close

konservasi

Green Style

Tujuh Rekomendasi Perspektif Masyarakat Adat untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati

Ketika berbicara tentang konservasi, manusia berpikir bahwa sains adalah satu-satunya panduan untuk kebijakan yang baik. Tetapi keanekaragaman hayati terkait dengan budaya, hasil sebuah studi baru tentang konservasi penyerbuk yang baru-baru ini diterbitkan di Nature Sustainability. Jadi manusia harus merangkul keanekaragaman sistem pengetahuan, mengakui ilmu akademis dan praktik budaya tradisional.

“Pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal benar-benar didasarkan pada bukti yang dikumpulkan selama berabad-abad,” kata Rosemary Hill, penulis utama studi ini dan seorang ilmuwan peneliti utama CSIRO, lembaga penelitian sains nasional Australia.

Makalah – yang dibangun di atas Platform Kebijakan-Ilmu Antar Pemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES) – mengeksplorasi bagaimana masyarakat adat dan lokal di seluruh dunia mendekati konservasi penyerbuk seperti lebah, burung, dan kelelawar. Peneliti akademik meninjau tulisan akademis dan komunitas tentang pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penyerbuk, sementara masyarakat adat dan lokal yang berpartisipasi mengadakan dialog di komunitas mereka untuk memutuskan bagian mana dari praktik budaya mereka untuk dibagikan.

Hasilnya adalah daftar tujuh rekomendasi kebijakan untuk melindungi penyerbuk dan menghormati praktik-praktik masyarakat yang berakar dalam yang dapat diterapkan, tidak hanya untuk konservasi penyerbuk, tetapi untuk masalah konservasi secara lebih luas:

  1. Butuh persetujuan berdasarkan informasi dari masyarakat adat dan komunitas lokal untuk inisiatif konservasi dan pembangunan. Sebagai contoh, para peneliti menunjuk pada Undang-Undang Hak Asasi Hutan India, yang mereka katakan telah memastikan akses hutan bagi pemburu madu asli, sehingga membantu mempertahankan pengetahuan masyarakat adat tentang konservasi lebah.
  2. Mendukung praktik pengelolaan lahan adat. Mengizinkan masyarakat adat untuk mengelola tanah sesuai dengan praktik mereka sendiri dapat memperkuat praktik tradisional yang membantu konservasi.
  3. Dukung daerah yang dilestarikan oleh masyarakat adat dan komunitas. Ekosistem ini secara sukarela dilestarikan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal dengan fokus pada praktik dan kebiasaan tradisional.
  4. Menyatukan berbagai bentuk pengetahuan. Upaya-upaya untuk memantau populasi penyerbuk, misalnya, harus mempertimbangkan metrik lokal asli serta cara sains melacak tren, karena orang-orang berhubungan dengan lingkungan mereka dengan cara yang berbeda.
  5. Promosikan daftar situs warisan. Organisasi internasional seperti Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mendokumentasikan warisan budaya dan alam di seluruh dunia, dan kesadaran bahwa daftar warisan budaya membawa ke landmark, area, dan praktik budaya dapat membantu konservasi. Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, misalnya, mendaftar pengetahuan tradisional orang Totonac, sebuah kelompok masyarakat adat di Meksiko. Agroforestri Totonac melindungi habitat penyerbuk dan peternakan lebah yang tidak menyengat.
  6. Memelihara perlebahan yang ramah lingkungan. Dengan dukungan dari pemerintah, praktik perlebahan lebah tradisional dapat mempertahankan mata pencaharian masyarakat.
  7. Jaga Kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan mendorong kembali pertanian industri demi pertanian lokal dan pendekatan agroekologi. Para peneliti mengatakan ini membantu menjaga lanskap bervariasi dan membatasi penggunaan agrokimia.

Pasang Dolma Sherpa, direktur eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Adat (CIPRED), memuji tujuh proposal tersebut. Namun, dia juga berpendapat bahwa kebijakan saja tidak cukup. Dia mengatakan sangat penting bahwa masyarakat adat terus menumbuhkan kebanggaan dalam praktik tradisional mereka, khususnya di kalangan generasi muda, dan mengarahkan skeptisisme terhadap pertanian industri yang melibatkan pupuk kimia, benih hibrida, dan teknologi baru.

Baik Sherpa dan makalah tersebut menunjukkan pentingnya bahasa asli dalam mempertahankan pengetahuan dan strategi konservasi tradisional. Pemerintah telah menekan bahasa asli di Nepal, Amerika Serikat dan di tempat lain di seluruh dunia.

“Sebagai penduduk asli, seruan saya adalah [bahwa] sangat, sangat penting untuk mendidik diri kita sendiri tentang nilai-nilai yang telah kita sumbangkan” untuk konservasi, kata Sherpa, “dan juga untuk mendidik para pembuat kebijakan … tentang apa yang telah kami terapkan pada tanah.”

Sumber: ensia.com

read more
Ragam

Lindungi Spesies Laut, Pemerintah Bentuk Jejaring Kawasan Konservasi

Jakarta-Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah berkomitmen untuk menetapkan dan mengelola kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. Untuk memperkuat peran dan manfaat ekologi serta sosial-ekonomi dari Kawasan konservasi perairan yang sudah dikembangkan di Indonesia dalam skala yang lebih luas dan efektif, Pemerintah Indonesia berupaya untuk mendorong pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan (MPA network) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.13/MEN/2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan.

