close

leuser

Pejuang Lingkungan

Ian Singleton, Penjaga Orangutan Aceh

Bagi anda yang terlibat dalam dunia konservasi Orangutan, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Pria asal Inggris yang lahir pada tahun 1966 sejak usia muda sudah mendedikasikan dirinya melestarikan Orangutan. Ian Singleton namanya, awal berkenalan dengan Orangutan ketika ia bekerja di Kebun Binatang Jersey pada tahun 1989 sebagai penjaga Orangutan. Penyandang gelar BSc (hons) Ilmu Lingkungan ini memang menyukai bekerja bersama hewan liar.

Awal ia “terdampar” di Indonesia adalah saat Ian mengambil liburan ke Indonesia untuk belajar tentang orangutan di alam liar dan akhirnya mengembangkan rencana PhD. Ia memulai risetnya pada tahun 1996 di Aceh Selatan dan menyelesaikan studinya akhir tahun 2000. “Saya kemudian mendekati Regina Frey dan PanEco karena saya tahu mereka baru memulai proyek konservasi Orangutan di sini dan saya dipekerjakan untuk membantu mengaturnya”ujar Ian. Disertasi PhD nya tentang perilaku Orangutan Sumatera dan pergerakan musiman di hutan rawa.

Pria ini sekarang menjabat Direktur Konservasi di lembaga konservasi internasional Yayasan PanEco. Pekerjaan utamanya adalah mengawasi dan mengarahkan semua aspek Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP). ” Ini melibatkan banyak pekerjaan kantor dan pertemuan tetapi saya juga masih sering pergi ke hutan dan melakukan langsung sejumlah pekerjaan dengan tangan saya sendiri. Namun, semakin banyak pekerjaan manajemen seperti membuat proposal, penggalangan dana, laporan, masalah staf, melobi, rapat, mengembangkan proyek baru, dll.

Ian Singletan cukup bebas untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan dan masih bisa pergi ke hutan setiap saat dan mengembalikan Orangutan ke alam liar. Ian juga senang merawat Orangutan yang sakit agar kembali sehat dan dapat dilepasliarkan ke alam bebas.

Sumber: www.orangutan.org.au

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Tahun 2017 Deforestasi Aceh Merosot

Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan bahwa deforestasi di Provinsi Aceh tahun 2017 mengalami penurunan. Mereka melakukan pemantauan menggunakan tekonologi penginderaan jarak jauh dari citra satelit. Sementara itu, Forum Konservasi Leuser (FKL) berdasarkan pengumpulan data lapangan Januari sampai Desember 2017 menyimpulkan ada peningkatan yang signifikan pada kasus perburuan dan illegal logging di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers Yayasan HAkA dan FKL di Banda Aceh 15 Januari 2018.

Konferensi pers yang dipimpin oleh Agung Dwinurcahya, GIS Manager Yayasan HAkA dan Ibnu Hasyim, Database Manager FKL, mereka mempresentasikan data hasil monitoring dari citra satelit meliputi seluruh provinsi Aceh dan ground checking temuan lapangan aktivitas ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser untuk periode tahun 2017.

Agung menyebutkan bahwa kerusakan hutan di provinsi Aceh periode 2016 – 2017 adalah sebesar 17.333 hektar (ha). Dua tahun sebelumnya kerusakan hutan di Aceh berkisar di angka 21.000 ha. Adapun tiga besar kabupaten dengan tingkat kerusakan hutan terbesar adalah Aceh Utara (2.348 ha), disusul Aceh Tengah (1.928 ha) dan Aceh Selatan (1.850 ha). Temuan tersebut patut diduga menjadi penyebab banjir yang parah di Aceh Utara beberapa waktu lalu. Pada periode sebelumnya 2015 – 2016, Aceh Utara juga sudah menjadi kabupaten kedua tertinggi kerusakan hutannya.

