close

leuser

Kebijakan Lingkungan

Pro Geram Demo DPR Aceh Tuntut Revisi Qanun Tata Ruang

Sejumlah mahasiswa yang menamakan diri sebagai Koalisi Mahasiswa Pro Gerakan Masyarakat Menggugat(Pro Geram) melakukan aksi demontrasi di depan Gedung DPR Aceh, Banda Aceh, Rabu (24/2/2016). Unjuk rasa dilakukan sekitar 20-an mahasiswa berkaos kuning bertuliskan “Koalisis Mahasiswa Pro Geram” dengan melakukan aksi diam, dimulai sejak pukul 10.00.WIB.

Pro Geram dalam selebaran yang dibagikan menuntut beberapa hal kepada anggota DPR Aceh antara lain:

1. Menjadikan qanun tata ruang menjadi qanun prioritas untuk direvisi pemerintah dan DPR Aceh

2. Memasukan nomenlaktur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun tata ruang Aceh

3. Memasukan wilayah tata kelola hutan adat ke dalam qanun tata ruang Aceh

4. Memasukan jalur evakuasi bencana ke dalam qanun tata ruang Aceh

Demonstran akhirnya diterima oleh anggota Komisi II DPR Aceh, Ir.H. Sulaiman Ary, diteras sekretariat dewan. Dalam pertemuan ini perwakilan demonstran membacakan tuntutan di hadapan anggota dewan. Ir. H. Sulaiman Ary, merespin tuntutan itu dengan mengatakan akan menyampaikan tuntutan ke Badan Legislasi segera. “Karena kewenangan merevisi qanun ada di badan legislasi,”ucapnya.

Sementara Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Muhammadiyah Aceh, Yudimi Arsepta mengatakan jika RTRW Aceh tidak memperhatikan ruang untuk sumber ekonomi masyarakat dan konservasi lingkungan maka dipastikan bencana sosial, ekonomi dan bencana alam akan terjadi.

Menurut Ketua BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Ardiansyah buruknya tata kelola sektor kehutanan tidak hanya berdampak pada satwa yang ada di hutan. Tetapi juga berdampak buruk bagi sektor kelautan dan perikanan karena aliran air dari gunung menuju lautan sehingga akhirnya akan terjadi pencemaran di laut yang dapat membunuh spesies-spesies hewan laut lainnya.

KEL merupakan amanat yang tercantum dalam pasal 150 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan merupakan Kawasan Strategis Nasional sebagaimana terlampir dalam lampiran PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.[]

read more
Green Style

Pentingkah Membangun Jaringan Jurnalis Lingkungan?

Direktur Green Journalist Aceh, Muhammad Nizar mengatakan, sangat penting membuat jaringan jurnalis lingkungan sebagai sarana memperkuat informasi dan tukar menukar pengalaman, menjaga semangat pemberitaan isu-isu lingkungan dan meningkatkan kapasitas jurnalis.

Hal itu disampaikannya dalam kegiatan Media Gathering ), yang digelar oleh USAID LESTARI bersama puluhan jurnalis dari berbagai daerah di Aceh di Oasis Atjeh Hotel, Banda Aceh, Sabtu (30/1).

Proyek USAID LESTARI adalah sebuah upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang bernilai secara biologis serta kaya akan simpanan karbon. Dibangun di atas fondasi proyek USAID IFACS, LESTARI menerapkan pendekatan lanskap untuk menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksikonservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (LEDS) di lahan lain yang sudah terdegradasi. Upaya ini bisa dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci, praktik sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta peningkatan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi.

“Sangat penting dibuat jaringan seperti ini. Namun pembelajaran dari berbagai forum yang pernah terbentuk, banyak anggota forum tidak memiliki passion atau antusiasme terhadap isu, masih tergantung pada donor, dan sering terjebak kembali pada isu-isu lokal, tidak memiliki agenda forum yang jelas dan bersifat sukarelawan serta tak ada badan hukum ,” jelas Nizar.

Kegiatan LESTARI dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, LESTARI bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.LESTARI juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.

Sudahkah isu lingkungan mendapat tempat di media lokal? Menurut dia, Isu lingkungan ada diberitakan tapi belum dapat tempat yang layak. Masih sporadis, tidak ada kolom khusus alias masih digabung dengan kolom lain.
“Pemberitaan banyak seputar pernyataan semata, baik para tokoh atau pejabat. Nah disaat  ada kejadian atau insiden baru diberitakan. Padahal memberitakan lingkungan dapat dilakukan terus menerus, baik sebelum kejadian (prediksi), saat kejadian (penanganan) dan pasca kejadian (tanggap bencana, recovery dan penanggulangan),” pungkasnya.

