close

leuser

Ragam

Masyarakat Aceh Dan Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser

Pendahuluan 
Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh merupakan kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara yang masih tersisa sampai saat ini. Dengan luas 2,25 juta hektar di Aceh (2,6 juta hektar bila dengan wilayah Sumatera Utara), lokasi ini dianggap benteng terakhir keragaman hayati di Pulau Sumatera setelah kawasan lainnya porak- poranda dalam waktu 20 tahun belakangan ini. Namun di waktu yang akan datang, hutan Leuser akan mengalami nasib yang sama seperti hutan di Riau, Jambi atau Lampung yang telah lebih dahulu musnah – jika Pemerintah Aceh gagal menghentikan kerusakan yang semakin parah akhir-akhir ini.

Sejarah Kawasan Ekosistem Leuser 
Hingga awal abad 19, nama Leuser tidak terdengar di dunia Internasional, tidak sepertinya kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Nama Leuser baru terdengar pada laporan- laporan geologis Belanda pada tahun 1925– 1926 seiring penaklukan Belanda ke lokasi paling tertutup di Aceh kala itu yaitu Gayo Lues. Van Daalen yang memimpin ekspedisi penaklukan ke Gayo pada tahun 1904 menyertakan seorang seorang ahli geologist dan seorang fotografer yaitu HM. Neeb dalam misi terakhir penaklukan Aceh ini yang diikuti dengan pembantaian ribuan rakyat Aceh itu. Foto-foto keindahan alam tanah Gayo dengan pegunungan yang menjulang tinggi yang dihasilkan oleh Neeb telah memikat Ratu Wihelmina sehingga menamakan pegunungan di Alas ini dikenal sebagai Wihelmina-Keten (Abdullah 2004). Penaklukan ini telah direncanakan dengan matang oleh Van Daalem ke lokasi paling indah dan misteri ini, yang kemudian tidak saja menimbulkan rasa takjub pada alamnya tapi lebih jauh lagi melahirkan kisah cinta seorang serdadu dengan wanita pejuang lokal yang secuil kisahnya dapat kita nikmati di novel Bumi Manusia karangan Pramudya Ananta Noer.

Survey-survey geologis yang dilakukan oleh peneliti Belanda setelah penaklukan Aceh kemudian dilanjutkan dengan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya mineral dan kayu di Alas dan Gayo. Namun rencana ini ditentang pemimpin-pemimpin lokal Aceh dari Tanah Gayo, Alas, Blangpidie, Tapaktuan hingga Singkil. Pada tahun 1924 para pemimpin ini menyampaikan permohonan kepada Pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi hutan di Singkil dan Tanah Alas dari pertambangan dan logging. Keresahan akan rusaknya alam dan lingkungan menjadi prioritas utama para pemimpin lokal saat itu. Permohonan untuk melindungi alam ini kemudian ditindak lanjuti oleh dr. F.C. van Heurn, seorang peneliti dan konservasionis Belanda pada tahun 1928 dengan menyiapkan proposal pertama untuk konservasi Leuser yang meliputi bagian barat Sungai Alas menuju Singkil hingga batas laut Singkil. Pada tahun yang sama proposal ini dikirimkan oleh Netherlands Committee for International Nature Conservation kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Pada tahun 1932, F.C. van Heurn menyampaikan proposal kedua untuk melindungi sekitar Gunung Leuser dan Kluet.

Pada tanggal 6 Februari 1934 atau sepuluh tahun protes diajukan, pemimpin- pemimpin lokal Aceh mengadakan pertemuan di Tapaktuan untuk mendeklarasikan kesepakatan melindungi hutan Leuser, yang dikenal sebagai Deklarasi Tapaktuan yang melahirkan Piagam Tapaktuan. Pada tahun 1934 itu juga, Gubernur Aceh van Aken, resmi menetapkan Suaka Margasatwa Gunung Leuser seluas 416.000 hektar sebagai kawasan konservasi. Leuser merupakan kawasan konservasi pertama yang dibentuk atas dasar inisiatif masyarakat lokal. Pendirian kawasan konservasi ini berlanjut ke kawasan lain yaitu SM. Kluet (1936), SM. Langkat Selatan dan Langkat Barat, SM. Sikundur (1936) (Schaik, 1998). Ini merupakan serentetan pembentukan kawasan konservasi yang kemudian dikenal sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di tahun 1982. Penunjukan TNGL merupakan satu dari lima taman nasional pertama yang berdiri di Indonesia.

