close

gajah

Flora Fauna

Tahun Baru 2014, Lahir 5.000 Beruang Kutub di Arktik

Tahun Baru 2014 akan menjadi saat yang menentukan ketika beruang kutub lahir di Kutub Utara, dan tahun ini diharapkan sekitar 5.000 ekor, kata World Wildlife Fund for Nature, Jumat.

Organisasi ini merayakan ulang tahun beruang kutub pada 29 Desember untuk menandai periode antara Desember dan Januari ketika beruang kutub biasanya hamil dan melahirkan. Hari ini pertama kali ditandai pada 2008 dan sejak itu menjadi tradisi.

“Sayangnya, sedikit yang diketahui tentang berapa banyak beruang kutub di Rusia, karena satu studi komprehensif hanya satu [dari tiga] kelompok utama dengan biaya jutaan dolar Amerika Serikat,” kata Viktor Nikiforov, kepala WWF Rusia.

Menteri Sumber Daya Alam Rusia, Sergei Donskoi, mengatakan, awal tahun ini jumlah total populasi beruang kutub di Arktik Rusia diperkirakan antara 5.000-6.000 ekor. Para ilmuwan memperkirakan jumlah beruang kutub di seluruh dunia sekitar 20.000 sampai 25.000 ekor.

Hewan kutub Arktik berada di bawah ancaman dari pemburu, polusi dan perubahan iklim, yang menyebabkan habitat mereka makin menyusut.
Sumber: antaranews.com

read more
Flora Fauna

Media Inggris sebut KBS sebagai Kebun Binatang Terkejam di Dunia

Media Inggris (Daily Mail) menyebut Kebun Binatang Surabaya sebagai kebun binatang paling kejam di dunia, pada hari Kamis, (26/12). Hal ini bukan tak beralasan.

Menurut laporan salah seorang mantan petugas kebun binatang tersebut, ada lebih dari 50 hewan yang tewas dalam tiga bulan terakhir. Tahun lalu, seekor jerapah tewas karena terdapat 20 kg kantong plastik di dalam perutnya.

Kasus lain seperti kematian Rosad, seekor harimau Sumatra, yang ditemukan tewas di dalam kandangnya akibat penyakit radang paru-paru.

Cerita pilu ini juga menimpa seekor harimau Sumatera betina bernama Melani, yang bertubuh kurus kering. Ia bahkan hampir mati karena terlalu sering diberi makan daging berformalin.

Berikut adalah beberapa foto hasil jepretan reporter Daily Mail, Richard Shears, yang berkesempatan untuk berkunjung ke Kebun Binatang Surabaya.

Kaki gajah dirantai

Richard Shears menemukan seekor gajah kecil yang tampak tersiksa karena ketiga kakinya dirantai. Binatang itu bahkan tak bisa bergerak maju, mundur, atau bahkan ke samping. Di foto ini, Anda bisa melihat bahwa salah satu kaki gajah kecil itu terluka karena dia mencoba membebaskan diri dari kekangan itu.

Richard juga menemukan seekor kuda nil Afrika – bernama Joy – yang berendam dalam bak yang berisi air kotor.

Seekor Moor tampak duduk sendirian di “pulau”nya, tanpa ada satu pun pohon yang bisa dipanjatnya.

 

Monyet berjenis capuchin coklat asal Amerika Selatan

Monyet berjenis capuchin coklat asal Amerika Selatan ini seperti hendak menangis, ketika Richard mendekati kandangnya dan membawakan pisang untuknya. Setelah diberi pisang, monyet kecil ini kembali bergelantungan di kandangnya.

Saking kurusnya, tubuh unta ini seperti hanya kulit berbalut tulang. Dia tampak mengunyah makanannya secara perlahan.

Harimau Sumatera ini hanya bisa mengaum dari dalam kandangnya, karena petugas kebun binatang sengaja mengurungnya di sana.