Isu-isu pemberitaan lingkungan menurutnya dapat ditemukan di sektor kehutanan, perkebunan, energi, pesisir, polusi udara, air bersih, tata kota, pemukiman, bencana, konflik satwa, perubahan iklim, kebijakan, dan lain sebagainya.

Dalam pemantauan isu lingkungan lewat media, jurnalis perlu mencatat data jumlah korban, jumlah kerugian, kerusakan, dan sebagainya. Kalau bisa membuat statistik sederhana misalnya frekuensi kejadian per periode, tabel perbandingan, serta memantau penggunaan anggaran terkait lingkungan. (Chai)

read more
Green Style

Mengembangkan Ekowisata Gunung Leuser

Menghabiskan waktu libur di hutan yang dipenuhi pohon raksasa, dikelilingi oleh satwa liar Sumatra. Sudah beberapa hari saya menghabiskan malam di tanah Aceh. Namun malam ini adalah malam terpulas saya: terlelap di dalam kantong tidur di atas pondok kayu, di tengah dekapan dinginnya hutan.

Dari balik pondok kayu, air terdengar deras mengalir. Dan pagi itu suara hutan seolah membangunkan semua pengunjung yang tidur di pondok kayu. Ada tiga pondok kayu yang dapat digunakan di sana, setiap pondok dapat menampung tiga orang.

Satu bilik kamar mandi dengan bak penampung air yang cukup besar, tersedia di bagian tengah. Air dalam bak selalu berlimpah dan tumpah, karena isinya berasal dari sungai yang bergejolak di samping pondok.

Joop Hege seorang pelancong muda berkebangsaan Belanda yang sudah menghabiskan lebih dari tiga malam di sana, awalnya bagai tersihir oleh cerita keindahan Kedah dari pelancong lain yang ia temui di jalan, dalam perjalanannya melintasi Sumatra. Ia pun mengaku amat betah di tempat ini, tempat yang nyaman untuk bersatu dengan alam. Ia menghabiskan hari-harinya dengan keluar masuk hutan, juga menginap di tenda.

Di setiap pondokan tersedia tiga buah kasur dan tiga buah kantong tidur, dan makanan tersedia saat sarapan dan malam hari di salah satu pondok makan, di dekat dapur yang apinya selalu didekati para pelancong untuk menghangatkan badan.

Rajali Jemali atau yang dikenal dengan panggilan Mister Jali bersama beberapa rekannya dari Dusun Kedah, Desa Panosan Sepakat, Kecamatan Blangjerango, Kabupaten Gayo Lues, Nangroe Aceh Darussalam, mengelola penginapan serta wisata jelajah hutan di kaki Gunung Leuser ini.

IFACS (Indonesia Forest and Climate Support), sebuah program yang bernaung di bawah USAID, menggandeng Indecon (Indonesia Ecotourism Network), sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam pengembangan dan promosi ekowisata di Indonesia, untuk menggerakkan masyarakat mengembangkan ekowisata di daerah Kedah ini.

Mengapa ekowisata? “Kami percaya bahwa ekowisata punya dampak untuk mengembangkan ekonomi tanpa emisi karbon yang tinggi,” ujar Tisna Nando, Communication Specialist IFACS untuk daerah Aceh. Tak hanya di Gayo Lues, IFACS juga mengembangkan ekowisata di Aceh Tenggara dan Aceh Selatan.

Sumber: NGI

read more
Hutan

Pemerintah Aceh dan LSM Musnahkan Pohon Sawit Haram

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) dan didukung oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) melakukan restorasi kawasan hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit untuk memulihkan fungsi hutan lindung seperti sebelumnya. Upaya restorasi hutan lindung dalam Kawasan Ekosistem Leuser ini dimulai pada hari Senin (29/9/2014). Sebelumnya dilaksanakan sosialisasi kepada pemilik kebun dilakukan.

Restorasi ini dihadiri oleh Sekda Aceh Tamiang, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Kepala UPTD Kesatuan Pengelolan Hutan Wilayah III, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Kapolsek Kejuruan Muda, Danramil Kejuruan Muda, tokoh masyarakat, aktivis lingkungan hidup serta para pemilik kebun.