Untuk mewujudkan pada hari Kamis 13 Juni 2019, USAID Indonesia mengadakan Lokakarya Petunjuk Teknis Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Jakarta. Perwakilan Pemerintah termasuk Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL), Kementerian Kelautan dan Perikanan dan perwakilan USAID Indonesia termasuk Mathew Burton, the Environment Office Director, serta perwakilan dari mitra konservasi menghadiri acara yang dibuka oleh Direktur KKHL.

Menurut Andi Rusandi, jejaring Kawasan Konservasi Perairan bertujuan untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Prioritas jejaring KKP adalah melindungi species laut serta menjaga ekosistem laut sebagai bank ikan.

“Hingga bulan Desember 2018 sudah terdapat 177 Kawasan Konservasi Perairan yang diresmikan, 35 KKP yang menjadi prioritas sudah dimasukkan ke Bappenas. Pembentukan jejaring kawasan konservasi perairan sangat penting agar kawasan-kawasan konservasi tersebut dapat bekerjasama, berbagi pengalaman, informasi dan penyelesaian masalah” demikian disampaikan Andi Rusandi.

“USAID Indonesia merasa terhormat telah menjadi mitra KKP dalam mewujudkan komitmen dan upaya nyata semua pemangku kepentingan di Indonesia melalui pengembangan dan pengelolaan jejaring Kawasan Konservasi Perairan dengan cara yang lebih luas, lebih efektif dan efisien,” kata Matthew Burton.

Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia adalah kunci keberhasilan implementasi kebijakan dan desain teknis Jejaring KKP.

Baru-baru ini, USAID Indonesia memfasilitasi studi banding (Cross-Learning) ke California, AS, bagi pemangku kebijakan dari KKP dan DKP provinsi di mana mereka dapat berbagi pengalaman dan menerima pembelajaran tentang pengelolaan jejaring kawasan konservasi perairan di California, AS.

Saat ini masalah jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara, berbeda dengan mengelola KKP secara individual dimana sudah terdapat banyak modul, pedoman, riset dan cara penilaian.

USAID Indonesia mendukung KKP untuk mencapai Tujuan 14 SDGs dan khususnya untuk meningkatkan manfaat ekologis, sosial dan ekonomi dari pengelolaan Kawasan konservasi perairan bagi masyarakat untuk masa depan Indonesia. Bantuan teknis ini merupakan implementasi nyata dari Perjanjian Teknis USAID Indonesia dengan KKP tentang Program Keanekaragaman Hayati Laut dan Perikanan Berkelanjutan USAID, yang ditandatangani pada Juli 2016.

Andi Rusandi mewakili Pemerintah Indonesia menghargai bantuan USAID yang mengalokasikan bantuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan Kawasan konservasi perairan khususnya di Provinsi Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.

Jejaring KKP itu sendiri menurut IUCN-WCPA, merupakan upaya pengembangan sekumpulan unit-unit kawasan konservasi perairan yang dikelola secara bersama-sama dan sinergis pada berbagai skala luasan dan dengan berbagai tingkat perlindungan dalam rangka memenuhi tujuan pengelolaan yang lebih efektif, komprehensif dan berkelanjutan dibandingkan dengan pengelolaan kawasan konservasi secara sendiri-sendiri.[rel]

read more
Flora Fauna

Indonesia-AS Deklarasikan Tiga Kawasan Konservasi Baru Maluku Utara

Morotai – Dalam rangka memperingati 70 tahun hubungan diplomatik antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia, sektor kelautan dan perikanan menjadi salah satu bidang kerja sama yang disoroti kedua negara. Berbagai upaya kolaborasi pun terus dilakukan guna meningkatkan pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelajutan, diantaranya dengan mendeklarasikan penetapan tiga Kawasan Konservasi Perairan (KKP) baru di Maluku Utara, pada Selasa (2/4/2019). Dalam deklarasi tersebut, Pemerintah AS diwakili oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan Jr dan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Wakil Gubernur Maluku Utara, Ir. Muhammad Natsir Thoib, dan Bupati Morotai, Beny Laos.

Penetapan KKP seluas 226.000 hektar ini diharapkan dapat bermanfaat untuk melindungi keanekaragaman hayati laut, meningkatkan pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan mempromosikan wisata bahari di Maluku Utara. Jika digabungkan, cakupan area KKP tersebut hampir setara dengan luas seluruh pulau Morotai.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengapresiasi kerja sama antara Indonesia dan AS yang telah terjalin selama tujuh dekade terakhir. Menurutnya, kerja sama itu telah membantu Indonesia untuk meningkatkan perlindungan keanekaragaman hayati laut di sejumlah wilayah perairan.

“Dibukanya tiga Kawasan Konservasi Perairan baru di Maluku Utara ini tentu akan semakin membantu kita untuk mencapai tujuan perikanan yang berkelanjutan dan ketahanan pangan. Kami berharap, kedua negara akan terus berkolaborasi untuk mencapai tujuan itu di masa mendatang,” ujarnya.