Fakta-fakta mengerikan ini membuat Daily Mail menyebut Kebun Binatang Surabaya sebagai kebun binatang paling kejam di dunia. Setujukah Anda?

read more
Flora Fauna

Komodo yang Gamang Hadapi Masa Depannya

Berikut ini cara menangkap naga; Sembelih seekor kambing. Minta bantuan beberapa teman yang kuat untuk meng­angkat tiga perangkap baja sepanjang tiga meter, bawa beberapa karung berisi daging kambing, lalu tempuh perjalanan beberapa kilometer naik turun bukit yang melelahkan. Jangan hiraukan panas di atas 30 derajat yang membuat kita merasa seperti bakpao dalam kukusan.

Pasang perangkap pertama dengan umpan beberapa kerat daging, lalu gantung karung ber­isi daging. Kemudian tempuh lima atau enam kilometer lagi, lakukan hal yang sama. Kembali ke kemah; isi ember dengan air dingin lalu siramkan ke kepala. Tidur. Periksa semua perangkap setiap pagi dan sore selama dua hari ke depan. Kemungkinan besar kosong, tetapi jika nasib sedang bagus, saat kita mendekat, ter­lihatlah isinya: kadal terbesar di dunia, raksasa berwajah bengis yang bernama komodo.

Orang yang merancang metode ini adalah Claudio Ciofi. Pria berusia akhir 40-an ini adalah seorang ahli biologi dan dosen di Università degli Studi di Firenze. Dia datang ke Indonesia pada 1994 dalam rangka penelitian doktoral mengenai genetika komodo. Kemudian dia melihat langsung fosil hidup tersebut. Dia terpesona. Saat itu, tidak ada ilmuwan lain yang mempelajari spesies ini.

“Saya mengira akan menemukan organisasi yang meneliti komodo,” kenangnya. “Satwa ini sama menarik dan memukaunya dengan hari­mau dan orangutan. Namun, ternyata tidak ada orang yang meneliti komodo.”

Jadi, Ciofi memperluas cakupan penelitian­nya. Dia berusaha mempelajari setiap aspek ke­hidupan hewan tersebut. Dengan gigih dan tanpa gembar-gembor, dia bersama para peneliti terkemuka dari Indonesia dan Aus­tralia memberikan sumbangsih besar pada pe­ngetahuan kita tentang spesies tersebut dan ber­usaha meningkatkan peluang hidup komodo di tengah persoalan abad ke-21. Meskipun ter­masuk keluarga naga dan dapat tumbuh hingga sepanjang tiga meter dengan berat hampir 90 kilogram, spesies ini tetap rentan terhadap masalah modern yang merundung dunia binatang, mulai dari hilangnya habitat sampai perubahan iklim.

Satwa dari famili Varanidae ini telah melalui banyak siklus perubahan dengan selamat. Spesies yang satu ini mungkin muncul lima juta tahun yang lalu, tetapi genusnya telah berumur sekitar 40 juta tahun, sementara nenek moyang dinosaurusnya hidup 200 juta tahun yang lalu.

Varanus komodoensis memiliki gaya hidup kadal tulen—berjemur matahari, berburu dan makan bangkai, bertelur dan menjaga telurnya, lalu membiarkannya setelah menetas. Komodo umumnya hidup sampai umur 30 hingga 50 tahun, dan menghabiskan sebagian besar waktunya hidup menyendiri. Sementara itu, kawasan hidupnya di dunia sangat kecil: Hewan ini hanya ditemukan di beberapa pulau di Asia Tenggara, semua di Indonesia.

Catatan paling awal mengenai kadal yang luar biasa ini mungkin keterangan “Hc sunt Dracones”, artinya “di sini ada naga”, yang ter­cantum pada peta kuno Asia. Dan orang pertama yang melihat binatang itu pasti akan menambahkan: Hati-hati! Komodo yang jago berburu ini dapat berlari sampai 19 kilometer per jam meski tidak tahan lama. Reptil ini menyergap mangsa dengan tiba-tiba, merobek daging yang paling lembut, biasanya perut, atau melukai kaki.

Untuk memastikan kematian mangsanya, sang naga ini—boleh dikata—dapat menyemburkan api. Mulutnya berleleran liur berbisa yang membuat darah tidak dapat membeku. Jadi, korban gigitannya kehabisan darah dengan cepat. Korban terluka yang berhasil lolos kemungkinan besar akan terkena patogen dari sumber air, mengakibatkan infeksi. Jadi, begitu tergigit, kematian hampir tidak terelakkan. Dan komodo bisa sangat sabar.