Yayasan HAkA juga menganalisis kerusakan hutan di dalam kawasan hutan yang ditetapkan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terakhir yaitu SK 103 tahun 2015. HAka menemukan fakta bahwa telah terjadi kerusakan hutan sebesar 9.761 ha atau 56 % deforestasi 2016-2017 terjadi dalam kawasan hutan. Hutan Produksi (HP) menempati urutan pertama yaitu sebesar 4.147 ha, disusul oleh Hutan Lindung (HL) yakni seluas 3.480 Ha. Hal ini perlu menjadi perhatian besar bagi pengelola kawasan untuk dapat lebih menjaga dan melindungi kawasan yang menjadi tanggungjawabnya.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh yang menjadi fokus area kerja HAkA juga tak luput dari analisis yang dilakukan. KEL Aceh juga sebanding dengan data seluruh Aceh, yaitu mengalami penurunan angka deforestasi. Perhitungan tim HAkA menghasilkan angka deforestasi di dalam KEL Aceh sebesar 6.875 ha. Kabupaten tertinggi deforestasi adalah Aceh Selatan (1.847 ha), disusul Aceh Timur (1.222 ha) dan Nagan Raya (946 ha). Tahun 2017 ini merupakan tahun terendah deforestasi dalam KEL Aceh. Tahun 2016 mencapai 10.351 ha bahkan tahun 2015 mencapai 13.700 ha. KEL Aceh yang telah ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) tersebut harus lebih dijaga dan dikelola dengan mengedepankan konsep perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan yang lestari.

Yayasan HAkA juga memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk tahun 2017, Titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 4.344 titik. Satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) mendeteksi api berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 3.705 buah sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 639 buah titik api. Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 3.590 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 242 titik api dan nomor 3 adalah Hutan Lindung sebanyak 239 titik api. Bulan Juli merupakan bulan tertinggi kejadian pembakaran lahan disusul bulan Oktober dan Juni. Kabupaten Nagan Raya merupakan kabupaten tertinggi terdeteksi titik api, disusul kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan. Sedangkan, menurut data Global Forest Watch (GFW), terdeteksi titik api untuk provinsi Aceh sebanyak 5.551 titik di tahun 2016 dan meningkat menjadi 7.953 titik di tahun 2017.

Berdasarkan data ground checking monitoring lapangan oleh FKL di 12 Kabupaten dalam KEL, terdapat 1.528 kasus illegal logging terjadi pada periode tersebut dengan volume sekitar 7.421,3 meter kubik kayu. Angka aktivitas ilegal tersebut meningkat dari tahun 2016 dimana hanya 1.534 kasus pembalakan liar dengan volume 3.665 meter kubik kayu.

Berdasar hasil temuan lapangan tim FKL, kabupaten Aceh Tamiang tercatat sebagai kabupaten dengan aktivitas perambahan terluas di tahun 2017 yaitu mencapai 1.347 hektar. Hasil patroli di Aceh Tamiang juga terdata jumlah kasus paling banyak di KEL, yaitu 414 kasus. Total kerusakan hutan KEL yang terdata dari lapangan akibat perambahan pada periode tahun 2017 berjumlah 6.648 hektar dan terdata 1.368 kasus.

Data-data aktivitas perburuan dan pembangunan jalan juga diulas di konferensi pers tersebut. Di tahun 2017 terdapat 729 kasus perburuan dan 814 jerat untuk satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau dan gajah yang disita atau dimusnahkan. Untuk pembangunan jalan, terdata 439.4 km pembangunan jalan di dalam KEL.

Pada akhir konferensi pers tersebut, Yayasan HAkA dan FKL mendorong Pemerintah Aceh, Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk lebih menjaga hutannya terutama KEL karena KEL adalah sumber air bagi rakyat Aceh dan juga berjasa untuk mitigasi bencana. Semoga seluruh pihak semakin sadar pentingnya kelestarian hutan dan KEL untuk masa depan Aceh dan dunia yang terus membaik.[rel]

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

GeRAM Minta Menteri LHK Tidak Izinkan Hutan untuk PLTA

Banda Aceh – Gabungan Masyarakat dan Aktivis Lingkungan Hidup Aceh yang berhimpun di dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), telah menyampaikan surat permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (LHK-RI).

