Khusus untuk menangani Penanganan konflik Gajah dengan nama Operasi Ganesha yang melibatkan militer dan pasukan khusus. Apa daya, konflik gajah dan manusia sudah terlanjur merebak dan hutan sudah terlanjur rusak.

Ini adalah sebuah contoh kasus dari pembangunan yang tidak memperhatikan dampak ekologis.

Lintasan  gajah digunakan oleh gajah untuk bermigrasi dari utara selatan, mengikuti arah angin dan musim. Selama musim buah, sebagian besar gajah kemudian akan kembali lagi seiring waktu sekitar beberapa  bulan kemudian. Namun, dengan penanaman perkebunan kelapa sawit di koridor ini, rute migrasi tradisional terblokir.

Arti penting Elephant Trail sebenarnya sederhana, yaitu pembangunan harus menghargai gajah dan habitatnya. Pemerintah sebagai pengelola kawasan tidak boleh merubah seenaknya tata hutan di Sumatera, tetapi harus memikirkan aspek ekologi dengan memahami lintasan gajah, sehingga pembangunan  tidak menimbulkan efek bagi masyarakat dan gangguan bagi gajah itu sendiri. Jika tidak, maka hanya akan merugikan pemerintah itu sendiri.

Tata Ruang wilayah provinsi dan kabupaten di Pulau Sumatera juga harusnya  memperhatikan elephant trail. Pemerintah harusnya berpikir seimbang ketika mengundang investor. Keputusan membuka hutan harus dikaji secara benar. Saatnya menjadikan  masyarakat dan gajah sebagai subjek pembangunan. Memang sepintas kasus kasus gajah kelihatannya remeh. Tetapi jika terjadi berulang, maka akan menyita waktu  dan  biaya bagi pemerintah setempat dalam menyelasaikannya, hinggga konsentrasi pembangunan terganggu.

Sebenarnya kawasan Elephant trail bisa menjadi solusi terbaik bagi pembangunan, konsep ini bisa  diaplikasikan  bagi pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Sumatera. Fakta lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan yang sangat tinggi, yaitu 12 juta ha atau penurunan sebesar 48 persen tutupan hutan dalam 22 tahun akibat konversi hutan, penebangan dan kebakaran hutan.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal Sumatera membutuhkan tutupan hutan sekurangnya dari 40 % untuk tetap dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati penting Pulau Sumatera. Sebagian besar hutan primer yang tersisa terletak di dalam kawasan konservasi dan/atau kawasan lindung yang berada di dataran tinggi dan relatif lebih miskin keanekaragaman hayati dibanding dataran rendah., tidak ada salahnya konsep ini dipertegas sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan di Pulau Sumatera.

Solusi Elephant Trail adalah membuat koridor satwa yang secara alami sebagai lintasan aktif satwa liar, dan dapat dikukuhkan dalam kebijakan tata ruang wilayah dan dituangkan dalam aplikasi pembangunan Pulau Sumatera. Tentu kawasan elephant trail ini terlebih dahulu di identifikasi dengan baik. Kawasan diletakkan bersama dalam Peta Lintasan gajah, harus ada Road Map (Peta Jalan) untuk  kawasan ini. Konsep ini juga dapat di implementasi di perkebunan dan kebun masyarakat.

Yang harus dilakukan adalah dengan membuat dan memperkuat lintasan gajah. Jika perlu Elephant Trail (Lintasan gajah) dikuatkan dengan Peraturan Gampong, Perda  dan Peraturan Prersiden. Jadikan kawasan ini sebagai daerah khusus lintasan gajah sebagai dearah lalu lintas Gajah Sumatra. Pengawasan area lintasan gajah dapat dilakukan bersama, baik Pemda, LSM, Masyarakat dan Perusahaan. Merevitalisasi pola dan hubungan  harmonis antara pembangunan dan  gajah sangat diperlukan, sebab gajah adalah adalah aset bangsa Indonesia.

Secuil harapan, kapan kiranya gajah dan manusia hidup damai tanpa saling mengganggu?  Mungkin ini tidak akan tercapai secara utuh, tapi setidaknya harus ada konsep yang bisa menjawab itu. Konsep yang dilandasi dengan perbaikan dan aksi nyata, baik dari sistem hukum, lalu mengujinya di tataran Gampong, Kecamatan hinggga Kabupaten, bahkan di tingkat Provinsi  di Sumatera.