Satwa ini juga makan bangkai—tidak ada makanan, baik hidup atau mati, yang ditampik oleh makhluk oportunistis ini. Makan bangkai memerlukan energi yang lebih sedikit daripada ber­buru, dan komodo dapat mendeteksi aroma bangkai yang membusuk dari jarak jauh. Hampir tidak ada yang terbuang.

Meskipun komodo memiliki kebiasaan yang jorok, warga belum tentu takut dan jijik terhadapnya. Di desa Komodo, saya naik tangga kayu reyot ke rumah panggung milik seorang tetua yang bernama Caco. Menurut perkiraannya, usianya 85 tahun. Pemandu saya menyebut bahwa pria kurus berkacamata ini pakar komodo; sang tetua tidak menyanggah sebutan tersebut. Saya menanyakan pendapat warga desa tentang komodo dan ancaman bahayanya.

“Kami di sini menganggap hewan tersebut nenek moyang kami,” katanya. “Makhluk keramat.”

Dahulu, apabila penduduk pulau berburu rusa, tuturnya, mereka akan meninggalkan setengah dagingnya buat komodo. Kemudian keadaan berubah. Meskipun tidak ada yang tahu pasti jumlahnya, populasi komodo tampaknya menyusut dalam 50 tahun terakhir. Atas desakan para pelestari lingkungan dan setelah menyadari nilai ekonomi pariwisata komodo, pemerintah Indonesia menetapkan peraturan yang melindungi spesies ini.

Pada 1980, sebagian besar habitat komodo ditetapkan menjadi Taman Nasional Komodo (TNK), yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan beberapa pulau kecil lainnya. Kemudian didirikan tiga cagar alam tambahan, dua di antaranya berada di Pulau Flores.[]

Sumber: nationalgeographic.co.id

read more
Ragam

Dalam Sepekan, Harimau Terkam 11 Ternak Warga

Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya yang beberapa bulan lalu diganggu gajah liar, kini mulai diganggu harimau. Delapan ekor sapi dan tiga kerbau mati diterkam si raja hutan dalam sepekan terakhir. Hal itu bukan saja sangat merugikan para pemilik ternak, tapi juga merisaukan warga setempat karena mengancam keselamatan mereka.

Mukim Pante Purba, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, Anwar Musa kepada Serambi, Minggu (22/12/2013) mengatakan, gangguan harimau itu terjadi di Desa Cot Punti dan Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet. Selain sebelas ekor ternak warga mati diterkam harimau, masih ada beberapa ekor lagi yang cuma terkena cakaran. Karena kondisinya tidak fatal, sehingga masih sempat disembelih pemiliknya dan dagingnya kemudian dijual.

“Meski peristiwa itu sudah terjadi sejak sepekan lalu, tapi belum kita laporkan kepada pihak terkait, khususnya ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Jaya. Soalnya, kita khawatir tidak akan ada juga penanganan dari mereka,” ujar Mukim Pante Purba.

Mukim Anwar Musa hanya mengatakan bahwa saat ini warga di Cot Punti dan Krueng Ayon sedang resah karena gangguan harimau itu bukan saja mengarah ke ternak, tapi juga mengancam keselamatan warga. Harimau yang mengganggu itu hanya seekor, panjangnya sekitar dua meter. “Mudah-mudahan pemerintah mengetahui kondisi ini dan segera mengatasinya secara tepat dan cepat,” kata Anwar Musa.

Sekretaris Desa Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet, Mahyuddin kepada Serambi mengatakan, pada Sabtu (21/12) lalu seekor kerbau jantan milik Badli dicakar harimau liar, sehingga kerbau tersebut harus segera disembelih. Sebelum dicakar harimau, harga kerbau itu sekitar Rp 14 juta, tapi setelah terluka, harga jualnya pun jatuh.