Surat yang disampaikan kepada Menteri LHK tersebut berisikan penolakan mereka terhadap rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur I yang diyakini akan mempercepat laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Oleh karena itu kami mengirimkan surat kepada Menteri LHK RI pada pertengahan Desember lalu yang isinya berupa Permohonan Agar Mohon Tidak Diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam RencanaPembagunan PLTA Tampur I”, kata  Juru Bicara GeRAM untuk Advokasi Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Akibat Pembangunan PLTA Tampur I, T. M. Zulfikar.

Selain GeRAM, berbagai elemen masyarakat dan gabungan NGO/LSM Aceh yang ikutserta menandatangani surat tersebut diantaranya Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Forum Orangutan Aceh (FORA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Rumoh Transparansi Aceh, Rawa Tripa Institute (RTI), Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Orangutan Information Centre (OIC), Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh, Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh (PeNA), dan Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh (JKMA).
Gabungan masyarakat dan LSM tersebut selama ini dikenal sangat aktif dalam mendukung upaya-upaya advokasi penyelamatan hutan dan lingkungan khususnya di Aceh, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser.

Surat yang disampaikan kepada Menteri LHK RI antara menyebutkan antara lain Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur  berada di lokasi yang merupakan habitat kunci beberapa jenis satwa yang dilindungi,  seperti harimau, gajah, orangutan. Dikhawatirkan bila pembangunanPLTA Tampur 1 jadi terlaksana maka konflik antara manusia dan hewan akan meningkat. Selain itu juga disebutkan bahwa sebagian dari wilayah PLTA Tampur terdapat kampung adat yaitu kampung Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, yang didiami oleh 67 KK yang akan terpaksa harus direlokasi, selain bahwa didalam areal luasan rencana proyek juga merupakan kawasan lindung adat masyarakat Gayo – Pining, yang telah mereka taati dan pelihara secara turun menurun, sehingga keberadaan proyek tersebut dikuatirkan akan memincu konflik sosial di masyarakat, baik konflik vertikal maupun horizontal.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Walhi Aceh Tolak Revisi Zona Inti Leuser

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta kementerian merevisi zona inti Leuser untuk pembangunan pembangkit energi geothermal. Permintaan Gubernur Aceh ini memunculkan penolakan dari Walhi Aceh yang kemudian juga mengirimkan surat kepada Menteri KLHK  meminta sebaliknya, agar zona inti tersebut tidak direvisi demi kelestarian hutan Leuser.

Surat dari Gubernur Aceh disampaikan kepada Menteri KLHK, dengan nomor surat 677/14266 tertanggal 16 Agustus 2016 perihal Dukungan Pengembangan Potensi Panas Bumi Oleh PT Hitay Panas Energi. Dalam surat tersebut Gubernur Aceh mengajukan permohonan kepada Ibu Menteri untuk merevisi sebahagian zona inti Taman Nasional Gunung Leuser menjadi zona pemanfaatan dan memberi izin  kepada PT Hitay Panas Energi melakukan eksplorasi di zona inti Taman Nasional Gunung Leuser.

Sementara itu Walhi Aceh, menjelaskan dalam suratnya bahwa Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013 – 2033, yang menjadi dasar dari Gubernur Aceh untuk mengajukan surat permohonan, tidak mengakui Kawasan Ekosistem Leuser (Taman Nasional Leuser  adalah termasuk  bahagian  didalamnya) sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang berada di Provinsi Aceh. Qanun ini tidak selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan dalam penetapannya qanun tersebut tidak mengindahkan Kepmendagri Tentang Evaluasi Raqanun Tentang RTRW Aceh Tahun 2014-2034.

