close

gajah

Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Membangun Barrier Perlindungan Gajah Sumatera

Laju deforestasi semakin mengkhawatirkan di Aceh membuat habitat satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) semakin memprihatinkan. Konflik satwa gajah dengan manusia, perebutan ruang hidup, semakin marak terjadi hingga telah membuat hewan bertubuh besar ini terancam punah.

Ditambah minimnya komitmen pemerintah telah menghambat dilakukan pencegahan konflik ini. Pola pencegahan jangka menengah seperti membangun barrier gajah harus terintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Namun hal tersebut belum terlaksana dengan baik, karena ada kabupaten yang belum menyambut baik program barrier.

Konflik satwa gajah di Aceh marak terjadi kurun waktu 10 tahun terakhir. Padahal sebelumnya masyarakat dan satwa, khususnya gajah sumatera bisa hidup berdampingan dengan masyarakat, tanpa terusik satu sama lain.

Namun sekarang satwa yang dilindungi ini semakin berkonflik antara manusia dan satwa gajah. Akibatnya tak dapat dihindari gajah sering masuk ke pemukiman warga dan juga mengobrak-abrik perkebunan produktif masyarakat.

Sebut saja misalnya di Kecamatan Mila, Kecamatan Keumala, Kecamatan Tangse khususnya di Gampong Cot Wieng Kabupaten Pidie telah banyak mengalami kerugian material. Selain itu terjadi konflik satwa gajah di Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur dan juga di sejumlah kabupaten lainnya yang berujung memakan korban jiwa.

Konflik satwa ini tidak terlepas maraknya perambahan hutan yang tak terkendali sejak masa rehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska dilanda gempa dan tsunami 24 Desember 2004 lalu. Saat itu Aceh sedang membangun tentunya membutuhkan banyak kayu untuk membangun berbagai infrastruktur.

Ditambah lagi pembalakan liar hingga masuk ke hutan lindung telah berkontribusi besar terjadinya konflik satwa. Belum lagi pembukaan lahan baru untuk kebutuhan perluasan perkebunan sawit yang telah memantik konflik satwa gajah tersebut.

Aceh merupakan daerah populasi Gajah Sumatera terbanyak dari sejumlah provinsi lainnya di Sumatera. Saat ini ada sekitar 539 individu gajah lebih masih tersisa di hutan Aceh. Taksiran bisa lebih meningkat, karena ada ditemukan anak-anak gajah yang sudah lahir di habitatnya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah berupaya untuk melakukan pencegahan dan perlindungan satwa gajah agar terlindungi. Seperti melakukan pencegahan dan penggiringan kembali satwa tersebut ke habitannya menggunakan gajah terlatih yang sudah jinak.

Namun semua upaya itu selalu tak efektif dan gajah tetap saja kembali memasuki perkampungan dan perkebunan warga.  Ini akibat manusia telah mengganggu habitatnya dengan maraknya pembalakan liar yang tak terkendali mengakibatkan hutan rusak.

Berdasarkan data perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) luas Aceh 5.677.081 hektar. Dari luas Aceh tersebut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menghitung ada 53 persen merupakan hutan yaitu seluas 3.557.928 hektar.

Pada tahun 2017 luas hutan Aceh yang tersisa  3.019.423 Ha, mengalami deferostasi pada tahun 2016-2017 sebesar 17.820 Ha. Sedangkan hutan lindung di Aceh yang menjadi habitat satwa gajah dan lainnya mencapai 1,790,200 hektar.

Kondisi hutan lindung ini semakin menyusut setiap tahunnya. Pada tahun 2016 hutan lindung di Aceh mengalami deforestasi tersisa 1,626,108 hektar, tahun 2017 terus meningkat 1,621,290 hektar. Pada tahun 2016-2017 hutan lindung mengalami deforestasi sejumlah 4,818 hektar.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, semakin susutnya habitat gajah akibat dari perambahan hutan semakin sering terjadi konflik satwa gajah dan juga kematian hewan bertubuh besar ini juga tak dapat dihindari.