Survey-survey yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1990-an menyebutkan bahwa selain TNGL, kawasan hutan disekitarnya juga bernilai penting bagi konservasi keragaman hayati, dengan fungsi ekologi yang tinggi bagi masyarakat sekitar. Melindungi TNGL saja tidaklah cukup, melainkan perlu pula melindungi hutan-hutan disekitarnya. Diperkirakan 75 – 80% orangutan, gajah dan harimau – 3 dari 4 spesises kharismatik sumatera – yang hidup di hutan- hutan Aceh justru berada di luar kawasan konservasi. Bukti-bukti ilmiah dan kebutuhan melindungi hutan yang lebih luas meliputi hutan dataran rendah di Aceh menjadi dasar utama para tokoh-tokoh Aceh mendorong pemerintah untuk membentuk Kawasan Ekosistem Leuser. Usulan pembentukan KEL ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Kepres 33/1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Seluruh tata batas KEL telah diresmikan berdasarkan SK Menhutbun No.190/Kpts-II/2001 seluas 2,25 juta hektar di Provinsi Aceh. Pada tahun 2006 seiring disahkannya UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, KEL ditingkatkan statusnya menjadi Kawasan konservasi dimana pemerintah dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan di dalamnya. Pada tahun 2008, pemerintah menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan lingkungan hidup melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Pentingnya Kawasan Ekosistem Leuser 
Serentetan keputusan pembentukan KEL diatas menunjukan bahwa KEL sangat penting untuk dilestarikan. Pada tahun 2013, ahli-ahli IUCN yang mempublikasikan hasil penelitian mereka di Jurnal Science, menggolongkan KEL sebagai salah satu situs yang tidak tergantikan di dunia (Sauot et al 2013).

Pentingnya KEL tidak saja diukur dari fungsi ekologi, tetapi juga ekonomi dan nilai- nilai estetika yang tidak dapat dinilai. Studi yang dilakukan oleh Beukering et al pada tahun 2001 terhadap manfaat ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser menyebutkan bahwa jika Kawasan Ekosistem Leuser dilestarikan dalam jangka waktu 30 tahun, akan memberi manfaat yang setara dengan 560 juta US Dollar per tahunnya. Nilai-nilai ini kemudian dikenal dengan Total Economy Value (TEV) yang telah berkembang dewasa ini. Jika kawasan Ekosistem Leuser dieksploitasi untuk kegiatan logging, tambang dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan dalam jangka waktu yang sama nilainya jauh lebih rendah. Artinya Konservasi KEL lebih menguntungkan dari eksploitasi.

Namun sayangnya pemerintah dan masyarakat tidak menyadari nilai yang besar ini karena tidak dirasakan langsung dalam jumlah uang, melainkan dalam bentuk penyediaan air, udara bersih, obat-obatan, pencegahan bencana yang dirasakan dan bersentuhan langsung oleh masyarakat. Dari aspek ekologis masyarakat mendapatkan manfaat secara gratis namun tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menguntungkan. Padahal suplai air yang dihasilkan secara terus menerus bukan saja berguna untuk mengairi lahan pertanian di Aceh dan kebutuhan air masyarakat Aceh, tetapi juga memberikan manfaat bagi pusat industri yang berada bagian timur Leuser khususnya Lhokseumawe.

Setiap tahunnya Kawasan Ekosistem Leuser menghasilkan kurang lebih 200,000 milyar kubik air (BPKEL, 2007). Dari segi keragaman hayati,Leuser merupakan hotspot keragaman tertinggi di Indonesia. Diperkirakan 2/3 dari seluruh jenis burung, mamalia dan tumbuhan di sumatera terdapat di Kawasan Ekosistem Leuser. Leuser merupakan tempat hidup bagi 174 Spesies Mamalia (80% mamalia sumatera, 25% mamalia Indonesia), 382 spesies burung, 191 spesies reptil, 52 spesies amphibian serta 4500 spesies tumbuhan. Kawasan Ekosistem Leuser juga merupakan satu-satunya tempat di di dunia dimana empat spesies kharimastik yaitu Badak sumatera, Harimau sumatera, Gajah sumatera dan Orangutan sumatera hidup di habitat yang sama (koeksistensi). Spesies-spesies ini digolongkan oleh IUCN sebagai Critically Endangered atau akan punah dalam waktu dekat bila tidak ada tindakan konservasi yang tepat. Gajah Sumatera merupakan spesies terakhir dari kelompok ini yang dimasukkan ke dalam Critically Endangered pada tahun 2013 lalu akibat masifnya kehilangan habitat dan populasi satwa tersebut.

Dalam 20 tahun terakhir ini gajah kehilangan 50% habitat dan populasinya. Habitat yang dulunya bersatu dari Aceh hingga Lampung saat ini terpecah menjadi beberapa kantong saja dengan populasi yang terus menerus menurun. Dari seluruh kantong- kantong yang ada ini, Aceh dengan Kawasan Ekosisteem Leusernya merupakan benteng terakhir yang menyisakan populasi yang lebih baik dibandingkan di lokasi lain – walaupun juga mengalami penurunan populasi. Saat ini diperkirakan populasi Gajah sumatera sekitar 1700 individu, dengan 500 individu diantaranya berada di Aceh. Di Kawasan Ekosistem Leuser diperkirakan terdapat 350-400 individu gajah.

Kawasan Ekosistem Leuser juga menjadi harapan terakhir bagi konservasi Badak sumatera. Satwa yang termasuk ke dalam 100 spesies paling terancam punah di dunia ini (Baillie dan Butcher 2012), habitatnya menyusut hingga 99% dari kondisi awal abad 20. Populasi Badak Sumatera diperkirakan kurang dari 100 individu di seluruh dunia (SSC IUCN, 2013). Di Aceh, satwa ini hanya ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser dengan populasi diperkirakan 30 individu (Pusparini, 2013). Namun, data ini masih diperdebatkan karena menggunakan sistem survey harimau sumatera yang memiliki jelajah lebih luas dibandingkan badak. Pengalaman survey-survey di Sumatera menunjukkan bahwa peluang deteksi badak sumatera lebih tinggi bila menggunakan grid yang lebih kecil dibandingkan harimau yang berukuran 17 x 17 km.

