close

gajah

Flora Fauna

Jaksa Selidiki Restoran Sajikan Daging Lumba-Lumba

Jaksa di Civitavecchia, Italia, sedang menyelidiki dugaan adanya penyajian daging lumba-lumba secara ilegal di sejumlah restoran di daerah yang berada di utara ibu kota Roma itu.

Dilansir The Guardian, Selasa (17/12/2013), seorang wartawan dari stasiun Italia Uno diam-diam mendokumentasikan hidangan salad dengan irisan tipis daging lumba-lumba kering (dolphin fillet) pada salah satu restoran di Civitavecchia.

Menurut dia, setiap pelanggan sampai harus merogoh uang hingga 100 euro untuk bisa mencicipi daging mamalia laut cerdas tersebut. Seorang pedagang yang diwawancarai Italia Uno mengklaim, harga daging lumba-lumba yang dijual di Roma berkisar 900 euro per kilogramnya.

Dia mengatakan, beberapa restoran di ibu kota Italia yang menyajikan hidangan lumba-lumba, tidak mencantumkan makanan tersebut pada menu mereka. Para pelanggan harus menggunakan semacam sandi saat memesannya.

“Cara terbaik untuk menikmatinya adalah dengan bawang segar, seledri, dan tomat,” kata pedagang tersebut.

Seorang nelayan menuturkan, daging yang dijual di restoran-restoran tadi biasanya berasal dari lumba-lumba yang tak sengaja ikut terjaring saat menangkap ikan. “Mayoritas, lumba-lumba yang tertangkap itu sudah mati ketika ditarik dari air,” ujarnya.

Seorang pejabat di kepolisian lingkungan hidup Italia, Ciro Lungo mengatakan, instansinya saat ini tengah melakukan investigasi atas masalah ini. Ia mengaku sudah mendengar rumor soal adanya daging lumba-lumba yang disajikan di Italia, jauh-jauh sebelumnya.
Sumber: republika.co.id

read more
Flora Fauna

Orangutan, Dilindungi Tapi Diburu

Deforestasi adalah salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati yang ada, salah satunya adalah Orangutan yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang keberadaannya kini semakin terancam. Hilangnya hutan sebagai akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet menyebabkan konflik antara Orangutan dengan manusia semakin nyata.

Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, seperti pembantaian Orangutan di Kalimantan Timur adalah bukti adanya konflik tersebut. Padahal, Orangutan adalah salah satu primata yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Jamartin Sihite Acting CEO The Borneo Orangutan Survival Foundation mengatakan, Secara internasional melalui Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora – CITES telah memasukkan Orangutan sebagai salah satu satwa yang dilindungi karena terancam kepunahannya dan Indonesia telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya pelanggar terhadap peraturan ini diancam dengan pidana kurungan selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta.

“Bahwa menangkap, melukai, dan membunuh Orangutan adalah melanggar pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990,” katanya.

Menurut Dia, konflik antara Orangutan dengan manusia disebabkan oleh adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang mengakibatkan satwa dilindungi ini masuk ke perkampungan penduduk untuk mencari makan, ancaman selanjutnya adalah kebakaran hutan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Conferency on Parties (COP) ke 13 Tahun 2007 di Bali mengatakan, bahwa Orangutan memiliki peran penting dalam climate change (perubahahn iklim), ketika Orangutannya ada, pasti hutannya sehat serta memiliki peran dalam perubahan iklim. Salah satu rencana aksi konservasi primata ini adalah penegakan hukum terhadap kasus-kasus menyangkut satwa dilindungi ini.

Jamartin CEO mengatakan, kendala lainnya adalah saat melakukan rescue atau pertolongan terkait Orangutan agar dipermudah birokrasi perizinannya. Selama ini, izin perlengkapan senjata bius untuk rescue terhadap primata dilindungi ini melalui beberapa pintu, seperti Bea Cukai, Kepolisian, baik Mabes Polri juga Polda dan bahkan sampai  Badan Intelejen. Hal inilah salah satu hambatan dalam proses rescue tersebut.  “Padahal itu merupakan tugas Negara, menyelamatkan asset Negara,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, terkait Orangutan yang masuk ke perkampungan penduduk yang disebabkan hutannya di buka oleh swasta oleh karena itu swasta juga harus ikut bertanggung jawab dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kalau ada Orangutan masuk perkampungan jangan dibunuh.

Hardi Baktiantoro Principal Centre for Orangutan Protection – COP mengatakan, satu ekor anak Orangutan yang sampai ke pusat penyelamatan itu mewakilkan 2 hingga 10 ekor  Orangutan yang mati dan tidak dilaporkan dan itu masuk akal. “Saat rescue Orangutan tidak selamanya berhasil. Ada yang tertusuk tangannya ada yang kena ranting dan umumnya bayi yang diselamatkan juga tidak bisa survive,” katanya.