Walhi Aceh berpendapat perubahan zonasi inti  Taman Nasional Gunung Leuser menjadi zona pemanfaatan, serta memberi izin  eksplorasi kepada PT Hitay Panas Energi bukanlah sikap yang bijak dan akan menjadi preseden yang buruk dimasa yang akan datang. Walhi Aceh menganggap ini merupakan preseden buruk dimana hukum (peraturan perundang-undangan terkait tentang perlindungan alam) boleh saja  di rubah-ubah untuk mengakomodir segala bentuk keinginan dan  atau kepentingan bisnis.

Faktanya TNGL saat ini terus dirusak oleh kegiatan penebangan liar, perkebunan liar baik dalam skala kecil maupun besar tanpa mampu dihentikan oleh otoritas terkait yang berwenang untuk melakukan penegakkan hukum. Walhi Aceh khawatir pemberian izin eksplorasi kepada PT Hitay Panas Bumi  di zona inti akan memperburuk  kerusakan yang terjadi di TNGL seperti pembangunan fisik diantaranya pembangunan jalan yang akan menuju zona inti yang akan mempermudah akses pencurian kayu,perambahan dan aktifitas illegal lainnya.

Kawasan TNGL adalah Cagar Biospher dan ASEAN Heritage Park yang merupakan  satu-satunya kawasan hutan di dunia yang menjadi habitat bersama bagiGajah Sumatera, Badak Sumatera, Harimau Sumatera dan Orangutan Sumatera yang merupakan 4 spesies kunci Sumatera dan lokasi yang dimohonkan tersebutterletak di zona inti TNGL yang merupakan habitatterpenting bagi Badak Sumatera, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan Sumatera  yang tersisa di dunia.

Rencana pemanfaatan geothermal di Kawasan Zona Inti TNGL akan berdampak buruk terhadap keberadaan dan ancaman habitat 4 spesies kunci Sumatera di kawasan tersebut, mendegradasi kualitas air serta akan mengancam sumber ekonomi masyarakat sekitarnya yang sebagian bergantung pada pemanenan ikan air deras.

Walhi Aceh mengusulkan pemanfaatan geothermal di kawasan tersebut dialihkan ke lokasi potensial geothermal lainnya di provinsi Aceh, yang berada di luar kawasan konservasi.[rel]

read more
Ragam

USAID Lestari Kerjasama Kembangkan Kakao Organik Aceh

USAID LESTARI akan menandatangani Perjanjian Kemitraan Publik-Swasta (PPP) pertamanya kemarin, Senin (9/4/2016)  dengan perusahaan swasta PT Kampung Kearifan Indonesia, pemilik merek JAVARA, untuk mengembangkan bisnis kakao organik di provinsi Aceh. Acara penandatanganan akan dihadiri oleh perwakilan USAID/Indonesia, JAVARA, dan LESTARI.

PPP adalah salah satu skema kemitraan yang dapat menyelaraskan tujuan dan kepentingan sektor bisnis dan sektor publik untuk mencapai tujuan-tujuan yang bertanggung jawab baik secara sosial maupun lingkungan, serta berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Dengan mengembangkan PPP di bidang kakao organik, USAID LESTARI dan JAVARA berharap dapat menggabungkan kekuatan dalam memperluas akses teknologi dan inovasi guna menghubungkan petani ke pasar yang lebih baik, memfasilitasi pengembangan inisiatif berkelanjutan yang mendukung usaha berskala masyarakat yang penting bagi penghidupan setempat sekaligus mengurangi tekanan terhadap hutan dengan meningkatkan peluang kerja/pendapatan bagi masyarakat yang tergantung pada hutan sebagai ganti komitmen mereka untuk tidak lagi merambah kawasan hutan.