Hal lainnya adalah upaya untuk terus  membangun  sistem komunikasi yang baik antara gajah dan masyarakat, hal ini  akan menjadikan gajah ditempatkan pada posisinya sebagai bagian dari kenakeragaman hayati di Pulau Sumatera. Hubungan yang baik antara kedua belah pihak harusnya menjadi konsep pembangunan di Pulau Sumatera. Gajah liar  di hutan Sumatera dapat menjadi Indikator dan bukti berhasilnya implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan atau sebaliknya.

Jika tawaran konsep semacam ini diabaikan, maka susah untuk memperbaiki hubungan antara gajah dan manusia. Dengan demikian maka semakin sulit untuk menjadikan gajah sebagai aset pembangunan Daerah dan Nasional [Azhar].

Penulis adalah  Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk Chik Pantee Kulu Banda Aceh & Pegiat Lingkungan Aceh /Satwaliar Indonesia

read more
Flora Fauna

Masyarakat Peureulak Serahkan Gajah ke BKSDA Aceh

Masyarakat menyerahkan gajah yang ditangkap di kawasan hutan Seumanah Jaya, Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). BKSDA akan merawat gajah liar tangkapan masyarakat tersebut.

“Gajah itu saat ini sudah kami tempatkan di pusat pelatihan gajah Saree, Aceh Besar, setelah sebelumnya diserahkan masyarakat kepada petugas BKSDA,” kata Kepala BKSDA Aceh Amon Zamora di Banda Aceh, yang dituliskan Rabu (20/11/2013).

Ia menjelaskan, gajah liar itu ditangkap masyarakat pekan lalu karena dinilai telah menganggu areal perkebunan mereka.

“Kami juga tidak mengetahui bagaimana cara masyarakat menangkap binatang berbelalai itu. Kami mengetahui setelah dilaporkan ada gajah liar betina dewasa ditangkap penduduk setempat,” kata dia menambahkan.

Pada awalnya, masyarakat tidak mau menyerahkan gajah liar betina itu kepada petugas BKSDA. Tapi setelah beberapa hari, warga kembali menghubungi petugas BKSDA dan menyatakan untuk menyerahkan gajah tersebut.

“Setelah tim kami ke Aceh Timur, masih mendapatkan gajah liar betina itu terikat dan selanjutnya diangkut ke PLG Saree untuk diamankan. Di Saree, gajah liar itu bergabung dengan puluhan gajah lainnya,” kata Amon.

Amon memperkirakan, masyarakat tidak mampu memberikan makan dan mandi gajah itu sehingga berencana kembali menyerahkan binatang dilindungi tersebut kepada petugas BKDSA.

“Masyarakat juga harus mengetahui bahwa gajah dan binatang dilindungi lainnya tidak boleh dipelihara. Kalau ada yang sengaja memeliharanya maka pihaknya bersama kepolisian akan menindak tegas sesuai hukum berlaku,” ia menjelaskan.

Dipihak lain, dia menjelaskan konflik manusia dan satwa terutama gajah di Aceh itu disebabkan terganggunya habitat dan daerah lintasan binatang tersebut oleh penduduk terutama akibat pembukaan lahan baru. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Flora Fauna

Binatang Buas Jadi Peliharaan Orang Kaya Arab

Anak-anak muda Arab kini punya cara baru untuk menunjukkan betapa kayanya mereka. Melalui foto di media sosial Instagram mereka kini sering memotret harta kekayaan mereka untuk pamer. Misalnya mereka berfoto dengan hewan buas singa, cheetah yang mereka pelihara di samping mobil mewah Mercedes, Lamborghini, motor mahal atau perahu motor.

Surat kabar the Daily Mail melaporkan, Senin (18/11), memelihara singa kini menjadi simbol status kekayaan baru di negara-negara Arab. Seperti diperlihatkan seorang pemuda Arab bernama Humaid Al-Buqaish yang sering mengunggah foto dirinya bersama singa dan koleksi mobil mewahnya di Instagram. Dia memiliki 250 ribu pengikut di akun media sosial tempat berbagi foto itu.

Di kawasan negara-negara Arab singa-singa itu bisa dijual hingga Rp 560 juta per ekor.