Selama ini, Pemerintah AS melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) bekerja sama dengan Indonesia, baik pihak swasta maupun pemerintah, untuk melindungi keanekaragaman hayati laut dan mempromosikan perikanan berkelanjutan beserta pengelolaannya. Salah satunya melalui proyek USAID Sustained Ecosystems Advanced (SEA), di mana USAID mendukung upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan produksi ikan dan ketahanan pangan di Provinsi Maluku Utara, Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua Barat.

“Sumber daya laut Indonesia adalah yang paling langka di dunia. Saat kami merayakan peringatan 70 tahun hubungan dengan Indonesia, kami merefleksikan keberhasilan kemitraan selama beberapa dekade, termasuk dengan Pemerintah Indonesia, untuk melindungi keanekaragaman hayati dan meningkatkan pengelolaan sumber daya laut Indonesia yang berharga. Upaya bersama ini sangat penting untuk mata pencaharian berkelanjutan dan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan,” kata Duta Besar Donovan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Brahmantya Satyamurti Poerwadi, mengatakan bahwa USAID telah sepakat untuk mendukung Indonesia mencapai 20 juta ha KKP per tahun 2020.

“Dukungan itu antara lain dibuktikan dengan pembentukan 1 juta ha KKP di Maluku Utara, Maluku dan Papua Barat. Pembentukan KKP ini akan melindungi habitat dan spesies utama laut yang secara langsung akan meningkatkan produktivitas perikanan dan menjamin keamanan pangan bagi masyarakat lokal,” tambahnya.

Direktur Misi USAID Indonesia, Erin E. McKee menjelaskan, dukungan dari Pemerintah AS tersebut secara teknis disalurkan melalui USAID SEA yang mendukung pemerintah daerah untuk meningkatkan pengelolaan laut di hampir 8 juta ha wilayah perairan Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.

“Dengan dukungan teknis Pemerintah AS melalui USAID SEA, kami bermitra dengan pemerintah provinsi untuk meningkatkan pengelolaan di hampir 8 juta ha wilayah perairan provinsi. Melalui semua kerjasama kita di sektor kelautan, USAID mendukung visi Pemerintah Indonesia untuk mandiri dalam pelestarian ekosistem laut seperti melindungi terumbu karang yang vital melalui rencana tata ruang laut terkini yang membekali para mitra dengan instrumen penting untuk melaksanakan tata kelola sumber daya alam yang lebih baik,” demikian kata Direktur USAID Indonesia Erin E. McKee.

Sementara itu, pemerintah daerah sangat menyambut baik atas upaya yang dilakukan USAID di Maluku Utara karena dapat berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. “Perikanan Maluku Utara menyediakan mata pencaharian bagi lebih dari 34.000 rumah tangga. Hasil perikanan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, pasar domestik dan perdagangan internasional. Bersama USAID, kami berupaya untuk menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan perlindungan keanekaragaman hayati,” ujar Wakil Gubernur Maluku Utara Natsir Thoib.

Hal serupa juga diutarakan oleh Bupati Morotai Benny Laos. Ia pun menyampaikan ucapan terima kasih karena Pulau Morotai telah dipilih sebagai lokasi peringatan 70 tahun hubungan bilateral dan kerja sama antara Indonesia dan Amerika Serikat. [Rel]

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Membangun Barrier Perlindungan Gajah Sumatera

Laju deforestasi semakin mengkhawatirkan di Aceh membuat habitat satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) semakin memprihatinkan. Konflik satwa gajah dengan manusia, perebutan ruang hidup, semakin marak terjadi hingga telah membuat hewan bertubuh besar ini terancam punah.

Ditambah minimnya komitmen pemerintah telah menghambat dilakukan pencegahan konflik ini. Pola pencegahan jangka menengah seperti membangun barrier gajah harus terintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Namun hal tersebut belum terlaksana dengan baik, karena ada kabupaten yang belum menyambut baik program barrier.

Konflik satwa gajah di Aceh marak terjadi kurun waktu 10 tahun terakhir. Padahal sebelumnya masyarakat dan satwa, khususnya gajah sumatera bisa hidup berdampingan dengan masyarakat, tanpa terusik satu sama lain.

Namun sekarang satwa yang dilindungi ini semakin berkonflik antara manusia dan satwa gajah. Akibatnya tak dapat dihindari gajah sering masuk ke pemukiman warga dan juga mengobrak-abrik perkebunan produktif masyarakat.

Sebut saja misalnya di Kecamatan Mila, Kecamatan Keumala, Kecamatan Tangse khususnya di Gampong Cot Wieng Kabupaten Pidie telah banyak mengalami kerugian material. Selain itu terjadi konflik satwa gajah di Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur dan juga di sejumlah kabupaten lainnya yang berujung memakan korban jiwa.

Konflik satwa ini tidak terlepas maraknya perambahan hutan yang tak terkendali sejak masa rehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska dilanda gempa dan tsunami 24 Desember 2004 lalu. Saat itu Aceh sedang membangun tentunya membutuhkan banyak kayu untuk membangun berbagai infrastruktur.

Ditambah lagi pembalakan liar hingga masuk ke hutan lindung telah berkontribusi besar terjadinya konflik satwa. Belum lagi pembukaan lahan baru untuk kebutuhan perluasan perkebunan sawit yang telah memantik konflik satwa gajah tersebut.