Koordinator Satwa Liar pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Aceh Jaya, Armidi S.Hut yang dikonfirmasi, Minggu (22/12/2013), mengatakan, hingga saat ini belum tahu adanya harimau liar yang memangsa ternak warga di kawasan Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet.

“Jika nanti ada laporan kita akan segera berkonsultasi dengan pihak Conservation Response Unit (CRU) di Aceh Jaya agar segera dilakukan penanganan,” ujarnya. []

Sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Cara KuALA Konservasi Telur Penyu

Tak bisa dipungkiri, banyak terjadi perburuan telur penyu di wilayah pantai Aceh. Telur penyu bisa dengan mudah ditemui dipasar, diperjualbelikan secara bebas. Padahal penyu saat ini merupakan hewan yang terancam punah sehingga kelestariannya harus dijaga. Namun menjaga kelestarian penyu bukan hal yang mudah ditengah maraknya pemburuan telur penyu. Lembaga jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) mencoba kesepakatan bersama antara para pihak.

Ketua KuALA, Marzuki, yang ditemui beberapa waktu lalu mengatakan mereka memunculkan sebuah kesepakatan pengelolaan konservasi penyu di wilayah Aceh Besar. Selama ini banyak pemburu telur penyu di pantai-pantai Aceh Besar. Kesepakatan ini intinya menjaga agar telur penyu tidak habis diambil oleh pemburu tetapi tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat juga.

Konsep pertama yang mereka tawarkan adalah kesepakatan dimana semua pihak mendapat bagian dari pengambilan telur penyu. ” Artinya alam juga merupakan satu pihak, sehingga mendapatkan satu bagian juga. Sebagai ilustrasi, jika pemburu ada tiga orang mendapatkan 10 telur, maka telur-telur ini dibagi kepada empat pihak, termasuk alam sebagai salah satu pihak,” kata Marzuki. Telur yang menjadi bagian alam tidak boleh diambil tetapi dibawa ke tempat penangkaran agar bisa menetas.

Menurut Marzuki, pantai-pantai di Aceh Besar yang terdapat penyu antara lain Ujung Pancu, Lhoknga, Lampuuk dan pantai Syiahkuala.

Selain kesepakatan pembagian hasil, juga ada kesepakatan membentuk tim patroli bersama dengan bekas pemburu telur penyu. Bekas pemburu ini diajak untuk masuk tim patroli dalam rangka konservasi penyu termasuk saat proses pelepasan dan penangkaran.

Kesepakatan lain namun kurang populer adalah pihak lembaga konservasi seperti KuALA membeli telur-telur penyu yang diambil oleh pemburu. Hal ini kurang populer karena menghabiskan banyak dana dan mendorong orang untuk tetap mengambil telur penyu karena sudah ada pembelinya.

KuALA memberikan pelatihan kepada pemburu penyu dan kepada mereka diberi surat tugas. Konsensus ini merupakan strategi KuALA dalam masyarakat dan sejauh ini sudah diterapkan di beberapa wilayah.

Selain itu KuALA juga memberikan pelatihan terkait penyu kepada masyarakat sekitar pantai. Masyarakat yang telah mendapatkan pelatihan mampu mengidentifikasi jenis penyu. Misalnya saja seorang penduduk di Syiah Kuala Aceh Besar mampu mengenali penyu jenis KEMPI yang dilihatnya mendarat di pantai Syiah Kuala. Padahal jenis penyu ini sendiri tidak terdapat di Indonesia, hanya ada di Amerika.

” Namun bapak ini sangat yakin penyu yang dilihat adalah jenis kempi berdasarkan bentuk dan corak penyu tersebut,” kata Marzuki. Marzuki berharap ke depan masyarakat semakin sadar akan keberadaan penyu dan dapat melestarikannya. []

read more
Ragam

Terdakwa “Papa Genk” Tak Tahu Gajah Hewan Dilindungi

Masyarakat Desa Ranto Sabon yang menjadi terdakwa pembunuh gajah ‘Papa Genk’ tidak tahu bahwa gajah adalah hewan yang dilindungi Undang-undang. Mereka bermusyawah untuk menjerat gajah tersebut karena menganggap gajah tersebut hama, merusak kebun masyarakat. Terdakwa kini mengharap hakim memberikan keringanan hukum dan pihak terkait memberikan penyuluhan tentang hewan-hewan yang dilindungi.