Berdasarkan data BKSDA Aceh, Sapto menyebutkan pada tahun 2012 ada 12 ekor gajah tewas, 2013 hanya 11 gajah, tahun 2014 kembali meningkat menjadi 13 ekor, tahun 2015 sebanyak 14 ekor dan tertinggi kurun wakt enam tahun ini, 2016 hanya 4 ekor gajah liar dan 1 ekor jinak dan terakhir 2017 ada 11 ekor gajah liar, satu jinak dan satu janin gajah.

Kendati demikian kabar gembiranya sebagaimana disampai oleh Sapto, ada kelompok-kelompok gajah di Bener Meriah, Pidie Aceh Timur ada bekas-bekas atau tanda-tanda kelahiran gajah. Namun tentunya tidak sebanding dengan angka kematian gajah yang terjadi di Aceh akibat habitatnya terganggu oleh ulah manusia sendiri.

Untuk mencegah konflik satwa dengan manusia dan mencegah semakin susut jumlah hewan dilindungi ini di hutan Aceh. BKSDA Aceh telah berupaya langkah-langkah strategis seperti pencegahan dalam jangka menengah.

“Sedangkan jangka pendek sudah sangat sering kita lakukan dengan menggiring gajah liar dengan gajah jinak ke habitatnya,” kata Sapto Aji Prabowo.

Namun upaya itu tentu tidak cukup bisa mencegah konflik gajah dengan manusia. Demikian juga belum efektif bisa mencegah kematian gajah di hutan Aceh dengan program jangka pendek. Jangka pendek ini hanya mencegah sementara dan tidak bisa berkelanjutan.

Untuk mencegah konflik satwa dan meminimalisir kematian gajah dibutuhkan upaya penanggulangan jangka menengah dan jangka panjang. Jangka menengah sudah dilakukan saat ini dengan membangun barrier gajah untuk membatasi antara koridor gajah dengan pemukiman dan perkebunan warga.

Di kabupaten Aceh Jaya sekarang sudah dibangun barirer gajah seluas 230 ribu hektar, di Aceh Timur sedang dibangun 41 kilometer dan di Bener Meriah ada sekitar 1000 hektar.

Tentunya menurut Sapto, pembangunan barrier gajah ini belum efektif, karena keberadaan gajah tidak mengenal administrasi. Harus dibangunan secara berintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.

Sapto memberikan contoh, pembangunan barrier antara Kabupaten Aceh Timur harus diikuti juga dengan Kabupaten Aceh Utara. Demikian juga Kabupaten Bireuen dengan Bener Meriah. Bila tidak, makanya akan terputus dan gajah yang sedang berimigrasi akan kembali masuk ke pemukiman dan perkebunan warga.

“Membuat barrier itu harusnya terintegrasi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Karena gajah itu tidak mengenal administrasi, mereka gak ada KTP (Kartu Tanda Penduduk),” sebutnya.

Oleh karena itu butuh komitmen semua kabupaten yang masuk dalam lintasan migrasi gajah. Bila tidak, kendati pun sudah dibangun barier gajah di suatu daerah, maka akan terputus dengan daerah tetangganya yang tidak melanjutkan pembangunan barier gajah tersebut, sehingga konflik satwa gajah kembali terjadi.

Sementara untuk program jangka panjang, kata Sapto, maka Aceh membutuhkan Kawasan Ekosistem Esensial. Dengan ada kawasan tersebut, konflik dan kematian gajah bisa dihindari.

Dalam Kawasan Ekosistem Esensial ini pemerintah harus membuat aturan bila masuk dalam hutan produksi, agar tidak menanam pohon yang mengundang datangnya gajah. Seperti sawit dan sejumlah tumbuhan lainnya yang menjadi makanan empuk gajah.

Akan tetapi, lebih baik ditanam seperti cengkeh, pala, coklat atau tanaman lainnya. Sehingga dengan adanya program jangka panjang ini konflik satwa gajah dengan manusia bisa dicegah dan populasi gajah di hutan Aceh bisa terselamatkan.

