close

leuser

Kebijakan Lingkungan

Penghapusan Nama Leuser Berlawanan dengan UU PA

Laporan Panitia Khusus (Pansus) II Tahun 2012 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengenai Hasil Pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 oleh Tgk. Anwar Ramli selaku Ketua Pansus II DPRA dalam masa persidangan VI Rapat Paripurna 6 pada tanggal 24 Desember 2013 memunculkan beberapa hal kontroversial. Hal ini disampaikan oleh Mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, yang kini menjabat Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar.

Dalam siaran persnya, Kamis (26/12/2013) Ia menyebutkan mengacu beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu :

1.    Pelaksanaan pembangunan di Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-undang harus dilakukan dengan mengacu pada rencana pembangunan dan tata ruang nasional yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan dan berkeadilan.

2. Pemerintah, termasuk Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mematuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk secara aktif terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

3.  Perlu diingatkan kembali sebagaimana yang telah disampaikan oleh Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 149, menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

4.   Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung, termasuk mengelola kawasan lindung untuk melindungi berbagai keanekaragaman hayati dan ekologi.

5. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota juga wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

6.  Dalam Pasal 150 Undang-undang  No. 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh pada ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Lalu pada ayat (2) disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.

” Untuk itu usulan penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam RTRW Aceh merupakan tindakan yang salah dan bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

UU ini sendiri merupakan turunan dari perjanjian damai MoU Helsinki pada bulan Agustus 2005 yang lalu.

Menurutnya Pansus DPR Aceh perlu melihat kembali keberadaan beberapa kawasan hutan di Aceh sebagai sebuah kesatuan kawasan Hutan Aceh tanpa harus menganulir beberapa kawasan yang sudah ditetapkan melalui peraturan perundangan-undangan yang berlaku selama ini.[rel]

read more
Ragam

Mengenal Ujong Kulon, Hutan Tropis di Jawa Barat

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Jawa bagian Barat. Di sinilah habitat ideal bagi kelangsungan hidup satwa langka badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Terdapat tiga tipe ekosistem di taman nasional ini yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem rawa, dan ekosistem daratan.

Keanekaragaman tumbuhan dan satwa di TNUK mulai menarik minat para peneliti dan pakar botani Belanda dan Inggris sejak tahun 1820. Kurang lebih 700 jenis tumbuhan terlindungi dengan baik dan 57 jenis diantaranya langka seperti merbau (Intsia bijuga), palahlar (Dipterocarpus haseltii), bungur (Lagerstroemia speciosa), cerlang (Pterospermum diversifolium), ki hujan (Engelhardia serrata) dan berbagai macam jenis anggrek.

Sedangkan satwanya terdiri atas mamalia, primata, reptilia, amfibia, burung, insekta, ikan, dan terumbu karang. Satwa langka dan dilindungi selain badak jawa adalah banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung (Trachypithecus auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus), kucing batu (Prionailurus bengalensis javanensis), owa (Hylobates moloch), dan kima raksasa (Tridacna gigas)

Dengan kekayaan flora dan fauna, serta keunikan alamnya, taman ini tak pelak menjadi objek wisata alam yang menarik. Sungai-sungai dengan jeramnya, air terjun, pantai pasir putih, sumber air panas, taman laut, dan peninggalan budaya/sejarah (Arca Ganesha di Gunung Raksa Pulau Panaitan) menjadi rangkaian objek yang menggugah minat wisatawan berjiwa petualang. Kesemuanya merupakan pesona alam yang sangat menarik untuk dikunjungi dan sulit ditemukan di tempat lain.

Di perairannya tersimpan jenis-jenis ikan yang menarik seperti ikan kupu-kupu, badut, bidadari, singa, kakatua, glodok, dan sumpit. Ikan glodok dan ikan sumpit adalah dua jenis ikan yang sangat aneh dan unik. Ikan glodok memiliki kemampuan memanjat akar pohon bakau, sedangkan ikan sumpit memiliki kemampuan menyemprot air ke atas permukaan setinggi lebih dari satu meter untuk menembak memangsanya (serangga kecil) yang berada di daun-daun yang rantingnya menjulur di atas permukaan air.

Bersama Cagar Alam Krakatau, TNUK merupakan aset nasional dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991.

Untuk mencapai kawasan Taman Nasional Ujung Kulon dapat dicapai melalui jalur darat dan laut. Jalur darat dapat ditempuh menggunakan angkutan umum bus jurusan Jakarta (Kalideres)-Labuan atau Jakarta (Kp. Rambutan)-Serang-Labuan, kemudian dilanjutkan dengan angkutan umum minibus/elf jurusan Labuan-Sumur-Tamanjaya. Sedangkan melalui laut bisa menggunakan kapal sewaan (longboat atau slowboat) yang biasa disewakan di Labuan/Carita, Sumur, atau Tamanjaya.

Sumber: NGI/intisari-online.com

read more
Hutan

Mengenal Lebih Dekat Hutan Gambut Rawa Tripa

Isu hutan gambut Rawa Tripa dalam beberapa tahun belakang ini banyak diekspose oleh media dan mendapat perhatian luas dari aktivis lingkungan. Wajar saja karena hutan gambut ini sedang dalam proses perusakan massif akibat ulah manusia. Pemerintah pun kini bertindak lebih tegas dengan menyeret para perusak lingkungan itu ke meja hijau. Para terdakwa dari sejumlah perusahaan digugat secara perdata dengan denda ratusan miliar hingga digugat secara pidana dengan hukuman badan.

Sayangnya Qanun (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang baru disahkan beberapa hari lalu tidak mencantumkan nama Leuser didalamnya. Ini berimplikasi perlindungan terhadap wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akan semakin lemah.