Satwa yang lain yang menjadi ikon Leuser adalah Orangutan sumatera. Populasi satwa ini diperkirakan 6,660 individu (Wich et al 2008). Jumlah ini berkurang jauh perkiraan sekitar 85.000 individu pada awal abad 20 (Meijaard dan Rikjsen, 2002). Populasi orangutan hanya ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh dan Sumatera Utara dan Batang Toru di Sumatera Utara (Wich et al, 2011). Populasi baru saat ini sedang dibangun di TN. Bukit Tiga Puluh di Jambi dan Cagar Alam Jantho, Aceh atas inisiasi dari Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) sebagai satwa hasil rehabilitasi seteah sekian lama dipelihara oleh masyarakat. Diperkirakan 78% Orangutan sumatera ada di Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh (Wich et al, 2008).

Kenapa keragaman hayati di Aceh lebih baik dibandingkan tempat lain? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah, karena Aceh masih menyisakan hutan yang cukup luas dengan kerusakan hutan yang relatif lebih rendah dibandingkan wiayah lain di Indonesia. Hutan di Aceh, terutama Kawasaan Ekosistem Leuser merupakan gabungan dari beberapa ekosistem yang kompleks, dari hutan pesisir pantai, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 3000 m dpl. Hal ini tentu berkorelasi dengan keragaman hayati dimana semakin beragam tipe ekosistem akan semakin tinggi pula keragamanhayati yang ada suatu wilayah. Tetapi tentu keragaman hayati tertinggi berada di hutan dataran rendah.

Masyarakat & Leuser 
Faktor lain kelestarian keragaman hayati di Leuser adalah sikap arif masyarakat di sekitar hutan di Aceh yang arif dan hidup seimbang dengan alam. Walaupun akhir-akhir ini perilaku ini mengalami perubahan yang sangat drastis mengikuti modernisiasi dan komersialisasi yang nyaris tidak terbendung. Masyarakat yang hidup di sebagain wilayah Aceh masih merawat alam dengan baik dan memanen untuk secukupnya, bukan dengan menghabiskan sumber daya alam yang ada.Masyarakat juga hidup dari sumber ekonomi langsung dari hutan. Di Kappi, Gayo Lues, ribuan masyarakat hidup dari memanen ikan jurong (Tor spp) yang bernilai komersial tinggi (Putra, 2014). Mereka memberlakukan denda bagi pelaku pemanenan ikan dengan menggunakan racun atau bom.

Di Rawa Tripa, walaupun tergerus oleh perkebunan kelapa sawit besar, masyarakat lokal hidup dari memanen ikan limbek dari rawa gambut.Saat lahan ini dirusak oleh oleh perkebunan kelapa sawit, penghasilan mereka kini jauh berkurang. Di Aceh Tamiang, masyarakat yang menderita karena bencana banjir bandang pada tahun 2006 lalu telah berani bertindak dengan menghentikan ekspansi perkebunan illegal. Di Ketambe, masyarakat yang hidup dari turisme berusaha melindungi hutan mereka dari kerusakan.

Pembentukan kawasan perlindungan alam atas prakarsa pemimpin Aceh merupakan bukti bahwa masyarakat Aceh sejak dulu kala hidup selaras dengan alam. Letnan Herman Agerbeek, selaku komandan militer Belanda di Gayo sangat menikmati masa-masa bertugas di daerah yang dikelilingi oleh hutan Leuser tersebut. Dengan kemampuan berbahasa Gayo ia sering makan-makan bersama penduduk, menikmati syair-syair lokal hingga ia dikenal sebagai dengan julukan anak ni gayo (Abdullah, 2004).

Hidup selaras dengan alam menjadi cermin dari masyarakat Aceh. Jauh sebelum deklarasi Tapaktuan tahun 1934, Penghargaan yang tinggi terhadap alam dapat dilihat dari perlakuan pemimpin Aceh terhadap satwa liar. Sultan Iskandar Muda sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan Aceh, di masa kejayaannya mempunyai angkatan darat dan laut yang besar, terdiri dari tentara berkuda dan 1000 tentara gajah. Sultan mempunyai gajah yang bergading yang dihiasi dengan emas, batu permata, ratna mutu manikam. Gajah digunakan sebagai sarana transportasi untuk menyambut tamu-tamu kehormatan kerajaan.

Kearifan terhadap keragaman hayati ini telah jauh tergerus dalam masyarakat Aceh. Gajah yang dulu sangat dihormati sehingga digelari dengan Po meurah, Tengku Rayeuk dan panggilan lainnya, kini dianggap sebagai hama dan dibunuh. Setiap tahun diperkirakan 20 – 30 ekor gajah mati terbunuh di Aceh. Konflik manusia – satwa liar terjadi di hamper seluruh Leuser setiap tahunnya akibat makin berkurangnya habitat satwa.Pembukaan kebun besar-besaran oleh HGU, pemodal dan masyarakat local telah menghancurkan sebahagian besar wilayah-wilayah penting keragaman hayati. Masyarakat lokal yang dulu tidak merusak hutan kini semakin banyak terlibat dalam kegiatan yang berlawanan dengan nilai konservasi tersebut.