“Kalau dalam hutan ditanam sawit, itu sama saja kita mengundang gajah, karena itu memang pakannya gajah,” tukasnya.

Sapto berharap kepada seluruh kabupaten/kota agar bisa membangun barier secara berintegrasi. Sehingga konflik satwa gajah di Aceh bisa dicegah dan kematian gajah bisa ditekan hingga satwa dilindungi ini bisa selamat hingga ke anak cucu masa yang akan datang.

read more
Flora Fauna

Masyarakat Minta Pemerintah Tuntaskan Masalah Gajah

Beberapa hari lalu, Sabtu (24/1/2015), seekor gajah mengamuk mengakibatkan tewasnya seorang perempuan,  Husna ( 38 thn) tahun di kampung Gedok, kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Masyarkat sangat menyesalkan kejadian ini dan berharap pemerintah mengambil tindakan agar kejadian serupa tidak terulang dimasa mendatang.

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formalin), melalui  Koordinatornya, Sri Wahyuni, SH.I,
menyatakan sangat menyesalkan kejadian ini, dan turut berduka atas jatuhnya korban.  Mereka berharap agar semua pihak yang berwenang menangani kasus untuk melakukan sosialisasi, preventif (pencegahan) dan kuratif (penanganan), serta segera melakukan tindakan agar tidak terjadi kasus yang sama dikemudian hari.

Formalin berpendapat, gangguan gajah ini terjadi akibat perluasan kebun sawit yang mempersempit kawasan alamiah gajah. Dimana berakibat pada makin sempitnya ruang gerak gajah untuk bertahan hidup.

Secara alamiah, wilayah kecamatan Timang Gajah yang saat ini terbagi menjadi 3 kecamatan merupakan habitat alami gajah di wilayah kabupaten Bener Meriah.

” Kami meminta Pemerintah Aceh, Pemkab Bener  Meriah, Pemkab Aceh Tengah, Pemkab Bireun, BKSDA, dan pihak lainnya yang berhubungan dengan sektor ini kami berharap untuk dapat segera menetapkan kawasan habitat gajah, mencabut ijin perkebunan yang mengganggu kawasan alamiah gajah, segera menghentikan alih fungsi lahan, melakukan penegakan hukum tegas atas segala tindakan pengrusakan kawasan lindung, penangkapan hewan yang dilindungi, termasuk anak gajah dan gading gajah, mensosialisasikan persoalan konflik gajah dan manusia serta mitigasinya kepada masyarakat dan mencari solusi lainnya yang tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat, keberlangsungan kehidupan gajah dan penyelamatan ekosistem gajah dikawasan tersebut, dengan melakukan gerakan inklusif antara pemerintah, lembaga peduli lingkungan hidup, dan masyarakat luas,” urai Sri Wahyuni.

Sementara itu Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melalui Juru Bicara (Jubir), Efendi Isma S Hut, mengatakan peristiwa ini bukan yang pertama sekali terjadi di Kabupaten Bener Meriah. Konflik dengan satwa yang dilindungi telah menelan korban manusia dan menimbulkan kerugian terus menerus bagi masyarakat Bener Meriah. Namun tak ada penyelesaian komprehensif dari pemerintah, baik pemerintah daerah, provinsi maupun pemerintah pusat, sesalnya.

Bila ditarik sumber persoalannya akan bermuara pada Tata Ruang Wilayah Aceh, ketika ruang tidak lagi di atur berdasarkan daya dukungnya maka akan muncul konflik, dan konflik yang timbul akan memerlukan biaya cukup besar baik untuk membangun infrastruktur maupun untuk biaya penanganan (rehabilitasi).

KPHA meminta pemerintah untuk melakukan analisis biofisik ruang dan analisis home range satwa (gajah) untuk kemudian dijadikan batas daya dukung ruang, agar ditemukan ukuran optimum bagi pembangunan kawasan dan kebijakan ekonomi masyarakat sekitar.[]

read more
Flora Fauna

Warga Aceh Utara Bunuh Phyton Delapan Meter

Warga Gampong Alue Drien, Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara menemukan ular Phyton sepanjang delapan meter, Kamis kemarin (20/11/2014), pukul 18:00 WIB. Ular yang ditemukan kali ini lebih besar dibandingkan ular yang pernah ditemukan sebelumnya tahun 2013 yaitu sepanjang tujuh meter.