“Jika seseorang ingin membeli binatang buas maka dia sesumbar punya cukup uang buat membelinya,” kata Jasim Ali, pengelola Taman Kebun Binatang Ras Al Khaimah di Uni Emirat Arab.

“Orang-orang itu suka pamer mereka punya hewan buas yang sudah dijinakkan. Mereka pamer keberanian, tapi itu bukan keberanian. Itu penyiksaan terhadap binatang.”

Pada 2010 dilaporkan ada 200 hewan ilegal yang disita di Uni Emirat Arab. Di antara hewan-hewan itu ada singa, harimau, macan kumbang, cheetah, dan hyena.

Sumber: merdeka.com

read more
Flora Fauna

Komodo Ternyata Juga Hidup di Daratan Flores Bagian Barat

Salah satu satwa khas Indonesia, Varanus komodoensis atau yang kita kenal dengan komodo, ternyata memiliki penyebaran yang lebih luas di sekitar Nusa Tenggara Timur. Satwa ini, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Burung Indonesia, tidak hanya terdapat di Taman Nasional Komodo yang meliputi Pulau Rinca dan Pulau Padar, Manggarai Barat, NTT. Berdasarkan hasil rekam kamera jebak (camera trap) yang direkam oleh tim survey, satwa ini berhasil ditemukan juga di Pulau Flores, yaitu di Cagar Alam Wae Wuul, Kabupaten Manggarai Barat, serta Cagar Alam Wolotadho dan Cagar Alam Riung di Pulau Ontoloe, Riung, Kabupaten Ngada.

Sebelumnya, keberadaan komodo di pulau lainnya ini masih menimbulkan perdebatan, karena keberadaan reptil besar di pulau lainnya ini hanya dianggap sebagai jenis biawak besar dan berbeda dengan komodo. Namun dari survey yang digelar mulai bulan Juni hingga September 2013 ini, berhasil menyimpulkan keberadaan komodo di dua lokasi lainnya tersebut.

Survei yang dilakukan di Golo Mori, Kecamatan Komodo, 30 Juni hingga 3 Juli 2013, dan di Tanjung Kerita Mese, Kecamatan Lembor Selatan, Manggarai Barat ini dilakukan pada tanggal 24 hingga 27 September 2013, menggunakan 7 unit kamera jebak yang diikat di pohon dan disebar secara acak teratur dengan jarak kurang lebih 500 meter. Kamera ini diaktifkan selama tiga hari untuk mendapatkan enam sesi pengulangan pada pagi dan sore hari.

Golo Mori dan Tanjung Kerita Mese adalah bagian dari bentang alam Mbeliling, yang meliputi kawasan di sekitar hutan Mbeliling dan Sesok, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. “Temuan ini mempertegas bahwa bentang alam Mbeliling adalah habitat penting bagi keanekaragaman hayati”, demikian Tim Leader Burung Indonesia Program Mbeliling, Tiburtius Hani.

Bentang alam Mbeliling (BAM) mempunyai peran yang sangat penting sebagai tempat hidup beragam kekayaan hayati yang khas dan unik. Selain keberadaan komodo, kawasan ini juga menjadi habitat bagi empat spesies burung endemik dan terancam punah, serta beberapa jenis tumbuhan langka. Badan dunia FAO/UNDP mengusulkan kawasan Mbeliling sebagai suaka margasatwa karena nilai flora, fauna, dan perlindungan hidrologisnya. Departemen Kehutanan pun telah menetapkan hutan Mbeliling sebagai hutan lindung.[]

Sumber : mongabay.co.id

read more
Flora Fauna

Kereta Api Tabrak Mati Tujuh Gajah di India

Sebuah kereta penumpang menabrak kawanan gajah di India timur, menewaskan tujuh ekor. Selain gajah, dua sapi juga menjadi korban.

Kecelakaan itu merupakan yang terburuk dari insiden kecelakaan angkutan versus binatang di India. Menurut Hiten Burman, menteri kehutanan di Benggala Barat, sepuluh gajah lainnya mengalami luka serius dan kemungkinan tak terselamatkan nyawanya.

Kereta yang melaju 80 kilometer per jam ini tengah melintasi hutan Chapramari ketika insiden terjadi. Saat itu, kawanan yang terdiri atas 40 ekor gajah tengah melintas. “Kawanan gajah itu tetap berada di lokasi kecelakaan selama beberapa saat sebelum akhirnya pergi diusir oleh penjaga hutan dan pekerja kereta api,” katanya.