Proyek USAID LESTARI mendukung Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) serta melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang kaya karbon dan signifikan secara biologis. Hal ini dicapai melalui peningkatan tata kelola penggunaan lahan, perbaikan pengelolaan kawasan lindung dan perlindungan spesies penting, praktek-praktek sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta perluasan konstituensi bagi pelestarian di antara para pemangku kepentingan. Ini adalah suatu proyek kerja sama antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia melalui perjanjian antara BAPPENAS dan USAID. Kegiatan-kegiatan LESTARI ditargetkan pada enam lanskap strategis di enam pulau terbesar di Indonesia (bagian utara Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Papua).

JAVARA adalah merek asli Indonesia yang didirikan oleh Helianti Hilman, Pendiri dan Chief Executive Officer PT. Kampung Kearifan Indonesia serta pemegang merek dagang JAVARA. JAVARA beroperasi pada rantai nilai sektor pertanian, mulai dari produksi hingga distribusi dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati pangan Indonesia dan kearifan lokal serta membawa produk organik berbasis masyarakat ke pasar yang lebih luas.

Saat ini JAVARA bekerja sama dengan lebih dari 50.000 petani dan 2.000 produser makanan, menjual lebih dari 600 produk kerajinan makanan premium menggunakan prinsip- prinsip beretika dan telah mengekspor produk ke 19 negara di 4 benua. JAVARA telah memposisikan diri sebagai perusahaan sosial di Indonesia yang bekerja sama dengan petani, pengrajin makanan, dan pejuang keanekaragaman hayati setempat untuk menghidupkan kembali dan mempertahankan warisan Indonesia.

Di Lanskap Aceh, kakao telah diidentifikasi sebagai komoditas berpotensi tinggi untuk mendukung penghidupan masyarakat setempat. Pengembangan rantai nilai kakao merupakan suatu strategi pembangunan rendah emisi yang dapat memberikan manfaat positif bagi para petani, pebisnis kakao dan lingkungan hidup. Pengembangan PPP ini diharapkan mencapai tujuan-tujuan berikut: pengurangan emisi GRK berbasis lahan dan perbaikan kondisi pelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan pendapatan bagi para petani kakao, pembukaan lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat yang tergantung pada hutan sebagai ganti dari komitmen mereka untuk tidak merambah kawasan hutan lebih lanjut, serta peningkatan produktivitas dan kualitas kakao.

Ini akan dimulai dengan peningkatan kegiatan-kegiatan pertanian dan pengelolaan lingkungan maupun pengembangan suatu sistem pasar yang memberi dorongan bagi produksi kakao yang memenuhi standar kualitas tertentu. Kegiatan awal di lapangan telah dimulai di 12 kecamatan yang terletak berdekatan atau berbatasan dengan hutan di Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Gayo Lues.

read more
Tajuk Lingkungan

Mental Inlander Lingkungan Indonesia

Kedatangan bintang papan atas Hollywood, Lenardo DiCaprio, ke Hutan Leuser Aceh, Minggu (27/3/2016) membuat heboh masyarakat Indonesia terutama para aktivis lingkungan. Kedatangan ini bisa disebut diam-diam karena sebelumnya tidak ada publikasi atau sinyal perihal kedatangan aktor yang memenangkan piala oscar awal Maret 2016 lalu. Sebenarnya dalam beberapa tahun belakangan ini, dia bermetamarfosis menjadi seorang yang sangat peduli lingkungan. Leo membuat sejumlah pernyataan tentang kondisi lingkungan terkini. Termasuk pidatonya saat menerima Oscar pun sarat dengan pesan-pesan menjaga lingkungan.

Lantas apa yang aneh dari kedatangan Leo ke Hutan Leuser, hutan dimana sejumlah hewan kunci yang nyaris punah masih bisa hidup bersama? Leo datang bersama aktor watak Hollywood lain yaitu Adrien Brody, mengunjungi sejumlah situs-situs konservasi satwa liar. Mereka ditemani oleh sejumlah aktivis lingkungan lokal. Masyarakat setempat pun tak mau ketinggalan momen langka ini, berebut mendekati kedua aktor dan syukur-syukur bisa foto bareng.