Aceh merupakan daerah populasi Gajah Sumatera terbanyak dari sejumlah provinsi lainnya di Sumatera. Saat ini ada sekitar 539 individu gajah lebih masih tersisa di hutan Aceh. Taksiran bisa lebih meningkat, karena ada ditemukan anak-anak gajah yang sudah lahir di habitatnya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah berupaya untuk melakukan pencegahan dan perlindungan satwa gajah agar terlindungi. Seperti melakukan pencegahan dan penggiringan kembali satwa tersebut ke habitannya menggunakan gajah terlatih yang sudah jinak.

Namun semua upaya itu selalu tak efektif dan gajah tetap saja kembali memasuki perkampungan dan perkebunan warga.  Ini akibat manusia telah mengganggu habitatnya dengan maraknya pembalakan liar yang tak terkendali mengakibatkan hutan rusak.

Berdasarkan data perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) luas Aceh 5.677.081 hektar. Dari luas Aceh tersebut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menghitung ada 53 persen merupakan hutan yaitu seluas 3.557.928 hektar.

Pada tahun 2017 luas hutan Aceh yang tersisa  3.019.423 Ha, mengalami deferostasi pada tahun 2016-2017 sebesar 17.820 Ha. Sedangkan hutan lindung di Aceh yang menjadi habitat satwa gajah dan lainnya mencapai 1,790,200 hektar.

Kondisi hutan lindung ini semakin menyusut setiap tahunnya. Pada tahun 2016 hutan lindung di Aceh mengalami deforestasi tersisa 1,626,108 hektar, tahun 2017 terus meningkat 1,621,290 hektar. Pada tahun 2016-2017 hutan lindung mengalami deforestasi sejumlah 4,818 hektar.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, semakin susutnya habitat gajah akibat dari perambahan hutan semakin sering terjadi konflik satwa gajah dan juga kematian hewan bertubuh besar ini juga tak dapat dihindari.

Berdasarkan data BKSDA Aceh, Sapto menyebutkan pada tahun 2012 ada 12 ekor gajah tewas, 2013 hanya 11 gajah, tahun 2014 kembali meningkat menjadi 13 ekor, tahun 2015 sebanyak 14 ekor dan tertinggi kurun wakt enam tahun ini, 2016 hanya 4 ekor gajah liar dan 1 ekor jinak dan terakhir 2017 ada 11 ekor gajah liar, satu jinak dan satu janin gajah.

Kendati demikian kabar gembiranya sebagaimana disampai oleh Sapto, ada kelompok-kelompok gajah di Bener Meriah, Pidie Aceh Timur ada bekas-bekas atau tanda-tanda kelahiran gajah. Namun tentunya tidak sebanding dengan angka kematian gajah yang terjadi di Aceh akibat habitatnya terganggu oleh ulah manusia sendiri.

Untuk mencegah konflik satwa dengan manusia dan mencegah semakin susut jumlah hewan dilindungi ini di hutan Aceh. BKSDA Aceh telah berupaya langkah-langkah strategis seperti pencegahan dalam jangka menengah.

“Sedangkan jangka pendek sudah sangat sering kita lakukan dengan menggiring gajah liar dengan gajah jinak ke habitatnya,” kata Sapto Aji Prabowo.

Namun upaya itu tentu tidak cukup bisa mencegah konflik gajah dengan manusia. Demikian juga belum efektif bisa mencegah kematian gajah di hutan Aceh dengan program jangka pendek. Jangka pendek ini hanya mencegah sementara dan tidak bisa berkelanjutan.

Untuk mencegah konflik satwa dan meminimalisir kematian gajah dibutuhkan upaya penanggulangan jangka menengah dan jangka panjang. Jangka menengah sudah dilakukan saat ini dengan membangun barrier gajah untuk membatasi antara koridor gajah dengan pemukiman dan perkebunan warga.

Di kabupaten Aceh Jaya sekarang sudah dibangun barirer gajah seluas 230 ribu hektar, di Aceh Timur sedang dibangun 41 kilometer dan di Bener Meriah ada sekitar 1000 hektar.

Tentunya menurut Sapto, pembangunan barrier gajah ini belum efektif, karena keberadaan gajah tidak mengenal administrasi. Harus dibangunan secara berintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.

Sapto memberikan contoh, pembangunan barrier antara Kabupaten Aceh Timur harus diikuti juga dengan Kabupaten Aceh Utara. Demikian juga Kabupaten Bireuen dengan Bener Meriah. Bila tidak, makanya akan terputus dan gajah yang sedang berimigrasi akan kembali masuk ke pemukiman dan perkebunan warga.

“Membuat barrier itu harusnya terintegrasi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Karena gajah itu tidak mengenal administrasi, mereka gak ada KTP (Kartu Tanda Penduduk),” sebutnya.

Oleh karena itu butuh komitmen semua kabupaten yang masuk dalam lintasan migrasi gajah. Bila tidak, kendati pun sudah dibangun barier gajah di suatu daerah, maka akan terputus dengan daerah tetangganya yang tidak melanjutkan pembangunan barier gajah tersebut, sehingga konflik satwa gajah kembali terjadi.