Populasi Orangutan di Kalimantan berdasarkan data pada 2004 sebanyak 52 ribu ekor. Sedangkan di Sumatera sebanyak 5.500 ekor. Khusus populasi liar yang bertahan saat ini hanya terdapat di daerah barat laut pulau Sumatera, tepatnya berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Sumber: ekuatorial.com

read more
Green Style

Bertamu ke Rumah Batman Bahorok

Mereka bergantungan beramai-ramai di langit-langit selama berhari-hari. Seolah-olah tiada merasa capai. Sementara itu beberapa rekan lainnya sibuk mondar-mandir tak karuan, ntah apa yang dicarinya. Beberapa spesies lain ikut meramaikan lubang-lubang gelap di perut bumi. Kalong, kampret ataupun kelelawar, begitu masyarakat biasa menyebutnya. Hewan bertaring dan suka makan buah ini populer lewat film Batman yang dibuat berjilid-jilid.

Siang hari itu, di bulan Mei 2013, saya bersama seorang teman berkesempatan untuk melihat langsung Gua Kampret (Bat Cave) yang terletak di Desa Namu Samsah kecamatan Bahorok Sumatera Utara. Nama desa tersebut tidak begitu terkenal di jagad pariwisata tetapi jika kita menyebutnya Bukit Lawang maka ingatan akan kembali ke beberapa tahun lalu saat banjir bandang besar menyapu daerah ini. Lokasi gua kampret berada di seputaran Bukit Lawang. Kali ini kami bukan ingin melihat sisa-sisa banjir yang tentu saja sudah tak ada lagi.

Dari penginapan Ecolodge, sebuah resort wisata yang indah miliki Yayasan Ekosistem Lestari di Bukit Lawang, kami bergerak menuju gua kampret yang berjarak 2 km. Begitulah yang tertera di papan penunjuk jalan di halaman resort. Lumayan jauh juga bagi saya yang bukan seorang pejalan kaki tulen. Saya masih berharap jaraknya tidak sejauh itu, karenanya saya bertanya pada seorang petugas hotel.

“Cuma setengah jam saja menuju ke gua kampret,”kata bapak petugas sekuriti tersebut. Kalau cuma segitu kayaknya saya dan rekan pasti mampu menempuhnya. Cuaca pagi pun tidak terlalu panas dan tidak dingin alias sedang-sedang saja. Kami pun mulai melangkahkan kaki menuju gua dari halaman belakang resort.

Pemandangan pertama yang menyergap mata adalah sebuah kolam ikan seukuran lapangan bola kaki. Di atas kolam tersebut tampak sebuah pondok mungil dan sebuah kandang kambing. Ini tampaknya apa yang mereka sebut sebagai Fishfarming, sebagaimana yang saya baca di brosur resort. Fishfarming artinya lebih kurang mengusahakan ikan dengan memberi makan secara alami. Kalau disini berarti ikan-ikan tersebut makan dari kotoran kambing yang berjatuhan langsung ke dalam kolam.

Jalanan yang kami lalui adalah jalanan tanah selebar tiga meter namun telah dibeton dengan dua lajur. Jadi jalanan ini akan mudah kalau dilalui dengan kendaraan bermotor roda dua. Tapi sepertinya tak banyak roda dua yang melintasi jalan, setidaknya pada saat itu. Kami berjalan dengan penuh semangat. Di kiri-kanan jalan dipenuhi dengan berbagai pepohonan dan tanaman keras.

Pepohonan karet tampak berjejer, kemudian silih pemandangan berganti dengan tanaman sawit yang masih kecil. Selain itu tampak juga pohon durian dan beberapa pohon lain yang tidak begitu saya kenal. Treking ini cukup menyenangkan, terlebih ternyata kami melewati halaman beberapa bangunan, sebuah penginapan dan sebuah panti asuhan milik pribadi. Halaman penginapan yang kami lewati begitu asri, rumput-rumputnya rata tertata rapi. Saat melintasi panti asuhan, beberapa ornamen ceria warna-warni terhampar diseputaran panti tersebut. Ada tulisan unik “Panti asuhan ini milik pribadi, kalau mau masuk harap minta izin dulu,”.

Nyaris setengah jam berjalan, peluh pun mulai menetes membasahi baju-baju. Treking beton berakhir pada pada penunjuk arah “Cave Bat” yang menunjuk menyerong dari trek tersebut. Perasaan pun menjadi ragu, apakah terus mengikuti trek tersebut atau ikut-ikutan bermain “serong’ sebagaimana petunjuk jalan. Rasa ragu tersebut kami tuntaskan dengan bertanya pada seorang remaja yang kebetulan lewat dengan sepeda motor. Wow..ternyata banyak juga sepeda motor yang melintasi trek ini karena pepohonan di kiri-kanan jalan merupakan kebun masyarakat yang mereka kunjungi.