Awalnya, ular Phyton ini ditemukan oleh penduduk Alue Drien, Marlina (38) dan Fatimah (32), ketika mereka mencari sapinya yang sudah dua hari tidak pulang ke kandang. Ular tersebut ditemukan Marlina sedang memangsa anak sapi miliknya yang masih berusia satu hari dikebun sawit warga yang dipenuhi dengan semak belukar. Karena takut, ia pun memanggil warga untuk meminta pertolongan.

“Warga berbondong-bondong datang ke lokasi penemuan ular. Sesampai disana, kami pun berusaha untuk menangkap ular tersebut secara hidup-hidup. Namun karena si ular ini terlihat buas dan melawan, maka kami pun terpaksa membunuhnya dengan mencincang-cincang bagian kepala, badan, dan ekor pakai parang,” jelas tokoh pemuda setempat, Mahdi, Jum’at (21/11/2014).

Warga menduga, hewan peliharaan yang selama ini kerap hilang karena dimangsa ular tersebut. Karena itu, warga pun sepakat mengantisipasi kemungkinan ada ular lainnya  yang seukuran berkeliaran di hutan.

“Kuat dugaan bahwa hewan peliharaan warga yang selama ini kerap hilang pasti di mangsa ular. Tahun lalu, kami juga menangkap ular semacam itu saat hendak memangsa kambing warga setempat. Ular kali ini juga lebih besar dibandingkan ular yang kami temukan tahun lalu,” tambah Mahdi.[]

read more
GaleriRagam

Gajah Tangkahan

Gajah-gajah yang berada di bawah pengawasan Conservation Response Unit (CRU) Tangkahan, Langkat Sumatera Utara. Gajah-gajah yang juga digunakan untuk patroli hutan ini awalnya berasal gajah Aceh yang dipindahkan ke CRU Tangkahan karena saat itu Aceh dilanda konflik. Saat ini ada 7 ekor gajah CRU dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, satu ekor jantan dan dua betina dalam keadaan hamil. Gambar diambil saat gajah dimandikan di Sungai, Minggu (16/11/2014).

read more
Galeri

Foto: Saat-saat Terakhir AGAM

Dokter di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar sedang melakukan perawatan rutin pada Agam, gajah jantan berusia 2 tahun. Sebelumnya Agam mengalami cidera berat atau dislokasi tulang panggul kaki belakang saat bermain pada pertengahan Mei 2014 lalu. Agam, anak gajah yatim piatu berumur dua tahun itu akhirnya meninggal Minggu (26/10/2014). Kondisi Agam memburuk setelah sebulan lalu dia tidak bisa bangun sama sekali. Selama sakit, Agam dirawat oleh dokter PLG Saree dan dokter dari Vesswic dengan dibantu mahout.

read more
Flora Fauna

Keberadaan Gajah di Aceh Semakin Terancam

Papa Genk. Nama itu kini hanya tinggal cerita atas ganasnya perilaku manusia terhadap gajah di hutan Aceh.Gajah dewasa berusia 30 tahun itu mati mengenaskan dengan kondisi leher putus setelah terjebak ranjau besi di Desa Ranto Sabon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, pada 13 Juli 2013. Gading Papa Genk seberat 25 kg (setara dengan Rp 250 juta) juga hilang diambil pembunuhnya. Kematian Papa Genk meninggalkan duka mendalam bagi Rosa dan Suci, istri dan anaknya. Kedua mereka berhari-hari “meratapi” kematian Papa Genk dalam perasaan getir. Kasus Papa Genk merupakan potret betapa buramnya nasib gajah-gajah di Aceh saat ini. Satwa yang dilindungi dan kerapa dipanggil dengan nama Po Meurah–bermakna “Raja Yang Mulia”–itu semakin terancam kehidupannya.