Sementara untuk program jangka panjang, kata Sapto, maka Aceh membutuhkan Kawasan Ekosistem Esensial. Dengan ada kawasan tersebut, konflik dan kematian gajah bisa dihindari.

Dalam Kawasan Ekosistem Esensial ini pemerintah harus membuat aturan bila masuk dalam hutan produksi, agar tidak menanam pohon yang mengundang datangnya gajah. Seperti sawit dan sejumlah tumbuhan lainnya yang menjadi makanan empuk gajah.

Akan tetapi, lebih baik ditanam seperti cengkeh, pala, coklat atau tanaman lainnya. Sehingga dengan adanya program jangka panjang ini konflik satwa gajah dengan manusia bisa dicegah dan populasi gajah di hutan Aceh bisa terselamatkan.

“Kalau dalam hutan ditanam sawit, itu sama saja kita mengundang gajah, karena itu memang pakannya gajah,” tukasnya.

Sapto berharap kepada seluruh kabupaten/kota agar bisa membangun barier secara berintegrasi. Sehingga konflik satwa gajah di Aceh bisa dicegah dan kematian gajah bisa ditekan hingga satwa dilindungi ini bisa selamat hingga ke anak cucu masa yang akan datang.

read more
Ragam

Relawan Konservasi Aceh Laksanakan Pembekalan

Sebanyak 15 orang mahasiswa yang berasal dari Universitas Teuku Umar (UTU), STIMI, Unmuha – Banda Aceh, Apker Depkes dan STAIN Meulaboh ikut bergabung dalam komunitas Relawan Konservasi Aceh (KRKA) selama 3 hari. Mereka mengikuti pembekalan anggota sejak 17 – 19 April 2015 di Wisma UTU Meulaboh. Semua anggota KRKA tersebut bergabung atas dasar kerelawanan dan keikhlasan terhadap kondisi lingkungan Aceh yang semakin hari semakin parah.

Salah seorang dewan Pembina KRKA dan juga Dosen UTU, Sudarman Alwy mengatakan pembekalan materi kepada anggota KRKA meliputi materi Organisasi, materi Bank Amal, materi Konservasi Darat, materi Konservasi Laut, Penanggulangan Bencana dan Penyusun Program kerja dan Rencana Aksi KRKA satu tahun kedepan.

Ketua Panitia Pembekalan Materi,  Bukhari Kanis menjelaskan bahwa pembekalan juga akan dipraktekan dalam materi lapangan yang akan dilaksanakan pada 24 – 26 April 2015 di Pulau Reusam Kecamatan Rigaih Kabupaten Aceh Jaya dengan melibatkan semua pemateri dan peserta. Selain itu, hari minggu ini juga dilaksanakan pembersihan pantai dan penanaman di Pantai Ujoeng Karang.

Sejumlah pemateri yang memberikan pembekalan antara lain Irsadi Aristora., MH., Sudarman Alwy., M.Ag., Farah Diana., MSi., Ghazali., MSi., dan Firdausi., MM. Pemateri memberikan pembekalan kepada anggota KRKA secara sukarela tanpa imbalan demi terbentuk nya komunitas relawan tersebut.

“ Harusnya ini menjadi tanggungjawab Pemerintah kita, akan tetapi tidak terlihat secara nyata disekitar kita terhadap konservasi maupun penyelamatan lingkungan. Keberhasilan mereka justru terlihat dalam anggaran dan proyek saja,”ungkap Irsadi Aristora., MH yang menyampaikan materi Konservasi Darat kepada anggota KRKA.

Seorang anggota pembekalan KRKA, Dewi dari AKPER Depkes Meulaboh mengakui sudah sangat lama ingin bergabung dengan gerakan konservasi, namun baru kali ini ada ruang dan kesempatan yang dibuka oleh organisasi Aceh Islands Concervation Organization (AICO) Meulaboh. Dewi secara pribadi merasa khawatir terhadap kondisi lingkungan hidup sekitar yang semakin hari semakin rusak akibat ulah manusia itu sendiri.

Pada saat sesi evaluasi, hampir semua anggota KRKA minat dan motiviasi yang sama sehingga ini menjadi modal pergerakan KRKA kedepan, ujar ketua pelaksana, Bukhari Canis.[rel]

read more
Ragam

Wak Yun “Mengganggu” Pengganggu Lingkungan

Mengganggu lazimnya adalah perbuatan yang menyenangkan bagi banyak orang. Namun “mengganggu” yang satu ini ternyata bermanfaat bagi lingkungan dan memberikan berkah. Itu lah yang dilakukan Wak Yun, salah satu tokoh konservasi di daerah Tangkahan, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Hari Sabtu (15/11/2014) kami berangkat menuju Tangkahan menggunakan mobil dari kota Medan. Saat memasuki jalan perkebunan sawit, mobil melintasi jalan khas perkebunan, berlumpur dan berlubang. Perjalanan jauh yang memakan waktu sekitar 4 jam tersebut akhirnya terbayar lunas ketika tiba di lokasi, menyaksikan rimbunnya alam Tangkahan. Udara Tangkahan tidak terlalu sejuk, berkisar 25 derajat celcius namun suasana adem tetap terasa.