“Kalau mau ke gua lewat sini bang,”kata remaja tersebut yang sampai akhir kunjungan kami lupa menanyakan namanya tapi kami tak lupa mengucapkan terima kasih. Tangannya menunjuk ke arah serong, sesuai dengan penunjuk jalan di titik penghabisan jalan beton. Kami pun diminta mengikutinya, ternyata dia kebetulan hendak bermain-main juga ke gua kampret. Perjalanan ke gua masih butuh waktu sekitar 10 menit lagi rupanya. Sedikit lagi kami harus melewati tanjakan dan akhirnya sampailah kami di muka gua. Ada sebuah balai-balai kecil, dengan tiga pria duduk di atasnya.

Ketika saya mulai memperkenalkan diri, kekakuan pun mulai melumer. Kami tersenyum satu sama lain. Mereka pun memperkenalkan diri satu persatu. Seorang bapak yang berumur sekitar 54 tahun menyebutkan namanya,”Saya Sarakata Sembiring, orang Karo, udah hampir tiga tahun saya bekerja menjaga pintu masuk gua ini.”

Seorang pemuda lainnya memperkenalkan diri sebagai Herman dan seorang lagi menyebut dirinya Tarsim Ginting. “Kami main-main saja kesini kalau sedang mengangon (mengembala-red) kambing,”kata Herman yang diiyakan oleh Tarsim. Ternyata cuma Pak Sarakata yang menjaga tempat tersebut. Lahan menuju pintu gua dimiliki oleh seseorang yang bernama Tencong Ginting yang juga merupakan majikan Pak Sarakata.

Saya dan teman melepaskan lelah sebentar sebelum “menenggelamkan” diri ke perut bumi rumah kalong tersebut. Sambil beristirahat, saya pun menggali sedikit informasi tentang keberadaan gua dan kalong-kalong hitam tersebut.

Menurut cerita Pak Sarakarta tempat tersebut sudah mulai dikunjungi sejak lebih kurang 25 tahun lalu. “Waktu itu ongkos masuknya cuma seratus perak,”kami semua tertawa mendengar kalimat terakhir, betapa murahnya dibandingkan dengan ongkos masuk sekarang yang Rp.5 ribu. Ia melanjutkan ceritanya mengenai jumlah pengunjung. Tak tentu-tentu jumlah turis yang datang katanya. Kadang delapan orang, kadang bisa lebih dan kadang-kadang tak ada satupun yang datang berkunjung.

Selain mengutip biaya masuk, Pak Sarakata  juga menyediakan peralatan senter untuk melihat-lihat di dalam gua. Juga tersedia air minum dalam kemasan dalam ukuran sedang, sebuah pilihan yang bagus mengingat kami pun membutuhkannya usai menelusuri gua.

Menurut beberapa literatur yang saya baca, kotoran kalong sangat bagus dibuat sebagai pupuk. Kotoran tersebut kaya dengan kandung Fospat. Kalong sendiri juga sering diburu oleh orang-orang tertentu untuk disantap.

“Kami tidak mengambil kotoran kalong karena sedikit dan sudah terbawa air. Didasar gua ada air yang mengalir yang merembes dari lubang atau rekahan di langit-langit. Kalong dilarang tangkap kecuali untuk orang-orang tertentu yang membutuhkan sebagai obat,”kata Pak Sarakata. Memang ada cerita yang beredar bahwa kalong dapat menyembuhkan penyakit Asma.

Daerah gua tersebut merupakan daerah perbukitan sehingga tidak terkena bencana banjir bandang besar yang terjadi tahun 2004 lalu. Sayangnya menurut Pak Sarakarta pemerintah masih sedikit perhatiannya terhadap objek wisata gua. Walaupun demikian, pemerintah telah membangun treking dan beberapa jembatan kecil di daerah tersebut.

Menelusuri gua bagi yang belum pernah melakukannya lebih baik didampingi oleh pemandu. Herman, bersedia menjadi pemandu kami walaupun sebenarnya dia tidak berprofesi sebagai pemandu. “Kalau ada yang butuh boleh, kalaua tidak juga tidak apa-apa. Kami tidak mau menawarkan diri takut dianggap nanti memaksa. Soal biaya, seberapa saja saya terima,”begitu katanya lebih kurang.