Di tempat-tempat terpencil di dalam Leuser saat ini dengan mudah ditemukan perambahan, illegal logging dan pertambangan. Saat ini Leuser menghadapi ancaman yang sangat besar. Rencana tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang tidak mengakui Kawasan Ekosistem Leuser akan menjadi ancaman jangka panjang KEL. Pembangunan infrastruktur yang masif, ekspansi perkebunan dan pertambang dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak saja menghancurkan hutan Leuser, tetapi juga merusak sumber kehidupan masyarakat Aceh. Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser seharusnya menjadi modal Aceh untuk membangun.[]

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Aktivis Sambut Baik Instruksi Bupati Tamiang

Bupati Aceh Tamiang mengeluarkan Instruksi Bupati (Inbup) Aceh Tamiang No.3725 tahun 2018 tentang Pembinaan, Pengendalian, dan Pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Aceh Tamiang. Instruksi ini dikeluarkan pada tanggal 25 Mei 2018 dan ditujukan kepada Kadis Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan, Kadis PUPR, Kadis Lingkungan Hidup, Kadis Pertanahan dan Kadis Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam lingkungan Pemkab Aceh Tamiang.

Instruksi ini berisikan sejumlah hal yang menyangkut diantaranya pembinaan, pengendalian, dan pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Tamiang secara terkoordinasi, efektif, dan terukur sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi masing-masing. Beberapa poin yang menonjol dalam instruksi ini adalah untuk tidak menerbitkan rekomendasi, tidak memproses permohonan baru, dan penerbitan izin baru kecuali bagi perusahaan kebun sawit yang telah menanam lebih dari tiga tahun.

Kepada Greenjournalist, beberapa hari lalu, aktvis lingkungan, T. Muhammad Zulfikar secara prinsip menyambut baik Inbup tersebut. Ia mengatakan persoalan penggunaan lahan untuk HGU Perizinan Kelapa Sawit sangat mengkhawatirkan. Sehingga memang perlu segera dilakukan evaluasi, monitoring dan pembinaan secara terarah dan terukur.

“Pemkab Aceh Tamiang sebaiknya segera membentuk Tim Independen yang memantau pelaksanaan Inbup. (Hasil) Pemantauan perlu disampaikan kepada publik minimal 2 atau 3 bulan sekali, sehingga semua pihak mengetahui akankah Inbup cukup efektif dijalankan oleh SKPD atau tidak. Jika tidak dijalankan Bupati harus menegurnya,”ujarnya.

Persoalan perkebunan sawit di Aceh Tamiang merupakan problem yang harus segera diatasi karena banyak perkebunan yang merambah hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga P3KA menunjukan aktivitas ilegal di hutan KEL terbanyak terjadi di Aceh Tamiang dengan 557 temuan. Kegiatan-kegiatan ilegal antara lain, illegal logging, perambahan, akses jalan, dan perburuan. Illegal logging terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 279 kasus dan volume 1.782,8 meter kubik. Untuk perambahan ilegal terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 217 kasus serta luasnya mencapai 1.556,8 hektare.

“Kita berharap dengan adanya Inbup ini proses tata kelola perkebunan sawit di Aceh Tamiang dalam 2 tahun ke depan dapat diperbaiki, namun jika tidak mampu dijalankan dalam 2 tahun maka nantinya bisa diperpanjang kembali,”kata T. Muhammad Zulfikar.

read more
Flora FaunaHutan

Ian Singleton: Amazon Paru-paru Bumi, Leuser Adalah Jantungnya

Taman Nasional Gunung Leuser yang berada di Provinsi Aceh dan sebagian masuk ke dalam Sumatera Utara merupakan salah satu tempat paling purba di bumi dan telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia Unesco.

Dr. Ian Singleton dalam sebuah artikel di United States News and World Report seperti dilansir dari The Independent, pernah menyebutkan Leuser sebagai tempat paling purba di bumi.

“Jika hutan hujan Amazon adalah paru-paru bumi maka Leuser adalah jantungnya,” tulis Singleton.

Kawasan hutan dengan luas lebih dari 6.5 juta hektar tersebut merupakan ekosistem terakhir di muka bumi yang menjadi rumah bagi tiga hewan dilindungi yakni harimau, badak dan orangutan. Leuser dikaruniai kekayaan sumber daya flora dan fauna yang beraneka ragam. Terdapat sekitar 105 spesies mamalia, 382 burung serta 95 reptil dan amfibi. Kawasan Leuser juga dikenal sebagai penghasil tembakau dan kopi kelas dunia.

Di dalam Leuser terdapat beberapa jenis hutan seperti Cagar Alam Kappi, Cagar Alam Kluet, Sikundur Langkat Wildlife Reserve, Ketambe Research Station, Singkil Barat, Dolok Sembilin dan lainnya.