Sepanjang 2012-2014, setidaknya 22 ekor gajah ditemukan mati di hutan Aceh. Semua gajah ini mati dalam kondisi mengenaskan. Ada yang ditombak, diracun, masuk dalam jebakan maut, hingga dibunuh ramai-ramai. Kasus terakhir terjadi pada 11 April 2014. Seekor gajah kembali ditemukan tewas mengenaskan di kawasan hutan Desa Teupin Panah, Kecamatan Kawai IV, Kabupaten Aceh Barat yang terjerat perangkap pemburu gajah liar. Kepalanya putus dipotong mesin chainsaw dan kedua gadingnya lenyap.

“Selama ini tidak ada satu pun kasus kematian gajah yang terungkap dan pelakunya diadili. Kecuali hanya kasus kematian Papa Genk,” kata Communication Officer World Wildlife Fund (WWF) Perwakilan Indonesia, Chik Rini kepada Serambi, Sabtu (17/5/2014). Kasus kematian Papa Genk sempat mengundang perhatian serius Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY meminta diusut kasus itu. Polisi pun ketika itu menetapkan 14 orang sebagai tersangka.

Lembaga International Union for Conservation of Nature memasukkan gajah Sumatera (Elephant Maxiumus Sumatranus) ke dalam daftar binatang yang hampir punah karena penyusutannya sangat drastis. Pada 1985, gajah Sumatera masih berjumlah 5.000 ekor. Kini, jumlahnya tinggal 2.000-an ekor. Sedangkan WWF Indonesia melaporkan, pembunuhan gajah Sumatera cukup tinggi. Selama 2012, 14 gajah mati, sebagian besar diracun di perkebunan sawit. Peristiwa ini terjadi di Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen. Tahun 2013, tercatat sudah tujuh gajah mati di Aceh Utara, Aceh Jaya, dan Aceh Timur.

Tahun 1996, populasi gajah di Aceh, diketahui berkisar antara 600-700 ekor (hasil riset lembaga IUCN). Tapi kini tersisa hanya sekitar 400 ekor saja. Gajah-gajah itu, antara lain, tersebar di kawasan hutan Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Padahal, jumlah gajah di Aceh sebelum tahun 2003-2004 masih sekitar 800 ekor. Communication Officer WWF-Indonesia, Chik Rini, menilai populasi gajah di Aceh semakin terancam menyusul banyaknya kasus kematian gajah. “Keberadaan gajah Sumatera saat ini sudah dalam status meningkat dari kritis menjadi terancam punah. Gajah di hutan Sumatera sudah berkurang 50 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pembunuhan gajah ini terus terjadi, maka 10 sampai 15 tahun ke depan gajah akan punah di hutan liar,” ujarnya.

Mengancam populasi
WWF Indonesia memetakan setidaknya ada tujuh wilayah yang dikategorikan sebagai “kantong gajah” di Aceh, yaitu: Bireuen, Bener Meriah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Tenggara, Pidie, dan Aceh Timur. Untuk wilayah hutan Sumatera, Aceh merupakan benteng terakhir dari keberadaan populasi gajah hutan Sumatera, setelah Lampung dan Riau. Gajah di tingkat lokal kedua provinsi itu sudah punah.

Ironisnya, di wilayah kantong populasi gajah ini kerap dilaporkan banyak gajah yang mati. “Setiap kasus gajah mati ditemukan tidak ada lagi gading. Pelakunya juga kerap tidak tertangkap,” ujarnya.

Menurut Chik Rini, berkurangnya populasi gajah di Aceh terjadi seiring meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah tidak menyiapkan tata ruang wilayah hutan yang baik sehingga banyak lahan hutan yang semestinya menjadi lahan konservasi diolah sebagai hutan produksi atau perkebunan. Akibatnya, banyak gajah masuk ke perkebunan rakyat atau area hutan produksi. Maka terjadilah konflik antara gajah dan manusia. Gajah-gajah yang merusak tanaman perkebunan dan pertanian,  kemudian dibunuh. Selain itu, pemerintah selama ini juga kerap tidak memperhatikan keberadaan gajah yang berada di luar wilayah konservasi.