Lahan kebun sawit ilegal yang masuk dalam hutan lindung di Kecamatan Tenggulon seluas 1071,46 dikuasai oleh 7 orang pengusaha perkebunan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Husaini Syamaun, mengatakan berbahagia sekali dengan kegiatan restorasi kawasan lindung ini. Ia sangat mendukung usaha pemerintah kabupaten Aceh Tamiang untuk menyelamatkan kawasan hutan lindung agar fungsi hidrologinya tetap terjaga sebagai bentuk pencegahan terjadinya bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Sementara Sekretaris Daerah Aceh Tamiang, Ir. Razuardi menuturkan, pihaknya sangat mendukung pengembalian fungsi hutan lindung seperti sediakala. Pengembalian fungsi hutan lindung ini diharapkan dapat mencegah bencana ekologi di Aceh Tamiang, ujarnya.

Ketua FKL Dedyansyah mengatakan  keseluruhan lahan yang dikuasai oleh pengusaha perkebunan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah di serahkan ke Pemerintah Aceh. Kegiatan restorasi ini merupakan program pemerintah untuk mengembalikan fungsi hutan lindung sebagaimana mestinya, ucapnya.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Alfuadi, dalam laporannya mengatakan, ini merupakan langkah awal yang diambil pemerintah kabupaten Aceh Tamiang dengan melakukan penebangan kelapa sawit di sepanjang batas kawasan hutan lindung sejauh 10 km. Di batas kawasan hutan lindung ini juga akan dipasang plang informasi mengenai batas kawasan hutan, tutupnya.

Pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Tamiang akan melanjutkan proses penebangan sawit illegal di batas kawasan hutan lindung setelah hari raya Idul Adha.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Terkait KEL, Anggota DPR Aceh Kelabui Masyarakat

Seorang anggota DPR Aceh dihadapan demontrans Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) mengatakan bahwa yang dihapus dalam Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) hanya lembaga Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), bukan KEL-nya. Namun faktanya, KPHA tidak menemukan lagi sebutan KEL lagi dalam qanun tersebut.

Senin kemarin (30/12/2013) ratusan demonstran dari KPHA dan masyarakat berbagai wilayah melakukan unjuk rasa menolak penghapusan KEL dan tidak dicantumkannya hak ulayat dalam qanun RTRWA. Pengunjuk rasa berorasi bergantian mengecam DPRA yang dinilai tidak pro rakyat. Selain itu pengunjuk rasa menyebutkan penghapusan KEL dalam qanun menyebabkan potensi bencana meningkat di Aceh.

Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh, Adnan Beuransyah, menjumpai demonstran di halaman gedung dewan terhormat. Dalam jawabannya terhadap pemrotes, ia mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.

Tapi yang sebenarnya berlawanan dengan apa yang dikatakan Adnan Beuransyah dihadapan pengunjuk rasa. Juru bicara KPHA, Effendi Isma, S.Hut, kepada Greenjo, Selasa (31/12/2013) mengatakan pihaknya telah mempelajari qanun RTRWA tersebut dan ternyata istilah KEL memang sudah dihapus di dalamnya.

” Adnan Beuransyah adalah pembohong, nomenklatur KEL tidak ditemukan lagi dalam substansi RTRW Aceh dan bila dipaksakan terus berlaku, kita akan somasi dan judicial review bila tidak dikoreksi,” ujar Effendi Isma. DPR Aceh telah telah melakukan pelangaran regulasi, tambahnya.

Menurutnya, implikasi tidak tercantumnya KEL dalm Qanun menyebabkan tidak akan ada lagi pengelolaan KEL dan tidak ada lagi program-program pemberdayaan KEL secara terintegrasi. ” Izin konsesi sudah boleh dengan mulus beroperasi di sana dengan mudah,” sesalnya.

Sementara itu hal senada disampaikan oleh aktivis lingkungan yang juga merupakan akademisi dari Universitas Serambi Mekkah, T. Muhammad Zulfikar.

Ia mengatakan pemahaman anggota DPR Aceh terhadap KEL masih sangat minim. ” Dia (anggota dewan-red) tidak bisa membedakan antara KEL sebagai sebuah kawasan kelola hutan dengan BPKEL sebagai lembaga pengelola. Sayangnya lagi masih ada anggota DPRA yang tidak paham regulasi, terutama sejumlah regulasi yang seharusnya menjadi acuan dalam penyusunan qanun RTRWA, sepertu UU PA, UU tentang Penataan Ruang dan PP RTRW Nasional.Menyedihkan sekali,” kecamnya.