Namun, meski dilindungi oleh hukum di Indonesia, Leuser tidak kemudian lepas dari ancaman deforestrasi hutan. Masalah klise seperti aktivitas industri, operasi pertambangan, penebangan tanaman hingga pembukaan lahan mulai mengancam ekosistem serta kekayaan hayati di dalamnya.

Masyarakat dunia tidak lantas diam. Melalui gerakan “Love The Leuser Ecosystem” yang melibatkan aktor Leonardo Di Caprio serta Adrien Brody, para aktivis lingkungan membawa isu pelestarian Leuser sebagai perhatian internasional.
Sumber :  http://ayobandung.com

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah & Masyarakat Tutup Kanal Ilegal di SM Rawa Singkil

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama Polres Aceh Selatan dan sejumlah LSM melakukan penutupan kanal yang dibangun secara ilegal di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil sejak 23-25 Mei 2018. Penutupan ini dilakukan menyusul vonis Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan yang memvonis pelaku perambahan liar Rawa Singkil, Teuku Popon Rizal hukuman penjara 1 bulan 6 hari penjara dengan denda Rp20 juta.

Kanal yang terletak dalam SM Rawa Singkil dan masuk dalam Desa Keude Trumon tersebut ditutup agar hutan gambut kembali berfungsi seperti semula. Field Manager Forum Konservasi Leuser, Istafan menyatakan kanal sepanjang 800 meter dengan lebar 2-3 meter dan memiliki jalan disisi kanan-kirinya sekitar 3-4 meter ditutup agar fungsi hutan kembali seperti semula. “Kanal ditutup agar air dari hutan tidak mengalir keluar hutan. Jadi penutupan membuat air akan dalam posisi tergenang dan perlahan kembali menyebar ke sekitarnya,”ujar Istafan. Pembukaan kanal secara ilegal ini diduga untuk membuka perkebunan pada wilayah yang terlarang.

Penutupan kanal harus dilakukan karena pengadilan telah mengeluarkan vonis untuk terdakwa Teuku Popon Rizal. Teuku Popon ditangkap bersama 2 pekerjanya oleh tim gabungan berdasarkan laporan dari masyarakat sekitar akhir Oktober 2016 bersama dengan alat berat excavator.

Perambahan di Rawa Singkil khususnya di Kabupaten Aceh Selatan, sering dilakukan bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh pengusaha setempat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmat Nur Hidayat mendakwa Teuku Popon Rizal dengan Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 40 ayat (1) dari UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana. Selain itu Popon Rizal juga dijerat pidana Pasal 33 ayat (1) jo Pasal 40 ayat (1) UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

Rawa Singkil ditetapkan sebagai Kawasan Pelesatarian Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/1998 tentang perubahan fungsi dan penunjukkan kawasan Hutan Rawa Singkil yang terletak di Kabupaten Aceh Selatan seluas 102.500 hektare menjadi Kawasan Suaka Alam dengan nama Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Selanjutnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 103/MenLHK-II/2015 menetapkan SM Rawa Singkil berkurang kawasannya menjadi 81.338 hektare.[]

 

 

read more
Hutan

Mengapa Deforestasi Terjadi dan Hutan Hujan Penting?

Hutan hujan adalah sesuatu yang dunia tidak terjadi begitu saja. Lingkungan hutan yang berharga ini, yang terdapat ditemukan di berbagai tempat, adalah rumah bagi banyak spesies yang terancam punah serta suku-suku asli. Tapi penggundulan hutan, yang disebabkan oleh industri, telah melenyapkan sebagian besar dari hutan tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Apa yang menyebabkan deforestasi? Apa efeknya di planet kita dan makhluk yang menempatinya? Antara tahun 2000 dan 2012, hutan seluas 2,3 juta kilometer persegi (890.000 sq mi) di seluruh dunia ditebangi. Penebangan ini telah menyebabkan kehancuran beberapa spesies hewan, flora, fauna dan tempat tinggal masyarakat adat.

Tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat meskipun ada upaya internasional untuk menghentikan penyebab deforestasi. Penyebab deforestasi membuatnya sulit untuk diatasi karena melibatkan uang yang sangat banyak.

Saat ini industri minyak sawit adalah salah satu pelanggar terburuk, karena pohon yang menghasilkan minyak paling subur di Afrika, Indonesia, Asia, Amerika Utara dan Amerika Selatan tumbuh di mana hutan hujan berada. Menurut WWF, setiap jam area hutan hujan seluas 300 lapangan sepakbola dibersihkan untuk membuka jalan bagi pohon-pohon kelapa sawit untuk ditanam.

Gas beracun yang dilepaskan saat kayu dibakar untuk membuat ladang minyak sawit telah menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia.

Penyebab lain deforestasi termasuk penebangan liar, penambangan logam, perburuan liar (yang menjadi lebih umum ketika industri terlibat dalam deforestasi), panen kayu bakar, kebakaran hutan dan perubahan iklim, ditambah dengan penciptaan perkebunan, jalan dan infrastruktur.

Deforestasi bahkan digunakan sebagai taktik militer oleh Amerika dalam Perang Vietnam, dengan pestisida dan defoliant disemprotkan di area hutan untuk menghancurkan pohon-pohon dan menumpas musuh.