Keesokan harinya kami bertemu dengan Wak Yun. Perawakannya kurus tapi padat, dengan tinggi sekitar 170 cm dan kulit kehitaman. Yang tak kalah unik adalah rambutnya panjang sedada dan diikat ke belakang. Gaya bicaranya pun cukup ekspresif, tangan, mimik wajah dan tubuhnya selalu bergerak seirama dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami sengaja menjumpainya dengan harapan ia akan bercerita banyak tentang konservasi Tangkahan yang telah dilakukannya sejak tahun 1997.

Penulis bersama Wak Yun (kiri)
Penulis bersama Wak Yun (kiri)

Nama Wak Yun sebenarnya adalah Raniun namun karena Ia merupakan anak tertua dan menurut silsilah keluarga juga ia dituakan maka sedari kecil panggilan Wak Yun sudah melekat dengan dirinya. Selain nama Wak Yun, teman-temannya bule memanggilnya “ Black Tiger” atau Harimau hitam. Wak Yun yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 3 SD memiliki banyak teman dari manca negara karena ia belasan tahun hidup di Eropa dan keliling dunia sebagai relawan kemanusiaan. Jalan hidupnya berliku sebelum akhirnya ia memutuskan kembali ke Indonesia menyelamatkan hutan Tangkahan yang nyaris habis dibabat penebang liar.

Mulanya ia menemukan daerah yang kemudian diberi nama Tangkahan secara tidak sengaja. Saat itu di tahun 1990-an, ia yang berprofesi sebagai pemandu hutan tersesat dan keluar dari daerah Tangkahan. Ia langsung jatuh cinta dengan daerah tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Sekitar tahun 1997 Wak Yun kembali ke Tangkahan yang sungainya dipenuhi dengan ribuan kubik kayu hasil tebangan liar. Hutan sekitar gundul, tanah dikapling-kapling oleh masyarakat bahkan oleh pejabat setempat.

Wak Yun langsung bertindak nyata, ia membeli lahan sepetak disana dan mendirikan bangunan di atasnya. Ia memulai gerakan konservasi dengan mengajak masyarakat sekitar Tangkahan untuk melakukan kegiatan non menebang hutan. Wak Yun mendirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) sehingga kegiatan wisata pun jadi ramai. Warga diajak bercocok tanam kembali di kebun-kebun yang terlantar ataupun kegiatan lain yang tidak merusak hutan. Kegiatan ekonomi rakyat pun bermunculan berjualan makanan, menyewakan ban mandi dan sebagainya. Bukan cuma itu, Wak Yun membuat berbagai even dengan mengundang pejabat hingga menteri turun ke Tangkahan. Alhasil para penebang liar pun jeri dan perlahan-lahan surut. Tahun 2001 dapat dikatakan sebagai tahun Tangkahan terbebas dari penebangan liar.

Perjuangan Wak Yun membebaskan Tangkahan dari penebangan liar bukan tanpa hambatan. Ancaman bunuh, culik dan sejenisnya sudah sering dia terima walaupun belum ada satupun yang benar-benar dirasakannya. Ia punya tips sendiri untuk mengatasi ancaman yaitu dengan “mob”. Ini adalah istilah orang Medan yang berarti “gertak”. Black Tiger sering me-ngemob orang-orang dengan perkataan bahwa ia kenal pejabat-pejabat tinggi baik sipil dan militer. Ini seperti perang urat syaraf yang bikin lawan-lawannya keder dan mundur.

Perlahan tapi pasti daerah Tangkahan yang dikelolanya berkembang. Banyak orang yang membantunya termasuk anak-anak mahasiswa. Istilah Wak Yun, mahasiswa-mahasiswa ini adalah mahasiswa yang “tidak terpakai di kampusnya” atau “Udah delapan tahun ga pernah masuk kuliah”. Pemerintah setempat menurutnya tidak ada andil sama sekali membantu pengembangan Tangkahan. Semua fasilitas yang ada sekarang merupakan buatan mereka sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Wak Yun berusaha gencar melakukan promosi wisata Tangkahan ke rekan-rekannya yang berada di luar negeri. Hasilnya tampak nyata. Kamar di resortnya yang berjumlah 11 selalu penuh di bulan Juni – Agustus, bulan dimana liburan musim panas di Eropa berlangsung. Paling sedikit tamu akan menginap selama dua malam dan biasanya mereka memesan kamar jauh-jauh hari. Jadi, jangan harap anda mendapat kamar jika tidak pesan jauh-jauh hari di bulan-bulan tersebut. Tamu-tamu dari luar negeri menurutnya sangat suka dengan keadaan alam di Tangkahan. Mereka menikmati sekali suara-suara alami dari hutan yang tidak bisa mereka dapatkan di kota.

Bila diamati kondisi daerah wisata Tangkahan relatif bersih dan tenang. Jumlah wisatawan lokal yang berkunjung pun tidak terlalu ramai, tidak seperti tempat wisata alam lain yang sejenis, sebut saja Bukit Lawang, yang pengunjungnya berjubel jika hari libur. Wak Yun menyukai situasi seperti ini karena menurutnya tempat wisata ini berkelas dan lebih mudah dikelola.

