close
Ragam

Terdakwa “Papa Genk” Tak Tahu Gajah Hewan Dilindungi

Masyarakat Desa Ranto Sabon yang menjadi terdakwa pembunuh gajah ‘Papa Genk’ tidak tahu bahwa gajah adalah hewan yang dilindungi Undang-undang. Mereka bermusyawah untuk menjerat gajah tersebut karena menganggap gajah tersebut hama, merusak kebun masyarakat. Terdakwa kini mengharap hakim memberikan keringanan hukum dan pihak terkait memberikan penyuluhan tentang hewan-hewan yang dilindungi.

Keuchik (kepala desa-red) Desa Ranto Sabon yang terletak di Aceh Jaya, Amiruddin bin alm Mahmud, kepada Greenjo, Selasa (18/12/2013) menyampaikan hal tersebut usai sidang perdana kasus pembunuhan gajah. Gajah yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Papa Genk’ mati setelah tertimpa jerat besi tajam di bagian lehernya.

Amiruddin yang telah enam tahun menjadi keuchik (kepala desa-red), menceritakan awalnya masyarakat resah dengan gangguan Papa Genk di pemukiman. Gajah ini merusak kebun dan memakan tanaman. Sebenarnya masih ada gajah lain tapi mereka tidak masuk dalam desa. Hanya Papa Genk saja yang masuk ke desa.  Gajah ini sendiri tampaknya tidak terlalu liar, kata Amiruddin.

Sejak tahun 2005, pasca perdamaian, gajah sudah mulai turun ke sekitar desa katanya. “ Kami minta pemerintah untuk mendampingi, menghalau gajah kembali kedalam hutan. Ada satu masuk gampong, yang lain di luar. Mereka (yang diluar-red) tidak mengganggu jadi kami tidak menghiraukannya,” ujar Amiruddin.

Masyarakat menganggap gajah ini sudah mengganggu, layaknya seperti hama sehingga bermusyawarah untuk membasminya. Mereka sepakat memasang jerat di lintasan yang biasa dilewati Papa Genk. Akhirnya gajah jantan ini terjerat mati dan warga mengambil gadingnya untuk disimpan.

Amiruddin tidak tahu darimana julukan Papa genk berasal. Ia baru mengetahui nama tersebut ketika kasus pembunuhan gajah ramai diberitakan dimedia. Masyarakat mengira itu hama karena sudah mengganggu makanya mereka membasminya.

“ Kami buta hukum, kami tidak tahu kalau gajah dilindungi. Belum ada pihak yang memberikan penyuluhan bahwa gajah hewan dilindungi undang-undang kepada kami,” kata Amiruddin lirih.

Mereka menjerat gajah karena hewan berbelalai ini meresahkan. Malah pernah di dalam kecamatan yang sama gajah membunuh manusia. “ Tidak ada perhatian dari pihak terkait untuk menghalau gajah. Bupati secara pribadi sudah pernah turun ke lokasi. Kami tidak tahu hukum, hukum mengganggu gajah. Tidak pernah ada yang mensosialisasikannya. Kami pikir sama dengan membunuh binatang hama lain,” Amiruddin mempertegas kembali alasannya.

Mereka tidak sadar bahwa membunuh gajah, hewan yang dilindungi, bisa di penjara.

Amiruddin sering mendapat telepon dari warga yang melaporkan gajah masuk pemukiman. Ia bersama warga menghalau gajah dengan membunyikan mercon yang dibeli sendiri. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan sering mengalami gangguan parah dari hewan liar. Namun aksi menghalau ini tidak bertahan lama, biasanya hewan liar akan kembali lagi.

Warga tidak memburu gajah sampai masuk dalam hutan tetapi memasang perangkap dalam kawasan penduduk. Gading diambil untuk diserahkan ke bupati. “ Kami bersedia diproses, kami patuh hukum. Kami selalu hadir dalam pemeriksaan. Kami telah bersalah, kalau dihukum kami akan mengikuti,” ucap Amiruddin pasrah.

Amiruddin sadar, dirinya bersama dengan 13 warga lain dituntut dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. “Secara pribadi saya telah bersalah, saya siap menghadapinya. Tetapi yang menjadi persoalan bagaimana dengan anak dan keluarga? Anak-anak masih sekolah. Kalau kami masuk penjara bagaimana membiaya mereka. Kami petani semua, kebun sudah hancur, bagaimana keluarga di kampung?” kata Amiruddin.

Mereka sudah banyak kehilangan mata pencarian. Tanaman seperti, pinang, kelapa, padi dan sebagainya sudah dimakan gajah. Bahkan saluran irigasi pun diganggu hewan besar tersebut. Amiruddin hanya berharap hakim dapat meringankan hukuman mereka.

Ke depan ia meminta agar ada batas antara gajah atau hewan dilindungi dengan hutan produksi. Selain itu harus ada sosialiasai tentang yang hewan-hewan yang dilindungi.

Kasus pembunuhan Genk mencuat ke publik setelah ada kampanye melalui sosial media yang menarik perhatian banyak orang di Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri. Kampanye oleh para penyayang satwa meminta kasus pembunuhan itu diusut tuntas. Sebuah petisi juga dilayangkan anak muda Aceh Aulia Ferizal untuk mengusut pembunuhan Genk.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merespon kampanye itu melalui akun twitter mereka. Presiden mengintruksikan Kementrian Kehutanan dan Polda Aceh mengusut tuntas kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi.[]

Tags : gajahpapa genksatwa

Leave a Response