Perusakan hutan ini, yang mencakup kurang dari 30 persen dari planet ini, memiliki konsekuensi serius bagi kita semua. Penghilangan pohon tanpa reboisasi yang memadai telah mengakibatkan kerusakan habitat, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kegersangan. Para pemimpin dunia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan bahwa hutan hujan kita yang tersisa dilestarikan.

Dalam 10 tahun populasi orangutan akan mati karena habitat mereka dihancurkan, dan banyak lagi spesies yang berada dalam bahaya. Menebang dan membakar pohon secara massal berdampak buruk pada penangkapan dan penyimpanan alami karbon dioksida.

Deforestasi berkontribusi pada pemanasan global dengan cara ini. Semakin banyak yang terjadi semakin banyak hutan menjadi kering, dan semakin rentan mereka terhadap kebakaran hutan yang menyapu bersih seluruhnya.

Saat ini Taman Nasional Gunung Leuser di Indonesia adalah satu-satunya situs di mana hewan-hewan seperti orangutan dapat hidup dengan aman dan berkembang tanpa ancaman habitat mereka hancur.[]

Sumber: metro.co.uk

read more
Green StyleRagam

Peluang dan Tantangan Ekowisata di Hutan Leuser

Di tepi Taman Nasional Leuser, Desa Tanganan menawarkan hari-hari yang dihabiskan untuk melakukan hiking, melihat harimau liar, badak, gajah, dan orangutan; mandi di air terjun; dan makan dengan menu rumahan bersama keluarga setempat sambil menikmati pemandangan sekitar.

Di sisi lain, penduduk desa mendapatkan manfaat dari sejumlah kegiatan yang menghasilkan pendapatan – homestay, layanan pemandu, makanan, transportasi – yang tidak hanya membantu mereka menjaga kawasan hutan tetap subur dan hijau, dimana mereka juga bergantung padanya.

Desa Tanganan adalah salah satu desa di sekitar hutan Indonesia yang mendapat manfaat dari kegiatan ekowisata yang terus berkembang di dunia ini. Turis-turis yang tertarik pada petualangan yang personal, budaya, dan berorientasi alam, menyukai petualangan ‘hijau’ ketika tiba saatnya merencanakan liburan.

Ekowisata di Hutan Indonesia
Di Indonesia, lebih dari 6.000 desa berada di dalam atau di sekitar kawasan lindung yang siap untuk peluang ekowisata, kata Direktur Jenderal Konservasi dan Ekosistem Alam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Wiratno.

“Keanekaragaman hayati adalah tulang punggung pariwisata, dan pariwisata menikmati keanekaragaman hayati,” kata peneliti di Kehutanan dan Penelitian, Pengembangan, dan Badan Inovasi (FOERDIA), Asep Hidayat di kementerian yang sama.

Mendidik penduduk setempat tentang keanekaragaman hayati di bentang alam mereka – hingga ke mikroorganisme asli – adalah kunci, jika penduduk ingin mengambil keputusan yang membantu mempertahankan ekologi mereka dan manfaat pariwisata dalam jangka panjang.

Pada gilirannya, mereka dapat membantu pengunjung sepenuhnya merasakan dan menyebarkan berita tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi. Memiliki daya tarik ekowisata adalah satu hal tetapi membawa turis – dan uang – adalah hal lain.

Direktur Komunikasi, Penjangkauan, dan Keterlibatan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), John Colmey, mengatakan bahwa metode tradisional seperti dari mulut ke mulut, iklan, dan yang menjangkau kelompok-kelompok konservasi serta jaringan perjalanan yang berkelanjutan masih berdampak pada kegiatan ekowisata.
Namun, John menekankan bahwa di era media sosial, memiliki informasi online yang aktif dan menarik adalah cara tercepat untuk perusahaan ekowisata mendapatkan para pelancong.

Sedangkan untuk umpan media sosial, Manajer Keberlanjutan di Grup Intrepid, Robyn Nixon, operator tur petualangan terbesar di dunia, mengatakan bahwa ekowisata menemukan interaksi pribadi dengan komunitas sebagai bagian yang paling mengesankan dari perjalanan mereka.

“Untuk membangun infrastruktur untuk ekowisata, berinvestasi pada orang dan masyarakat,” saran Nixon.
Untuk menjangkau komunitas-komunitas ini, Nixon mengatakan operator tur perlu melakukan pekerjaan rumah mereka. Ini berarti menemukan LSM yang bekerja dengan komunitas lokal; terlibat dengan para pemangku kepentingan politik di tingkat subnasional; memastikan masyarakat mempertahankan penguasaan lahan mereka; dan berinvestasi dalam infrastruktur dan pelatihan di lapangan untuk pemandu wisata, koki, transportasi, kerajinan tangan dan sejenisnya.

Direktur Program untuk Aksi Pelestarian Hutan Tropis Sumatra, Samedi, mencatat bahwa ekowisata dapat menjadi alternatif ekonomi untuk mencegah deforestasi dan pemanenan sumber daya alam. Tetapi seperti Nixon, Samedi mengatakan bahwa semua pemangku kepentingan, dari LSM lokal hingga kemitraan publik-swasta, harus bekerja menuju tujuan bersama.