Keuchik (kepala desa-red) Desa Ranto Sabon yang terletak di Aceh Jaya, Amiruddin bin alm Mahmud, kepada Greenjo, Selasa (18/12/2013) menyampaikan hal tersebut usai sidang perdana kasus pembunuhan gajah. Gajah yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Papa Genk’ mati setelah tertimpa jerat besi tajam di bagian lehernya.

Amiruddin yang telah enam tahun menjadi keuchik (kepala desa-red), menceritakan awalnya masyarakat resah dengan gangguan Papa Genk di pemukiman. Gajah ini merusak kebun dan memakan tanaman. Sebenarnya masih ada gajah lain tapi mereka tidak masuk dalam desa. Hanya Papa Genk saja yang masuk ke desa.  Gajah ini sendiri tampaknya tidak terlalu liar, kata Amiruddin.

Sejak tahun 2005, pasca perdamaian, gajah sudah mulai turun ke sekitar desa katanya. “ Kami minta pemerintah untuk mendampingi, menghalau gajah kembali kedalam hutan. Ada satu masuk gampong, yang lain di luar. Mereka (yang diluar-red) tidak mengganggu jadi kami tidak menghiraukannya,” ujar Amiruddin.

Masyarakat menganggap gajah ini sudah mengganggu, layaknya seperti hama sehingga bermusyawarah untuk membasminya. Mereka sepakat memasang jerat di lintasan yang biasa dilewati Papa Genk. Akhirnya gajah jantan ini terjerat mati dan warga mengambil gadingnya untuk disimpan.

Amiruddin tidak tahu darimana julukan Papa genk berasal. Ia baru mengetahui nama tersebut ketika kasus pembunuhan gajah ramai diberitakan dimedia. Masyarakat mengira itu hama karena sudah mengganggu makanya mereka membasminya.

“ Kami buta hukum, kami tidak tahu kalau gajah dilindungi. Belum ada pihak yang memberikan penyuluhan bahwa gajah hewan dilindungi undang-undang kepada kami,” kata Amiruddin lirih.

Mereka menjerat gajah karena hewan berbelalai ini meresahkan. Malah pernah di dalam kecamatan yang sama gajah membunuh manusia. “ Tidak ada perhatian dari pihak terkait untuk menghalau gajah. Bupati secara pribadi sudah pernah turun ke lokasi. Kami tidak tahu hukum, hukum mengganggu gajah. Tidak pernah ada yang mensosialisasikannya. Kami pikir sama dengan membunuh binatang hama lain,” Amiruddin mempertegas kembali alasannya.

Mereka tidak sadar bahwa membunuh gajah, hewan yang dilindungi, bisa di penjara.

Amiruddin sering mendapat telepon dari warga yang melaporkan gajah masuk pemukiman. Ia bersama warga menghalau gajah dengan membunyikan mercon yang dibeli sendiri. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan sering mengalami gangguan parah dari hewan liar. Namun aksi menghalau ini tidak bertahan lama, biasanya hewan liar akan kembali lagi.

Warga tidak memburu gajah sampai masuk dalam hutan tetapi memasang perangkap dalam kawasan penduduk. Gading diambil untuk diserahkan ke bupati. “ Kami bersedia diproses, kami patuh hukum. Kami selalu hadir dalam pemeriksaan. Kami telah bersalah, kalau dihukum kami akan mengikuti,” ucap Amiruddin pasrah.

Amiruddin sadar, dirinya bersama dengan 13 warga lain dituntut dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. “Secara pribadi saya telah bersalah, saya siap menghadapinya. Tetapi yang menjadi persoalan bagaimana dengan anak dan keluarga? Anak-anak masih sekolah. Kalau kami masuk penjara bagaimana membiaya mereka. Kami petani semua, kebun sudah hancur, bagaimana keluarga di kampung?” kata Amiruddin.