Burman mengatakan masinis mengabaikan permintaan dari departemennya untuk mengurangi kecepatan kereta saat memasuki distrik Jalpaiguri, sekitar 670 kilometer dari Kolkata, ibu kota negara itu. Pasalnya, hutan di Jalpaiguri menjadi rumah ribuan jenis satwa.

Puluhan gajah telah mati dalam beberapa tahun terakhir karena tertabrak kereta. Pada bulan Desember, kereta api menewaskan lima gajah di negara bagian Orissa. “Ini adalah sebuah ironi karena anak gajah merupakan maskot dari Indian Railways,” kata Animesh Basu, aktivis kelompok penyayang satwa liar dan koordinator Himalayan Nature dan Adventure Foundation.

Ia mengatakan sedikitnya 50 gajah telah mati akibat tertabrak kereta api sejak tahun 2004 di negara bagian Bengal Barat. Populasi gajah liar India diperkirakan sekitar 26.000 ekor.[]

Sumber: berita Yahoo

read more
Kebijakan Lingkungan

Dua Oknum TNI Jadi Terdakwa Kepemilikan Hewan Liar

Dua oknum TNI menjadi terdakwa terkait dugaan kepemilikan satwa liar yang dilindungi secara undang undang. Kedua terdakwa berinisial JR dengan dakwaan kepemilikan obset (bagian atau tubuh hewan yang telah diawetkan-red) Harimau dan Beruang, dan terdakwa dengan inisial R dengan dakwaan kepemilikan obset Harimau, keduanya bertugas di Aceh Tengah.

Oditur Militer untuk terdakwa JR, Mayor Sus Saifuddin R, sedangkan Mayor Uj Kuswara menjadi oditur militer, untuk terdakwa R. Keduanya akan disidang pada Kamis (24/10/2013) dengan menghadirkan saksi dan barang bukti dari kedua kasus tersebut.

Mayor Sus Saifuddin R menyampaikan pada tahun 2013 ada 2 kasus yang masuk di mahkamah militer. Selain itu Mayor Sus Saifuddin R juga menambahkan, “ Satwa yang dilindungi sudah semestinya menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian dan semoga menjadi pembelajaran bagi anggota TNI pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.”

Oditor Mayor Uj Kuswara menegaskan, “ Butuh sinergisitas multi pihak dalam upaya penegakkan UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”

Aktivis Apresiasi Persidangan
Aktivis Forum Orangutan Aceh (FORA), Ratno Sugito, menyambut baik kasus kepemilikan hewan yang dilindungi ke meja sidang. Menurutnya hal ini sebuah usaha dalam upaya penegakkan UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di Aceh. “Saya apresiasi mahkamah militer di Aceh yang menyidangkan kasus ini,”katanya.

Menurutnya, belum ada kasus yang masuk persidangan terkait pelanggaran UU No 5 tahun 1990, terutama untuk pelaku di luar kesatuan TNI selain dari persidangan ini. ” Karena itu sidang ini penting, dan berharap upaya penegakan Undang-Undang ini tidak pandang bulu.”

Masih banyak kasus penguasaan hewan dilindungi belum naik ke persidangan dan kasus yang ada seakan menguap begitu saja. Seperti kepemilikan orangutan yang baru baru ini di sita oleh pihak BKSDA Aceh, belum ada satu kasuspun yang masuk persidangan.

Orangutan bernama Pongky, beberapa waktu lalu disita dari oknum polisi yang bertugas di Polres Aceh Tamiang dan orangutan Manohara di sita dari oknum PNS, kedua kasus ini seperti dilupakan.

Menurut catatan FORA, sepuluh tahun belakangan ini belum ada berkas terkait kepemilikan satwa liar terutama orangutan yang belum masuk ke ranah hukum. ” Anehnya bila dilihat dari jumlah orangutan yang masuk karantina  di Sibolangit, 60 persen pelakunya adalah oknum aparat.  Maka dengan disidangkan terdakwa JR dan R ini akan merubah cacatan buku kosong dan semoga ada efek jera bagi terdakwa,” jelas Ratno. [rel]

read more
1 5 6 7 8
Page 7 of 8