“Kita semua sepakat orang lokal adalah penting karena kita harus membangun kapasitas dan kesiapan untuk menerima pengunjung asing, dan itu dapat mengubah perilaku orang-orang,” katanya.

Pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi terkemuka di Indonesia, dengan Kementerian Pariwisata yang menargetkan 20 juta pengunjung pada tahun 2019. Kementerian juga mencari cara meningkatkan jumlah homestay di seluruh negeri, yang akan membuka tujuan baru di luar Bali.

Namun, Wiratno mencatat bahwa keberlanjutan kawasan lindung adalah masalah lain. “Ekowisata di kawasan lindung tidak dapat memenuhi harapan Kementerian Pariwisata,” katanya. “Harus ada kuota.”

Dengan kata lain, ketika orang banyak datang dan uang mengikuti, para pemimpin pariwisata perlu memikirkan masa depan tanah dan orang-orang yang terlibat.

Secara umum, Nixon menganggap kapasitas manajemen akan segera menjadi masalah global karena semakin banyak wisatawan – terutama mengingat pasar perjalanan China dan India yang sedang tumbuh – mulai memilih usaha ekowisata dan situs kecil yang secara signifikan semakin populer.

Pengunjung di situs tertentu dapat dibatasi setiap hari atau setiap tahun, dan itu akan menjadi tindakan sulit yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat, Nixon menambahkan.

“Turisme berlebihan menghancurkan budaya,” katanya, lebih lanjut memperingatkan, “dan keserakahan akan menghancurkan hal yang membuat tempat-tempat yang layak dikunjungi.”

“Ekowisata adalah pasar kecil, tetapi itu akan tumbuh,” kata Colmey.

Sumber : forestsnews.cifor.org

read more
Hutan

Save Sumatra Tiger Save Leuser Forest

Occupying only 1.3% of the world’s land surface, Indonesia is one of the world’s wealthiest nations regarding its biodiversity. Similarly, Aceh is also one of the enriched biodiversity province not only Sumatra but also Indonesia. Aceh province still has relatively entire remaining forest areas, the bulk of which lie within the Leuser Ecosystem, a 2.6 million hectare area of forest which dominates the core inland and upland areas of Aceh. Scientists and conservationists consider the Leuser Ecosystem to be among the most critical woods left in Southeast Asia, mainly because it is the last place of sufficient size and quality to support viable populations of rare species like Sumatran tigers, orangutans, rhinos, elephants, clouded leopards and sun bears. At least 105 mammal species, 382 bird species, and 95 reptile and amphibian species, including clouded leopards, hornbills and the enormous flowers in the world, can be found in the teeming forests of the Leuser Ecosystem. Formerly known as the “Emerald Island,” Sumatra’s once lush forest landscapes are now mostly gone, destroyed by decades of industrial encroachment. The Leuser Ecosystem is genuinely the last stand for survival for many treasured and iconic wildlife species. These ecosystem services are also recognized as essential for sustaining food and water security, by regulating water flows in both the monsoon and drought seasons, to irrigate rice fields and other cash crops, such as palm oil.

However, Tiger, symbol of the beast and beauty, is a threatened species worldwide. Recent estimate shows that tigers only occupy 7% of their historic Asian range and about 4000 are left in the wild (Dinerstein et al. 2007). Tiger stands at the top of the food pyramid and thus requires large areas to support its viable populations which in turn help to protect wide array of biodiversity that shares their habitat. Loss of tiger, therefore, may reduce ecosystem integrity through disrupting food web and consequently erode ecosystems’ natural ability to adapt to changing environmental conditions. Similarly, the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) is a tiger population that lives on the Indonesian island of Sumatra. It was listed as Critically Endangered on the IUCN Red List in 2008, as the population was estimated at 441 to 679 individuals, with no subpopulation larger than 50 individuals and a declining trend.

The Sumatran tiger is the only surviving population of the Sund Island’ group of tigers that included the now extinct Bali and Javan tigers. Sequences from complete mitochondrial genes of 34 tigers support the hypothesis that Sumatran tigers are diagnostically distinct from mainland subspecies. The Sumatran tiger is one of the smallest tigers, and about the size of big leopards and jaguars. Charles Frederick Partington, a scientist, wrote that Sumatran and Javan tigers were strong enough to break legs of horses or buffaloes with their paws, even though they were not as heavy as Bengal tigers. Sumatran tiger’s skull, pelage, and striping features are distinct from the Bengal and Javan tigers. It is darker in fur color and has broader stripes than the Javan tiger. Strips tend to dissolve into spots near their ends, and on the back, flanks and hind legs are lines of small, dark, small spots between regular stripes. The frequency of strips is higher than in other subspecies. Males have a prominent ruff, which is primarily marked in the Sumatran tiger.

Tigers need large contiguous forest blocks to thrive. Sumatran tigers strongly prefer uncultivated forest and make little use of plantations of acacia and oil palm even if these are available. Within natural forest areas, they tend to use areas with higher elevation, lower annual rainfall, farther from forest edge, and closer to forest centers. They prefer forest with dense understory cover and steep slope, and they actively avoid forest areas with high human influence in the forms of encroachment and settlement. Major threats include habitat loss of tiger due to expansion of palm oil plantations and planting of acacia plantations, prey-base depletion, and illegal trade primarily for the domestic market.