“Kelelawar itu pembawa rezeki bagi kami. Jadi kami merawatnya lah,”kata Pak Sarakata saat kami bersiap-siap memasuki gua. Dengan dilengkapi senter yang bisa diikatkan di kepala sebagaimana yang biasa dipakai penambang, kami pun perlahan berjalan turun, memasuki gua. Dari jauh sudah mulai tampak rongga-rongga gua yang siap menelan kami. Kegelapan perlahan menyelimuti, ada sedikit rasa was-was. Tapi saya berpikir, toh disini ada pemandu dan banyak sudah orang berkunjung, tentunya gua ini aman lah.

Keciprak air berbunyi dari kaki melangkah di dasar gua. Kami melangkah perlahan-lahan menyusuri dinding gua sambil mata menatap ke langit-langit. Tampak si Batman bergantungan, tidak terlalu banyak memang. Masih banyak ruang yang tersedia sehingga kalong tidak perlu berdesakan bergantungan. “Kalongnya tidak terlalu banyak namun mereka terus berkembang. Tapi kalong-kalong akan menghindar kalau mereka menciumi bau-bau aneh sehingga jumlahnya kadang berkurang,”Herman menjelaskan sambil berjalan.

Bahkan pernah suatu kali, satu rombongan pengunjung dari etnis tertentu melakukan sebuah ritual di dalam gua. Mereka membakar semacam hio yang menimbulkan aroma khas sehingga membuat kelelawar berterbangan. “Kadang-kadang parfum-parfum yang dipakai bule-bule pun bisa bikin mereka menghindar,”ujar Herman kembali.

Ada beberapa spot mendatar di dalam gua tersebut. Sangat cocok bila pengunjung ingin beristirahat sejenak menikmati staklatit dan stalakmit. Ada beberapa rekahan dan lubang-lubang yang cukup besar di langit-langit sehingga sinar matahari pun dapat menancap ke dalam gua. Pada bagian tertentu ruang gua temaram, ada yang cukup terang sehingga bisa membaca. Tapi sebagian besar lubang tersebut hitam gelap pekat alias tanpa ada cahaya. Tapi kami karena sudah dibekali dengan senter bisa dengan mudah menelusuri gua.

Ada tiga spot utama dalam gua tersebut yang kira-kira menghabiskan waktu satu jam untuk menjelajahinya. Tiap-tiap spot ditandai oleh lubang besar di langitnya. Untuk menuju spot-spot tertentu sering kita harus merendahkan diri atau mengecilkan perut. Maksudnya harus menunduk dalam berjongkok karena celahnya cukup rendah dan sempit. Susah mungkin bagi orang yang berbadan besar.

Kelelawar tersebut berukuran sekitar genggaman tangan remaja. Tidak terlalu besar memang, hanya sedikit yang berukuran segenggam kepalan orang dewasa. Pada saat melangkah kami sering harus berhati-hati karena bebatuannya cukup tajam, mirip dengan bentuk pisau. Bebatuan diasah oleh tetesan air selama puluhan tahun, mungkin ratusan tahun. Pada dinding-dinding juga terdapat batuan yang berbentuk air menetes didinding namun sudah membeku, ntah sudah berapa lama.

Sayangnya kami melihat banyak grafiti di dinding gua. Menurut Herman, ini ulah anak-anak sekolah yang memang sering mengadakan kunjungan. Pahatan-pahatan pada dinding gua yang bertuliskan nama orang, nama tempat bahkan nama-nama sekolah. Tampaknya tempat-tempat wisata selalu saja tak lepas dari gangguan tangan jahil manusia. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Ibrahim Si Pencari Jejak Badak dari Hutan Ketambe

Hanya dengan melihat atau menciumnya, dia sudah mengetahui apa nama tanaman ataupun jejak binatang apa yang dilihatnya. Keahliannya ini diperoleh setelah menjalani pekerjaan sebagai peneliti biodiversity terutama mamalia selama puluhan tahun di hutan Leuser, terutama di daerah Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi
Ibrahim Ketambe | Foto: dok pribadi

Namanya singkat saja, Ibrahim, lahir sekitar 47 tahun lalu, tinggal di Desa Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara. Ia menyebut dirinya sebagai asisten peneliti Mamal di daerah Ketambe dan sekitarnya. Ketambe sendiri merupakan sebuah stasiun riset di Taman Nasional Gunung Leuser yang banyak melahirkan para ahli biodiversity kelas dunia. Dan Ibrahim lewat tangan dinginnya dan pengetahuannya yang tinggi tentang hutan telah membantu puluhan sarjana dan profesor.

Ditemui di suatu pagi yang mendung di Banda Aceh, Ibrahim bercerita banyak hal ihwal dirinya dan pekerjaan yang dilakoni selama lebih kurang 20 tahun belakang. Ia saat itu baru saja pulang dari Kalimantan Timur untuk survey badak di kawasan hutan. Ya, keahliaannya di bidang ‘isi’ hutan telah membawanya melanglang buana ke berbagai pelosok rimba gelap di Indonesia.