Kehebohan karena datangnya bintang kawakan ini memang wajar. Maklum mereka adalah bintang top kelas dunia. Bagi yang suka menikmati film Amerika, keduanya tentu saja akrab wara-wiri dalam sejumlah film berkelas. Tiba-tiba sudah sampai ke Aceh, tentu menimbulkan kegemparan dalam tanda positif. Apalagi Leo dan Adrien menjadi sarana kampanye yang efektif menembus ke seluruh dunia.

Sejumlah media massa memuat berita kedatangan mereka. Timeline berseliweran perbincangan mengenai keduanya, terutama di medsos nya aktivis lingkungan. Saya sedikit terhenyak, kemarin-kemarin pada kemana ya orang-orang saat aktivis lokal sibuk berjuang melawan perusakan lingkungan?

Mental inlander bangsa Indonesia belum sepenuhnya hilang. Saat orang asing yang datang, kita ramai-ramai mengelukannya seolah-olah mereka lah penyelamat satu-satunya. Sementara yang lokal capek berkoar-koar namun tidak mendapat perhatian yang setimpal. Bangsa asing datang, populer dan kaya, langsung mendapat kehormatan setinggi gunung. Padahal setelah mereka pulang dan sampai di rumahnya masing-masing, siapa yang terus berjibaku menghadapi penebangan hutan?

Dulu situasi yang mirip juga terjadi saat aktor Amerika Harrison Ford datang ke Jakarta, pada September 2013. Ford sempat dikabarkan loncat-loncat ke atas meja di Kementerian Kehutanan saking kesalnya terhadap rusaknya hutan Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian luas dari media dan masyarakat. Ford pun menjadi pahlawan pembela lingkungan. Persis sama dalam film-filmnya dimana dia sebagai petualang selalu menjadi pahlawan. Kita pun mengelu-elukannya.

Jadi saran saya kurangi lah sedikit mental inlander itu. Kalau bisa hilangkan secara total. Bukannya saya apriori dengan kedatangan mereka tapi cobalah berlaku lebih adil. Dengarlah aktivis lokal berbicara, jangan selalu tunggu yang asing. Yang lokal lah yang berjuang keras. Memang dunia bekerja seperti ini, selalu menganggungkan siapa yang populer dan kaya. []

read more
Kebijakan Lingkungan

Lestari Akan Selamatkan 1,5 juta Ha Hutan Aceh

Direktur Bidang Lingkungan Hidup Indonesia USAID, John Hansen dan Direktur Sumber Daya Hutan dan Konservasi Sumber Daya  Air Bappenas Hernowo hari ini Selasa (15/3/2016) secara resmi meluncurkan program Lestari bertempat di aula Dinas Kehutanan Propinsi Aceh, Banda Aceh. Lestari di Aceh akan menjalankan tata kelola hutan yang baik seluas 1,5 juta hektar. Luas ini merupakan bagian total dari 8,42 juta hektar hutan di Indonesia yang menjadi target kerja program ini.

Lestari merupakan program dari USAID selama lima tahun ke depan (2015-2020) yang fokus pada upaya-upaya mitigasi perubahan iklim dan konservasi hutan. Adapun wilayah kerja Lestari di Aceh adalah bentang alam Leuser (Leuser Landscape) yang meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya serta mencakup bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

Tujuan Lestari adalah menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berasal dari sektor pemanfaatan lahan dengan melindungi hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, diintegrasikan dengan program pembangunan yang beremisi rendah atau Low Emission Development) pada lahan lain yang telah rusak.

Dalam pertemuan yang dihadir juga oleh Kadis Kehutanan Aceh, Ir, Husaini Syamaun, terungkap bahwa program ini akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik dari swasta maupun dari pemerintah, seperti anggota Kelompok Pengelola Hutan (KPH) III, V dan VI. KPH berperan penting dalam memperkenalkan bentuk tata kelola hutan lokal yang dipusatkan pada upaya membangun kemitraan dengan komunitas lokal.