Moreover, Sumatran tigers persist in isolated populations across Sumatra. They occupy a wide array of habitats, ranging from sea level in the coastal lowland forest of Bukit Barisan Selatan National Park on the southeastern tip of Lampung Province to 3,200 m (10,500 ft) in mountain forests of Gunung Leuser National Park in Aceh Province. They have repeatedly been photographed at 2,600 m (8,500 ft) in a rugged region of northern Sumatra, and are present in 27 habitat patches larger than 250 km2 (97 sq mi). In 1978, the Sumatran tiger population was estimated at 1,000 individuals based on responses to a questionnaire survey. In 1985, a total of 26 protected areas across Sumatra containing about 800 tigers were identified. In 1992, an estimated 400–500 tigers lived in five national parks and two protected areas.

The presence of tigers in the forest is an indicator of the well being of the ecosystem. The extinction of this top predator is an indication that its ecosystem is not sufficiently protected, and neither would it exist for long after that. Healthy tiger habitats help mitigate climate change, provide fresh water to animals and people, reduce the impact of natural disasters, and improve the health of local people. Therefore, Sumatra tiger not only protects our ecological balance but also it protects Leuser Ecosystem as well other Sumatra forest from illegal cutting of trees, other wildlife, and living organism. Lastly, it has been said that to preserve our biodiversity conserve tiger from all possible threats and make our earth sound. []

Writer is a Bangladesh student who join Darmasiswa program at at Syiah Kuala University

read more
Flora FaunaHutan

Mencegah Konflik Gajah-Manusia dengan Barrier Alam dan Artifisial

Hutan Leuser sebagai habitat Gajah Sumatera semakin terancam keberadaannya akibat perubahan fungsi lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat. Data terakhir menunjukan telah terjadi 248 kasus konflik antara hewan besar ini dengan manusia selama 10 tahun terakhir, yang kadang berujung pada kematian manusia ataupun gajah sendiri. Hewan langka ini terpaksa masuk ke lahan yang dikelola manusia untuk mencari makan ataupun lahan yang masuk dalam koridor home range gajah. Konflik ini harus dicegah agar tidak terus menimbulkan korban, salah satunya dengan memanfaatkan fungsi benteng (barrier) alam maupun buatan manusia (artificial).

Apa perbedaan antara barrier alam dan artifisial? Direktur Program Aceh Climate Change Initiative (ACCI), Wahdi Azmi kepada greenjournalist menjelaskan tentang kedua jenis barrier tersebut. Ia menjelaskan strategi barrier untuk gajah, adalah upaya menjaga agar gajah tetap berada di dalam habitatnya dan tidak masuk ke kawasan budidaya masyarakat dan menimbulkan konflik.

“Pembuatan barrier buatan, menurut saya harus mengikuti potensi barrier alami (natural barrier) yang sudah ada. barrier alami bisa berupa gugusan tebing perbukitan, jurang, atau rawa dalam. Biasanya barrier alami ini ada gap yang menjadi celah bagi gajah untuk keluar dari habitatnya dan masuk ke kawasan budidaya. Memang tidak semua daerah konflik gajah diuntungkan dengan keberadaan formasi barrier alami yang tersedia, karena wilayahnya datar, sehingga pemasangan barrier buatan harus menjadi sangat panjang dan mahal dan belum tentu bisa effektif, karena semakin panjang barrier maka semakin sulit untuk merawatnya agar tetap efektif. Kadang kadang longsor atau hujan deras pada tanah yang labil bisa membuât parit gajah tidak lagi effektif,”Wahdi memberikan penjelasan.

Wahdi menunjukan contoh gambar yang memuat kondisi topografi yang menjadi barrier alam bagi gajah. Kondisi topografi di sekitar Pinto Rime Gayo yang dilihat dari arah Aceh Tengah, di daerah Bener Meriah, dimana gajah menggunakan lembah di kanan kiri Krueng Peusangan sebagai koridor utama. Sementara di sebelah kanan terlihat pola-pola lahan pertanian dan perkebunan.

Gambar topografi wilayah yang menjadi barrier alam bagi gajah | Sumber: ACCI

“Garis merah yang saya gambar menunjukkan deretan tebing disepanjang Krueng Peusangan. Gajah terkadang naik ke atas dan masuk ke kawasan budi daya yang berada di sebelah kanan Krueng Peusangan. Gajah bisa naik ke atas melalui jalur celah celah landai. Celah celah tersebutlah yang sesungguhnya perlu identifikasi dan menjadi barrier,”ujarnya.

Barrier artifisial buatan manusia dapat berupa pagar ataupun parit dalam yang memanjang sehingga tidak bisa dilewati gajah. Barrier artifisial ini mempunya kelemahan yaitu biaya pembuatan dan perawatannya mahal sehingga perlu dikombinasikan dengan barrier alam. Namun ada yang perlu diingat, bahwa gajah adalah hewan yang cerdas. Mereka akan mempelajari situasi kondisi yang ada untuk mencari jalan keluar dari barrier tersebut oleh karenanya pemantauan gajah penting dilakukan.[]

read more
1 2 3 4 5 6 7
Page 4 of 7