Ibrahim telah banyak melakukan survey mamalia dan tumbuhan dalam hutan. Ia biasanya membantu para peneliti mencari jejak hewan liar dan mencatat berbagai tumbuhan langka. Ia hapal nama ratusan jenis tumbuhan, hanya dengan melihat sekilas saja.

Survey yang dirasakan paling berat selama hidupnya adalah survey badak karena medan yang ditempuh naik-turun pegunungan, areal yang dijelajah sangat luas dan mereka sering diguyur hujan lebat. Maklum saja, di hutan hujan (rainforest) hutan tak tentu-tentu turunnya. Ibrahim bersama tim sering harus berlama-lama di hutan, menghabiskan sekitar 2 minggu di belantara.

Ibrahim berbagi cara tentang mencari jejak badak. “Kita melihat jejak kakinya di tanah dan bekas pakannya (bekas rumput yang dimakannya), atau melihat kubangannya atau kotorannya,” kata Ibrahim yang juga dikenal dengan panggilan Ibrahim Ketambe.

Bekas tapak tersebut kemudian diukur lebar dan panjangnya dan ciri lainnya sehingga nantinya dapat dibedakan dengan jejak lain yang ditemukan. Sedangkan dari tumbuhan bekas makanannya dari diprediksi ukuran badak melalui tinggi gesekan pada tumbuhan tersebut. “ Dari beda-beda ukuran ini maka bisa dihitung berapa banyak badak yang ada di hutan tersebut,” katanya.

Biasanya mereka menemukan 2-3 jejak badak yang berbeda dalam area seluas 16 km persegi. Mereka memulai melacak jejak badak dengan mengikuti rute perjalanan badak itu sendiri. Biasanya mereka memulai survey badak dari daerah yang topografinya tidak terlalu curam dan tempat dimana banyak terdapat tumbuhan yang dimakan hewan berkulit tebal tersebut.

Badak mempunyai penciuman yang sangat sensitif, mampu mencium kehadiran manusia dari jarak sekitar 1 km dan suka berada dalam semak-semak. “ Saya belum pernah berjumpa langsung dengan badak karena hewan tersebut langsung tahu kehadiran manusia. Tapi kalau hewan lain saya sudah pernah ketemu langsung,” ujar Ibrahim.

Ada satu penelitian yang sangat berkesan ketika ia bersama peneliti dari Belanda, Carel Van Schak di tahun 1993 menemukan orangutan yang memakai alat bantu untuk mencari makanan. Mereka menemukan orangutan cerdas ini di hutan Suak Belimbing Aceh Selatan.

Ibrahim banyak membantu mahasiswa S1 hingga S3, dalam negeri hingga luar negeri melakukan penelitian hutan. Mahasiswa IPB, Unas, Unsyiah, Utrech Belanda dan sebagainya sering meminta bantuannya saat meneliti biodiversity hutan. Ia pun bangga dengan kondisi hutan Aceh yang masih bagus dibandingkan dengan hutan di daerah lain yang pernah dikunjunginya.

“ Kalau dibandingkan dengan hutan di Indonesia, kondisi hutan Aceh yang paling bagus. Kerapatannya dan curah hujannya masih tinggi,” demikian alasannya. Ibrahim telah melanglang buana ke hutan di Menado, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah lain.

Di hutan yang tandus atau minim vegetasi, hewan hanya lewat saja tetapi kalau di hutan yang lebat hewan akan singgah mencari makan.

Seorang anaknya kini meneruskan jejaknya sebagai ahli biodiversity. Ibrahim akan terus bekerja seperti sekarang sepanjang ada yang membutuhkan keahliannya. Tak ketinggalan perusahaan multinasional pun pernah melibatkannya dalam survey hutan.

Uniknya, Ibrahim sering memberikan nama tumbuhan dengan bahasa daerahnya yaitu bahasa Gayo  walaupun tumbuhan tersebut ditemukan di daerah lain di luar Aceh. Misalnya saja Medang Kulu atau Gerupee Rawan. Tumbuhan tersebut diberi nama lokal untuk kemudian diberi nama ilmiah.

Keahlian yang dimiliki Ibrahim memang sangat langka. Apalagi dimasa sekarang dimana anak muda berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota. Ibrahim dan hutan memang tidak bisa dipisahkan.[m.nizar abdurrani]

read more
Flora Fauna

Brimob Gorontalo Tolak ‘Souvenir’ Hewan Liar Mereka Disita

Ratusan anggota Brimob Gorontalo yang baru tiba dari Ternate menggunakan KM Lambelu, kedapatan membawa ratusan satwa dilindungi seperti burung kakak tua raja, kakak tua jambul kuning, nuri, elang Maluku dan satwa lain pada Rabu (4/12/2013). Kala hendak disita Karantina, Brimob menolak, bahkan sempat terjadi intimidasi terhadap wartawan yang hendak meliput penyitaan ini.