 

read more
Hutan

Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tidak Pro Masyarakat

Masyarakat peduli lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Senin (30/12/2013) siang menggelar aksi penolakan qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRW) Aceh  di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Demonstran menganggap qanun RTRW Aceh tidak berpihak pada masyarakat karena tidak mencantumkan kawasan ulayat dan menghilangkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Sebelum menggelar aksi damai, KPHA mengadakan pers conference dimana dalam pers conference tersebut juru bicara KPHA Effendi Isma, S.Hut mengungkapkan kekhawatiran mengenai penghilangan KEL dalam RTRW Aceh. KPHA khawatir  adanya perluasan izin Hak Guna Usaha (HGU), izin tambang dan konversi lahan di kawasan Leuser. Dalam RTRW Aceh, Ulu Masen dan Leuser digeneralisir menjadi hutan Aceh.

Padahal kedua kawasan tersebut memiliki keistimewaan masing-masing. Nama Leuser dan Ulu Masen telah ada sejak zaman nenek moyang dulu dan itu merupakan warisan yang tidak bisa diubah. Bahkan Leuser telah dijadikan sebagai ekosistem warisan dunia oleh UNESCO dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional.

Masyarakat dari Tamiang Peduli, Kamal Faisal,  mengatakan, Tamiang dalam kondisi sangat mengkhawatirkan, karena banyak perluasan lahan illegal yang merusak hutan Leuser. Akibatnya, jika hujan dalam waktu 2 jam saja, bisa menyebabkan banjir. Ia juga mengharapkan RTRW Aceh segera direvisi demi kelestarian ekosistem Leuser.

Jaringan Masyarakat Gambut Rawa Tripa juga menyatakan penolakan tegas terhadap RTRW Aceh.

Setelah mengadakan pers conference massa berjalan menuju ke gedung kantor DPRA. Mereka membawa beberapa spanduk yang menuliskan penolakan terhadap RTRW Aceh. Setelah beberapa jam menyuarakan aspirasi, akhirnya perwakilan DPRA, Adnan Beuransyah, keluar bertemu massa. Effendi Isma membacakan pernyataan penolakan RTRW Aceh, dihadapan perwakilan tersebut yaitu:

1.    Menolak keseluruhan qanun RTRW Aceh
2.    Meminta Kemendagri untuk melakukan koreksi qanun RTRW Aceh
3.    Qanun RTRW Aceh telah mengabaikan masyarakat adat Aceh (mukim) berarti juga mengabaikan bangsa Aceh.
4.    Meminta pemerintah Indonesia untuk membentuk tim independen pemantau penyusunan tata ruang wilayah Provinsi Aceh

5.    Menghimbau masyarakat untuk memilih wakil-wakilnya yang pro terhadap masyarakat Aceh dan lingkungan.

6.    KPHA akan terus melakukan advokasi sampai dengan terakomodirnya tuntutan-tuntutan masyarakat sipil Aceh untuk tata ruang yang berkeadilan.

Adnan Beuransyah dari Partai Aceh yang menemui massa mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.”

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa dalam RTRW Aceh tidak menghilangkan hutan ulayat yang dikelola mukim. Mukim tetap ada, tapi nantinya akan berada langsung dibawah lembaga Wali Nanggroe. Untuk membuktikan hal tersebut, Adnan Beuransyah mempersilahkan perwakilan massa yang hadir untuk mengambil berkas Qanun RTRW Aceh di Biro Hukum DPRA. Berkas diambil untuk dipelajari lebih lanjut, kemudian massa bubar.[]

read more
Hutan

KPHA: Penghapusan KEL dalam qanun RTRW Adalah Konspirasi

Seratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Senin, (30/12/2013). Pada aksi tersebut KPHA secara tegas menolak Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disahkan 27 Desember 2013. Demonstran meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan qanun tersebut.

Peserta aksi yang berlangsung di depan gerbang DPRA membentang beberapa spanduk dan poster yang mengecam pengesahan qanun RTRW yang menghilangkan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan juga tidak memasukan Rawa Tripa sebagai hutan lindung.

“KEL dihilangkan dalam RTRW Aceh, ini presiden buruk terjadi di Aceh, karena KEL merupakan salah satu warisan nenek moyang kita yang telah diakui oleh dunia internasional,” tegas Juru Bicara (Jubir) KPHA, Efendi Isma, Senin (30/12/2013) di Banda Aceh.

Efendi Isma mencium ada konspirasi dibalik penghilangan KEL tersebut. Ada upaya agar lebih memudahkan pemberian izin untuk eksploitasi tambang di kawasan KEL tersebut.

“Selama ini KEL itu menjadi penghambat merusak ekosistem Leuser tersebut, dengan hilangnya KEL tentu akan lebih memudahkan pengeluaran izin,” tegasnya.