Mereka sudah banyak kehilangan mata pencarian. Tanaman seperti, pinang, kelapa, padi dan sebagainya sudah dimakan gajah. Bahkan saluran irigasi pun diganggu hewan besar tersebut. Amiruddin hanya berharap hakim dapat meringankan hukuman mereka.

Ke depan ia meminta agar ada batas antara gajah atau hewan dilindungi dengan hutan produksi. Selain itu harus ada sosialiasai tentang yang hewan-hewan yang dilindungi.

Kasus pembunuhan Genk mencuat ke publik setelah ada kampanye melalui sosial media yang menarik perhatian banyak orang di Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri. Kampanye oleh para penyayang satwa meminta kasus pembunuhan itu diusut tuntas. Sebuah petisi juga dilayangkan anak muda Aceh Aulia Ferizal untuk mengusut pembunuhan Genk.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merespon kampanye itu melalui akun twitter mereka. Presiden mengintruksikan Kementrian Kehutanan dan Polda Aceh mengusut tuntas kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi.[]

read more
Tajuk Lingkungan

Satwa VS Manusia

Ketika anda pulang ke rumah kemudian menemukan rumah hancur, kebun, tempat anda mencari nafkah sudah hilang diambil, maka apa yang anda rasakan. Pasti marah, kecewa, ngamuk atau bisa jadi berteriak-teriak mencari siapa pelaku yang tega merusak tempat anda hidup. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada hewan.

Tempat kediaman mereka yang nyaman (baca: hutan) telah lenyap perlahan-lahan. Rute yang biasa mereka lewati bersama keluarga dan handai tolan kini sudah terhalang oleh berbagai bangunan. Tumbuhan yang menjadi santapan mereka pun telah musnah. Tak terperikan rasa marah dan lapar yang mereka derita. Belum lagi jika hewan-hewan ini menjadi buruan lengkaplah sudah penderitaannya.

Ilustrasi di atas bisa menjadi pencerahan bagi kita bahwa tak ada makhluk di bumi ini yang rela kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah. Namun manusia yang dikarunia akal untuk berpikir tentu saja menang dalam ‘menindas’ satwa-satwa tersebut. Tak ayal satwa pun semakin terpinggirkan, atau perlahan-lahan musnah dari muka bumi.

Konflik satwa dan manusia sudah semakin sering terjadi. Padahal kedua makhluk ciptaan Allah SWT ini telah mempunyai habitat masing-masing, manusia di pemukiman dan satwa di hutan. Namun seringkali manusia melanggar batas demarkasi ini sehingga mau tak mau memancing satwa melakukan tindakan serupa karena instinknya. Manusia semakin masuk ke dalam hutan, untuk berkebun atau pun menebang pohon ataupun mengambil hasil hutan lainnnya.

Hewan liar yang kehilangan tempat tinggal, secara instink tentu saja mempertahankan hidupnya. Mereka mencari makanan hingga masuk ke daerah pemukiman penduduk. Hal ini sebenarnya sangat jarang kita dengar dahulu. Sekarang, sangat sering kita dengar hewan masuk kampung, merusak kebun bahkan tak jarang menyebabkan kematian penduduk.

Penduduk juga akhirnya membalas. Mereka menganggap hewan liar tersebut adalah hama, merusak kebun dan mengancam keselamatan manusia. Jerat pun ditebarkan. Hewan yang terperangkap bisa sekarat atau mati, jika bernasib baik masih bisa diserahkan ke lembaga yang berwenang.

Seperti yang terjadi pada masyarakat Aceh Jaya yang menjerat gajah hingga mati. Mereka bukan tak beralasan, kebun dirusak, nyawa pun bisa-bisa terancam. Digelarlah musyawarah untuk mencari cara mengusir gajah. Karena mereka menganggap hama, maka wajar jika hama dibasmi saja alias di bunuh. Yang mereka tak pahami bahwa hewan-hewan liar yang mulai langka tersebut dilindungi Undang-undang sehingga siapapun yang melanggarnya bisa masuk bui yang dingin.