Awalnya, wartawan menduga ratusan burung itu sebagai bukti sitaan polisi. Ketika menelusuri lebih jauh, ternyata mereka mendapati SSK Brimob Polda Gorontalo, tidak membawa izin penyitaan burung.

Bahkan, kala karantina hendak menyita, anggota Brimob Gorontalo malah menolak dan melawan. “Mereka mengaku ratusan burung itu souvenir, tapi saat difoto malah mengeluarkan suara keras,” kata Abineno, wartawan Beritamanado.com di Manado, Jumat (6/12/13).

Aparat nyaris merampas kameranya. Meski berulang-ulang coba menenangkan situasi, dia nyaris saja menerima pukulan. “Saya memotret Christian yang didorong dan dimaki brimob. Setelah itu, mereka memerintahkan menghapus gambar di dalam kamera. Saya menolak.”

Awalnya, beberapa wartawan Kota Bitung ini hendak memasuki ruang dialog antara Penanggung Jawab Balai Karantina, Kapolsek Bitung dan Komandan Kompi Brimob Gorontalo, yang hendak menyelesaikan permasalahan ini.

Saat berniat memasuki Kantor Karantina, beberapa wartawan dicegat dan menerima makian dari anggota Brimob yang sedang emosi. “Mereka tidak mengizinkan saya masuk ke ruang dialog. Beberapa aparat malah mendorong dan mengeluarkan makian. Saya nyaris dipukul,” kata Christian Wayongkere, wartawan Tribun Manado.

Saat kejadian berlangsung Kepala Balai Karantina dan Polsek tidak berani menindak tegas. Mereka membiarkan brimob membawa ratusan satwa ini untuk menghindari konflik lebih luas.

“Katanya satwa itu dibawa sebagai souvenir setelah mereka bertugas selama setahun di Ternate,” kata Sugiman, Kepala Kantor Balai Karantina Kelas I Manado di Kota Bitung, dikutip dari Beritamanado.com.

Dia mengaku berusaha menjelaskan kepada Iptu Rustam, Danki Brimob Gorontalo, soal satwa yang dibawanya melanggar aturan. Namun dia bersama staf tak bisa berbuat banyak apalagi menindak karena situasi tak memungkinkan. “Situasi tidak memungkinkan untuk penyitaan karena mereka pasti melawan. Maka kami biarkan saja, toh juga satwa itu akan dibawa ke Gorontalo.”

AJI Kecam Arogansi Brimob

Yoseph Ikanubun, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Manado, mengecam arogansi anggota Brimob Polda Gorontalo ini. Menurut dia, tindakan itu tidak hanya melanggar kerja jurnalis menyebarkan informasi, namun terindikasi mengaburkan fakta di lapangan.

Menyikapi permasalahan ini,  AJI menuntut kapolri segera menindak tegas anggota brimob ini. Yoseph menilai, aparat kepolisian seharusnya menjadi bagian penegakan hukum, bukan melakukan intimidasi sebagai pembenaran.

read more
Ragam

Minggu Depan Sidang Pembunuhan Gajah Dimulai

Kasus pembunuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Sampoinet Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, pada 13 Juli 2013, akan mulai persidangan di PN Calang, minggu depan. Proses hukum pembunuhan gajah yang diberi julukan ‘Papa Genk” telah berjalan selama empat bulan. Gading gajah mati ini kemudian diambil oleh para tersangka.

Ada 14 orang menjadi tersangka dalam kasus ini. Semua warga Desa Ranto Sabon, tempat Genk dibunuh, termasuk keuchik (kepala desa).

Polres Aceh Jaya telah melimpahkan berkas pembunuhan satwa dilindungi itu kepada Kejaksaan Negeri Calang pada 12 November lalu berikut barang bukti sepasang gading dan alat pembunuh gajah seperti kampak, tombak dan pohon. Penyelidikan kasus ini berjalan setelah masyarakat Desa Ranto Sabon menyerahkan sendiri gading Genk dan alat bukti lain awal Agustus lalu.

Sebelumnya, penyelidikan kasus pembunuhan ini sempat terkendala karena ada perlawanan dari masyarakat Desa Ranto Sabon. Namun,  atas jaminan tokoh masyarakat setempat termasuk Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman, warga mendatangi kantor polisi, bersedia diperiksa.

Setidaknya, ada 30 warga desa diperiksa sebagai saksi. Hasil pemeriksaan ditetapkan 14 tersangka. Amiruddin, Kepala Desa Ranto Sabon, mengatakan, pembunuhan Genk diketahui dan disetujui seluruh warga yang musyawarah di Meunasah. Mereka beralasan Genk harus dibunuh karena meresahkan warga dan menimbulkan kerugian. Sebab,  banyak kebun warga dirusak.