Massa aksi yang datang dari perwakilan masyarakat dari 13 Kabupaten yang masuk dalam KEL secara tegas menolak qanun RTRW Aceh tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh masyarakat dari Aceh Tamiang, Kamal Faisal. Ia menyebutkan bila benar-benar dijalankan qanun RTRW Aceh itu, maka malapetaka akan semakin besar bencana melanda Aceh Tamiang.

“Bila RTRW Aceh itu benar-benar disahkan, maka akan menghanncurkan Tamiang, sekarang saja 2 jam hujan, Tamiang banjir, kami sudah tak sanggup tahan banjir kiriman daru gunung terus gara-gara hutan sudah gundul,” ungkap Kamal Faisal.

Pasalnya, kata Faisal, bila RTRW Aceh itu dijalankan, maka lebih 2500 hektar hutan lindung akan dijadikan perkebunan di Tamiang dan akan semakin menambah terjadi bencana banjir.

Sementara itu, warga yang datang dari Nagan Raya sangat menyayangkan RTRW Aceh itu tidak memasukkan lahan gambut Rawa Tripa dalam hutan lindung. Ini tentu membuat warga kecewa, karena Rawa Tripa itu merupakan warisan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, termasuk harus dimasukkan dalam qanun tersebut.

“Kalau ini terjadi tentu Rawa Tripa akan dikuasai oleh perusahaan sawit, tentu ini akan sangat berbahaya terhadap keselanatan lahan gambut Rawa Tripa,” tegas Indrianto.

Selain itu, massa aksi juga meminta kepada seluruh rakyat Aceh agar dalam menentukan pilihan pada pemilu 2014 mendatang agar tidak memilih wakilnya yang tidak peduli lingkungan. “Jangan pilih wakil rakyat nanti orang yang tidak peduli lingkungan,” tandas Indrianto.[]

read more
Tajuk Lingkungan

Eliminasi Leuser?

Ada yang aneh kemarin sebagaimana diberitakan oleh berbagai media di Aceh. Dalam laporannya, Pansus II Tahun 2012 DPR Aceh tentang Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 mengusulkan penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam RTRWA. Pansus ini dipimpin oleh Tgk. Anwar Ramli dari Partai Aceh yang kini menduduki kursi legislatif mayoritas DPR Aceh.

Usulan ini tentu saja mengejutkan banyak kalangan terutama para pemerhati lingkungan. Usulan ini juga dianggap bertentangan dengan UU Pemerintah Aceh yang salah satu butirnya dalam Pasal 150 ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Nah lho…Ada gerangan apa ini?

Banyak pertanyaan timbul dengan usulan eliminasi KEL dalam RTRWA. Memang masih belum diputuskan apakah usulan ini diterima atau tidak mengingat Qanun (Perda-red) pun belum disahkan. Pertanyaan lain adalah apakah usulan ini sekedar menghapus sebutan KEL atau menghapus fungsi KEL. Ada apa dibelakang usulan ini?

Sejak puluhan tahun KEL sudah dikenal luas sebagai kawasan yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati, ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO dan dianggap wilayah yang tak tergantikan. Nama Leuser juga sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu oleh penduduk setempat. Mengapa nama KEL hendak dihilangkan?

Selama ini memang diketahui ada upaya-upaya untuk mengkonversi hutan-hutan di KEL menjadi peruntukkan lain, apakah sebagai daerah konsesi pertambangan, perkebunan, pemukiman dan sebagainya. Upaya-upaya ini ada yang berhasil dan ada juga yang mentok. Secara aturan untuk merubah peruntukkan KEL adalah sangat sulit. Panjang urusan yang harus dibuat. Jadi muncullah kecurigaan, jangan-jangan usulan penghapusan KEL agar memudahkan pihak-pihak yang ngiler dengan KEL dapat merubah kawasan ini dengan mudah.

Jika nanti usulan ini diakomodir, kita harap tidak, masih ada upaya lain yang bisa dilakukan. Penghapusan KEL bisa jadi melanggar perundangan yang tinggi dan ini dapat digugat ke Mahkamah Agung sebagaimana diusulkan oleh seorang pemerhati lingkungan.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 01/2011 maka terhadap suatu Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dimohonkan suatu keberatan secara langsung kepada Mahkamah Agung (“MA”), atau dapat disampaikan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah tempat kedudukan Pemohon.

Jadi, dapat disimpulkan jika Qanun RTRWA ini bertentangan dengan suatu Undang-Undang maka dapat diajukan keberatan yang diajukan secara langsung kepada Mahkamah Agung (“MA”), atau dapat disampaikan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah tempat kedudukan Pemohon.

Maka mari kita pelototi RTWA ini[]

read more
1 4 5 6 7
Page 6 of 7