Menurut Chik Rini, gajah merupakan hewan yang unik. Mereka butuh makan banyak dan hidup berkoloni dengan wilayah jelajah yang luas (home range). Namun faktanya, wilayah jelajah gajah ini telah diambil alih manusia dengan membuka lahan perkebunan sawit, karet dan lainnya. Terlebih, kata Chik Rini, gajah sangat menyukai sawit dan karet. Keberadaan kebun sawit dan karet mengundang gajah untuk masuk. Sehingga konflik antara gajah dan manusia tak terhindarkan. Ada manusia yang mati dibunuh gajah, maupun sebaliknya. “Manusia kemudian membenci gajah karena dianggap sebagai pengganggu yang mengancam jiwa,” ujarnya.

Padahal, kata Chik Rini, membuka lahan sawit dan karet atau sejenisnya di wilayah yang dijelajahi gajah adalah tindakan yang salah

Berkurangnya populasi gajah di Aceh juga disebabkan perburuan liar gading gajah. Hampir semua gajah mati sudah tanpa gading saat ditemukan. Diduga kuat kematian gajah di Aceh akibat perburuan gading gajah yang melibatkan mafia yang membentuk sindikasi. Di Aceh Barat polisi membekuk enam warga yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan gajah liar pada 15 April 2014. Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Aceh Jaya.

“Diduga memang ada sindikat perdagangan gading di Aceh. Mungkin bukan hanya gading, tapi juga kulit harimau,” tegas Chik Rini. Perdagangan gading gajah tergolong bisnis menggiurkan. Penelusuran Serambi, harga gading dengan panjang rata-rata 30 cm berkisar Rp 20 juta. Untuk 1 kg gading paling murah Rp 2,5 juta. Kalau perkiraan harga bisa sampai 5-10 juta/kg. Jika ada gading yang beratnya sekitar 25 kg, maka bisa menghasilkan uang Rp 250 juta.

Di pasar-pasar gelap Eropa, harganya bisa mencapai lebih dari satu miliar rupiah untuk satu gading berkualitas super. “Jumlah gajah yang terbunuh tanpa gading selama ini hanya beberapa kasus yang diketahui. Mungkin banyak gajah yang mati dibunuh di dalam hutan tidak diketahui masyarakat,” ujarnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh Genman S Hasibuan kepada Serambi tidak menampik jika berbagai kasus kematian gajah di Aceh melibatkan para sindikat. Tindakan itu diancam pidana karena melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990.

“Kalau tidak ada indikasi adanya perburuan gading, maka setiap gajah yang mati mestinya tetap utuh bersama gadingnya. Ini kan tidak logis. Untuk lebih detailnya, memang harus dilakukan pembuktian,” tegas Genman.

Menurutnya, konflik antara gajah dan manusia kerap menjadi dalih masyarakat membunuh gajah. Namun pada kenyataannya hal itu tidak selalu benar. Justru banyak faktor yang menyebabkan konflik itu terjadi. Salah satunya, habitat gajah sudah dirambah manusia dengan berbagai aktivitas perkebunan.

Menurut Genman, konflik antara manusia dan gajah harus ditangani bersama dengan melibatkan semua instansi karena hal itu sudah mencakupi masalah sosial ekonomi. “Soal adanya indikasi pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya masih kami telusuri berkerja sama dengan polisi,” demikian Genman. []

sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Polisi Sudah Menangkap 11 Tersangka Pembunuh Gajah

Polres Aceh Barat hingga kini telah menangkap 11 orang tersangka pembunuh dan pengambil gading gajah di Kecamatan Kaway XVI. Tersangka ditangkap secara terpisah. Tersangka mengaku sudah berulang kali membunuh gajah untuk diambil gadingnya. Lokasi pembunuhan gajah masing-masing di kawasan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya serta di kawasan Seumantok, Kecamatan Pante Ceureumen dan Gampong Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.