Mengenai konsep ekowisata apa yang dikembangkannya, Wak Yun hanya menjawab singkat. Ia tidak terlalu paham apa itu ekowisata namun yang pasti ia melaksanakan apa yang baik bagi lingkungan. Memang tidak ada program khusus seperti daur ulang sampah atau energi terbarukan. Sampah dipungut oleh petugas yang berasal dari penduduk setempat. Sumber energi diperoleh dari PLN sedangkan air bersih diambil dari sungai Buluh Tangkahan yang airnya sangat jernih. Yang terpenting baginya adalah lingkungan Tangkahan kembali asri. Sungai yang dulu airnya keruh dan nyaris tanpa ikan, kini kembali dihuni ribuan ikan. Masyarakat pun mengambil manfaat dengan keberadaan ikan tersebut.

Wak Yun juga menginisiasi kehadiran Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan sebuah unit yang mengelola sejumlah gajah jinak untuk patroli hutan dan pertunjukan wisata. Kini CRU tersebut dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Wak Yun terlibat dalam pengelolaan gajah. Begitu juga dengan LPT, Wak Yun tidak mau ikut campur dalam pengelolaannya. Baginya yang terpenting, lembaga-lembaga tersebut bisa mengembalikan keuntungan yang diperolehnya kepada alam sekitar.

Itulah Wak Yun. Cita-citanya sederhana saja saat mulai bertempat tinggal di Tangkahan. Ia cuma “mengganggu”, para pengganggu hutan. Caranya tidak muluk-muluk dengan konsep yang rumit. Ia berpikir jika hutan tersebut bakal habis selama 5 tahun karena penebangan liar, maka ia akan mengganggunya sehingga hutan tersebut dapat selamat paling tidak selama 50 tahun lagi. Wak Yun belum pernah mendapatkan penghargaan lingkungan karena ia pun tidak tertarik dengan penghargaan. Kini ia merasa bangga karena Tangkahan telah menjadi salah satu daerah terdepan untuk konservasi di Indonesia.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Debt for Nature Swap, Alihkan Hutang untuk Rawat Alam

Sejumlah donor menggelontorkan duitnya buat pelestarian hutan atau lingkungan di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, jutaan dollar diberikan kepada berbagai lembaga konservasi lewat persetujuan pemerintah. Tapi  tahukah anda bahwa sejumlah dana konservasi tersebut berasal dari skema pengalihan hutang (debt swap)?

Sederhananya, hutang yang seharusnya dibayar Pemerintah Indonesia kepada negara pemberi hutang, dialihkan untuk biaya konservasi lingkungan. Melalui skema ini pemerintah tidak perlu susah-susah mikir anggaran untuk pelestarian lingkungan karena diambil dari pembayaran hutang. Walaupun kadang jumlahnya tidak signifikan jika dilihat dari total hutang yang ada namun setidaknya bisa memberi ‘nafas’ pada sisi anggaran. Kalau tidak seperti ini bisa-bisa untuk lingkungan pemerintah ogah menyediakan dana dengan alasan klasik, tidak ada anggaran.

Debt swap awalnya dimulai pada tahun 1980an, dimana negara yang memiliki hutang tidak sanggup membayar hutang luar negerinya. Negara pertama yang melakukan cara debt swap dengan jenis debt for equity ini adalah Chili pada tahun 1985.

Sementara itu Debt for nature swap pertama dilakukan di Bolivia pada tahun 1987 dimana debt for nature swap ini kemudian menjadi awal munculnya jenis debt swap lainnya, diantaranya debt swap for child development, education, health, disaster dan bidang-bidang pembangunan.

Salah satu mekanisme Debt for Nature Swap dilakukan oleh Amerika Serikat. Untuk menunjukkan komitmennya terhadap lingkungan, Amerika Serikat membuat proyek Tropical Forest Conservation Action (TFCA), sebuah proyek pengalihan utang Pemerintah Amerikat Serikat yang ditujukan kepada negara yang memiliki hutan hujan tropis dan hutang kepada Amerika Serikat.

Hutan hujan tropis dipilih dikarenakan hutan ini mampu menampung bermacam-macam makhluk hidup didalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan serta mengurangi gas karbon dan mengatur siklus hidrologi. Amerika Serikat telah membuat kesepakatan debt for nature swap dengan tujuh belas negara, salah satunya adalah Indonesia.

Pihak Amerika Serikat bersedia merelakan hutang Indonesia dengan pertimbangan bahwa manfaat pengurangan hutang melalui debt for nature swap dapat lebih bermanfaat daripada menunggu pembayaran kembali hutang yang macet. Namun hutang ini harus diganti dengan proyek yang benar-benar memiliki manfaat dalam hal pelestarian alam dan pengurangan pemanasan global. Namun, Amerika Serikat tetap harus memastikan hutang yang tidak termasuk dalam debt for nature swap tetap dibayarkan sesuai kesepakatan kedua negara.

Walaupun tingkat deforestasi yang tinggi namun Pemerintah Indonesia masih minim dalam memberikan anggaran bagi konservasi hutan. Dengan hutang Indonesia yang cukup besar maka anggaran pengeluaran pemerintah seringkali lebih difokuskan kepada pengeluaran-pengeluaran lain yang lebih bersifat pembangunan infrastruktrur atau peningkatan ekonomi.