AKBP Abdul Azas Siagian, Kapolres Aceh Jaya beberapa waktu lalu, menyebutkan, para tersangka itu tidak ditahan polisi, karena sudah ada jaminan mereka akan kooperatif. “Empat belas tersangka tidak kita tahan.”

Kasus pembunuhan Genk mencuat ke publik setelah ada kampanye melalui sosial media yang menarik perhatian banyak orang di Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri. Kampanye oleh para penyayang satwa meminta kasus pembunuhan itu diusut tuntas. Sebuah petisi juga dilayangkan anak muda Aceh Aulia Ferizal untuk mengusut pembunuhan Genk.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merespon kampanye itu melalui akun twitter mereka. Presiden mengintruksikan Kementrian Kehutanan dan Polda Aceh mengusut tuntas kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi.

Gajah Mati Lagi
Seekor anak gajah Sumatera betina diperkirakan enam tahun, ditemukan mati di sungai oleh warga beberapa hari lalu di Desa Masen Kecamatan Darul Hikmah Kabupaten Aceh Jaya. Menurut keterangan Badrul Ali, Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Jaya, Selasa (3/12/13),  gajah mati diduga terseret arus banjir dari hulu sungai di hutan.

Warga menemukan anak gajah mengapung di sungai dekat desa. “Kami berencana mengubur gajah itu,” kata Badrul. Selama 2013, tercatat delapan gajah Sumatera mati di Aceh. Tahun 2012 ada 14 gajah mati sebagian besar dibunuh.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Flora Fauna

Mahasiswa Temukan Spesies Burung Baru di Kampus IPB

Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan IPB kembali mencatat spesies baru dari burung (aves) di kawasan Kampus IPB Dramaga. Kali ini, Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Perenjak” HIMAKOVA menemukan burung dari suku Cuculidae berjenis Kadalan Birah (Phaenicophaeus curvirostris), atau yang dalam bahasa Inggris disebut Chesnut-breasted Malhoka.

“Kadalan Birah, selain baru tercatat keberadaannya di Kampus IPB Dramaga, juga baru tercatat keberadaannya di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi saat anggota KPB Himakova melakukan pengamatan burung pada tanggal 7 September 2013. Saat itu, Reza Aulia Ahmadi yang menemukan spesies ini dan sempat membuat artikelnya,” kata Ketua Biro Infokom HIMAKOVA Arizka Mufida.

HIMAKOVA yang aktif melakukan monitoring burung di Kampus IPB Dramaga, telah mencatat sekitar 90 spesies burung yang ada di kampus ini. Kadalan Birah sendiri ditemukan oleh anggota KPB ketika melakukan pengamatan di sekitar Kebun Sawit Cikabayan, Kampus IPB Dramaga, usai praktikum Inventarisasi Mamalia pada Senin (25/11/2013).

“Kadalan Birah termasuk jenis burung yang sulit ditemukan di kampus IPB Dramaga. Sebenarnya pada monitoring KPB sebelumnya, sudah pernah ditemukan spesies ini, namun karena masih sekali ditemukan dan tidak ada dokumentasi sehingga buktinya masih belum kuat. Adanya dokumentasi dari Ichy, membantu proses identifikasi dan menjadi bukti otentik adanya spesies ini,” ujar Ketua KPB HIMAKOVA Muhammad Fahmi Permana.

Kadalan Birah memiliki ciri-ciri morfologi yang cukup mencolok, dengan ukuran tubuh 49cm serta warna yang dominan hijau dan merah karat pada seluruh tubuhnya. Burung ini umum dijumpai di dataran rendah dengan kebiasaan mengunjungi semak belukar, padang alang-alang dan bertengger di tajuk-tajuk pohon kecil bersama pasangannya ataupun dengan keluarga kecil.

“Pada saat ditemukan, burung tersebut sedang bertengger dan meloncat-loncat di ranting pohon Sengon dan ditemukan berpasangan. Awalnya, saya mengira burung ini adalah Burung Bubut. Namun, setelah dilakukan pengambilan foto yang dilanjutkan dengan identifikasi jenis, diketahui bahwa burung tersebut merupakan Kadalan Birah,” tutur Richsy M Fauzi (Ichy), anggota KPB HIMAKOVA yang menemukan spesies tersebut.