Pada saat jumpa pers usai acara, ketika ditanya apa yang menjadi indikator kesuksesan program ini, John Hensen mengatakan indikator program ini dapat dilihat dari capaian program. “Lestari akan mengelola 8,42 juta hektar hutan dengan baik, satu setengah juta diantaranya berada di Aceh,” katanya. Selain itu Lestari membantu target pemerintah untuk menurunkan sebesar 41 persen emisi karbon. ” Hal ini semua dapat terlaksana dengan kerja sama dengan semua pihak,” ucapnya.

Hensen juga menekankan bahwa Lestari bekerja sama dengan pihak swasta dengan membentuk 10 kemitraan Publik-swasta (Publik Private Partnership) untuk meningkatkan efektivitas Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Untuk memastikan program ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakata, Hensen mengatakan bahwa Lestari bekerja sama langsung dengan masyarakat di tingkat tapak. “Komunitas dilibatkan sejak dari perencanaan menyusun zonasi dan tata ruang, mengatur konservasi dan juga melibatkan pihak lain,”katanya.

Selain di Aceh Lestari juga bekerja di lima bentang alam lain yaitu lanskap Katingan-Kahayan (Kalimantan Tengah), lanskap Lorentz Lowlands, Lanskap Mappi-Bouven Digoel, Lanskap Sarmi dan Lanskap Cyclop (Papua).[]

read more
Green Style

Lestari Training Jurnalis Lanskap Leuser

Lebih kurang 50 peserta yang berasal dari Banda Aceh, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya mengikuti training jurnalis lanskap Leuser yang diselenggarakan oleh Program Lestari selama tiga hari (26-28) di Banda Aceh. Jurnalis yang mengikuti kegiatan ini terdiri dari jurnalis media cetak, online, televisi, radio dan blogger. Para jurnalis dilatih untuk membuat berita yang bermanfaat bagi advokasi lingkungan terutama kaitannya dengan bentang alam Leuser.

Acara yang dibuka sekitar pukul 09.30 pagi itu menghadirkan pemateri dari Lestari sendiri yaitu Cut Meurah Intan dan Rezki Mulyadi (Communication Lestari) dan Muhammad Nizar (Green Journalist Aceh) pada hari pertama. Selanjutnya peserta akan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu menulis, fotografi dan video. Masing –masing kelompok akan difasilitasi oleh Adi Warsidi (TEMPO/Ketua AJI) untuk menulis, Chaideer Mahyuddin (AFP/Acehkita/ANC) untuk fotografi dan Davi Abdullah (KompasTV) untuk video.

Rezki Mulyadi dalam kesempatan tersebut banyak memaparkan bagaimana peran jurnalis dalam program Lestari Leuser ini sendiri. Mantan jurnalis radio di Makassar ini mengatakan jurnalis harus memberikan pencerdasan kepada masyarakat. “Jangan hanya menulis untuk memenuhi quota saja. Menulis harus menjadi alat perjuangan dan media interaksi bagi komunitas,”ucapnya. Ia menambahkan kegiatan kampanya melalui jurnalistik diarahkan agar publik mendapatkan manfaat berupa manfaat sosial, manfaat intelektual serta manfaat praktis.

Lestari sendiri telah meluncurkan program kampanye yang bertajuk #Leuserpermatadunia agar menarik perhatian masyarakat internasional.

Sementara Direktur Green Journalist Aceh lebih banyak memaparkan tentang bagaimana jurnalistik lingkungan dapat diterapkan dengan baik pada program Lestari ini. Ada banyak tema yang bisa diangkat dari sektor kehutanan. Selalu saja ada ide untuk membuat artikel, jadi jangan hanya sampai menunggu peristiwa terjadi atau bencana baru menulis. Hasil riset-riset kehutanan juga menjadi bahan yang menarik sebagai penulisan artikel.

Kegiatan Lestari dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, Lestari bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Lestari juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.[]

read more
1 3 4 5 6 7
Page 5 of 7