Penangkapan pertama dilakukan oleh Polres Aceh Barat, Sabtu (12/4/2014 ) dimana enam warga Desa Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat yang diduga terlibat pembunuhan seekor gajah beberapa sebelumnya. Keenamnya ditangkap di lokasi terpisah

“Menurut tersangka yang sudah diperiksa, mereka mengaku membunuh sedikitnya tiga gajah untuk diambil gadingnya,” kata Kapolres Aceh Barat, AKBP Faisal Rivai SIK, Senin (14/4/2014). Menurutnya, tersangka memasang ranjau untuk menjebak gajah lalu menjeratnya. Setelah satwa dilindungi itu mati, pelaku mengambil gadingnya dan menjual pada seorang penadah yang berada di kawasan Kuta Fajar, Aceh Selatan seharga Rp 2,3 juta.

Dijelaskan Kapolres, sistem perdagangan yang dilakukan pelaku itu dengan cara berantai. Artinya pelaku yang sudah berhasil membunuh gajah tersebut kemudian menjual kepada pelaku lainnya melalui Dolah Haris dan selanjutnya dijual lagi kepada Husen seharga Rp 1,5 juta. Kemudian Husen menjual gading ini kepada Jas, seorang warga Kuta Fajar seharga Rp 2,3 juta. “Jas sendiri masih kita buru dan sudah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO),” kata AKBP Faisal.

Polisi juga sudah mengamankan sejumlah barang bukti lainnya seperti tiang dan rotan serta balok pemberat yang diduga digunakan pelaku untuk menjerat gajah.

Kemudian pada penangkapan kedua, lima warga lainnya yang diduga ikut dalam komplotan pembunuh dan mengambil gading gajah liar, di Desa Teuping Panah, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, diamankan polisi pada Selasa (15/4/2014) dari lokasi penangkapan.

Berdasar pengakuan warga yang ditangkap, kata Kapolres, mereka membunuh gajah menggunakan perangkap tradisional. Gajah itu dibunuh karena selama ini sudah sangat menganggu, bahkan sudah pernah menyerang penduduk hingga meninggal dunia. Sementara gading gajah yang mati itu sudah dijual. “Kita meminta kepada warga yang membeli gading itu segera menyerahkan diri, sebab identitasnya sudah dikantongi,” ujarnya.

Sejumlah pelaku pembunuhan gajah yang ditangkap polisi mengatakan, pembunuhan terhadap gajah dilakukan karena sudah bertahun-tahun mereka menderita akibat amukan gajah liar tersebut. Para pelaku berharap adanya keringanan hukuman sebab pembunuhan ini tidak pernah mereka inginkan jika saja sang gajah tak menggangu warga.

Kepala Resor BKSDA Aceh Barat, Zulkifli yang dimintai tanggapannya kemarin mengatakan, pembunuhan terhadap gajah tidak dibenarkan dalam aturan, walaupun hewan yang dilindungi itu menggangu, merusak tanaman, bahkan membunuh manusia. “Apabila ada gajah liar yang menggangu dipersilakan melapor ke BKSDA untuk diusir agar menjauh dari perkampungan maupun lahan pertanian warga,” katanya.

Sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

Bahas Konflik Satwa, BKSDA Meeting dengan Aktivis Lingkungan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan pertemuan dengan sejumlah aktivis lingkungan dalam rangka mencari solusi penyelesaian konflik satwa. Pertemuan tersebut mengungkap beberapa informasi bagaimana menangani satwa liar termasuk penegakan hukum. BKSD sendiri merasa tidak mampu melakukan tugasnya tanpa bantuan dari pihak lain.

Kepala BKSDA Aceh, Genman Hasibuan mengatakan sudah banyak penegakan hukum yang dilakukan namun ternyata tidak memberikan efek jera kepada pelakunya. Selalu saja masih ada masyarakat yang tertangkap karena hukum terkait hewan liar, tanya Genman dalam pertemuan tersebut. “Masyarakat yang tertangkap karena pengambilan gading gajah masih terkait dengan pembunuhan gajah beberapa waktu lalu di kabupaten yang sama,” katanya dalam pertemuan yang berlangsung, Senin (14/4/2014) di Kantor BKSDA Banda Aceh.