Disinilah manusia harus menjadi lebih bijak karena kita merupakan makhluk yang paling mulia di jagad ini. Manusia harus menggunakan akal pikiran agar sesama makhluk hidup tidak saling mengganggu. Pasti ada cara tanpa menyakiti jika memang ingin dicari dengan serius. Hingga kedepan, manusia dan satwa bisa hidup berdampingan secara damai karena bumi ini memang disediakan cukup bagi semuanya.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

PN Calang Gelar Sidang Perdana Kasus Gajah ‘Papa Genk’

PN Calang, Rabu (18/12/2013) menggelar sidang perdana kasus pembunuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang terjadi di Desa Ranto Sabon Kecamatan Sampoiniet Aceh Jaya. Hadir 14 orang terdakwa yang dipecah menjadi dua berkas, 13 orang satu berkas dan satu orang (keuchik) satu berkas lain. Sidang ini mendengarkan pembacaan surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang disampaikan oleh Afrizal Chair, SH.

Para terdakwa mulai dari penyidikan hingga penyerahan berkas ke pengadilan tidak ditahan atau mendapat penangguhan penahanan. Majelis Hakim dipimpin oleh Hakim Novian Saputra, SH. M.Hum, dengan anggota Jamaluddin, SH dan H. Hamzah Sulaiman, SH.

Dalam dakwaannya, JPU mengatakan ke-14 terdakwa yang merupakan penduduk Desa Ranto Sabon, umumnya bekerja sebagai petani, pada hari Rabu (10 Juli 2013) bertempat di pinggir sungai dalam desa tersebut, bersama-sama memasang perangkap yang akhirnya menjerat gajah hingga mati. Mereka membuat perangkap dari kayu dengan panjang 3 meter, kemudian menempatkan bilah besi sepanjang 1 meter di sisi kayu tersebut. Perangkap ini kemudian diikat ke pohon dengan tali.

Pada saat ‘Papa Genk’ melintas di bawahnya dan menyentuh perangkap, maka besi jatuh ke bawah dan menimpa gajah tersebut yang mengakibat gajah tewas. Gambar gajah tewas ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan mendapat tanggapan luas dari masyarakat.

Setelah gajah mati, para tersangka mengupas kulit kepala, memotong daging pada bagian kepala gajah dan akhirnya memotong kedua gading gajah. Gading tersebut kemudian diserahkan ke kepala desa (keuchik), Amiruddin bin Alm  Mahmud untuk disimpan. Keuchik ini disidang dengan berkas yang terpisah.

JPU mendakwa para tersangka dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup yaitu seekor gajah. Perbuatan tersebut melanggar pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Para tersangka terancam hukuman penjara maksimal 5 tahun.

Sidang dengan nomor perkara PDM-21/CLG/11/2013 untuk 13 tersangka dan nomor perkara PDM-22/CLG/11/2013, ditunda hingga Senin, tanggal 23 Desember 2013 dengan agenda pemeriksaan para saksi.

Sebelumnya, penyelidikan kasus pembunuhan ini sempat terkendala karena ada perlawanan dari masyarakat Desa Ranto Sabon. Namun,  atas jaminan tokoh masyarakat setempat termasuk Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman, warga mendatangi kantor polisi, bersedia diperiksa.

Setidaknya, ada 30 warga desa diperiksa sebagai saksi. Hasil pemeriksaan menetapkan 14 tersangka. Pemasangan perangkap menjerat ‘Papa Genk’ diketahui dan disetujui seluruh warga yang musyawarah di Meunasah. Mereka beralasan Genk harus dibunuh karena meresahkan warga dan menimbulkan kerugian karena gajah merusak kebun warga.

Kasus pembunuhan Genk mencuat ke publik setelah ada kampanye melalui sosial media yang menarik perhatian banyak orang di Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri. Kampanye oleh para penyayang satwa meminta kasus pembunuhan itu diusut tuntas. Sebuah petisi juga dilayangkan anak muda Aceh Aulia Ferizal untuk mengusut pembunuhan Genk.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merespon kampanye itu melalui akun twitter mereka. Presiden mengintruksikan Kementrian Kehutanan dan Polda Aceh mengusut tuntas kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi.[]

read more
1 3 4 5 6 7 8
Page 5 of 8