Hutan dipandang sebagai sumber daya utama yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Bantuan luar negeri bertujuan untuk membantu pembangunan ekonomi, karena hutan termasuk di dalamnya maka bantuan luar negeri mulai memasuki ranah hutan. Dapat terlihat bahwa hutan tidak pernah memiliki tempat sendiri dalam tujuan alokasi anggaran. Walaupun hutan telah mendapatkan alokasi tersendiri dalam dana pembangunan tetapi tetap pembangunan hutan ditujukan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Amerika Serikat memberikan bantuan luar negerinya kepada Indonesia melalui mekanisme debt swap. Dimana
disini Amerika menukar hutang luar negeri Indonesia untuk kegiatan konservasi alam. Hutang Indonesia yang akan ditukar oleh Amerika Serikat sebesar $30 juta.

Dalam proyek TFCA selain melakukan penghijauan hutan kembali, proyek ini juga melindungi flora dan fauna dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengikut sertakan masyarakat sekitar dalam pelaksanaan proyek dimana proyek ini berjalan.

TFCA diterapkan pada tahun 1998 yang merupakan suatu penawaran bagi negara berkembang untuk meringankan hutang mereka kepada Pemerintah Amerika Serikat dengan cara mengeluarkan sejumlah uang dalam mata uang lokal oleh pemerintah itu sendiri sebesar hutang mereka untuk melakukan konservasi ini.

Amerika Serikat yang diwakili oleh badan pemberi bantuannya USAID dan Indonesia oleh lembaga KEHATI membuat dokumen mengenai rencana strategis untuk proyek TFCA mengenai area yang akan diintervensi oleh Amerika Serikat. Selanjutnya kedua belah pihak bersama sama membicarakan bagaimana proyek ini akan berjalan hingga tahun 2018.

Jadi sudah selayaknya para pemegang amanah dana alih hutang ini menjalankan programnya sebaik mungkin. Ingat, duit yang mereka gunakan adalah duit bangsa Indonesia yang dikumpulkan susah payah untuk membayar hutang. Jangan sampai terjadi korupsi atau mismanagement.[]

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

read more
Hutan

Delapan Perusahaan Miliki Ijin Konsesi Restorasi Ekosistem

Meskipun banyak masalah yang dijumpai, pemerintah berkomitmen untuk tetap menjalankan restorasi ekosistem di hutan alam produksi. Saat ini terdapat 8 konsesi yang telah memperoleh ijin.

Selama ini hutan produksi dikenal kawasan hutan yang diijinkan untuk dieksploitasi demi usaha pemanfaatan kayu komersilnya. Sebaliknya, kawasan konservasi diperuntukkan untuk perlindungan berbagai kekayaan plasma nutfah. Eksploitasi hutan alam sendiripun telah dilakukan masif sejak tahun 1967 hingga mencapai puncak pada dekade 1990-an.

Paradigma ini mulai bergeser sejak munculnya Peraturan Menteri Kehutanan nomor 159/2004 tentang restorasi ekosistem di hutan alam produksi.  Menyadari bahwa eksploitasi hutan alam telah menyebabkan degradasi lingkungan dan kawasan, upaya Restorasi Ekosistem (RE) ditujukan untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati.

Meskipun upaya serupa juga dilakukan di negara-negara lain, di Indonesia RE berbeda.  Pertama karena upaya pemulihan dilakukan di hutan produksi bukan di hutan konservasi atau hutan lindung seperti yang dilakukan di negara lain, dan kedua karena upaya RE dilakukan oleh investor dalam bentuk area konsesi usaha.  Dari ijin RE, investor masih dapat memanfaatkan kayu, hasil hutan non kayu, jasa lingkungan seperti air dan pariwisata.

Ijin RE, yang disebut dengan IUPHHK-RE (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem) ternyata banyak menarik minat dan perhatian investor. Berbeda dengan IUPHHK-HA (Hutan Alam) yang memiliki maksimum ijin 55 tahun, maka IUPHHK-RE memiliki konsesi hingga 60 tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun.

Ijin IUPHHK-RE
Hingga bulan November 2013, telah terdapat 8 unit areal Restorasi Ekosistem yang diterbitkan ijinnya, dengan total meliputi 377.428 hektar kawasan hutan produksi.  Hingga saat ini, pemerintah masih memproses 30 pengajuan aplikasi untuk ijin RE. Upaya ini tidak terlepas dari target pemerintah untuk mencapai 2,6 juta kawasan hutan produksi untuk aktivitas RE.

Ijin IUPHHK-RE pertama dilakukan pada tahun 2007 di Sumatera Selatan, yang dilakukan oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) yang disponsori oleh konsorsium Burung Indonesia.  Burung sendiri adalah sebuah lembaga non profit yang peduli terhadap kehidupan satwa liar, dengan perlindungan habitat hidupan burung sebagai pusat perhatiannya.

Dalam perjalanannya masih dijumpai berbagai tantangan untuk mewujudkan area RE.  Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut mengakui jika lokasi RE tidak bebas dari perambahan, illegal logging, illegal mining yang dapat menggangu aktivitas konservasi.  Demikian pula dukungan dari pemerintah daerah dianggap masih rendah karena konsep RE sendiri belum sepenuhnya dipahami.

Sumber: mongabay.co.id

read more