Kampus IPB Dramaga menjadi habitat beragam jenis burung karena kondisi kampusnya yang mendukung, salah satunya daerah Cikabayan. Kondisi Cikabayan yang mempunyai berbagai vegetasi, di antaranya tegakan karet, sengon, kelapa sawit, padang alang-alang dan vegetasi hutan alam lainnya, menjadi faktor utama keberagaman jenis burung di kampus ini.[]

Sumber: republika.co.id

read more
Flora Fauna

Puluhan Gajah Liar Digiring Kembali ke Habitatnya

Seekor gajah keng atau pimpinan gajah dan 27 ekor gajah lain akhirnya bisa digiring dari kawasan Pegunungan Pante Peusangan, Kecamatan Juli dan Blang Paya di Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Aceh. Penggiringan satwa liar ini memakan waktu hampir sepuluh bulan berkat kerja keras duet tim Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.

Penggiringan berakhir manis setelah puluhan gajah tersebut kembali ke habitat mereka. Kecemasan warga sudah cukup lama dilayangkan ke dinas terkait, tetapi terkendala waktu dan biaya mendatangkan gajah terlatih untuk mempercepat penggiringan. Warga tak henti-hentinya melaporkan setiap kejadian pengerusakan oleh gajah, tetapi tak kunjung ada respons.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen Irwan SP mengatakan, ulah manusia merambah hutan habitat gajah menjadi pemicu utama mengamuknya gajah liar. Ia mengatakan, sejak zaman dulu kawasan Pegunungan Pante Peusangan Km. 35 dan Blang Paya merupakan jalur lalu lintas gajah liar. Hal itu diakui oleh warga tempatan yang turun-temurun lahir dan menetap di sana.

“Puluhan tahun warga mengaku belum pernah mendengar cerita berpaspasan dengan gajah saat hendak ke kebun, apalagi sampai jatuh korban,” kata Irwan, Sabtu (30/11/2013).

Namun, belakangan ini peristiwa demi peristiwa terjadi akibat amukan gajah sehingga menelan korban nyawa maupun harta. Kepala Desa Blang Paya M Yasin mengatakan, sudah puluhan kali penduduk di sana dikagetkan dengan ulah kawanan gajah yang menggasak kebun dan rumah warga.

Seorang warga bahkan meninggal dunia ketika secara tidak sengaja berpapasan dengan gajar liar itu pada Januari 2013. Warga bernama M Syarif (60), warga Bener Meriah, itu tewas diinjak gajah ketika ia pulang dari kebunnya di Leubok Pisang. Korban yang pulang bersama seorang temannya itu tidak bisa melarikan diri karena tepergok gajah yang sedang marah besar.

“Setelah kejadian itu, warga tidak berani lagi ke kebun hingga kebun dibiarkan terlantar dan warga kebingungan menyiasati perekonomian mereka selama ini,” kata Yasin.

Warga bertambah khawatir jika sewaktu-waktu didatangi gajah yang tersesat dari kawanannya. Hal itu sempat terjadi di sejumlah rumah warga yang bagian dapurnya diobrak-abrik hewan berbelalai tersebut.

“Kejadiannya siang hari sehingga warga cepat menghalau bersama-sama. Bagaimana kalau malam hari di mana warga tertidur pulas?” ujar Yasin.

Berbalut cemas dan resah, akhirnya warga dan perangkat di dua desa itu mengadukannya ke dinas terkait. Setelah dilakukan beberapa kali survei, akhirnya diperoleh kesepakatan tim untuk turun menghalau kawanan gajah liar tersebut.

Selama sembilan hari sejak pertengahan November kemarin, tim Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen dan BKSDA Aceh yang diketuai Andi Aswinsyah menghadapi tantangan berat menggiring kawanan gajah itu ke habitatnya di Pegunungan Cot Rampagoe dan Gunong Goh. Medan berat sebelumnya dilalui tim menuju Pegunungan Blang Paya dan Pante Peusangan.

Bukan perkara mudah menemukan kawanan gajah itu. Tim harus menunggangi empat ekor gajah terlatih dari BKSDA, naik-turun gunung dengan kiri-kanan jurang, serta menyeberangi beberapa anak sungai. Sewaktu-waktu mereka bisa bertemu dengan puluhan gajah liar yang mengamuk. Ulah manusia merambah hutan lindung diyakini menjadi alasan besar menyatukan kekuatan dan kebersamaan warga setempat untuk mengakhiri amukan gajah liar itu. Yasin mengatakan, upaya mencegah amukan gajah liar harus dipikirkan bersama, bukan hanya melaporkan ke dinas terkait. “Penduduk diharapkan menaati untuk tidak melakukan perambahan hutan yang dapat mengganggu habitat gajah,” kata Yasin.

Ia mencoba memberikan solusi dengan menanam pisang monyet di kawasan hutan habitat gajah. Dengan begitu, kebutuhan makanan untuk satwa tersebut dapat terpenuhi.  []

Sumber: theglobejournal/kompas

 

read more
1 4 5 6 7 8
Page 6 of 8