Banyak orang yang masuk penjara karena kasus hewan liar namun persoalan konflik satwa di lapangan tidak selesai juga. Dampaknya negatifnya BKSDA semakin dibenci oleh segelintir orang yang tidak senang bahkan teror semakin meningkat terhadap staf BKSDA. Selain itu Genman juga menyoroti pemberitaan terkait kasus hewan liar yang menurutnya tidak menguntungkan penyelidikan.

“Wartawan menghubungi saya menanyakan kasus, saya kalau tidak bicara tidak enak, takut menyembunyikan informasi,”jelasnya. Menurutnya kedepan ritme pemberitaan kasus hewan liar harus diatur kembali agar jangan sampai pihak BKSDA bergerak pelaku sudah kabur akibat mengetahui kasusnya di media.

Terkait dengan penanganan konflik satwa liar terutama gajah, BKSDA sudah mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten yang memiliki konflik satwa liar agar ikut menangani persoalan tersebut dengan mengedepankan sosial ekonomi masyarakat. “ Pemerintah daerah harus ikut menangani karena masyarakat yang berkonflik dengan satwa terganggu perekonomiannya,” ujar Genman. BKSDA hanya Unit Pelaksana Teknis di Daerah di bawah Kementerian Kehutanan yang kemampuannya sangat terbatas.

Peserta yang hadir dalam pertemuan juga menyampaikan pendapatnya terkait kondisi perlindungan satwa liar di Aceh. Ratno Sugito, aktivis satwa liar menceritakan pengalamannya saat mengunjungi lokasi pembunuhan gajah di Kaway XVI. Setahu Ratno belum ada masyarakat yang ditangkap dalam kasus kematian gajah itu. Selain itu ia mengamati di lokasi terdapat kebun yang dipagari dengan kawat beraliran listrik. “Perusahaan harus ikut bertanggung jawab atas kematian hewan liar,” ujarnya. Dirinya siap membantu BKSDA Aceh dalam menghubungkan BKSDA dengan jaringan perlindungan satwa di tingkat nasional.

Sementara itu Munawar Kholis dari Flora Fauna International (FFI) mengusulkan dibentuknya Rescue centre, tempat penampungan sementara hewan-hewan yang disita dari masyarakat. Namun juga diutarakannya, Rescue Centre membutuhkan biaya yang besar. “ Sebagian satwa memang sudah tidak mungkin dilepaskan kembali karena perilakunya yang sudah berubah sehingga harus ditanggung di Rescue Centre. Kholis pernah bertahun-tahun bekerja di Rescue Centre di Pulau Jawa.

Badrul Irfan dari Koalisi Peduli Hutan Aceh menyarankan agar BKSDA memasang iklan penyerahan hewan liar di media massa dengan tujuan masyarakat sukarela menyerahkan satwa liar. Namun usulan ini menurut Genman sulit dilaksanakan karena BKSDA khawatir jika masyarakat ramai menyerahkan hewan, tidak ada kandang yang memadai di BKSDA untuk menampung hewan liar tersebut. BKSDA kekurangan anggaran untuk memelihara hewan dalam jumlah banyak.

Aktivis lingkungan lain, Wahdi memberikan pendapat bahwa ada cara agar hewan liar tidak memakan hasil pertanian masyarakat yaitu dengan menanam tanaman yang tidak disukai hewan liar tersebut. Misalnya menanam lada, yang merupakan tanaman tidak disukai gajah sehingga terhindar dari konflik satwa liar.

Pada akhir pertemuan peserta menyepakati untuk melakukan pertemuan rutin dua bulanan membahas isu aktual penyelamatan satwa. Untuk pertemuan ke depan disepakati membahas konflik gajah liar dengan masyarakat.[]

read more
1 2 3 4 5 8
Page 3 of 8