Namun tahukah Anda bagaimana situasi Rawa Tripa itu sendiri? Berikut informasinya yang kami kumpulkan dari berbagai sumber.

Gambut Luas yang Hancur
Hutan gambut Rawa Tripa (Rawa Tripa) adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas mencapai ± 61.803 hektar. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa berada di kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Sisanya berada di wilayah Babahrot, Aceh Barat Daya (Abdya). Wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Di dalamnya mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan. Daerah ini dapat ditempuh dua jam perjalanan darat dari Meulaboh atau sekitar satu jam dari Jeuram, Ibukota Kabupaten Nagan Raya.

Rawa Tripa memiliki peran sangat penting, yaitu sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir serta benteng alami bagi bencana tsunami. Selain itu, Tripa juga dapat menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara yang berperan positif bagi produksi pertanian yang berada di sekitarnya.

Rawa Tripa juga sangat kaya dengan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein. Rawa gambut ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Di dalam kawasan ini terdapat sedikitnya 40 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan Lele (biasa dan jumbo), Belut, Paitan dan Kerang.

Rawa Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar. Hal penting lainnya adalah beberapa sumber daya alam bukan kayu seperti madu lebah dan tumbuhan obat yang tak ternilai harganya.

Berbagai jenis satwa penting dan langka yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut Tripa antara lain Beruang Madu (Helarctos malayanus), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Burung Rangkong (Buceros sp), dan berbagai jenis satwa liar lainnya.
Bahkan hasil penelitian Prof. Carel Van Schaik pada tahun 1996 menemukan kepadatan populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil.

Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi.

Namun, Rawa Tripa saat ini mengalami kerusakan yang sangat parah akibat pembukaan lahan di dalam kawasan tersebut oleh perusahaan perkebunan. Padahal kawasan tersebut secara tradisional merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal.

Menurut perkiraan, luas hutan di Rawa Tripa hanya tersisa kurang dari 50% dari luas total 61.000 hektare. Saat ini, 36.185 hektare luas Rawa Tripa sudah menjadi wilayah konsesi bagi 4 perusahaan kelapa sawit besar yang beroperasi di Rawa Tripa yaitu PT. Astra Agro Lestari (13.177 Ha), PT. Kalista Alam (6.888 Ha),  PT. Gelora Sawita Makmur (8.604 Ha) dan PT. Cemerlang Abadi (7.516 Ha).

Dari total luas konsesi HGU di rawa Tripa, 20.200 hektar di antaranya telah dibuka. Sisanya berupa hutan primer dan sekunder yang akan segera mati sebagai dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan untuk mengeringkan rawa tersebut, kalau pengeringan ini tidak dihentikan dan restorasi, rehabilitasi lahan dilakukan segera.

Selain itu, teknik pembukaan lahan (land clearing) dengan cara pembakaran kerap dilakukan oleh pihak HGU yang memperparah kerusakan di hutan Rawa Tripa.

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Ekologis Rawa Tripa
Di kawasan Rawa Tripa  ditempati oleh penduduk suku Aceh yang merupakan kelompok etnis terbesar dan dominan. Etnis-etnis lainnya antara lain suku Jawa, yang merupakan transmigran, suku Batak, dan sebagainya.

Mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Tripa adalah di sektor pertanian (padi, cokelat, sawit) dan nelayan tradisional terutama untuk produk perikanan di rawa seperti lele dan lokan (sejenis kerang). Sebagian kecil masyarakat ada yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai buruh kasar/pekerja harian.

Rawa gambut memiliki peran penting dalam perkembangbiakan ikan. Oleh karena itu, bagi sebagian penduduk lokal di Tripa, lele dan jenis-jenis ikan rawa lainnya merupakan sumber ekonomi dan sumber protein penting bagi mereka.

Aspek ekologis Rawa Tripa
Rawa gambut Tripa merupakan bagian dari KEL yang dikenal dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya dan telah di tetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk perlindungan lingkungan hidup. Rawa Tripa memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi masyarakat sekitar, antara lain:

1. Sebagai pelindung dari bencana tsunami
Tripa sangat penting untuk penduduk lokal karena mampu menjadi buffer zone tangguh saat bencana Tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004. Hal ini terlihat dari minimnya kerusakan yang terletak di belakang kawasan hutan rawa gambut Tripa yang masih terjaga dengan baik.

2. Pengatur siklus air dan pencegah banjir
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3/m3 (Murdiyarso et al, 2004).  Dengan demikian Rawa gambut Tripa memiliki peran sangat penting sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir.

3. Cadangan karbon
Berdasarkan hasil studi kedalaman gambut yang dilakukan di Rawa Tripa, memperlihatkan bahwa kawasan ini terdapat tiga kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Jumlah cadangan karbon diatas permukaan tanah pada hutan yang masih ada seluas 31.410 Ha (Hutan primer seluas 24.088 Ha dan hutan sekunder seluas 7.231 Ha) sebesar 4.048.335 ton carbon. Sementara cadangan karbon di bawah permukaan tanah (dengan kedalaman antara 130 cm – 505 cm) diperkirakan sebesar 328-2.240 ton karbon/Ha  (Agus dan Wahdini, 2008). Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi.

Menyadari nilai penting Rawa Tripa, penduduk lokal dari dulu telah menghormati keberadaan rawa Tripa. Mereka memperlakukan rawa tersebut secara khusus sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan. Tetapi kini sumber daya alam tersebut sudah semakin langka. Masyarakat setempat sudah tidak bisa dengan mudah menjaring ikan lele atau mencari madu seperti dulu lagi. Karenanya hutan gambut Rawa Tripa perlu diselamatkan demi manusia dan alam sekitarnya. []

read more
1 5 6 7
Page 7 of 7